Desember 2014
Rp/Kg PDN
Nilai tukar riil Rp/US $ Juli 2005 sd Desember 2014
Rp/$ BI
Suku bunga
Jumlah uang beredar Harga CPO dunia
Juli 2005 sd Desember 2014 Juli 2005 sd Desember 2014 Juli 2005 sd Desember 2014 Persen Rupiah Rp/Kg BI IFS World Bank Harga minyak dunia Juli 2005 sd
Desember 2014
US $/Barrel World Bank GDP Indonesia
Dummy sebelum dan sesudah adanya kontrak berjangka olein
Juli 2005 sd Desember 2014 Juli 2005 sd Desember 2014 Rupiah - IFS BKDI 2. Analisis Integrasi Harga
Harga olein di Jakarta Desember 2011 sd Desember 2014
Rp/Kg PDN
Harga futures oleinTR di BKDI Desember 2011 sd Desember 2014
Rp/Kg BKDI
Harga olein di Rotterdam Desember 2011 sd Desember 2014
US $/Ton Bappebti Nilai tukar riil Rp/US $ Desember 2011 sd
Desember 2014
Rp/$ BI
Metode Analisis
VECM merupakan model bentuk VAR yang terestriksi (Enders, 2004). Model ini digunakan untuk data yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi. Data time series cenderung memiliki stasioneritas pada tingkat first differences. VECM dapat memberikan informasi mengenai tingkah laku jangka pendek suatu variabel terhadap jangka panjangnya akibat adanya perubahan yang permanen. Adapun persamaan umum model VECM dapat dilihat sebagai berikut :
18
∑ (1)
dimana,
=
= vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian = vektor intersep
= vektor koefisien regresi
t = time trend
= dimana memiliki persamaan kointegrasi jangka panjang = variabel in-level
= matriks koefisien regresi
k -1 = ordo VECM dari VAR
= error term
Uji Stationeritas
Pengujian stasioneritas merupakan tahap awal yang penting untuk dilakukan terutama pada data time series. Pengujian stasioneritas ini dilakukan dengan menguji akar unit. Data yang tidak stasioner akan mempunyai akar unit, sebaliknya data yang stasioner tidak mengandung akar unit. Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). Kondisi non stasioner akan menciptakan kondisi spurious regression yang ditandai oleh tingginya koefisien determinasi R square dan t-statistik tampak signifikan, tetapi penafsiran hubungan series ini secara ekonomi akan menyesatkan (Enders, 2004).
Suatu data dapat dikatakan stasioner apabila data memiliki pola yang konstan sepanjang waktu atau data tidak memiliki pola tren di dalamnya. Dalam pengujian stasioneritas terdapat tipe pengujian yang dapat digunakan yaitu Augmented Dickey-Fuller (ADF), Dickey-Fuller GLS (ERS), Phillips-Peron (PP), Kwiatkowski-Phillips-Schmidt-Shin (KPSS), Elliot-Rothenberg-Stock Point- Optimal, dan Ng-Perron.
Keputusan bahwa data stasioner dapat dilihat dari nilai t-satistik yang dibandingkan dengan nilai kritis Mc-Kinnon pada level 1 persen, 5 persen atau 10 persen. Apabila nilai t-statistik lebih besar dari nilai kritis Mc-Kinnon, maka data mengandung akar unit atau data tidak stasioner. Bila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai kritis Mc-Kinnon, maka data tidak mengandung akar unit atau data stasioner. Selain itu, keputusan bahwa data stasioner atau tidak berdasarkan nilai probabilitas. Apabila nilai probabilitas kurang dari 0.01, 0.05 atau 0.1, maka data stasioner atau data tidak mengandung akar unit.
Uji ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari analisis apabila data yang diamati tidak stasioner. Uji ini hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, karena tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai adanya hubungan diantara variabel yang diamati. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunanaan VAR dengan metode standar. Sementara series non stasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR dalam bentuk difference atau VECM. Keberadaan variabel non stasioner meningkatkan kemungkinan keberadaan
19 hubungan kointegrasi antar variabel. Maka pengujian kointegrasi diperlukan untuk mengetahui keberadaan hubungan tersebut.
