• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG N0MOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG N0MOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

UNDANG-UNDANG N0MOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI

SKRIPSI

Oleh:

Hendi Restu Putra

NIM. C03212013

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan tersebut.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah tepat dan benar. Karena penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam satu atap adalah bentuk dari independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan tugas-tugas pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Di samping itu, tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menggunakan teori Wila>yah al-Maza>lim memang sudah sangat tepat, karena teori tersebut telah hampir sama dengan apa yang telah dijalankan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Mulai dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut yang menangani kasus yang obyeknya adalah para penguasa atau para pejabat negara yang melakukan suatu kejahatan atau kezaliman yang dilakukan kepada rakyat. Serta lembaga Wila>yah al-Maza>lim ketika melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, juga dilakukan dalam satu atap tanpa ada lembaga peradilan yang lain. Begitu pula yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dilakukan dalam satu atap, yaitu di dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

(7)

x DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK\... v

KATA PENGANTAR... vi

PERSEMBAHAN... viii

MOTTO... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 4

C. Rumusan Masalah... 5

D. Kajian Pustaka... 6

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Kegunaan Hasil Penelitian... 8

(8)

H. Metode penelitian... 10

I. Sistematika Pembahasan...13

BAB II Wila>yah al-Maza>lim Dalam Birokrasi Islam... 16

A. Pengertian Wila>yah al-Maza>lim... 16

B. Sejarah Singkat Wila>yah al-Maza>lim... 19

C. Dasar Hukum Wila>yah al-Maza>lim... 23

D. Kedudukan Wila>yah al-Maza>lim... 26

E. Tugas dan Wewenang (Kompetensi) Wila>yah al-Maza>lim... 29

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002... 38

A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 38

1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 38

2. Dasar hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 44

3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)...45

4. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 46

B. Penyelidikan... 53

C. Penyidikan... 55

D. Penuntutan... 58

BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN

(9)

xii

UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI... 56

A. Analisis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 60

B. Analisis fikih siyasah terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 68

BAB V PENUTUP... 74

A. Kesimpulan... 74

B. Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA... 77

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangan

terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan

jumlah kerugian uang negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi

yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek

kehidupan masyarakat.1

Harus kita sadari meningkatnya tidak pidana korupsi yang tidak

terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan

perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan

bernegara pada umumnya. Perbuatan tindak pidana korupsi termasuk

dalam salah satu extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa) yang

membutuhkan penanganan khusus oleh suatu badan atau lembaga

independen yang khusus berwenang mengurusi masalah penanganan

tindak pidana korupsi tanpa ada intervensi dari pihak manapun.

Penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

(11)

2

Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan

melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan bahkan sampai pada tahap penahanan.2

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dilatarbelakangi oleh kurang maksimalnya kinerja kepolisian serta

kejaksaan dalam menangani masalah korupsi di Indonesia, khususnya

yang menyangkut kasus korupsi kelas atas. Pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan mampu membantu

meningkatkan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas

tindak pidana korupsi di Indonesia.

Menurut pasal 4, pasal 6, dan pasal 13 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan harus dilakukan oleh aparat hukum yang di bawah

naungan kepolisian dan kejaksaan.3 Namun, di dalam Undang-undang

Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga di dalam pasal 11 huruf

a undang-undang yang isinya bahwa melibatkan aparat penegak hukum,

penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak

2 Ibid., Viii.

(12)

3

pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau

penyelenggara negara.4

Dengan demikian, maka perlu dilakukan analisis tentang kewenangan

dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang meliputi dari mulai

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi yang telah tertuang di dalam Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena

telah terjadi tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian dalam menjalankan tugas

pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan latar belakang inilah

penulis akan meneliti hal-hal tersebut yang dikaitkan dengan fikih siyasah

atau hukum tata negara Islam.

Adapun pengertian fikih siyasah adalah pengelolaan masalah umum

bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan

dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan

syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai

dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.5 Sebagai ilmu

ketatanegaraan dalam Islam, fikih siyasah antara lain membicarakan

tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar

dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan

4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(13)

4

yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan

mempertanggungjawabkan kekuasaannya.6

Di dalam peradilan Islam banyak sekali lembaga-lembaga yang

bergerak di dalamnya, termasuk lembaga al-Maza>lim yang menjadi

lembaga peradilan yag mengadili para pejabat negara yang bermasalah,

baik pejabat itu sendiri atau keluarganya. Wila>yah al-maza>lim adalah

salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan

peradilan yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi

antara rakyat dan negara. Selain itu, ia juga menangani kasus-kasus

penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan,

atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa.7

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Tumpang tindih kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian.

6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 4.

7 Abdulloh Faqor, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan Wakil

Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat Menurut Fiqh Dusturiyah”, (Skripsi—UIN Sunan

(14)

5

2. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

penanganan masalah korupsi di Indonesia berdasarkan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK).

3. Kewenangan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

menurut fikih siyasah.

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan

dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis

membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

penanganan masalah korupsi di Indonesia berdasarkan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK).

2. Kewenangan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

menurut fikih siyasah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok

masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30

(15)

6

2. Bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan

kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ?

