• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

B. Analisis fikih siyasah terhadap kewenangan Komis

Korupsi

Konsep fikih siyasah yang digunakan yaitu dengan menggunakan wila>yah al-maza>lim, yang berarti lembaga peradilan yang secara khusus menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat. Di mana lembaga ini harus berdiri sendiri dan tanpa adanya intervensi dalam menjalankan tugasnya menangani masalah-masalah yang terjadi antara para penguasa, dan keluarganya yang telah melakukan kezaliman kepada rakyatnya. Karena peradilan ini juga memiliki satu kewenangan khusus dan satu atap dalam melakukan penindakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa dan para pejabat negara.

69

Lembaga wila>yah al-maza>lim penulis analogikan dengan peradilan

khusus atau peradilan Pidsus (pidana khusus) yang ada di Indonesia yang menangani tentang masalah kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat, atau para penguasa yang ada di Indonesia. Peradilan ini di Indonesia disebut dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menangani kasus-kasus yang bernuansa korupsi, pencucian uang, dan suap menyuap yang dilakukan oleh para penguasa atau para pejabat negara. Karena lembaga ini adalah lembaga peradilan yang lebih tinggi dari pada lembaga biasa, dalam arti lembaga ini adalah lembaga yang bisa menangani kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa atau para pejabat yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Karena kejahatan ini dilakukan oleh para penguasa atau para pejabat, maka penanganannya harus menggunakan penanganan yang khusus pula yang dilakukan dalam menyelesaikan masalah kejahatan tindak pidana korupsi tersebut. Kekhususan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini bisa dilihat dari tegas, wewenang, dan kewajiban yang telah tertuang dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 didalam pasal 6 huruf c yang berisi: melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tidak pidana korupsi. Jadi di sini penanganannya dilakukan dalam satu atap tempat, yaitu didalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

70

Secara khusus, peradilan maza>lim ini merupakan peradilan yang dapat

melakukan tindakan tanpa harus menunggu gugatan yang dirugikan atau menunggu laporan dari pihak yang dirugikan. Seperti dalam halnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sering melakukan suatu tindakan untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan dengan mencari bukti permulaan yang kuat. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga dijelaskan dalam pasal 12 dalam melakukan suatu tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan demikian, lembaga tersebut harus bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat dan tepat tanpa mengurangi keakuratan bukti-bukti yang telah ada.

Peradilan maza>lim ini juga menangani perkara yang diadukan sebagai

berikut: a). Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan secara sepihak, b). Harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, c). Pembayaran aparat negara, d). Persengketaan mengenai terhadap harta wakaf, e). Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan lemahnya posisi peradilan, f). Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh

peradilan hisbah, sehingga mengakibatkan terabainya kemaslahatan umum,

g). Pelaksanaan ibadah pokok, seperti salat berjamaah, salat jumat, salat id,

dan pelaksaan haji, h). Penanganan kasus maza>lim, penetapan hukuman, dan

pelaksanaan keputusan tersebut. Maka, tugas-tugas tersebut hampir sama dengan tugas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya dalam tugas perkara dengan kasus harta yang diambil secara paksa

71

oleh para penguasa. Dalam masalah tersebut penulis menganalogikan dengan kejahatan tindak pidana korupsi yag dilakukan oleh para penguasa atau para pejabat, yang artinya para pejabat secara tidak sengaja maupun disengaja telah merampas hak yang bukan haknya kepada negara untuk dirinya sendiri. Yang dimaksud negara di sini adalah rakyat. Karena negara terbentuk karena adanya rakyat. Juga dalam kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh

peradilan hisbah, sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan

umum. Peradilan hisbah adalah lembaga keagamaan yang merupakan

lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Disebut amar makruf nahi munkar, karena bertugas mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan. Apabila ditarik ke dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sama dengan lembaga peradilan maza>lim. Karena di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sama

dengan apa yang ada di dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang pula mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang

sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan” dan “Dalam hal Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyelidikan atau penuntutan kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) kerja. Terhitung sejak tanggal

72

pengambilalihan suatu kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian tersebut tidak bisa dilakukan oleh lembaga tersebut dengan baik dan transparan serta kredibilitas lembaga tersebut juga dipertanyakan dalam menangani kasus korupsi yang berhubungan dengan penyelenggara negara, para penguasa, dan para pejabat negara.