Uji Stabilitas VAR
Pengujian stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristics polinomial. Pengujian ini bertujuan untuk memastikan bahwa Impulse Response Function
(IRF) dan Forecast Error Variance Decompotition (FEVD) yang dihasilkan valid. Hal ini dapat dilihat dari nilai modulus dari akar jika nilai modulus < 1 maka model tersebut berada dalam kondisi stabil sehingga dari uji stabilitas VAR dapat tercapai (Firdaus, 2011).
Uji Optimum Lag
Uji yang penting dilakukan apabila menggunakan metode VECM adalah tahapan dalam menentukan panjang lag optimal (lag length criteria) yang digunakan dalam model. Hal ini karena apabila lag yang dipilih terlalu panjang, maka model akan menjadi tidak signifikan akibat banyak derajat bebas yang terbuang. Oleh karena itu, penentuan panjang lag yang optimal harus secara tepat.
Dalam tahap ini terdapat lima kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan panjang lag optimal yaitu Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Criterion (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ).
Panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka yang dipilih adalah kandidat yang memberikan lag terpendek. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan model yang digunakan dalam penelitian. Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi pertama kali diperkenalkan oleh Engle dan Granger pada tahun 1987. Konsep ini diperkenalkan sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linear ini yang kemudian dikenal dengan persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol. Dengan kata lain error term harus menjadi sebuah data
time series yang stasioner.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji ini, yaitu Engle-Granger Cointegration Test, Johansen Coingration Test dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Suatu data time series dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah di-difference sebanyak d kali. Metode yang paling sering digunakan dalam uji kointegrasi adalah Johansen Cointegration Test, dimana uji kointegrasi Johansen dapat ditunjukkan oleh persamaan berikut :
20
∑ (2) Komponen dari vektor dapat dikatakan terkointegrasi bila ada vektor sehingga kombinasi linier bersifat stasioner. Vektor disebut vektor kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas, rank kointegrasi ini dapat diketahui melalui uji Johansen.
Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan selang optimal sesuai pengujian sebelumnya. Sementara penentuan asumsi deterministik yang melandasi persamaan kointegrasi didasarkan pada nilai kriteria informasi. Terdapat lima tipe asumsi deterministik yaitu no intercept no trend, intercept no
trend (none), intercept no trend (linear), intercept trend (linear), dan intercept
trend (quadratic). Berdasarkan asumsi deterministik tersebut akan diperoleh
informasi mengenai banyakmya hubungan kointegrasi antar variabel sesuai dengan metode Trace dan Max. Apabila menggunakan metode Trace. Untuk mengetahui adanya kointegrasi dilihat dari nilai trace statistics dibandingkan dengan nilai kritis. Apabila nilai trace statistics > nilai kritis, maka variabel- variabel tersebut terkointegrasi.
Analisis VECM
Tahapan selanjutnya adalah tahapan dalam membuat model VECM yang akan kita gunakan sebagai persamaan. VECM akan menghasilkan dua hasil yaitu hasil output dari Johanssen Cointegration Test dan hasil dari VAR dalam tingkat
first differences yang juga mengandung error correction. Pada bagian atas hasil
pengolahan menunjukkan pola hubungan jangka panjang dan pada bagian bawah hasil output menunjukkan pola hubungan jangka pendek.
Impulse Response Function (IRF)
VAR/VECM adalah metode yang akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji VAR/VECM, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR/VECM secara jelas. Uji ini dilakukan untuk menguji struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati yang dicerminkan oleh variabel inovasi. Salah satu bentuk uji ini adalah IRF.
IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap guncangan/kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasi suatu kejutan pada satu variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya sepanjang waktu. Oleh karena itu, IRF dapat digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi.
Hasil IRF sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky dilakukan dengan catatan variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain yang diletakkan di depan berdampingan satu sama
21 lainnya. Sedangkan variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang, kemudian variabel lainnya diletakkan diantara kedua variabel tersebut berdasarkan nilai matriks korelasi yang menyatakan tingkat korelasi paling besar.
Ordering bisa juga dilakukan melalui uji kausalitas Granger, dimana urutan variabel didasarkan pada variabel yang paling banyak signifikan mempengaruhi variabel lain. Selain itu, IRF juga digunakan untuk mengetahui berapa lama pengaruh shock dari satu variabel terhadap variabel yang lain tersebut terjadi. IRF juga bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik artinya variabel ekonomi lainnya dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu saja. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui dan yang dapat diketahui adalah shock secara umum.