D. Kajian Pustaka

Sejauh yang penulis ketahui, skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum

belum ada yang membahas “Analisis Fikih Siyasah terhadap Kewenangan

KPK dalam Melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan di

dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi”. Akan tetapi yang ada adalah “Studi Komparatif

antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif tentang Tindak

pidana Korupsi melalui Gratifikasi”. Skripsi tersebut ditulis oleh Ahmad

Zakariyah. Hasil dari penelitian tersebut ialah menerangkan bahwa

pengkomparasian tindak pidana korupsi melalui gratifikasi ditinjau dari

sudut pandang hukum pidana Islam dan hukum positif Indonesia.

Terdapat perbedaan pandangan dari kedua sudut pandang yang digunakan

terhadap penetapan tersangka bagi pelaku gratifikasi yakni dari hukum

pidana Islam baik perbuatan gratifikasi itu dilaporkan maupun tidak,

pemberi atau penerima gratifikasi tetap dianggap sebagai tersangka

tindak pidana. Tetapi dalam hukum positif jika tindak pidana gratifikasi

(16)

7

dalam hukum pidana Islam terdapat jenis hukuman sanksi moral, sosial

dan sanksi akhirat di mana sanksi jenis ini tidak ditemukan dalam hukum

pidana positif di Indonesia.8

Sementara pada penelitian yang akan penulis teliti ini lebih

mengutamakan pada kewenangan lembaga khusus Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dalam melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan dalam penanganan masalah korupsi di Indonesia menurut

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas,

maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan

Korupsi.

2. Untuk mengetahui tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan masalah

korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

8Ahmad Zakariyah, “Studi Komparatif antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif

tentang Hukum Tindak Pidana Korupsi melalui Gratifikasi” (Skripsi—UIN Sunan

(17)

8

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis:

a. Memperkaya khasanah ilmu Hukum Tata Negara Islam modern

guna membangun argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif

dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau

perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah. Apabila ada

ketidaksesuaian sebuah aturan hukum dengan praktiknya,

khususnya terkait Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi fokus penelitian ini,

sehingga dapat disempurnakan.

b. Diharapkan bermanfaat bagi upaya terciptanya keadilan dan

kemaslahatan bagi rakyat serta penegasan pelaksanaan peraturan

perundang-undangan tersebut.

2. Secara Praktis:

a. Memberikan pedoman argumentasi hukum yang diperlukan agar

diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan

profesionalitas penegakan hukum, demi terciptanya iklim yang

adil dan kondusif.

b. Digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian dan kajian

(18)

9

menangani suatu lembaga negara dalam menangani suatu bidang

khusus di Indonesia.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang

pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Fikih siyasah adalah pengelolaan masalah umum bagi negara

bernuansa Islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan dan

terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan

syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai

dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.9 Sebagai ilmu

ketatanegaraan dalam Islam, fikih siyasah antara lain membicarakan

tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar

dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan

yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan

mempertanggungjawabkan kekuasaannya.10 Cabang dari fikih siyasah

yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah fikih dusturiyah.

2. Kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan

9 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran..., 25.

(19)

10

tanggung jawab kepada orang lain.11 Kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suatu badan khusus

yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,

termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.12

Kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif dengan jenis

penelitian deskriptif analitis.

1. Data yang Dikumpulkan

a. Data mengenai konsep penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

di Indonesia.

11 Damang, “Pengertian Kewenangan”, dalam

www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewengan.html, diakses pada 29 Maret 2016.

(20)

11

b. Data mengenai tugas dan fungsi serta wewenang Aparat Penegak

Hukum (APH) di Indonesia.

c. Data mengenai tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK).

d. Data mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

e. Data mengenai konsep Fikih Siyasah terkait kewenangan KPK

dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.

2. Sumber Data

a. Sumber Primer merupakan sumber dari data yang akan ditulis pada

bab III yaitu data-data mengenai kewenangan KPK dalam

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi dan data-data mengenai penyelidkan,

penyidikan, dan penuntutan menurut Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana serta data mengenai konsep Fikih Siyasah

terkait kewenangan KPK tersebut.

b. Sumber Sekunder merupakan data-data yang bersifat membantu

atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta

memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, diantaranya

adalah:

(21)

12

2) Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran

3) Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin

Politik Islam

4) Ahmad Zakariyah, “Studi Komparatif antara Hukum Pidana

Islam dan Hukum Pidana Positif tentang Hukum Tindak

Pidana Korupsi melalui Gratifikasi”

5) H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum.

6) Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.

3. Teknik Pengumpulan Data

Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik

pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber

data yang berasal dari a. Undang-undang, b. Buku, c. Jurnal, d. Koran

online, berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan

kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.

4. Teknik Pengolahan Data

Bertolak dari sumber data yang telah dikumpulkan, maka langkah

selanjutnya yaitu pengolahan data yang meliputi pengidentifikasian

data, pengklasifikasian data dan analisis data.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analitis.

Melalui pendekatan tersebut dilakukan pengkajian terhadap aturan

(22)

13

permasalahan, yaitu kewenangan KPK dalam melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam hal analisis diarahkan kepada tepat atau tidaknya kewenangan

KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan melihat kembali pembagian tugas,

fungsi dan wewenang dari Aparat Penegak Hukum (APH) lain yang

ada di Indonesia.

Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang

telah dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang bersifat khusus. Artinya, mengemukakan

teori yang bersifat umum, yaitu teori wila>yah al-maza>lim kemudian

ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang kewenangan

KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis,

(23)

14

bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang

akan diteliti.

Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang

berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan identifikasi dan

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode yang digunakan

dalam penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II membahas landasan teori tentang konsep wila>yah al-maza>lim

yang meliputi: pengertian wila>yah maza>lim, dasar hukum wila>yah

maza>lim, sejarah wi>layah maza>lim dan tugas dan fungsi wila>yah

al-maza>lim.

Bab III berisi data tentang kewenangan KPK dalam melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini

meliputi pengertian kewenangan KPK, dasar hukum kewenangan KPK,

dan mekanisme pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

oleh KPK dalam penanganan kasus korupsi menurut Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini,

yaitu analisis terkait kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi dan analisis Fikih Siyasah terhadap

(24)

15

menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Bab V adalah sebagai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

(25)

16 BAB II

WILA>YAH AL-MAZA>LIM DALAM BIROKRASI ISLAM

A. Pengertian Wila>yah al-Maza>lim

Kata wila>yah al-maza>lim merupakan gabungan dua kata, yaitu wila>yah dan

al-maza>lim. Kata wila>yah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan

pemerintahan. Sedangkan kata al-maza>lim adalah bentuk jamak dari mazlimah

yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.1

Secara terminologi wila>yah al-maza>lim berarti kekuasaan pengadilan yang

lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa

kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada

kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap

rakyat biasa.2

Wila>yah al-maza>lim adalah lembaga peradilan yang secara khusus

menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.

Wila>yah al-maza>lim didirikan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak rakyat

dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat, dan keluarganya dan juga

melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan, penindasan, dan

permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

(26)

17

Peradilan ini bertujuan agar mengembalikan hak-hak rakyat yang telah diambil

oleh mereka, dan untuk menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan

warga negara.3 Yang dimaksud penguasa dalam definisi ini menurut al-Mawardi

adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat tertinggi sampai pejabat

paling rendah. Muhammad Iqbal mendefinisikan wila>yah al-maza>lim adalah

sebagai lembaga yang menyelesaikan penyelewengan pejabat negara dalam

melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan

dan melanggar kepentingan hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang

melanggar HAM rakyat.4 Secara operasional, qa>d}i> maza>lim bertugas

menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib,

meninjau kembali putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut atau

menyelesaikan masalah banding.5

Al-niza>m al-maza>lim atau wila>yah al-maza>lim yaitu lembaga yang bertugas

memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban hukum

baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat, dan

memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim, qa>d}i>,

al-muhtasib, dan qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim dengan tugas yang

berbeda. Qa>d}i> bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,

3 Alaiddin Kotto, et al., Sejarah Peradilan Islam, Ed.1-2. ( Jakarta: Rajawali Press, 2012), 132. 4 Imam Amrusi Jaelani, et.al., Hukum Tata Negara Islam, cet. 1 (Surabaya: Mitra Media Nusantara, 2013), 33.

(27)

18

menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada masalah

ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap perkara diselesaikan

menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qa>d}i> Irak mengikuti

mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut mazhab Malik,

dan di Mesir menurut mazhab Syafi’i.6

Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi

ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu

penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas menegakkan amar makruf dan

nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya pelanggaran

hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syariat.7

Sedangkan qa>d}i> al-maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak

dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali

keputusan-keputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara

banding. Badan ini memiliki mahkamat al-maza>lim. Sidangnya selalu

diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang :

1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha

meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum, 2. Para hakim

mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak,

3. Para fukaha tempat rujukan qa>d}i> al-maza>lim bila menghadapi kesulitan dalam

6 J. Syuyuthi Pulungan., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, ed. 1, cet 4. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 176.

(28)

19

menyelesaikan masalah yang muskil dari segi hukum syariat, 4. Para katib

mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan sidang, dan 5.

Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang diperkarakan, dan

menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil. Agar

para hakim melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, mereka diberi

tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan pekerjaan sampingan yag dapat

menggangu kelancaran tugasya, seperti berdagang.8

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wila>yah al-maza>lim adalah salah

satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk

mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan

negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh

para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap

rakyat biasa.9

B. Sejarah Singkat Wila>yah al-Maza>lim

Asal-usul wila<yah al-maza>lim ini berasal dari Persia. Para kaisar Persia yang

pertama kali mempraktikannya. Menjelang Islam datang, lembaga ini pernah

8 Ibid.

(29)

20

muncul dan dipraktikkan di Arab sebelum Islam.10 Hal ini wujud dari komitmen

orang-orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kezaliman sekaligus

memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.

Lembaga ini oleh bangsa Quraisy dilaksanakan dalam bentuk fakta

al-fudhul (Hilf al-Fudhul). Dalam suatu riwayat dari az-Zubair bin Bakar tercatat

bahwa ada seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bani Zubaid datang ke

kota Mekkah untuk berdagang. Kemudian ada orang dari Bani Sahm (dalam

riwayat lain ada yang menyebut bernama al-Ash bin Wail) membeli

dagangannya. Laki-laki yang membeli tersebut mengambil barang melebihi

jumlah yang ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang

diambilnya ia menolak. Akhirnya, hilanglah kesabaran si pedagang dan ia

berteriak di atas sebongkah batu di samping Ka’bah seraya melantunkan syair

yang berisi kecaman terhadap kezaliman yang ia rasakan. Tindakan si pedagang

tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari orang-orang Quraisy. Hal ini

terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abdul Muthalib dalam

membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut. Orang-orang Quraisy

berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat kesepakatan menolak

segala bentuk kezaliman di Mekkah sehingga peristiwa yang telah terjadi tidak

(30)

