ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
UNDANG-UNDANG N0MOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
SKRIPSI
Oleh:
Hendi Restu Putra
NIM. C03212013
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan tersebut.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah tepat dan benar. Karena penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam satu atap adalah bentuk dari independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan tugas-tugas pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Di samping itu, tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menggunakan teori Wila>yah al-Maza>lim memang sudah sangat tepat, karena teori tersebut telah hampir sama dengan apa yang telah dijalankan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia. Mulai dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut yang menangani kasus yang obyeknya adalah para penguasa atau para pejabat negara yang melakukan suatu kejahatan atau kezaliman yang dilakukan kepada rakyat. Serta lembaga Wila>yah al-Maza>lim ketika melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, juga dilakukan dalam satu atap tanpa ada lembaga peradilan yang lain. Begitu pula yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dilakukan dalam satu atap, yaitu di dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
x DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK\... v
KATA PENGANTAR... vi
PERSEMBAHAN... viii
MOTTO... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 4
C. Rumusan Masalah... 5
D. Kajian Pustaka... 6
E. Tujuan Penelitian... 7
F. Kegunaan Hasil Penelitian... 8
H. Metode penelitian... 10
I. Sistematika Pembahasan...13
BAB II Wila>yah al-Maza>lim Dalam Birokrasi Islam... 16
A. Pengertian Wila>yah al-Maza>lim... 16
B. Sejarah Singkat Wila>yah al-Maza>lim... 19
C. Dasar Hukum Wila>yah al-Maza>lim... 23
D. Kedudukan Wila>yah al-Maza>lim... 26
E. Tugas dan Wewenang (Kompetensi) Wila>yah al-Maza>lim... 29
BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002... 38
A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 38
1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 38
2. Dasar hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 44
3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)...45
4. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)... 46
B. Penyelidikan... 53
C. Penyidikan... 55
D. Penuntutan... 58
BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN
xii
UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI... 56
A. Analisis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 60
B. Analisis fikih siyasah terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 68
BAB V PENUTUP... 74
A. Kesimpulan... 74
B. Saran... 75
DAFTAR PUSTAKA... 77
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah
masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangan
terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian uang negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi
yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.1
Harus kita sadari meningkatnya tidak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Perbuatan tindak pidana korupsi termasuk
dalam salah satu extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa) yang
membutuhkan penanganan khusus oleh suatu badan atau lembaga
independen yang khusus berwenang mengurusi masalah penanganan
tindak pidana korupsi tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
2
Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan
melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan bahkan sampai pada tahap penahanan.2
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dilatarbelakangi oleh kurang maksimalnya kinerja kepolisian serta
kejaksaan dalam menangani masalah korupsi di Indonesia, khususnya
yang menyangkut kasus korupsi kelas atas. Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan mampu membantu
meningkatkan kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas
tindak pidana korupsi di Indonesia.
Menurut pasal 4, pasal 6, dan pasal 13 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan harus dilakukan oleh aparat hukum yang di bawah
naungan kepolisian dan kejaksaan.3 Namun, di dalam Undang-undang
Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga di dalam pasal 11 huruf
a undang-undang yang isinya bahwa melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak
2 Ibid., Viii.
3
pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.4
Dengan demikian, maka perlu dilakukan analisis tentang kewenangan
dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang meliputi dari mulai
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi yang telah tertuang di dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena
telah terjadi tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian dalam menjalankan tugas
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan latar belakang inilah
penulis akan meneliti hal-hal tersebut yang dikaitkan dengan fikih siyasah
atau hukum tata negara Islam.
Adapun pengertian fikih siyasah adalah pengelolaan masalah umum
bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan
dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai
dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.5 Sebagai ilmu
ketatanegaraan dalam Islam, fikih siyasah antara lain membicarakan
tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar
dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan
4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
4
yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan
mempertanggungjawabkan kekuasaannya.6
Di dalam peradilan Islam banyak sekali lembaga-lembaga yang
bergerak di dalamnya, termasuk lembaga al-Maza>lim yang menjadi
lembaga peradilan yag mengadili para pejabat negara yang bermasalah,
baik pejabat itu sendiri atau keluarganya. Wila>yah al-maza>lim adalah
salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan
peradilan yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi
antara rakyat dan negara. Selain itu, ia juga menangani kasus-kasus
penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan,
atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa.7
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Tumpang tindih kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian.
6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 4.
7 Abdulloh Faqor, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan Wakil
Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat Menurut Fiqh Dusturiyah”, (Skripsi—UIN Sunan
5
2. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
penanganan masalah korupsi di Indonesia berdasarkan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
3. Kewenangan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menurut fikih siyasah.
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan
dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis
membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
penanganan masalah korupsi di Indonesia berdasarkan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
2. Kewenangan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menurut fikih siyasah.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok
masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30
6
2. Bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan
kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ?