Uji Kausalitas Granger
Uji ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara dua variabel di dalam model. Pada penelitian ini uji kausalitas dilakukan dengan menggunakan Granger Causality. Kriteria dalam penentuan kausalitas dilihat dari nilai probabilitas yang dibandingkan dengan nilai kritis. Nilai kritis yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 persen. Apabila dalam satu kotak estimasi kedua variabel nilai probabilitas nya < 0.05 maka terdapat hubungan kausalitas pada variabel di dalam model.
Forecast Error Variance Decompotition (FEVD)
FEVD dapat memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR/VECM. Metode ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel, yang ditunjukkan oleh perubahan
variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini juga
dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Selain itu metode ini dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang.
Dekomposisi varians mencirikan varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase squared predictionerror k- tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya. FEVD digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel endogen. FEVD memberikan informasi mengenai relatif pentingnya masing- masing inovasi acak atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap lainnya. Selain itu uji ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai bagaimana hubungan dinamis antara variabel yang dianalisis.
22
Model Penelitian
Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi harga olein, model operasional dalam penelitian ini yaitu :
∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ dimana : = konstanta = parameter = error = panjang lag
CPO = harga CPO dunia
GDP = GDP riil
IR = suku bunga
MS = jumlah uang beredar
OLEIN = harga olein
OIL = harga minyak dunia RER = nilai tukar riil
Pemilihan variabel faktor yang mempengaruhi harga didasarkan pada beberapa penelitian yaitu Balcombe (2010), Helbling et al. (2008), Arango et al. (2012), Ahsan et al. (2011), Frankel dan Rose (2010), dan Arshad dan Hameed (2012). Sedangkan penggunaan metode VECM dalam analisis faktor yang mempengaruhi harga berdasarkan pada penelitian Nugraheni (2014).
Model operasional yng digunakan untuk analisis integrasi harga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
∑ ∑ (4) dimana : = konstanta = parameter = error = panjang lag
OLEIN = harga olein di pasar fisik Indonesia OLEINACUAN = harga olein di pasar Rotterdam OLEINFUTURES = harga olein di pasar futures BKDI
Pemilihan variabel didasarkan pada penelitian Hafizah (2009). Sedangkan penggunaan metode VECM dalam analisis integrasi berdasarkan pada penelitian Nkang et al. (2007).
Definisi Operasional
Dalam analisis faktor yang mempengaruhi harga olein, variabel yang digunakan adalah harga olein, nilai tukar, suku bunga, harga minyak bumi, harga
23 CPO dunia, dan GDP sebagai variabel endogen sedangkan variabel dummy sebelum dan sesudah adanya kontrak berjangka olein di BKDI sebagai variabel eksogen.
Variabel yang digunakan dalam analisis integrasi harga olein adalah harga olein di pasar fisik, harga olein di pasar futures, dan harga olein di pasar acuan dunia sebagai variabel endogen dan nilai tukar sebagai variabel eksogen.