Maka, peradilan maza>lim sama dengan lembaga Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang ada di Indonesia. Karena lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama menangani kasus tindak kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa atau para pejabat negara. Serta lembaga ini berdiri sendiri dan independen, tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Letak perbedaannya terletak pada kedudukan lembaga-lembaga

tersebut, di mana peradilan maza>lim dipimpin langsung oleh al-Khulafa>’ al-

Ra>shidu>n ataupun dipimpin oleh seorang qa>d}i> al-maza>lim yang bertanggungjawab langsung kepada khalifah, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah diatur di dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan b “ dipimpin oleh

5 (lima) dan 1 (satu) ketua, serta terdapat tim penasihat yang terdiri dari 4 (empat) anggota yang berdiri secara independen tidak berada di bawah kekuasaan lembaga manapun yang lebih tinggi serta pertanggungjawaban langsung kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat.

73

Maka, penulis menganalogikan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini identik namun tidak sama persis dengan peradilan maza>lim yang ada dalam peradilan Islam. Dengan menggunakan teori maza>lim, bisa dibuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai acuan dalam semangat pemberantasan kejahatn tindak pidana korupsi yang di Indonesia. Oleh karena itu, penegakan hukum di Indonesia bisa berjalan dengan baik dan penuh dengan rasa keadilan sosial masyarakat serta dengan diharapkan mampu melepaskan Indonesia dari segala bentuk kejahatan korupsi yang telah mendarah daging di bumi nusantara ini.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah tepat dan benar. Karena penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam satu atap adalah bentuk dari independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan tugas-tugas pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Serta dengan adanya tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), Polri, serta Kejaksaan bisa menimbulkan terjadinya saling mendahului yang sebenarnya itu bukan ranah kewenangannya.

2. Tinjauan Fikih Siyasah terhadap kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menggunakan teori wila>yah al-maza>lim memang sudah sangat tepat, karena teori tersebut telah hampir sama dengan apa yang telah dijalankan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Mulai dari lembaga Komisi

75

Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut yang menangani kasus yang obyeknya adalah para penguasa atau para pejabat negara yang melakukan suatu kejahatan atau kezaliman yang dilakukan kepada rakyat. Serta lembaga wila>yah al-maza>lim ketika melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, juga dilakukan dalam satu atap tanpa ada lembaga peradilan yang lain. Begitu pula yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dilakukan dalam satu atap, yaitu di dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

B. Saran

1. Adanya pro kontra terhadap tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Maka, sebaiknya agar dibuatkan suatu aturan oleh eksekutif bersama legislatif yang lebih bagus dan kuat untuk ketiga lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang lebih baik. Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan diantara ketiga lembaga tersebut, dan menjadikan peradilan bisa berjalan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.

76

2. Islam juga memberikan suatu konsep lembaga yang bisa digunakan sebagai acuan dalam menjalankan suatu penegakan hukum yang ada di Indonesia. Pemerintah bersama legislatif bisa menggunakan konsep wila>yah al- maza>lim, untuk bisa mewujudkan pelaksanaan suatu peradilan yang independen dan kredibilitas dalam menangani suatu kasus yang melibatkan para penguasa atau para pejabat yang memang kasus tersebut hanya bisa dilaksanakan oleh lembaga yang independen dan tidak memiliki suatu kepentingan apapun dalam menangani kasus tersebut.

77

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Jaenal. Peradilan Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2008.

Damang. “Pengertian Kewenangan”, dalam

www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewengan.html, diakses pada 29 Maret 2016.

Djaja, Ermansjah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika,

2010.

_______. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Faqor, Abdulloh. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan

Presiden dan Wakil Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat Menurut

Fiqh Dusturiyah”. Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Hasjmy, A. Di mana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2001.

Jaelani, Imam Amrusi. et.al. Hukum Tata Negara Islam. cet. 1. Surabaya: Mitra

Media Nusantara, 2013.

Karjadi, M. dan R, Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politeia, 1997.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Kotto, Alaiddin. et al., Sejarah Peradilan Islam. Ed.1-2. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: Penerbitan

78

Mukhlas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah

Arab ke Peradilan Agama di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Nugroho, Hibnu. “Efektivitas Fungsi Koordinasi dan Supervisi dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”, Jurnal Dinamika Hukum, No. 3, Vol. 13, September, 2013.

Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

_______. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran. ed. 1. cet 4. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1999.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 1990.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Zakariyah, Ahmad. “Studi Komparatif antara Hukum Pidana Islam dan Hukum

Pidana Positif tentang Hukum Tindak Pidana Korupsi melalui

Dokumen terkait