D. Kajian Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum
belum ada yang membahas “Analisis Fikih Siyasah terhadap Kewenangan
KPK dalam Melakukan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan di
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi”. Akan tetapi yang ada adalah “Studi Komparatif
antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif tentang Tindak
pidana Korupsi melalui Gratifikasi”. Skripsi tersebut ditulis oleh Ahmad
Zakariyah. Hasil dari penelitian tersebut ialah menerangkan bahwa
pengkomparasian tindak pidana korupsi melalui gratifikasi ditinjau dari
sudut pandang hukum pidana Islam dan hukum positif Indonesia.
Terdapat perbedaan pandangan dari kedua sudut pandang yang digunakan
terhadap penetapan tersangka bagi pelaku gratifikasi yakni dari hukum
pidana Islam baik perbuatan gratifikasi itu dilaporkan maupun tidak,
pemberi atau penerima gratifikasi tetap dianggap sebagai tersangka
tindak pidana. Tetapi dalam hukum positif jika tindak pidana gratifikasi
7
dalam hukum pidana Islam terdapat jenis hukuman sanksi moral, sosial
dan sanksi akhirat di mana sanksi jenis ini tidak ditemukan dalam hukum
pidana positif di Indonesia.8
Sementara pada penelitian yang akan penulis teliti ini lebih
mengutamakan pada kewenangan lembaga khusus Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam penanganan masalah korupsi di Indonesia menurut
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas,
maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan
Korupsi.
2. Untuk mengetahui tinjauan fikih siyasah terhadap kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan masalah
korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
8Ahmad Zakariyah, “Studi Komparatif antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif
tentang Hukum Tindak Pidana Korupsi melalui Gratifikasi” (Skripsi—UIN Sunan
8
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
a. Memperkaya khasanah ilmu Hukum Tata Negara Islam modern
guna membangun argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif
dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau
perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah. Apabila ada
ketidaksesuaian sebuah aturan hukum dengan praktiknya,
khususnya terkait Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi fokus penelitian ini,
sehingga dapat disempurnakan.
b. Diharapkan bermanfaat bagi upaya terciptanya keadilan dan
kemaslahatan bagi rakyat serta penegasan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tersebut.
2. Secara Praktis:
a. Memberikan pedoman argumentasi hukum yang diperlukan agar
diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan
profesionalitas penegakan hukum, demi terciptanya iklim yang
adil dan kondusif.
b. Digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian dan kajian
9
menangani suatu lembaga negara dalam menangani suatu bidang
khusus di Indonesia.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang
pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Fikih siyasah adalah pengelolaan masalah umum bagi negara
bernuansa Islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan dan
terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai
dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid.9 Sebagai ilmu
ketatanegaraan dalam Islam, fikih siyasah antara lain membicarakan
tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar
dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan
yang diberikan kepadanya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan
mempertanggungjawabkan kekuasaannya.10 Cabang dari fikih siyasah
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah fikih dusturiyah.
2. Kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan
9 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran..., 25.
10
tanggung jawab kepada orang lain.11 Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah suatu badan khusus
yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.12
Kewenangan dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif analitis.
1. Data yang Dikumpulkan
a. Data mengenai konsep penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
di Indonesia.
11 Damang, “Pengertian Kewenangan”, dalam
www.negarahukum.com/hukum/pengertian-kewengan.html, diakses pada 29 Maret 2016.
11
b. Data mengenai tugas dan fungsi serta wewenang Aparat Penegak
Hukum (APH) di Indonesia.
c. Data mengenai tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
d. Data mengenai kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
e. Data mengenai konsep Fikih Siyasah terkait kewenangan KPK
dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer merupakan sumber dari data yang akan ditulis pada
bab III yaitu data-data mengenai kewenangan KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi dan data-data mengenai penyelidkan,
penyidikan, dan penuntutan menurut Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana serta data mengenai konsep Fikih Siyasah
terkait kewenangan KPK tersebut.
b. Sumber Sekunder merupakan data-data yang bersifat membantu
atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta
memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, diantaranya
adalah:
12
2) Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
3) Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin
Politik Islam
4) Ahmad Zakariyah, “Studi Komparatif antara Hukum Pidana
Islam dan Hukum Pidana Positif tentang Hukum Tindak
Pidana Korupsi melalui Gratifikasi”
5) H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum.
6) Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara.
3. Teknik Pengumpulan Data
Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik
pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber
data yang berasal dari a. Undang-undang, b. Buku, c. Jurnal, d. Koran
online, berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan
kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.
4. Teknik Pengolahan Data
Bertolak dari sumber data yang telah dikumpulkan, maka langkah
selanjutnya yaitu pengolahan data yang meliputi pengidentifikasian
data, pengklasifikasian data dan analisis data.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan metode deskriptif analitis.
Melalui pendekatan tersebut dilakukan pengkajian terhadap aturan
13
permasalahan, yaitu kewenangan KPK dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam hal analisis diarahkan kepada tepat atau tidaknya kewenangan
KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan melihat kembali pembagian tugas,
fungsi dan wewenang dari Aparat Penegak Hukum (APH) lain yang
ada di Indonesia.
Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang
telah dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang bersifat khusus. Artinya, mengemukakan
teori yang bersifat umum, yaitu teori wila>yah al-maza>lim kemudian
ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang kewenangan
KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis,
14
bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang
akan diteliti.
Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang
berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode yang digunakan
dalam penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II membahas landasan teori tentang konsep wila>yah al-maza>lim
yang meliputi: pengertian wila>yah maza>lim, dasar hukum wila>yah
maza>lim, sejarah wi>layah maza>lim dan tugas dan fungsi wila>yah
al-maza>lim.
Bab III berisi data tentang kewenangan KPK dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan menurut Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini
meliputi pengertian kewenangan KPK, dasar hukum kewenangan KPK,
dan mekanisme pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
oleh KPK dalam penanganan kasus korupsi menurut Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini,
yaitu analisis terkait kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi dan analisis Fikih Siyasah terhadap
15
menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Bab V adalah sebagai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
16 BAB II
WILA>YAH AL-MAZA>LIM DALAM BIROKRASI ISLAM
A. Pengertian Wila>yah al-Maza>lim
Kata wila>yah al-maza>lim merupakan gabungan dua kata, yaitu wila>yah dan
al-maza>lim. Kata wila>yah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan
pemerintahan. Sedangkan kata al-maza>lim adalah bentuk jamak dari mazlimah
yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.1
Secara terminologi wila>yah al-maza>lim berarti kekuasaan pengadilan yang
lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa
kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada
kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap
rakyat biasa.2
Wila>yah al-maza>lim adalah lembaga peradilan yang secara khusus
menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.
Wila>yah al-maza>lim didirikan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak rakyat
dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat, dan keluarganya dan juga
melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan, penindasan, dan
permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
17
Peradilan ini bertujuan agar mengembalikan hak-hak rakyat yang telah diambil
oleh mereka, dan untuk menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan
warga negara.3 Yang dimaksud penguasa dalam definisi ini menurut al-Mawardi
adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat tertinggi sampai pejabat
paling rendah. Muhammad Iqbal mendefinisikan wila>yah al-maza>lim adalah
sebagai lembaga yang menyelesaikan penyelewengan pejabat negara dalam
melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang merugikan
dan melanggar kepentingan hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang
melanggar HAM rakyat.4 Secara operasional, qa>d}i> maza>lim bertugas
menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib,
meninjau kembali putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut atau
menyelesaikan masalah banding.5
Al-niza>m al-maza>lim atau wila>yah al-maza>lim yaitu lembaga yang bertugas
memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban hukum
baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat, dan
memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim, qa>d}i>,
al-muhtasib, dan qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim dengan tugas yang
berbeda. Qa>d}i> bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,
3 Alaiddin Kotto, et al., Sejarah Peradilan Islam, Ed.1-2. ( Jakarta: Rajawali Press, 2012), 132. 4 Imam Amrusi Jaelani, et.al., Hukum Tata Negara Islam, cet. 1 (Surabaya: Mitra Media Nusantara, 2013), 33.
18
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada masalah
ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap perkara diselesaikan
menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qa>d}i> Irak mengikuti
mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut mazhab Malik,
dan di Mesir menurut mazhab Syafi’i.6
Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi
ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu
penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas menegakkan amar makruf dan
nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya pelanggaran
hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syariat.7
Sedangkan qa>d}i> al-maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak
dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali
keputusan-keputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara
banding. Badan ini memiliki mahkamat al-maza>lim. Sidangnya selalu
diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang :
1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha
meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum, 2. Para hakim
mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak,
3. Para fukaha tempat rujukan qa>d}i> al-maza>lim bila menghadapi kesulitan dalam
6 J. Syuyuthi Pulungan., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, ed. 1, cet 4. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 176.
19
menyelesaikan masalah yang muskil dari segi hukum syariat, 4. Para katib
mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan sidang, dan 5.
Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang diperkarakan, dan
menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil. Agar
para hakim melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, mereka diberi
tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan pekerjaan sampingan yag dapat
menggangu kelancaran tugasya, seperti berdagang.8
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wila>yah al-maza>lim adalah salah
satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk
mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan
negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh
para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap
rakyat biasa.9
B. Sejarah Singkat Wila>yah al-Maza>lim
Asal-usul wila<yah al-maza>lim ini berasal dari Persia. Para kaisar Persia yang
pertama kali mempraktikannya. Menjelang Islam datang, lembaga ini pernah
8 Ibid.
20
muncul dan dipraktikkan di Arab sebelum Islam.10 Hal ini wujud dari komitmen
orang-orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kezaliman sekaligus
memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.
