• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fermentasi Bahan dalam Cairan Rumen. Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam tabung fermentor, selanjutnya 40 ml larutan McDougell dan 5 ml cairan rumen steril serta 5 ml isolat bakteri campuran konsentrasi bakteri 108 cfu/ml dialiri dengan CO2. Selanjutnya diinkubasi selama 3, 6, dan 12 jam. Setelah fermentasi, filtrat beserta sampel di dalamnya dianalisis kadar fitatnya dengan menggunakan metode Davies dan Ried (1979). Masing-masing pengamatan dilakukan secara duplo. Analisis Asam fitat. Analisis kadar asam fitat dalam sampel dilakukan menurut metode (Davies dan Ried, 1979).

a. Pembuatan Kurva Standar

Lima buah tabung reaksi masing-masing dimasukkan ke dalamnya 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5 larutan asam sodium fitat 1,1 mM. Kemudian ditambahkan akuades sehingga semua tabung volumenya menjadi 0,5 ml. Selanjutnya 1 ml larutan

ammonium ferry sulphate dan 0,9 ml HNO3 dimasukkan ke dalam masing-masing tabung. Tabung reaksi lalu ditutup dengan alumunium foil dan direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan sampai mencapai suhu ruang, larutan ditambah 5 ml amil alkohol dan 0,1 ml larutan amonium tiosianat.

10 Isi tabung diaduk dengan cara menggoyangkan tabung tersebut. Tepat 15 menit setelah penambahan larutan ammonium thiosianat, larutan dalam tabung reaksi diukur absorbansinya dengan spektrofometer pada panjang gelombang 465 nm. Amil alkohol digunakan sebagai larutan blanko. Jumlah asam fitat dalam masing-masing larutan fitat dihitung dengan mengetahui berat molekul asam fitat (BM=660,08). Data kemudian digunakan untuk membuat kurva standar yang menunjukkan hubungan antara jumlah asam fitat dengan absorbansi asam fitat berdasarkan persamaan regresi linier: Y = a + bx; Y = absorbansi larutan asam fitat, x = jumlah asam fitat dalam tiap larutan asam fitat. Persamaaan yang diperoleh tersebut digunakan untuk menghitung jumlah asam fitat dalam bahan uji yang telah diukur absorbansinya pada tahap pengukuran absorbansi filtrat. b. Ekstrak dan Pengukuran Absorbansi Filtrat

Sebanyak 0,5 g bahan disuspensikan dalam 50 ml HNO3 0,5 M, sedangkan untuk filtrat hasil inkubasi sebanyak 50 ml ditambahkan 1,7 ml HNO3 pekat dan diaduk selama 3 jam di atas penggoyang elektrik pada suhu ruang, kemudian disaring dan kadar asam fitat dalam filtrat yang diperoleh selanjutnya dianalisis. Sebanyak 0,05 ml filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 1,25 ml larutan HNO3 0,5 M serta 0,1 ml larutan ammonium ferry sulphate. Tabung reaksi ditutup dengan aluminium foil dan direndam dalam air mendidih selama 20 menit. Setelah didinginkan sampai mencapai suhu ruang, ditambahkan 5 ml amil alkohol dan 0,1 ml larutan ammonium thiosianat. Isi tabung diaduk dengann cara menggoyangkan tabung tersebut. Tepat 15 menit setelah penambhan larutan ammonium thiosianat, larutan dalam tabung reaksi diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 465 nm dengan larutan amil alkohol sebagai blanko. Kadar asam fitat dalam bahan (mg/g bahan kering) dihitung dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan kurva standar asam fitat.