21

akan terulang kembali. Kesepakatan itulah yang kemudian dikenal dengan “Hilf

al-Fudhul”.11

Pada masa Nabi Saw. beliau pernah memerankan fungsi ini ketika terjadi

kasus irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan seseorang

golongan Anshar. Seseorang dari golongan Anshar tersebut berkata, “Alirkan air

tersebut ke sini !”, namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi Saw. berkata,

“Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian alirkan air tersebut ke

lahan tetanggamu.” Orang Anshar tersebut marah mendengar perkataan Nabi

Saw. seraya berkata, “Wahai Nabi, pantas kamu mengutamakan dia, bukankah

dia anak pamanmu?” Mendengar jawaban ini, memerahlah wajah Nabi Saw.

seraya berkata, ”Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke perutnya hingga sampai

ke kedua mata kakinya.”12

Pada masa kalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas jihad,

sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam menegakkan

keadilan, kebenaran,dan mengembalikan hak-hak orang-orang yang dizalimi

sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi wila>yah al-maza>lim sangat

sedikit jumlahnya. Pada waktu itu, apabila para sahabat merasa kebingungan

terhadap suatu permasalahan, mereka mencukupkan diri kembali kepada hukum

qa>d}a>. Meskipun ada indikasi-indikasi yang mengatakan bahwa peradilan

(31)

22

maza>lim sudah dipraktikan sejak zaman Nabi dan al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n,

namun keberadaanya belum diatur secara khusus.13

Dalam Islam, lembaga wila>yah al-maza>lim baru muncul pada masa

kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin

Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh

lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti

Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh

khalifah, tetapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut qa>d}i>

al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti

seorang hakim, memang hakim lebih diutamakan karena pemahamnannya

terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun, khalifah

seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu

memberikan perlindungan terhadap masyarakat, sehingga kebobrokan dalam

tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat wilayah al-maza>lim

kadangkala adalah seorang menteri peperangan. Penguasa dinasti Abbasiyah

yang sangat peduli terhadap eksistensi lembaga wila>yah al-maza>lim adalah

khalifah al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.14

Diceritakan pada hari Ahad, khalifah al-Ma’mun sedang membuka

kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kezaliman ynag dilakukan oleh

13 Ibid., 114-115.

(32)

23

pejabat. Datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam kesedihan.

Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas,

menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah

memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidangkan kasus tersebut

di depan khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan

suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga para pengawal

istana mencelanya. Kemudian khalifah al-Ma’mun berkata, “Dakwaannya benar,

kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan membuat anakku

membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita dan hukuman

ditimpakan kepada anak sang khalifah.15

C. Dasar Hukum Wila>yah al-Maza>lim

Al-qa>d}a> merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,

prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan

syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Nisa (4) ayat

135 yang berbunyi:

(33)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsuu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. surah al-Nisa: 135).

Kerangka dasar pelaksanaan peradilan Islam dalam menangani perkara

pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab. Kerangka dasar tersebut termaktub

dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian menjadi dasar

peradilan modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan penggalan

dan menjadi kerangka dasar, yang meliputi: 1. Sesungguhnya peradilan itu

adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan suatu sunah Rasul

yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang

dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar, 2. Sesungguhnya tidaklah

berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak

(34)

25

pandanganmu, dan keputusanmu sehingga bangsawan tidak dapat menarik kamu

kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus harapan dari

keadilan, 3. Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh

orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang

mungkin (terdakwa).16

Penggalan kerangka dasar selanjutnya adalah: 1. Perdamaian diizinkan hanya

antara orang-orang yang bersengkata dari kalangan muslim, kecuali perdamaian

yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan barang yang halal,

2. Barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang belum terkumpul di

tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang ditentukan. Jika ia dapat

mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah haknya, dan jika ia tidak

sanggup maka selesailah persoalannya. Cara memberikan waktu yang

ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan

yang samar, 3. Tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau

ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjau kembali sedang engkau

mendapat petunjuk, tidaklah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran

karena kebenaran itu qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan

kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus-menerus di dalam

kesesatan.17

(35)

26

Kerangka dasar peradilan Islam selanjutnya yakni: 1. Kaum muslim adalah

orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang pernah

bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid

(dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena kerabat. Hanyalah

Allah yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka

dari hukumanNya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah,

dan 2. Pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang

perkara yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau sunah Nabi, kemudian

pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula

contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang

terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.18

D. Kedudukan Wila>yah al-Maza>lim

Badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam yang meliputi: 1.