Lembaga ini oleh bangsa Quraisy dilaksanakan dalam bentuk fakta
al-fudhul (Hilf al-Fudhul). Dalam suatu riwayat dari az-Zubair bin Bakar tercatat
bahwa ada seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bani Zubaid datang ke
kota Mekkah untuk berdagang. Kemudian ada orang dari Bani Sahm (dalam
riwayat lain ada yang menyebut bernama al-Ash bin Wail) membeli
dagangannya. Laki-laki yang membeli tersebut mengambil barang melebihi
jumlah yang ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang
diambilnya ia menolak. Akhirnya, hilanglah kesabaran si pedagang dan ia
berteriak di atas sebongkah batu di samping Ka’bah seraya melantunkan syair
yang berisi kecaman terhadap kezaliman yang ia rasakan. Tindakan si pedagang
tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari orang-orang Quraisy. Hal ini
terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abdul Muthalib dalam
membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut. Orang-orang Quraisy
berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat kesepakatan menolak
segala bentuk kezaliman di Mekkah sehingga peristiwa yang telah terjadi tidak
21
akan terulang kembali. Kesepakatan itulah yang kemudian dikenal dengan “Hilf
al-Fudhul”.11
Pada masa Nabi Saw. beliau pernah memerankan fungsi ini ketika terjadi
kasus irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan seseorang
golongan Anshar. Seseorang dari golongan Anshar tersebut berkata, “Alirkan air
tersebut ke sini !”, namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi Saw. berkata,
“Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian alirkan air tersebut ke
lahan tetanggamu.” Orang Anshar tersebut marah mendengar perkataan Nabi
Saw. seraya berkata, “Wahai Nabi, pantas kamu mengutamakan dia, bukankah
dia anak pamanmu?” Mendengar jawaban ini, memerahlah wajah Nabi Saw.
seraya berkata, ”Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke perutnya hingga sampai
ke kedua mata kakinya.”12
Pada masa kalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas jihad,
sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam menegakkan
keadilan, kebenaran,dan mengembalikan hak-hak orang-orang yang dizalimi
sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi wila>yah al-maza>lim sangat
sedikit jumlahnya. Pada waktu itu, apabila para sahabat merasa kebingungan
terhadap suatu permasalahan, mereka mencukupkan diri kembali kepada hukum
qa>d}a>. Meskipun ada indikasi-indikasi yang mengatakan bahwa peradilan
22
maza>lim sudah dipraktikan sejak zaman Nabi dan al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n,
namun keberadaanya belum diatur secara khusus.13
Dalam Islam, lembaga wila>yah al-maza>lim baru muncul pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti
Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh
khalifah, tetapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut qa>d}i>
al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti
seorang hakim, memang hakim lebih diutamakan karena pemahamnannya
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun, khalifah
seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu
memberikan perlindungan terhadap masyarakat, sehingga kebobrokan dalam
tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat wilayah al-maza>lim
kadangkala adalah seorang menteri peperangan. Penguasa dinasti Abbasiyah
yang sangat peduli terhadap eksistensi lembaga wila>yah al-maza>lim adalah
khalifah al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.14
Diceritakan pada hari Ahad, khalifah al-Ma’mun sedang membuka
kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kezaliman ynag dilakukan oleh
13 Ibid., 114-115.
23
pejabat. Datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam kesedihan.
Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas,
menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah
memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidangkan kasus tersebut
di depan khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan
suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga para pengawal
istana mencelanya. Kemudian khalifah al-Ma’mun berkata, “Dakwaannya benar,
kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan membuat anakku
membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita dan hukuman
ditimpakan kepada anak sang khalifah.15
C. Dasar Hukum Wila>yah al-Maza>lim
Al-qa>d}a> merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,
prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan
syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Nisa (4) ayat
135 yang berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsuu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. surah al-Nisa: 135).
Kerangka dasar pelaksanaan peradilan Islam dalam menangani perkara
pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab. Kerangka dasar tersebut termaktub
dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian menjadi dasar
peradilan modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan penggalan
dan menjadi kerangka dasar, yang meliputi: 1. Sesungguhnya peradilan itu
adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan suatu sunah Rasul
yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang
dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar, 2. Sesungguhnya tidaklah
berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak
25
pandanganmu, dan keputusanmu sehingga bangsawan tidak dapat menarik kamu
kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus harapan dari
keadilan, 3. Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh
orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang
mungkin (terdakwa).16
Penggalan kerangka dasar selanjutnya adalah: 1. Perdamaian diizinkan hanya
antara orang-orang yang bersengkata dari kalangan muslim, kecuali perdamaian
yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan barang yang halal,
2. Barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang belum terkumpul di
tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang ditentukan. Jika ia dapat
mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah haknya, dan jika ia tidak
sanggup maka selesailah persoalannya. Cara memberikan waktu yang
ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan
yang samar, 3. Tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau
ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjau kembali sedang engkau
mendapat petunjuk, tidaklah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran
karena kebenaran itu qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan
kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus-menerus di dalam
kesesatan.17
26
Kerangka dasar peradilan Islam selanjutnya yakni: 1. Kaum muslim adalah
orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang pernah
bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid
(dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena kerabat. Hanyalah
Allah yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka
dari hukumanNya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah,
dan 2. Pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang
perkara yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau sunah Nabi, kemudian
pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula
contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang
terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.18
D. Kedudukan Wila>yah al-Maza>lim
Badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam yang meliputi: 1.