Tabel 4 Definisi operasional
Variabel Simbol Definisi Satuan
Dummy Dummy 0 = sebelum adanya
kontrak berjangka olein di BKDI
1 = setelah adanya kontrak berjangka olein di BKDI
-
GDP GDP GDP berdasarkan tahun
konstan 2000
Rupiah
Harga CPO dunia CPO Harga CPO dunia US
$/Metrik Ton Harga minyak dunia OIL Harga minyak dunia
WTI
US $/Barrel Harga olein di BKDI OLEINFUTURES Harga kontrak
berjangka OLEINTR di pasar berjangka BKDI
Rp/Kg Harga olein di Jakarta
Harga olein di Rotterdam
OLEIN
OLEINACUAN
Harga olein di pasar fisik Jakarta
Harga olein di pasar forward Rotterdam yang merupakan pasar acuan dunia
Rp/Kg US $/Ton Jumlah uang beredar MS Jumlah uang beredar
dalam arti luas (M2)
Rupiah Nilai Tukar Riil RER Nilai tukar riil Rp/US $ Rp/US $
Suku Bunga IR Suku bunga acuan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia
24
25
4
GAMBARAN UMUM
Olein
Olein merupakan bahasa industri untuk minyak goreng dari kelapa sawit. Komoditi ini berasal dari tanaman kelapa sawit. Menurut Kemenperin (2007) ada dua spesies Arecaceae atau famili palma yang digunakan untuk pertanian komersil dalam pengeluaran minyak kelapa sawit, yaitu Elaeis guineensis dari Afrika Barat dan Elaeis oleifera dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman kelapa sawit yang berada di Indonesia berasal dari Afrika Barat, terutama disekitar Angola sampai Senegal (Hariyadi, 2010). Tanaman kelapa sawit mempunyai persyaratan tumbuh pada daerah sekitar ekuator yang bersifat tropis dan basah (lembab, dengan RH 85 persen), dengan suhu berkisar 24-320 Celcius sepanjang tahun, sinar matahari yang banyak, curah hujan yang tinggi (2 000 mm) (GAPKI, 2009). Kelapa sawit mulai ditanam pada skala komersial di Sungai Liput (Aceh) dan Pulau Radja (Sumatera Utara) pada tahun 1911 (Badrun, 2010). Sedangkan induk kelapa sawit pertama kali ditanam di kebun Raya Bogor tahun 1848 (Pamin, 1998).
Dalam tandan buah sawit yang dipanen terdiri dari kulit dan tandan (29 persen), biji atau inti sawit (11 persen), dan daging buah (60 persen). Selanjutnya daging buah akan diproses menghasilkan minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit akan menghasilkan minyak inti sawit kasar (Crude Palm Kernel Oil atau CPKO). Kedua jenis minyak ini (CPO dan CPKO) mempunyai karakteristik kimia dan gizi yang unik yang berbeda. Pada prakteknya CPO lebih banyak diproses lebih lanjut menjadi minyak goreng dibandingkan dengan CPKO.
Minyak sawit dengan mudah difraksinasi menjadi olein dan stearin. Olein bersifat cair sedangkan stearin bersifat padat pada suhu ruangan. Sebagai minyak goreng, olein dikenal sebagai minyak goreng dengan stabilitas yang tinggi baik terhadap oksidasi ataupun proses degradasi lainnya, selama penggorengan. Karena itu, olein merupakan minyak goreng yang mempunyai umur pakai yang lebih lama dan sekaligus memberikan stabilitas oksidasi yang lebih baik pada produk hasil gorengannya.
Minyak goreng merupakan salah satu komoditi yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari sembilan kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan minyak goreng di dalam dan luar negeri yang besar merupakan indikasi pentingnya peranan komoditi kelapa sawit dalam perekonomian bangsa.
Produksi Olein
Olein merupakan komoditi yang berasal dari kelapa sawit sehingga produksi olein sangat tergantung produksi kelapa sawit. Data produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan 2014 dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan data Kementan (2014), lima propinsi yang menghasilkan kelapa sawit terbesar berturut-turut yaitu Riau (23.98 persen), Sumatera Utara (16.20
26
persen), Kalimantan Tengah (11.29 persen), Sumatera Selatan (9.72 persen), dan Kalimantan Barat (6.47 persen).