Al-qa>d}a>, hakimnya bergelar al-qa>d}i>, bertugas mengurus perkara-perkara yang

berhubungan dengan agama pada umumnya, 2. Al-hisbah, hakimnya bergelar

al-muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan

masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera,

(36)

27

dan 3. An-Nad}ar fi al-maza>lim, hakimnya bergelar s}ahibul atau qa>d}i> al-maza>lim,

bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari dua badan pengadilan di

atas.19

Dua institusi yang melengkapi peradilan, yaitu wila>yah al-maza>lim dan

wila>yah al-hisbah merupakan istilah yang datang kemudian. Tetapi secara

empirik, praktiknya sudah terjadi pada masa zaman Rasulullah. Wila>yah

al-maza>lim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan

oleh penguasa dan keluarganya. Sedangkan wila>yah al-hisbah bertugas untuk

mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat.20

Secara kelembagaan, wila>yah al-maza>lim merupakan institusi pengendali,

yaitu suatu kekuasaan peradilan lebih tinggi dari pada pengadilan biasa,

sedangkan wila>yah al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang merupakan

lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar makruf nahi

munkar. Disebut amar ma’ruf nahi munkar karena bertugas mengajak kebaikan

dan mencegah kejahatan. Pada awalnya, lembaga ini bertugas menjaga dan

mengawasi kecurangan-kecurangan pedagang di pasar.21

Dalam perkembangan berikutnya tugas wila>yah al-hisbah ini semakin

bertambah luas, yakni dengan melakukan tugas pengawasan bagi berlakunya

19 Ibid., 159-160.

20 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan

(37)

28

peraturan umum dan ketentuan agama yang berkenaan dengan moral

masyarakat yang menyimpang, seperti kelancungan timbangan dan meteran

yang salah, peredaran uang palsu, dan komoditi pasu. Di samping itu, tugas lain

yang diembankannya adalah membantu orang-orang lemah yang tidak mampu

mempertahankan haknya. B. Lewis, Ch. Pelat, dan J. Schachtt menambahkan

tugas wila>yah al-hisbah itu dengan memberlakukan peraturan Islam tentang

kejujuran, sopan, santun, dan kebersihan.22

Adapun khalifah pertama kali yang membuat perhatian dan mengkhususkan

wila>yah al-maza>lim terpisah dari peradilan umum, adalah khalifah Abdul Malik

bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan perhatian lebih besar lagi

terhadap wila>yah al-maza>lim ini adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Di

samping memperhatikan lembaga wila>yah al-maza>lim, khalifah Umar bin Abdul

Aziz juga membangun dan menghidupkan wila>yah al-syurt}ah (lembaga

kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya (kompetensi relatif). Lembaga

syurt}ah secara khusus ditugaskan untuk menangkap orang-orang yang diberi

hukuman pidana.23

(38)

29

D. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wila>yah al-Maza>lim

Dalam bidang peradilan pada awal berkembangnya Islam, Nabi di samping

sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal, dan baru kemudian

setelah wilayah Islam meluas beliau mengizinkan sejumlah sahabat bertindak

sebagai hakim, khususnya kepada mereka yang ditugaskan mengepalai

pemerintahan di wilayah-wilayah di luar Madinah, dengan berpedoman

al-Qur’an, sunah Nabi, dan ijtihad mereka sendiri. Semasa Nabi Saw. belum

terdapat penjara seperti dalam pengertian sekarang. Pada waktu itu mereka yang

dikenakan hukuman kurungan hanya dikucilkan dari masyarakat. Baru pada

masa pemerintahan Umar bin Khatab mulai diatur tata cara peradilan, antara

lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim, dan atas

nama khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, berpegangan

pada al-Qur’an, sunah, dan qiyas. Tetapi sampai pada akhir masa al-Khulafa>’ al

-Ra>shidu>n para hakim bekerja sendiri tanpa panitera dan pembukuan yang

membukukan keputusan mereka. Bahkan semula mereka melangsungkan sidang

peradilan di rumah sendiri, dan baru kemudian pindah ke masjid. Juga mereka

sendiri pula yang melaksanakan keputusan mereka.24

Semasa kekuasaan dinasti Umayyah ketatalaksanaan peradilan makin

disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang

mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap

(39)

30

atau kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil

keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi

negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kepala negara ke delapan dari dinasti

Umayyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim, yang meliputi: 1. Harus

tahu apa yang telah terjadi sebelum dia, 2. Harus tidak mempunyai kepentingan

pribadi, 3. Harus tidak menyimpan rasa dendam, 4. Harus mengikuti jejak para

imam, dan 5. Harus mengikutsertakan para ahli dan para cendekiawan. Pada

waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan. Selain itu badan peradilan

dibentuk pula peradilan wila>yah al-maza>lim yang menangani pengaduan

masyarakat terhadap tindakan penyalahgunan wewenang oleh pejabat negara,

termasuk hakim. Peradilan al-maza>lim ini biasanya diketuai oleh khalifah itu

sendiri.25

Kompetensi absolut yang dimiliki oleh wila>yah al-maza>lim adalah

memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau

para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses

peradilannya. Seperti kezaliman atau ketidakadilan oleh para kerabat khalifah,

pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim, sehingga kekuasaan wila>yah

al-maza>lim lebih luas dari kekuasaan qa>d}a>. Serta melakukan penyelidikan

(40)

31

pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezaliman,

namun keberadaannya belum diatur secara khusus.26

Selanjutnya al-Mawardi menerangkan kompetensi absolut wila>yah

al-maza>lim, yaitu sebagai berikut: 1. Ketidakadilan yang dilakukan para gubernur

terhadap rakyat dan penindasan penguasa terhadap rakyat. Wila>yah al-maza>lim

tidak boleh membiarkan kezaliman dan terhadap tingkah laku para penguasa, ia

harus menyelidiki agar mereka berlaku adil, menahan penindasan, dan mencopot

mereka apabila tidak bisa berbuat adil, 2. Kecurangan yang dilakukan oleh para

pegawai pemerintah dalam penarikan pajak. Tugas wila>yah al-maza>lim adalah

mengirim utusan untuk menyelidiki hasil pengumpulan pajak dan harta, dan

memerintahkan kepada para pegawai yang bertugas tersebut untuk

mengembalikan kelebihan penarikan harta dan pajak keapada pemiliknya, 3.