Al-qa>d}a>, hakimnya bergelar al-qa>d}i>, bertugas mengurus perkara-perkara yang
berhubungan dengan agama pada umumnya, 2. Al-hisbah, hakimnya bergelar
al-muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan
masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera,
27
dan 3. An-Nad}ar fi al-maza>lim, hakimnya bergelar s}ahibul atau qa>d}i> al-maza>lim,
bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari dua badan pengadilan di
atas.19
Dua institusi yang melengkapi peradilan, yaitu wila>yah al-maza>lim dan
wila>yah al-hisbah merupakan istilah yang datang kemudian. Tetapi secara
empirik, praktiknya sudah terjadi pada masa zaman Rasulullah. Wila>yah
al-maza>lim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan
oleh penguasa dan keluarganya. Sedangkan wila>yah al-hisbah bertugas untuk
mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat.20
Secara kelembagaan, wila>yah al-maza>lim merupakan institusi pengendali,
yaitu suatu kekuasaan peradilan lebih tinggi dari pada pengadilan biasa,
sedangkan wila>yah al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang merupakan
lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar makruf nahi
munkar. Disebut amar ma’ruf nahi munkar karena bertugas mengajak kebaikan
dan mencegah kejahatan. Pada awalnya, lembaga ini bertugas menjaga dan
mengawasi kecurangan-kecurangan pedagang di pasar.21
Dalam perkembangan berikutnya tugas wila>yah al-hisbah ini semakin
bertambah luas, yakni dengan melakukan tugas pengawasan bagi berlakunya
19 Ibid., 159-160.
20 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan
28
peraturan umum dan ketentuan agama yang berkenaan dengan moral
masyarakat yang menyimpang, seperti kelancungan timbangan dan meteran
yang salah, peredaran uang palsu, dan komoditi pasu. Di samping itu, tugas lain
yang diembankannya adalah membantu orang-orang lemah yang tidak mampu
mempertahankan haknya. B. Lewis, Ch. Pelat, dan J. Schachtt menambahkan
tugas wila>yah al-hisbah itu dengan memberlakukan peraturan Islam tentang
kejujuran, sopan, santun, dan kebersihan.22
Adapun khalifah pertama kali yang membuat perhatian dan mengkhususkan
wila>yah al-maza>lim terpisah dari peradilan umum, adalah khalifah Abdul Malik
bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan perhatian lebih besar lagi
terhadap wila>yah al-maza>lim ini adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Di
samping memperhatikan lembaga wila>yah al-maza>lim, khalifah Umar bin Abdul
Aziz juga membangun dan menghidupkan wila>yah al-syurt}ah (lembaga
kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya (kompetensi relatif). Lembaga
syurt}ah secara khusus ditugaskan untuk menangkap orang-orang yang diberi
hukuman pidana.23
29
D. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wila>yah al-Maza>lim
Dalam bidang peradilan pada awal berkembangnya Islam, Nabi di samping
sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal, dan baru kemudian
setelah wilayah Islam meluas beliau mengizinkan sejumlah sahabat bertindak
sebagai hakim, khususnya kepada mereka yang ditugaskan mengepalai
pemerintahan di wilayah-wilayah di luar Madinah, dengan berpedoman
al-Qur’an, sunah Nabi, dan ijtihad mereka sendiri. Semasa Nabi Saw. belum
terdapat penjara seperti dalam pengertian sekarang. Pada waktu itu mereka yang
dikenakan hukuman kurungan hanya dikucilkan dari masyarakat. Baru pada
masa pemerintahan Umar bin Khatab mulai diatur tata cara peradilan, antara
lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim, dan atas
nama khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, berpegangan
pada al-Qur’an, sunah, dan qiyas. Tetapi sampai pada akhir masa al-Khulafa>’ al
-Ra>shidu>n para hakim bekerja sendiri tanpa panitera dan pembukuan yang
membukukan keputusan mereka. Bahkan semula mereka melangsungkan sidang
peradilan di rumah sendiri, dan baru kemudian pindah ke masjid. Juga mereka
sendiri pula yang melaksanakan keputusan mereka.24
Semasa kekuasaan dinasti Umayyah ketatalaksanaan peradilan makin
disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang
mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap
30
atau kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil
keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi
negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kepala negara ke delapan dari dinasti
Umayyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim, yang meliputi: 1. Harus
tahu apa yang telah terjadi sebelum dia, 2. Harus tidak mempunyai kepentingan
pribadi, 3. Harus tidak menyimpan rasa dendam, 4. Harus mengikuti jejak para
imam, dan 5. Harus mengikutsertakan para ahli dan para cendekiawan. Pada
waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan. Selain itu badan peradilan
dibentuk pula peradilan wila>yah al-maza>lim yang menangani pengaduan
masyarakat terhadap tindakan penyalahgunan wewenang oleh pejabat negara,
termasuk hakim. Peradilan al-maza>lim ini biasanya diketuai oleh khalifah itu
sendiri.25
Kompetensi absolut yang dimiliki oleh wila>yah al-maza>lim adalah
memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau
para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses
peradilannya. Seperti kezaliman atau ketidakadilan oleh para kerabat khalifah,
pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim, sehingga kekuasaan wila>yah
al-maza>lim lebih luas dari kekuasaan qa>d}a>. Serta melakukan penyelidikan
31
pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezaliman,
namun keberadaannya belum diatur secara khusus.26
Selanjutnya al-Mawardi menerangkan kompetensi absolut wila>yah
al-maza>lim, yaitu sebagai berikut: 1. Ketidakadilan yang dilakukan para gubernur
terhadap rakyat dan penindasan penguasa terhadap rakyat. Wila>yah al-maza>lim
tidak boleh membiarkan kezaliman dan terhadap tingkah laku para penguasa, ia
harus menyelidiki agar mereka berlaku adil, menahan penindasan, dan mencopot
mereka apabila tidak bisa berbuat adil, 2. Kecurangan yang dilakukan oleh para
pegawai pemerintah dalam penarikan pajak. Tugas wila>yah al-maza>lim adalah
mengirim utusan untuk menyelidiki hasil pengumpulan pajak dan harta, dan
memerintahkan kepada para pegawai yang bertugas tersebut untuk
mengembalikan kelebihan penarikan harta dan pajak keapada pemiliknya, 3.