Tabel 5 Produksi kelapa sawit menurut propinsi di Indonesia (ton)
2010 2011 2012 2013 2014 Aceh 662 201 585 744 724 548 817 525 853 855 Sumut 3 113 006 4 071 143 4 182 052 4 549 202 4 753 488 Sumbar 962 782 937 715 960 969 1 022 332 1 082 823 Riau 6 358 703 5 736 722 6 421 228 6 646 997 7 037 636 Kep. Riau 13 367 14 501 14 546 36 774 38 939 Jambi 1 509 560 1 684 174 1 885 530 1 749 617 1 857 260 Sumsel 2 227 963 2 203 275 2 603 536 2 690 620 2 852 988 Babel 511 330 504 268 546 275 508 125 538 724 Bengkulu 689 643 862 450 871 463 787 050 833 410 Lampung 396 587 394 813 401 539 424 054 447 978 Jakarta 0 0 0 0 0 Jabar 23 787 16 793 20 072 32 643 33 518 Banten 25 972 25 956 29 360 27 077 28 153 Jateng 0 0 0 0 0 Yogyakarta 0 0 0 0 0 Jatim 0 0 0 0 0 Bali 0 0 0 0 0 NTB 0 0 0 0 0 NTT 0 0 0 0 0 Kalbar 1 102 860 1 434 171 1 601 200 1 794 466 1 898 871 Kalteng 2 251 077 2 146 160 2 771 268 3 127 138 3 312 408 Kalsel 698 702 1 044 492 1 164 672 1 244 040 1 316 224 Kaltim 800 362 805 587 1 092 483 1 514 504 1 599 895 Sulut 0 0 0 0 0 Gorontalo 0 0 0 0 0 Sulteng 157 257 197 057 264 775 244 074 259 361 Sulsel 32 849 33 456 46 409 49 818 52 606 Sulbar 285 157 244 446 246 765 282 738 300 396 Sultra 0 15 113 24 520 71 278 75 248 Maluku 0 0 0 14 740 15 730 Malut 0 0 0 0 0 Papua 84 349 73 865 74 032 93 476 98 086 P. Barat 50 606 64 641 68 278 53 716 56 883 Indonesia 21 958 120 23 096 541 26 015 518 27 782 004 29 344 479 Sumber : Kementan, 2014
27 Produksi olein mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data produksi olein dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan data GAPKI (2014), produksi olein Indonesia sekitar 2.9 juta ton pada tahun 2000 dan pada tahun 2013 mencapai sekitar 8.3 juta ton.
Sumber : GAPKI, 2014
Gambar 3 Perkembangan produksi olein Indonesia Konsumsi Olein
Peningkatan produksi olein disertai dengan peningkatan konsumsi per kapita penduduk. Selama tahun 2002 sampai dengan 2008, konsumsi olein meningkat dari 12.36 menjadi 16.82 kg/kapita/tahun. Konsumsi olein sebagian besar dikonsumsi masyarakat Indonesia dalam bentuk curah (80 persen) sedangkan sisanya 20 persen dalam bentuk kemasan (GAPKI, 2014).
Apabila dibandingkan dengan volume produksi yang dihasilkan, daya serap pasar domestik yaitu konsumsi dalam negeri masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi ditujukan untuk ekspor. Berdasarkan data GAPKI (2014), konsumsi dalam negeri sekitar 61 persen sedangkan sisanya 39 persen untuk di ekspor pada tahun 2002. Tahun 2013, 65 persen produksi ditujukan untuk ekspor sedangkan 35 persen ditujukan untuk konsumsi dalam negeri.
28
Sumber : GAPKI, 2014
Gambar 4 Perkembangan konsumsi olein Indonesia
Ekspor Olein
Dalam kurun waktu 2006-2011, nilai ekspor olein Indonesia mengalami peningkatan. Meskipun mengalami penurunan di tahun 2009 sebesar 23.08 persen sebagai akibat krisis global. Negara tujuan ekspor terbesar komoditi ini adalah Tiongkok dan India. Tahun 2011, berat ekspor olein ke Tiongkok sebesar 1 518 014 803 kg (33.35 persen) sedangkan berat ekspor olein ke India sebesar 688 504 802 kg (15.13 persen).
Tabel 6 Ekspor olein Indonesia
Tahun Nilai Ekspor (US $) Berat Ekspor (Kg)
2006 1 116 892 754 2 614 238 816 2007 2 525 922 205 3 692 091 677 2008 3 600 652 156 3 831 410 580 2009 2 769 650 039 4 107 637 832 2010 3 231 401 190 3 723 507 930 2011 4 866 028 224 4 551 409 045 Sumber : Kemendag, 2011 Impor Olein
Negara pengimpor olein ke Indonesia adalah Jepang, Korea, Tiongkok, Singapura, dan Malaysia. Nilai impor olein Indonesia tahun 2009 merupakan nilai impor tertinggi dalam kurun waktu 2007-2011. Hal ini diakibatkan oleh krisis global yang terjadi. Tahun 2009, impor olein Indonesia berasal dari Tiongkok sebesar 8 500 000 kg (98.81 persen) sedangkan sisanya berasal dari Malaysia dan Korea. Tahun 2011, Malaysia adalah satu-satunya negara yang memasok olein ke Indonesia.