Para pegawai kantor pemerintahan harus amanah karena umat Islam

memercayakan kepada mereka dalam masalah harta benda. Tugas nad}i>r

al-maza>lim adalah meneliti tingkah laku dan menghukum mereka berdasarkan

undang-undang yang berlaku.27

Kewenangan wila>yatul al-ma>zalim selanjutnya yakni: 1. Kezaliman yang

dilakukan aparat pemberi gaji kepada orang yang berhak menerima gaji, baik

(41)

32

karena pengurangan atau keterlambatannya dalam memberikan gaji. Ketika gaji

tersebut tidak diberikan atau dikurangi, tugas nad}i>r al-maza>lim adalah

memerintahkan kepada pemerintahan untuk mengembalikan apabila gaji

tersebut diambil pemerintah dari harta yang diambil bait al-ma>l, 2. Mencegah

perampasan harta. Perampasan harta ada 2 (dua) macam, yaitu (a) Ghusub

al-Shultaniyyah, yaitu perampasan yang dilakukan oleh para gubernur yang zalim,

baik karena kecintaannya terhadap harta tersebut atau karena keinginannya

untuk menzalimi. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah mencegah perbuatan zalim

apabila belum dilakukan, dan bila telah dilakukan maka tergantung kepada

pengaduan orang yang dizalimi tersebut, (b). Perampasan yang dilakukan oleh

“orang kuat”. Dalam kondisi ini pemrosesan perkara tergantung kepada

pengaduan atau adanya tindak kezaliman dan harta yang dirampas tidak bisa

diambil kecuali dengan empat perkara: 1. Pengakuan dari orang yang merampas

harta tersebut, 2. Perampasan tersebut diketahui oleh wali al-maza>lim dan ia

boleh menetapkan hukum berdasar pengetahuannya, 3. Adanya bukti yang

menunjukkan dan menguatkan tindak kezaliman tersebut, 4. Adanya berita yang

kuat tentang kezaliman tersebut, 3. Mengawasi harta-harta wakaf. Harta wakaf

ini ada dua macam, yaitu a. Wakaf umum. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah

mengawasi agar harta wakaf tersebut tidak disalahgunakan, meskipun tidak ada

pengaduan tentang adanya penyimpangan, b. Wakaf khusu, tugas nad}i>r

(42)

33

penyimpangan terhadap wakaf tersebut, 4. Menjalankan fungsi hakim. Ketika

hakim tidak kuasa menjalankan proses peradilan karena kewibawaan, status, dan

kekuasaan terdakwa lebih besar dari hakim, nadhir al-Maza>lim harus

mempunyai kewibawaan dan kekuasaan yang lebih tinggi dari terdakwa.28

Kompetensi absolut wila>yah al-maza>lim kemudian juga mencakup

kewenangan terkait: 1. Menjalankan fungsi nad}i>r al-hisbah ketika ia tidak

mampu menjalankan fungsinya dalam menegakkan perkara-perkara menyangkut

kemaslahatan orang banyak, 9. Memelihara ibadah-ibadah yang mengandung

syiar Islam, seperti perayaan hari raya, haji, dan jihad dengan mengatur agenda

dan prosedur yang perlu dipenuhi karena hak Allah lebih utama dari pada hak

lainnya, 10. Nad}i>r al-maza>lim juga diperbolehkan memeriksa orang-orang yang

bersengketa dan menetapkan hukum bagi mereka, namun fungsi ini tidak boleh

keluar dari aturan-aturan yang berlaku di lembaga qa>d}a>.29

Segala masalah kezaliman apapun yang dilakukan individu baik

dilakukan para penguasa maupun mekanisme-mekanisme negara beserta

kebijakannya, tetap dianggap sebagai tindak kezaliman, sehingga diserahkan

kepada khalifah agar dialah yang memutuskan tidak kezaliman tersebut,

ataupun orang-orang yang menjadi wakil khalifah dalam masalah ini, yang

(43)

34

disebut dengan qa>d}i> al-maza>lim, artinya perkara-perkara yang menyangkut

masalah fikih al-maza>lim, sehingga diangkat qa>d}i> al-maza>lim untuk

menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang merugikan negara.30

Dari sana terlihat bahwa mahkamah al-maza>lim memiliki wewenang untuk

memutuskan perkara apapun dalam bentuk kezaliman, baik yang menyangkut

aparat negara ataupun yang menyangkut masalah penyimpangan khalifah

terhadap hukum-hukum syara’ atau yang menyangkut makna salah satu teks

perundang-undangan yang sesuai dengan tabbani (adopsi) khalifah. Karena

undang-undang ini dapat dikatakan sebagai perintah penguasa, maka

memberikan keputusan dalam perkara itu berarti memberikan keputusan

terhadap perintah penguasa. Artinya, perkara itu harus dikembalikan kepada

mahkamah al-maza>lim, atau keputusan Allah dan RasulNya. Kewenangan

seperti ini menunjukkan bahwa peradilan dalam wila>yah al-maza>lim mempunyai

keputusan yang final.31

Mengenai kewenangan hukum antara wila>yah maza>lim dan wila>yah

hisbah terdapat beberapa perbedaan diantaranya adalah hakim pada wila>yah

al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk mnyelesaikan perkara yang tidak mampu

diselesaikan peradilan biasa dan pengadilan ini menyelesaikan perkara

sogok-menyogok dan korupsi. Orang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut

(44)

35

wali al-maza>lim dan disamping itu, lembaga ini bertugas pula menangani

klangan-kalangan praktisi hukum yang melakukan berbagai pembiasaan dan

risywah (sogok-menyogok diantara dua belah pihak). Keberadaan lembaga

al-maza>lim itu memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam menjaga

keuangan-keuangan negara dari tindakan-tidakan korupsi. Sedangkan hakim

pada wila>yah al-hisbah tidak memiliki wewenang tersebut. Hakim pada wila>yah

al-maza>lim mmiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengeksekusi secara

langsung, sedangkan pada wila>yah al-hisbah kewenangannya terbatas.

Kasus-kasus yang ditangani oleh wila>yah al-maza>lim dalah kasus-kasus berat yang

berkaitan dengan hubungan penguasa dan warga negara, sedangkan kasus yang

ditangani wila>yah al-hisbah adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh

warga negara.32

Dalam proses persidangan wila>yah al-maza>lim dilengkapi dengan perangkat

peradilan yang terdiri atas: 1. Para qa>d}i> atau perangkat qa>d}i>, 2. Para ahli hukum

(fukaha), 3. Panitera, 4. Penjaga keamanan (polisi peradilan) dan beberapa

pembantunya, 5. Para penguasa, dan 6. Para saksi. Kelengkapan wila>yah

al-maza>lim dimaksudkan agar sidang berjalan dengan lancar, karena kasus yang

ditangani peradilan ini adalah kasus-kasus berat yang menyangkut para pejabat

negara.33

(45)

36

Dalam kasus al-maza>lim, peradilan dapat bertindak tanpa harus menunggu

adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila mengetahui adanya

kasus al-maza>lim, qa>d}i> (hakim) peradilan al-maza>lim harus secara langsung

menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian, peradilan al-maza>lim memiliki

kekuasaan untuk hal sebagai berikut: 1. Memeriksa dengan teliti sikap dan

tingkah laku para pejabat beserta keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran

yang mungkin mereka lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk

bertindak jujur, 2. Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab

atas pungutan dana umum negara, 3. Memeriksa pejabat yang bertanggung

jawab atas keuangan negara, 4. Memeriksa secara cermat penanganan dan

penyaluran harta wakaf dan kepentingan umum lainnya, dan 5. Mengembalikan

hak rakyat yang diambil aparat negara.34

Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan sebagai

berikut: 1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan

secara sepihak, 2. Harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, 3.

Pembayaran aparat negara, 4. Persengketaan mengenai harta wakaf, 5.

Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan lemahnya posisi

peradilan, 6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan hisbah,

sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan umum, 7. Pelaksanaan

ibadah pokok, seperti salat berjamaah, salat jumat, salat id, dan pelaksanaan

(46)

37

haji, 8. Penanganan kasus al-maza>lim, penetapan hukuman, dan pelaksanaan

keputusan tersebut.35

Mengenai dengan mahkamah al-maza>lim dan tugas-tugasnya, Abu Hasan

al-Mawardi menjelaskan bahwa pandangan mahkamah al-maza>lim, yaitu

membimbing orang yang saling bermusuhan ke arah kesadaran timbal balik

dengan pengaruh kuasa dan dengan mengancam mereka yang saling bertengkar

dengan daya hebat. Adapun syarat-syarat bagi seorang ketua mahkamah

al-maza>lim, yaitu utama kedudukan lurus telunjuk, besar daya hebat, nyata suci

diri, sedikit loba tamak dan banyak warak karena dia dalam tugasnya

memerlukan kepada kekuasaan pemimpin dan ketabahan hakim. Karena itu, dia

memerlukan kepada kumpulan sifat-sifat kedua golongan tadi, dan dengan sifat

utama kedudukan, telunjuknya menjadi lurus dua arah.36

Mengenai dengan masalah ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa mahkamah

al-maza>lim adalah satu jabatan yang terjalin dari kekuasaan raja dan kesadaran

hakim. Dia membutuhkan kepada tangan kuasa dan daya wibawa yang sanggup

mengajar siapa yang zalim dari dua orang yang sedang bermusuhan dan

mengancam orang keterlaluan jahat. Dia seakan-akan melaksanakan apa yang

tidak sanggup qa>d}i> melakukannya. Termasuk dalam melaksanakan tugasnya,

yaitu memperhatikan keterangan dan bukti, mengamati tanda-tanda dan

35 Ibid.

(47)

38

karinah, menangguhkan perkara sampai kebenaran menjadi jelas, membimbing

orang-orang yang saling bermusuhan ke jalan perdamaian dan mengambil

sumpah para saksi. Itu semua lebih luas dari qa>d}i>.37

(48)

BAB III

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi

yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami

berbagai hambatan. Meningkatnya angka tindak pidana korupsi yang

tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap

kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang

meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak

sosial dan hak ekonomi masyarakat. Sehingga, tindak pidana korupsi

tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah

menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa

pula.1

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi

tindak pidana korupsi dengan membentuk suatu badan khusus.