Para pegawai kantor pemerintahan harus amanah karena umat Islam
memercayakan kepada mereka dalam masalah harta benda. Tugas nad}i>r
al-maza>lim adalah meneliti tingkah laku dan menghukum mereka berdasarkan
undang-undang yang berlaku.27
Kewenangan wila>yatul al-ma>zalim selanjutnya yakni: 1. Kezaliman yang
dilakukan aparat pemberi gaji kepada orang yang berhak menerima gaji, baik
32
karena pengurangan atau keterlambatannya dalam memberikan gaji. Ketika gaji
tersebut tidak diberikan atau dikurangi, tugas nad}i>r al-maza>lim adalah
memerintahkan kepada pemerintahan untuk mengembalikan apabila gaji
tersebut diambil pemerintah dari harta yang diambil bait al-ma>l, 2. Mencegah
perampasan harta. Perampasan harta ada 2 (dua) macam, yaitu (a) Ghusub
al-Shultaniyyah, yaitu perampasan yang dilakukan oleh para gubernur yang zalim,
baik karena kecintaannya terhadap harta tersebut atau karena keinginannya
untuk menzalimi. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah mencegah perbuatan zalim
apabila belum dilakukan, dan bila telah dilakukan maka tergantung kepada
pengaduan orang yang dizalimi tersebut, (b). Perampasan yang dilakukan oleh
“orang kuat”. Dalam kondisi ini pemrosesan perkara tergantung kepada
pengaduan atau adanya tindak kezaliman dan harta yang dirampas tidak bisa
diambil kecuali dengan empat perkara: 1. Pengakuan dari orang yang merampas
harta tersebut, 2. Perampasan tersebut diketahui oleh wali al-maza>lim dan ia
boleh menetapkan hukum berdasar pengetahuannya, 3. Adanya bukti yang
menunjukkan dan menguatkan tindak kezaliman tersebut, 4. Adanya berita yang
kuat tentang kezaliman tersebut, 3. Mengawasi harta-harta wakaf. Harta wakaf
ini ada dua macam, yaitu a. Wakaf umum. Tugas nad}i>r al-maza>lim adalah
mengawasi agar harta wakaf tersebut tidak disalahgunakan, meskipun tidak ada
pengaduan tentang adanya penyimpangan, b. Wakaf khusu, tugas nad}i>r
33
penyimpangan terhadap wakaf tersebut, 4. Menjalankan fungsi hakim. Ketika
hakim tidak kuasa menjalankan proses peradilan karena kewibawaan, status, dan
kekuasaan terdakwa lebih besar dari hakim, nadhir al-Maza>lim harus
mempunyai kewibawaan dan kekuasaan yang lebih tinggi dari terdakwa.28
Kompetensi absolut wila>yah al-maza>lim kemudian juga mencakup
kewenangan terkait: 1. Menjalankan fungsi nad}i>r al-hisbah ketika ia tidak
mampu menjalankan fungsinya dalam menegakkan perkara-perkara menyangkut
kemaslahatan orang banyak, 9. Memelihara ibadah-ibadah yang mengandung
syiar Islam, seperti perayaan hari raya, haji, dan jihad dengan mengatur agenda
dan prosedur yang perlu dipenuhi karena hak Allah lebih utama dari pada hak
lainnya, 10. Nad}i>r al-maza>lim juga diperbolehkan memeriksa orang-orang yang
bersengketa dan menetapkan hukum bagi mereka, namun fungsi ini tidak boleh
keluar dari aturan-aturan yang berlaku di lembaga qa>d}a>.29
Segala masalah kezaliman apapun yang dilakukan individu baik
dilakukan para penguasa maupun mekanisme-mekanisme negara beserta
kebijakannya, tetap dianggap sebagai tindak kezaliman, sehingga diserahkan
kepada khalifah agar dialah yang memutuskan tidak kezaliman tersebut,
ataupun orang-orang yang menjadi wakil khalifah dalam masalah ini, yang
34
disebut dengan qa>d}i> al-maza>lim, artinya perkara-perkara yang menyangkut
masalah fikih al-maza>lim, sehingga diangkat qa>d}i> al-maza>lim untuk
menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang merugikan negara.30
Dari sana terlihat bahwa mahkamah al-maza>lim memiliki wewenang untuk
memutuskan perkara apapun dalam bentuk kezaliman, baik yang menyangkut
aparat negara ataupun yang menyangkut masalah penyimpangan khalifah
terhadap hukum-hukum syara’ atau yang menyangkut makna salah satu teks
perundang-undangan yang sesuai dengan tabbani (adopsi) khalifah. Karena
undang-undang ini dapat dikatakan sebagai perintah penguasa, maka
memberikan keputusan dalam perkara itu berarti memberikan keputusan
terhadap perintah penguasa. Artinya, perkara itu harus dikembalikan kepada
mahkamah al-maza>lim, atau keputusan Allah dan RasulNya. Kewenangan
seperti ini menunjukkan bahwa peradilan dalam wila>yah al-maza>lim mempunyai