Percobaan2:Uji kemampuan Fermentatif Isolat Bakteri In vitro

Fermentasi. Metode ini diawali dengan pencernaan fermentatif, yaitu 0,5 g sampel yang dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan 40 ml larutan McDougall di dalam shakerwater bath dengan suhu 39 oC. Setelah itu cairan rumen steril dimasukkan sebanyak 5 ml dan isolat bakteri campuran sebanyak 5 ml

11 konsentrasi bakteri 108 cfu/ml, tabung dikocok dengan dialiri gas CO2 selama 30 detik. pH (6,5-6,9) dan kemudian ditutup dengan tutup karet, dan difermentasi selama 4 jam.

Setelah 4 jam, tutup karet tabung fermentor dibuka, diteteskan 2-3 tetes HgCl2

jenuh untuk membunuh bakteri mikroba. Tabung fermentor dimasukkan ke dalam sentrifuge, sentrifuge dilakukan dengan kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas.

Pengukuran Konsentrasi VFA (Steam Destilation Method). Supernatan yang berasal dari proses fermentasi diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukan ke dalam tabung destilasi. Tabung destilasi dimasukkan dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus menerus). Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N diletakkan dibawah selang tampungan. Satu ml H2SO4 15% ditambahkan ke tabung destilasi yang sudah ada larutan sampel, kemudian penutup kaca segera ditutup, dibilas dengan akuades secukupnya. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin. Air yang terbentuk ditampung labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sampai mencapai 300 ml. Indikator PP (phenol pthalin) ditambah sebanyak 2–3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah menjadi merah muda. Konsentrasi HCl 0,5 N sebagai titrat telah distandarisasi sehingga didapat konsentrasi dengan 4 digit dibelakang koma.

Produksi VFA total dihitung dengan rumus :

(a-b) ml x N HCl x 1000/5 ml mM VFA total =

g sampel x BK sampel Keterangan :

a = volume titran blangko b = volume titran contoh

Pengukuran konsentrasi NH3 (Conway Micro Difussion Method). Supernatan yang sama dengan analisa VFA diambil 1,0 ml kemudian ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway. Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1,0 ml ditempatkan pada salah satu ujung cawan Conway bersebelahan dengan supernatan (tidak boleh

12

campur). Larutan asam borat berindikator sebanyak 1,0 ml ditempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway yang sudah diolesi vaselin ditutup rapat hingga kedap udara, larutan Na2CO3 dicampur dengan supernatan hingga merata dengan cara menggoyang – goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam suhu kamar tutup cawan dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4

0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Hasil titrasi dicatat. Perhitungan Kadar NH3 dihitung dengan rumus :

ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 N NH3 (mM) =

g sampel x BKsampel

Pengukuran Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien cerna Bahan Organik (KCBO) (Metode Tilley and Terry, 1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0,5 g sampel, ditambahkan 40 ml larutan McDougall. Tabung dimasukkan ke dalam shakerwater bath dengan suhu 39 oC, kemudian diisi cairan rumen steril sebanyak 5 ml dan isolat bakteri campuran 5 ml, tabung dikocok dengan dialiri CO2 selama 30 detik, pH dicek (6,5 – 6,9) dan kemudian ditutup dengan tutup karet prote dan di fermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam tutup karet tabung fermentor dibuka dan diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh bakteri mikroba. Tabung fermentor dimasukkan ke dalam sentrifuge dengan kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifuge pada kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0,2%. Campuran ini lalu diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet. Hasil pencernaan hidrolisis (residu) disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa vakum. Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105 °C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan porselen+kertas saring+residu dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya. Selanjutnya bahan dalam cawan diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450–600 oC, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar bahan organiknya. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi tanpa sampel.

13 Berikut rumus perhitungan KCBK dan KCBO :

BKsampel(g)-(BKresidu(g)-BKblanko(g)) %KCBK = x 100% BKsampel BOsampel(g)-(BOresidu(g)-BOblanko(g)) %KCBO = x 100% BOsampel

Keterangan : KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering (%), KCBK = Koefisien Cerna Bahan Organik (%), BK = Bahan Kering (g), BO = Bahan Organik (g)

Rancangan dan Analisis Data

Pada kajian yang pertama tujuh sampel pakan bahan percobaan difermentasi dengan inokulan konsorsium bakteri rumen pencerna serat dan dilakukan pengukuran peubah pada jam ke 3, 6 dan 12 jam. Peubah yang diamati yaitu kadar fitat pada pollard, legum dan rumput. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Kajian yang kedua digunakan enam sampel pakan masing-masing 3 rumput dan 3 legum sebagai percobaan yang difermentasi dengan inokulum isolat bakteri rumen pencerna serat. Peubah yang diamati yaitu VFA, NH3, KCBK, KCBO. Analisis korelasi (Steel and Torrie, 2006) dilakukan untuk mengetahui hubungan antara degradasi asam fitat dengan kadar NH3 dan VFA filtrat hasil fermentasi bahan pakan selama 4 jam.

14 HASIL DAN PEMBAHASAN

Degradasi Asam Fitat

Degradasi asam fitat merupakan proses pemecahan ikatan antara gugus mio-inositol dan gugus asam fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan mikroba dalam rumen (Bedford dan Partridge, 2001). Bahan pakan dengan kadar fitat tinggi umumnya berasal dari biji-bijian. Biji serealia mengandung fitat 1–2% BK, bahkan dapat mencapai 3-6% (Febles et al., 2002). Kadar asam fitat dalam bahan pakan legum dan rumput dalam kajian ini sangat bervariasi yaitu berkisar antara 1,91-3,72% BK. Secara umum data yang tersedia menunjukkan bahwa tanaman kelompok rumput mengandung fitat yang lebih tinggi dari kelompok legum. Namun perbedaan antar spesies juga terlihat cukup jelas. Jumlah asam fitat bervariasi tergantung pada varietas, kondisi iklim, lokasi, irigasi, tipe tanah dan keadaan lingkungan selama tanaman itu tumbuh (Reddy et al., 1982). Kadar fitat pada tanaman tergantung kadar fosfor dalam tanah, dan pemupukan tanaman dengan fosfat yang berlebih akan meningkatkan kadar asam fitat atau garam fitat (Maga, 1982).

Gambar 2 dan 3 menunjukkan kemampuan konsorsium bakteri rumen pencerna serat mampu mendegradasi asam fitat, protein dan mencerna bahan kering dan bahan organik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsorsium bakteri rumen mampu mendegradasi antara 58,87% hingga 100% asam fitat rumput dan legum. Tingkat degradasi yang tinggi tersebut menggambarkan bahwa konsorsium bakteri rumen pencerna serat mampu mendegradasi asam fitat baik yang terkandung di dalam hasil ikutan industri pertanian (pollard), leguminosa maupun rumput. Namun perbedaan tingkat dengradasi menggambarkan bahwa karakteristik asam fitat dalam pollard, rumput dan legum berbeda-beda. Menurut Maenz (2001) proses degradasi asam fitat tergantung kepada total aktifitas fitase yang berasal dari tanaman, hewan atau sumber mikroba dan digabungkan dengan faktor lainnya seperti bentuk dan lokasi phytin dalam bagian tanaman dan kondisi reaksi fisik.

Asam fitat dapat didegradasi dalam cairan rumen lebih dari 9 jam (Rahmawati, 2005). Degradasi fitat sangat dipengaruhi oleh jenis sumbernya. Pada bahan pollard, Pennisetum purpureum, Setaria splendida dan Indigofera sp. kadar fitat masih cukup tinggi, namun pada Paspalum notatum, Calliandra sp. dan

15 jam. Morse et al. (1992) melaporkan bahwa enam konsentrat yang di inkubasi in vitro untuk menentukan tingkat berkurangnya fitat dari padatan dan cairan. Lebih dari 90% P terikat molekul fitat berkurang dari padatan antara 6 dan 8 jam inkubasi

in vitro (pollard, dedak padi, hominy, bungkil kedelai, biji-bijian kering) atau antara 12 dan 24 jam (bungkil biji kapas). Molekul yang mengandung P yang merupakan komponen fitat mampu dihidrolisis dalam waktu 12 jam, kecuali fosfor fitat bungkil biji kapas dapat dihidrolisis setelah 24 jam inkubasi.