(49)

39

Berdasarkan ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, badan

khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang

memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun

mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan

pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur

dengan undang-undang.2

Dalam pasal 1 angka 1 Bab I Ketentuan Umum Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi adalah tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi diartikan

barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara

langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomia negara

atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut

(50)

40

merugikan keuangan negara.3 Korupsi juga diartikan setiap orang

yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.4

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,

bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, sebagaimana

dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi didefinisikan

menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut :5

1. Discretionery coruption, ialah korupsi yang dilakukan karena

adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun

nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat

diterima oleh para anggota organisasi.

Contoh : Seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing,

memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang

yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang

biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa

memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit

dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang

dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih pemberian uang tambahan

3 Pasal 2 ayat (1) Bab 2 tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(51)

41

itu dibungkus dengan jargon “tanda ucapan terima kasih”, dan

diserahkan setelah layanan diberikan.

2. Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan

regulasi tertentu.

Contoh : Di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk

pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan

atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya

anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan.

Untuk itu pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa

mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga

tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam

peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai

dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari

sekian banyak pasal, misalnya suatu pasal yang mengatur perihal

“keadaan darurat” atau “force mayeur”. Dalam pasal ini dikatakan

bahwa “dalam keadaaan darurat, prosedur pelelangan atau tender

dapat dikecualikan, dengan syarat harus memperoleh izin dari

pejabat yang berkompeten”. Dari sinilah dimulainya illegal

corruption, yakni ketika pemimpin proyek mengartikulasikan

tentang keadaan darurat.

Andaikata dalam pasal keadaan darurat tersebut ditemukan

(52)

42

suatu keadaan yang berada diluar kendali manusia”, maka dengan

serta merta, pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan

waktu adalah salah satu unsur yang berada diluar kendali manusia,

yang bisa dipergunakan oleh pemimpin proyek meminta

persetujuan kepada pejabat yang berkompeten.6

Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya bisa

dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para

pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan beberapa kasus

letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan

kata-kat, bukan substansinya.7

3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang

dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui

penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Contoh : Dalam persaingan tender, seorang panitia lelang

memiliki kewenangan untuk memenangkan peserta tender. Untuk

itu, secara terselubung atau secara terang-terangan ia mengatakan

bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia

memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu.

Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti

tender, maka perbuatan lelang ini sudah termasuk kedalam

kategori mercenery corruption. Bentuk “sogok” atau “semir” itu

tidak mutlak berbentuk uang, tp bisa juga dalam bentuk yang lain.

(53)

43

4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun

discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Contoh : Kasus penjualan aset BUMN untuk mendukung

pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah

contoh dari jenis korupsi ini.

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia merupakan extra

ordinary crame yang membutuhkan penanganan khusus dari

lembaga yang khusus pula. Korupsi tidak saja merusak keuangan

negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah

meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan

tatanan hukum serta keamanan sosial. Sehingga, pola

pemberantasan tidak bisa hanya oleh instansi biasa dan tidak bisa

juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilaksanakan secara

komprehensif dan bersama-sama oleh lembaga penegak hukum,

lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.8

Fakta atau kenyataan bahwa penegakan hukum dalam rangka

pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan

secara konvensional telah mengalami banyak hambatan, sehingga

diperlukan suatu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

secara luar biasa yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga khusus

berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah

(54)

44

diamanatkan dalam Pasal 2 TAP MPR RI nomor VIII/MPR/2001

tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan

Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.9

2. Dasar hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi

yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, yang diatur

dalam beberapa hukum positif, yaitu :10

a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pada pasal 2 angka 6 huruf a ketetapan tersebut menyebutkan

arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme adalah

membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya

untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan

pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlindungan saksi

dan korban, kejahatan terorganisasi, kebebasan mendapatkan

informasi, etika pemerintahan, dan ombudsman.11

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

9 Ibid. 10 Ibid., 95.

(55)

45

Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan

bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi akan segera dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.12

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberaanasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa dengan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.13

3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkedudukan di ibukota

negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh

wilayah negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. 14

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdiri atas:

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdiri

atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

b. Tim penasihat yang terdiri atas empat anggota.

12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan...

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang saat ini belajar kurang memerhatiakan peran dan pengaruh emosi pada proses dan hasil belajar yang di capai seseorang, Tetapi sejak orang mulai

Namun tempat pemakaman yang di kelola oleh masyarakat itu belum sesuai dengan pasal 8 (delapan) Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2012 yang berbunyi tempat pemakaman

Jokowi mengharapkan dari komposisi kurikulum tersebut sumber daya manusia (SDM) yang lahir akan semakin bermartabat dan memiliki daya saing di berbagai belahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh kualitas pelayanan kesehatan berdasarkan kehandalan terhadap kepuasan pasien rawat inap peserta BPJS di Rumah

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “ Pengaruh

Penelitian ini fokus pada analisis strategi internet marketing butik online di Surabaya melalui media sosial Instagram.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

TBK 0 (tidak kreatif) tidak memenuhi seluruhnya Untuk wawancara, data yang diperoleh selanjutnya ditranskip dan dikodekan dengan menggunakan suatu huruf

Terkait dengan anak putus sekolah dari pendidikan dasar yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, masih menjadi masalah besar. Kendala tersebut dapat