keputusan yang final.31
Mengenai kewenangan hukum antara wila>yah maza>lim dan wila>yah
hisbah terdapat beberapa perbedaan diantaranya adalah hakim pada wila>yah
al-maza>lim memiliki kekuasaan untuk mnyelesaikan perkara yang tidak mampu
diselesaikan peradilan biasa dan pengadilan ini menyelesaikan perkara
sogok-menyogok dan korupsi. Orang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut
35
wali al-maza>lim dan disamping itu, lembaga ini bertugas pula menangani
klangan-kalangan praktisi hukum yang melakukan berbagai pembiasaan dan
risywah (sogok-menyogok diantara dua belah pihak). Keberadaan lembaga
al-maza>lim itu memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam menjaga
keuangan-keuangan negara dari tindakan-tidakan korupsi. Sedangkan hakim
pada wila>yah al-hisbah tidak memiliki wewenang tersebut. Hakim pada wila>yah
al-maza>lim mmiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengeksekusi secara
langsung, sedangkan pada wila>yah al-hisbah kewenangannya terbatas.
Kasus-kasus yang ditangani oleh wila>yah al-maza>lim dalah kasus-kasus berat yang
berkaitan dengan hubungan penguasa dan warga negara, sedangkan kasus yang
ditangani wila>yah al-hisbah adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh
warga negara.32
Dalam proses persidangan wila>yah al-maza>lim dilengkapi dengan perangkat
peradilan yang terdiri atas: 1. Para qa>d}i> atau perangkat qa>d}i>, 2. Para ahli hukum
(fukaha), 3. Panitera, 4. Penjaga keamanan (polisi peradilan) dan beberapa
pembantunya, 5. Para penguasa, dan 6. Para saksi. Kelengkapan wila>yah
al-maza>lim dimaksudkan agar sidang berjalan dengan lancar, karena kasus yang
ditangani peradilan ini adalah kasus-kasus berat yang menyangkut para pejabat
negara.33
36
Dalam kasus al-maza>lim, peradilan dapat bertindak tanpa harus menunggu
adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila mengetahui adanya
kasus al-maza>lim, qa>d}i> (hakim) peradilan al-maza>lim harus secara langsung
menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian, peradilan al-maza>lim memiliki
kekuasaan untuk hal sebagai berikut: 1. Memeriksa dengan teliti sikap dan
tingkah laku para pejabat beserta keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran
yang mungkin mereka lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk
bertindak jujur, 2. Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab
atas pungutan dana umum negara, 3. Memeriksa pejabat yang bertanggung
jawab atas keuangan negara, 4. Memeriksa secara cermat penanganan dan
penyaluran harta wakaf dan kepentingan umum lainnya, dan 5. Mengembalikan
hak rakyat yang diambil aparat negara.34
Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan sebagai
berikut: 1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan
secara sepihak, 2. Harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, 3.
Pembayaran aparat negara, 4. Persengketaan mengenai harta wakaf, 5.
Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan lemahnya posisi
peradilan, 6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan hisbah,
sehingga mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan umum, 7. Pelaksanaan
ibadah pokok, seperti salat berjamaah, salat jumat, salat id, dan pelaksanaan
37
haji, 8. Penanganan kasus al-maza>lim, penetapan hukuman, dan pelaksanaan
keputusan tersebut.35
Mengenai dengan mahkamah al-maza>lim dan tugas-tugasnya, Abu Hasan
al-Mawardi menjelaskan bahwa pandangan mahkamah al-maza>lim, yaitu
membimbing orang yang saling bermusuhan ke arah kesadaran timbal balik
dengan pengaruh kuasa dan dengan mengancam mereka yang saling bertengkar
dengan daya hebat. Adapun syarat-syarat bagi seorang ketua mahkamah
al-maza>lim, yaitu utama kedudukan lurus telunjuk, besar daya hebat, nyata suci
diri, sedikit loba tamak dan banyak warak karena dia dalam tugasnya
memerlukan kepada kekuasaan pemimpin dan ketabahan hakim. Karena itu, dia
memerlukan kepada kumpulan sifat-sifat kedua golongan tadi, dan dengan sifat
utama kedudukan, telunjuknya menjadi lurus dua arah.36
Mengenai dengan masalah ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa mahkamah