Tabel 7 Impor olein Indonesia
Tahun Nilai (US $) Berat Ekspor (Kg)
2007 1 197 820 2008 3 592 350 6 906 713 2009 4 615 826 8 602 700 2010 1 110 760 2011 4 796 2 306 Sumber : Kemendag, 2011
Penyebaran Perusahaan Olein
Berdasarkan Kemenperin (2014), perusahaan industri olein di Indonesia telah berkembang di 18 propinsi. Wilayah terluas terdapat di Sumatera, diikuti Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Lima propinsi terluas berturut-turut adalah
29 Kalimantan Barat (16.44 persen), Sumatera Utara (15.07 persen), Aceh (9.59 persen), DKI Jakarta (8.22 persen), dan Jawa Barat (8.22 persen).
Tabel 8 Perusahaan industri olein di Indonesia
Propinsi Jumlah Perusahaan
Aceh 7 Sumatera Utara 11 Sumatera Barat 1 Riau 5 Jambi 1 Sumatera Selatan 4 Bangka Belitung 1 Bengkulu 3 Lampung 3 DKI Jakarta 6 Jawa Barat 6 Jawa Tengah 2 Jawa Timur 3 Kalimantan Barat 12 Kalimantan Selatan 1 Kalimantan Timur 1 Sulawesi Utara 2 Sulawesi Barat 4 Indonesia 73 Sumber : Kemenperin, 2014
30
31
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Perkembangan Variabel Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar
Sejak 14 Agustus 1997, Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang bebas. Nilai tukar Rupiah terhadap US $ akan berfluktuasi sesuai dengan munculnya berita-berita yang relevan. Salah satunya adalah krisis keuangan yang berawal di Amerika yang terjadi sejak 2007 dan puncaknya September 2008. Krisis ini mempunyai pengaruh kuat terhadap perekonomian Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap US $ melemah mulai September 2008 hingga Maret 2009. Sejak April 2009 sampai dengan Desember 2014, nilai tukar Rupiah terhadap US $ berada di kisaran Rp 8 000/US $ sampai dengan Rp 11 000/US $. Selama periode penelitian, nilai tukar Rupiah terhadap US $ berada pada kisaran Rp 8 373/US $ sampai dengan Rp 13 768/US $ dengan standar deviasi 1132.68.
Gambar 5 Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap US $ Perkembangan Suku Bunga
Suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah suku bunga BI Rate. BI Rate merupakan tingkat suku bunga acuan yang dikeluarkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Setiap bulan, Bank Indonesia akan mengumumkan besarnya BI Rate kepada publik setelah melalui Rapat Dewan Gubernur. Besarnya BI Rate pada Januari sampai dengan April 2006 sebesar 12.75 persen. Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate di angka tersebut sampai stabilitas makroekonomi benar-benar terjaga, khususnya ekspektasi inflasi dan tekanan pembalikan arus modal (BI, 2006). Sejak Februari 2012 hingga Mei 2013, BI Rate sebesar 5.75 persen. Suku bunga ini tetap dipertahankan Bank Indonesia karena perekonomian Indonesia pada triwulan I 2013 tumbuh melambat
8,000 9,000 10,000 11,000 12,000 13,000 14,000 15,000 Ju l-05 D e c-05 May-06 O ct -06 Mar -07 A u g -07 Jan-08 Jun -08 N o v-08 A p r-09 Se p -09 Fe b -10 Ju l-10 De c-10 May-11 O ct -11 Mar -12 A u g -12 Jan-13 Jun -13 N o v-13 A p r-14 Se p -14 Rp /U S $ Periode
32
dibanding triwulan sebelumnya dan Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi seiring dengan membaiknya pasokan dan upaya Pemerintah dalam memperbaiki kebijakan terkait impor (BI, 2013). Selama periode penelitian, suku bunga berkisar antara 5.75 persen hingga 12.75 persen dengan standar deviasi sebesar 1.93.
Gambar 6 Perkembangan suku bunga
Perkembangan Jumlah Uang Beredar
Jumlag uang beredar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode penelitian, jumlah uang beredar berkisar antara 1 092 260 Miliar Rupiah sampai dengan 4 173 327 Miliar Rupiah.
Gambar 7 Perkembangan jumlah uang beredar Perkembangan Harga Minyak
Harga minyak cenderung mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode penelitian, harga minyak berkisar antara US $ 39.15 per barel