Aktivitas konsorsium bakteri rumen pencerna serat yang tergambarkan oleh degradasi asam fitat Gambar 2 yang diperkirakan sudah mencapai kemampuan degradasi fitat yang tinggi setelah inkubasi selama 12 jam. Inkubasi selama 3 jam dan 6 jam degradasi fitat masih sangat bervariasi antar jenis bahan pakan. Hal ini menggambarkan bahwa kemampuan konsorsium bakteri masih sangat tergantung kepada jenis pakan. Asam fitat dalam bahan pollard, Pennisetum purpureum, Setaria

splendida, Calliandra sp, dan Gliricidia sepium asam fitat pada jam ke 3 dan 6 masih

belum mengalami penurunan yang berarti, bahkan pada pollard dan Pennisetum

purpureum masih tetap seperti kadar semula. Terjadinya variasi degradasi asam fitat

antar waktu pada bahan yang sama, dapat disebabkan akibat pertumbuhan bakteri atau produksi fitase yang masih belum stabil pada awal inkubasi.

Gambar 2. menunjukkan bahwa kadar fitat pada jam ke 3, hijauan rumput

Setaria splendida, legum Calliandra sp. dan Gliricidia sepium namun jam ke-6 mengalami peningkatan. Hal ini dapat menggambarkan bahwa konsorsium bakteri rumen pencerna serat belum mampu menghasilkan fitase dan bekerja dengan baik sebelum masa inkubasi 12 jam dan golongan tanaman legum mengandung kadar protein tinggi serta mengandung tanin yang mampu mengikat asam fitat. Kadar asam fitat pada waktu inkubasi 3 jam menunjukkan bahwa asam fitat masih terikat dengan antinutrisi, sehingga setelah inkubasi 3 jam asam fitat terlepas dan didegradasi oleh bakteri rumen.

Secara umum fermentasi diketahui dapat mengurangi kadar asam fitat yang berlebih pada legum (El Hag et al., 2002). Mohamed et al. (2011) melaporkan bahwa bakteri Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri yang paling efektif untuk mendegradasi kadar asam fitat. Fermentasi menggunakan bakteri tersebut, setelah 72

16 jam mampu menurunkan kadar fitat sebesar 77,0%, 69,2% dan 85,4% masing-masing untuk kedelai, kacang hijau dan kacang merah.

Gambar 2. Degradasi Asam Fitat Setaria splendida, Calliandra sp. dan Gliricidia sepium oleh Konsorsium Bakteri Rumen Pencerna Serat

Gambar 3. Degradasi Asam Fitat Pollard, Pennisetum purpureum, Paspalum notatum dan

Indigofera sp. oleh Konsorsium Bakteri Rumen Pencerna Serat

Perbedaan degradasi asam fitat menyebabkan perbedaan laju pelepasan P dari pakan. Semakin lambat pelepasan P maka semakin tinggi proporsi asam fitat yang tidak sempat mengalami degradasi di dalam rumen. Kelambatan degradasi asam fitat diperkirakan berpengaruh pada kecernaan dan ketersediaan nutrien lain dari bahan pakan. Menurut Syamsir (2010) asam fitat juga bisa berikatan dengan protein

17 sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan pakan. Menurut Oatway et al. (2001) asam fitat juga mengikat karbohidrat sehingga memberikan efek merugikan bagi ternak.

Gambar 3. menunjukkan bahwa kadar fitat pada pollard inkubasi 3 jam belum mengalami penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh tingginya pati karbohidrat yang dapat terikat dengan asam fitat, sehingga asam fitat belum mampu terdegradasi. Asam fitat rumput Pennisetum purpureum dan Paspalum notatum pada inkubasi 3 jam sudah mampu didegradasi oleh konsorsium bakteri rumen pencerna serat, karena hijauan rumput yang memiliki kadar nutrisi rendah dan tidak mengandung antinutrisi, sedangkan Indigofera sp. termasuk tanaman legum yang mengandung kadar protein tinggi dan mengandung tanin. Hal ini menunjukkan bahwa tanin yang mudah dihidrolisis tidak mempunyai ikatan yang kuat untuk mengikat asam fitat. Konsorsium bakteri rumen pencerna serat lebih mudah mendegradasi asam fitat yang berikatan dengan protein daripada karbohidrat.

Kecernaan protein dapat dipengaruhi oleh degradasi asam fitat. Fitat mampu mengikat molekul protein dan menurunkan kecernaannya. Karakter dari asam fitat dalam hijauan kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk melindungi protein yang mudah mengalami degradasi. Setaria splendida dan pollard mempunyai molekul asam fitat yang tahan degradasi hingga 12 jam, sedangkan Calliandra sp. dan

Gliricidia sepium mempunyai molekul fitat yang mampu bertahan hingga 6 jam. Degradasi akan sangat tinggi jika telah mencapai fermentasi 12 jam. Kemampuan daya ikat asam fitat terhadap protein memungkinkan asam fitat tersebut dapat melindungi protein yang mudah didegradasi dari aktifitas enzim asal mikroba rumen. Kondisi tersebut memungkinkan penggunaan komponen asam fitat pakan sebagai pelindung protein yang mudah didegradasi.

Syamsir (2010) menyatakan bahwa asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral bervalensi dua seperti Fe, Ca, Mg, Zn dan Cu sehingga berpotensi mengganggu peneyerapan mineral tersebut. Lambatnya degradasi asam fitat diperkirakan akan mengganggu ketersediaan mineral pada ternak. Perbedaan degradasi asam fitat dalam berbagai hijauan pakan dapat menyebabkan adanya variasi dalam ketersediaan mineral. Ketahanan asam fitat terhadap degradasi dalam rumen hingga 12 jam diperkirakan akan banyak mengganggu ketersediaan mineral

18 bervalensi dua bagi bakteri rumen dalam selang waktu tersebut terutama pada awal fermentasi.

Fermentabilitas In Vitro Bahan Pakan Hijauan yang Mengandung Asam Fitat

Total VFA

Total VFA dan NH3 yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh mokroba rumen menggambarkan tingkat fermentabilitas komponen karbohidrat dan protein atau nitrogen bukan protein suatu bahan pakan yang dikaji. Tabel 1. dicantumkan total VFA yang diproduksi selama 4 jam inkubasi dari bahan pakan hijauan yang mengandung asam fitat.

Tabel 1. Fermentabilitas dan Koefisien Cerna In Vitro Bahan Pakan Hijauan yang Mengandung Asam Fitat

Bahan Pakan Fermentabilitas (mM) Koefisien Cerna (%) VFA NH3 Bahan Kering Bahan Organik

Setaria splendida 150,81±87,71 9,32±2,50 22,56±3,16 18,78±2,79 Paspalum notatum 241,45±45.54 6,11±0,82 20,19±1,32 17,71±1,23 Pennisetum purpureum 144,04±118,86 7,90±2,58 19,37±3,61 16,66±3,36 Gliricidia sepium 222,86±156,19 13,73±0,23 46,54±3,16 40,23±3,41 Calliandra calothyrsus 158,31±51,38 10,33±0,48 33,87±0,48 30,36±0,67 Indigofera sp. 189,07±16,71 14,44±0,02 67,47±0,19 63,55±0,21

Sumber energi (VFA) yang dihasilkan ini merupakan produk akhir dari proses fermentasi bahan pakan dalam rumen yang terdiri dari asam utama berupa asetat, propionat, butirat, isobutirat, valerat dan isovalerat. VFA menyediakan sebesar 50-70% dari energi yang dibutuhkan oleh ternak itu sendiri atau induk semang (Damron, 2003).

Konsentrasi VFA optimum bagi pertumbuhan mikroba di dalam rumen berkisar 70-130 mM (France dan Dijkstra, 2005). Hasil penelitian ini diperoleh. konsentrasi total VFA 150-241 mM. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan nutrient telah mencukupi kebutuhan mikroorganisme rumen untuk melaksanakan aktivitasnya. Konsentrasi total VFA dapat menurun hingga 30 mM dan meningkat hingga 200 mM tergantung tinggi rendahnya fermentabilitas karbohidrat bahan pakan. Nilai VFA yang tinggi menunjukkan bahan pakan mempunyai

19 fermentabilitas yang tinggi. Nilai VFA dari bahan yang dikaji menghasilkan kadar VFA yang tinggi. Hal ini berarti bahwa bahan yang dikaji mempunyai fermentabilitas yang tinggi, namun cukup bervariasi. Masing-masing hasil total VFA pada sampel Paspalum notatum sebesar 241,45 mM merupakan total VFA tertinggi, sedangkan Pennisetum purpureum menghasilkan VFA terendah.

Kandungan VFA merupakan hasil aktivitas bakteri pada waktu melakukan fermentasi di dalam rumen, sehingga jika bakteri semakin banyak akan menghasilkan VFA yang semakin banyak pula. Paspalum notatum memiliki konsentrasi VFA yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampel yang lain, sedangkan Setaria splendida

dan Pennisetum purpureum menghasilkan VFA terendah (144,04 mM), hal ini dapat terjadi karena tingginya kualitas rumput tersebut yang dapat tercermin dari kandungan (Neutral Detergent Fiber) NDF, serat kasar (SK) rendah atau kandungan lignin yang rendah. Sampel hijauan menunjukkan bahwa pakan mudah difermentasi dan konsorsium bakteri rumen mampu memfermentasi komponen karbohidrat baik hijauan legum maupun rumput. Isolat bakteri mampu menghasilkan VFA yang sangat tinggi pada Paspalum notatum sehingga pada kondisi konsentrasi tinggi tersebut menggambarkan bahwa terjadi ketidak seimbangan produksi dan penggunaan VFA oleh isolat bakteri tersebut.

Kadar Ammonia (NH3)

Kadar ammonia (NH3) supernatan merupakan salah satu indikator tingkat degradasi protein pakan dalam rumen. Ammonia digunakan mikroba untuk membentuk protein mikroba tersebut. Kadar amonia dalam cairan rumen merupakan petunjuk adanya proses degradasi protein di dalam rumen dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Protein yang masuk ke dalam rumen, sebagian akan mengalami perombakan oleh enzim proteolitik mikroba rumen (Fathul dan Wajizah, 2010). Nilai konsentrasi NH3 bahan pakan hijauan dalam penelitian ini berkisar antara 6,11-14,44 mM (Tabel 1). Masing-masing hasil total NH3 pada sampel Indigofera sp. sebesar 14,44 mM merupakan total NH3 tertinggi, sedangkan Paspalum notatum

menghasilkan NH3 terendah dengan hasil 6,11 mM. Konsentrasi NH3 optimum untuk pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Konsentrasi NH3 mencerminkan tingkat fermentabilitas protein di dalam rumen. Peningkatan protein dalam ransum meningkatkan aktivitas protease mikroba rumen,

20 sehingga dapat meningkatkan perombakan protein menjadi asam amino dan amonia (NH3).

Koefisien Cerna In Vitro Bahan Pakan Hijauan yang Mengandung Asam Fitat

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Koefisien cerna menunjukkan derajat cerna pakan pada alat-alat pencernaan serta seberapa besar sumbangan suatu pakan bagi ternak (McDonald et al., 2002). Kecernaan bahan kering dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan. Hasil koefisien cerna in vitro bahan kering (KCBK)dari semua bahan pakan hijauan dicantumkan pada Tabel 1. Koefisien cerna bahan kering dari penelitian ini berkisar antara 20,19-67,47%. KCBK golongan rumput lebih rendah daripada KCBK golongan leguminosa. Di golongan rumput KCBK tertinggi dicapai oleh Setaria splendida sebesar 22,56%, sedangkan pada golongan leguminosa dicapai oleh Indigofera sp. sebesar 67,47%. Nilai KCBK semua jenis hijauan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih rendah dari kualitas yang baik kecuali Indigofera sp.Hal ini menunjukkan bahwa Indigofera sp. mengandung komponen bahan kering yang mudah dicerna. Indigofera sp. mengandung protein tinggi dan diperkirakan protein yang dikandungnya mudah terdegradasi dan menyediakan NH3 yang dibutuhkan oleh mikroba rumen.

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Tabel 1. terlihat bahwa koefisien cerna bahan organik berkisar antara 16,66-63,55%. KCBO golongan rumput lebih rendah daripada KCBO golongan leguminosa. Di golongan rumput KCBO tertinggi dicapai oleh Setaria splendida

sebesar 18,78%, sedangkan pada golongan leguminosa dicapai oleh Indigofera sp. sebesar 63,55%. Koefisien cerna bahan organik legum Gliricidia sepium (40,23%) merupakan kecernaan pakan terbaik ke-2 setelah Indigofera sp. (63,55%), menyusul

Calliandra calothyrsus (30,36%), Setaria splendida (18,78%), Paspalum notatum

(17,71%), dan Pennisetum purpureum (16,66%). Indigofera sp. dan Gliricidia sepium mempunyai nilai kecernaan yang tinggi dibandingkan ke-4 bahan pakan lainnya, hal ini dapat dipengaruhi oleh kandungan perbedaan komposisi nutrien yang terkandung dalam pakan seperti protein kasar yang juga lebih rendah dan kandungan NDF yang relatif lebih tinggi. Tingginya KCBO pada legum Indigofera sp. sejalan

21 dengan tingginya KCBK. Hal ini menunjukkan bahwa komponen bahan organik legum tersebut mudah dicerna dan menyediakan nutrien untuk pertumbuhan mikroba dalam rumen. Pennisetum purpureum mempunyai nilai kecernaan terendah diantara ke-5 pakan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh komponen-komponen yang sukar dicerna seperti ADF, selulosa, dan lignin. Lignin diketahui sebagai pembatas kecernaan serat, sehingga lignin tidak dapat dicerna oleh ruminan atau mikroba, dan penghambat pencernaan hemiselulosa (Cherney dan Cherney, 2005).

Korelasi Penurunan Kadar Asam Fitat dengan Kadar VFA, NH3, dan Kecernaan

Korelasi penurunan asam fitat dengan kadar VFA, NH3 dan Kecernaan disajikan dalam Tabel2.

Tabel 2. Korelasi antara Penurunan Kadar Fitat pada 12 jam Pertama Fermentasi dengan kadar VFA, NH3 dan Kecernaan oleh Konsorsium Bakteri Rumen Pencerna Serat. Penurunan Fitat VFA (mM) NH3 (mM) KCBK (%) VFA (mM) -0,694 (P=1,26) NH3 (mM) -0,167 (P=0,75) -0,101 (P=0,85) KCBK (%) -0,242 (P=0,64) 0,057 (P=0,91) 0,922 (P=0,01) KCBO ( %) -0,226 (P=0,67) 0,049 (P=0,93) 0,899 (P=0,02) 0,998(P=0,00) Tidak terdapat korelasi antara penurunan kadar asam fitat dengan kadar VFA, NH3 dan kecernaan bahan kering serta bahan organik (Tabel 2). Asam fitat

Dokumen terkait