al-maza>lim adalah satu jabatan yang terjalin dari kekuasaan raja dan kesadaran
hakim. Dia membutuhkan kepada tangan kuasa dan daya wibawa yang sanggup
mengajar siapa yang zalim dari dua orang yang sedang bermusuhan dan
mengancam orang keterlaluan jahat. Dia seakan-akan melaksanakan apa yang
tidak sanggup qa>d}i> melakukannya. Termasuk dalam melaksanakan tugasnya,
yaitu memperhatikan keterangan dan bukti, mengamati tanda-tanda dan
35 Ibid.
38
karinah, menangguhkan perkara sampai kebenaran menjadi jelas, membimbing
orang-orang yang saling bermusuhan ke jalan perdamaian dan mengambil
sumpah para saksi. Itu semua lebih luas dari qa>d}i>.37
BAB III
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi
yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Meningkatnya angka tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap
kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak
sosial dan hak ekonomi masyarakat. Sehingga, tindak pidana korupsi
tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa
pula.1
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi
tindak pidana korupsi dengan membentuk suatu badan khusus.
39
Berdasarkan ketentuan pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, badan
khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur
dengan undang-undang.2
Dalam pasal 1 angka 1 Bab I Ketentuan Umum Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi diartikan
barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomia negara
atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
40
merugikan keuangan negara.3 Korupsi juga diartikan setiap orang
yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.4
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, sebagaimana
dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi didefinisikan
menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut :5
1. Discretionery coruption, ialah korupsi yang dilakukan karena
adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun
nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi.
Contoh : Seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing,
memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang
yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang
biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa
memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit
dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang
dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih pemberian uang tambahan
3 Pasal 2 ayat (1) Bab 2 tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
41
itu dibungkus dengan jargon “tanda ucapan terima kasih”, dan
diserahkan setelah layanan diberikan.
2. Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu.
Contoh : Di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk
pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan
atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya
anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan.
Untuk itu pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa
mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga
tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam
peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai
dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari
sekian banyak pasal, misalnya suatu pasal yang mengatur perihal
“keadaan darurat” atau “force mayeur”. Dalam pasal ini dikatakan
bahwa “dalam keadaaan darurat, prosedur pelelangan atau tender
dapat dikecualikan, dengan syarat harus memperoleh izin dari
pejabat yang berkompeten”. Dari sinilah dimulainya illegal
corruption, yakni ketika pemimpin proyek mengartikulasikan
tentang keadaan darurat.
Andaikata dalam pasal keadaan darurat tersebut ditemukan
42
suatu keadaan yang berada diluar kendali manusia”, maka dengan
serta merta, pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan
waktu adalah salah satu unsur yang berada diluar kendali manusia,
yang bisa dipergunakan oleh pemimpin proyek meminta
persetujuan kepada pejabat yang berkompeten.6
Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya bisa
dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para
pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan beberapa kasus
letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan
kata-kat, bukan substansinya.7
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Contoh : Dalam persaingan tender, seorang panitia lelang
memiliki kewenangan untuk memenangkan peserta tender. Untuk
itu, secara terselubung atau secara terang-terangan ia mengatakan
bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia
memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu.
Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti
tender, maka perbuatan lelang ini sudah termasuk kedalam
kategori mercenery corruption. Bentuk “sogok” atau “semir” itu
tidak mutlak berbentuk uang, tp bisa juga dalam bentuk yang lain.
43
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun
discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Contoh : Kasus penjualan aset BUMN untuk mendukung
pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah
contoh dari jenis korupsi ini.
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia merupakan extra
ordinary crame yang membutuhkan penanganan khusus dari
lembaga yang khusus pula. Korupsi tidak saja merusak keuangan
negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah
meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan
tatanan hukum serta keamanan sosial. Sehingga, pola
pemberantasan tidak bisa hanya oleh instansi biasa dan tidak bisa
juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilaksanakan secara
komprehensif dan bersama-sama oleh lembaga penegak hukum,
lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.8
Fakta atau kenyataan bahwa penegakan hukum dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan
secara konvensional telah mengalami banyak hambatan, sehingga
diperlukan suatu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
secara luar biasa yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga khusus
berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah
44
diamanatkan dalam Pasal 2 TAP MPR RI nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.9
2. Dasar hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi
yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, yang diatur
dalam beberapa hukum positif, yaitu :10
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pada pasal 2 angka 6 huruf a ketetapan tersebut menyebutkan
arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme adalah
membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya
untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan
pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlindungan saksi
dan korban, kejahatan terorganisasi, kebebasan mendapatkan
informasi, etika pemerintahan, dan ombudsman.11
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
9 Ibid. 10 Ibid., 95.
45
Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi akan segera dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.12
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberaanasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa dengan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.13
3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkedudukan di ibukota
negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh
wilayah negara Republik Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. 14
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdiri atas:
a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terdiri
atas lima anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Tim penasihat yang terdiri atas empat anggota.
12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan...