• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEOR

B. Analisis Framing

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955.15 Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Atau secara sederhana juga dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa,

14

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 194-195. 15

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 161.

aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.16

Di samping itu, analisis framing sebagai suatu metode analisis media, masih terbilang baru. Terutama, ia berkembang berkat pandangan kaum konstruksionis dan ia juga termasuk ke dalam paradigma konstruksionis yang memiliki penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Seperti yang akan penulis uraikan di bawah ini:

1. Fakta/Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi

Kaum konstruksionis beranggapan bahwa realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.

2. Media Adalah Agen Konstruksi

Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Sedangkan dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.

3. Berita Bukan Refleksi dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi dari Realitas

16

Carey mengatakan bahwa dalam pendangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan sebuah realitas, melainkan protet dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa.

4. Berita Bersifat Subjektif/Konstruksi atas Realitas

Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis. Kaum konstruksionis beranggapan bahwa berita bersifat subjektif, yaitu opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

5. Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Sosial

Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Kaum konstruksionis melihat wartawan bukanlah pemulung yang mengambil berita begitu saja, melainkan layaknya agen/aktor pembentuk realitas.

6. Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral dalam Produksi Berita

Menurut pandangan konstruksionin, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak, ia menjadi partisipan

dari keragaman penafsiran dan subjektifitas dalam publik. Dan ia menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, melainkan mengonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

7. Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian Integral dalam Penelitian

Dalam penelitian yang berkategori konstruksionis, pilihan moral dan keberpihakan sukar dihilangkan dalam penelitian. Dan peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula.

8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri atas Berita

Dalam pandangan konstruksionis, khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Sebab setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, melainkan begitulah praktik penandaan yang terjadi.

Banyak model yang disajikan dalam analisis framing, di antaranya adalah Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, maupun Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Berikut ini adalah beberapa definisi framing sesuai dengan model dari masing-masing tokoh:

Tabel 2

Definisi framing menurut para tokoh17

TOKOH DEFINISI

Murray Edelman Pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata- kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Namun, tidak hanya sekedar kata-kata semata, tetapi menghadirkan realitas sendiri ketika hadir di tengah khalayak.

Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan

penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar.

William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skem atau struktur pemahaman yang digunakan indivdu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

17

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Strategi konstruksi dan memroses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Dari definisi-definisi di atas, menyimpulkan bahwa definisi framing

mengacu pada suatu cara untuk menyajikan realitas, dimana realitas yang ada dikemas sedimikian rupa dengan menggunakan simbol-simbol yang terpilih, kemudian diseleksi, ditekankan, dan ditonjolkan, sehingga peristiwa tersebut dapat lebih mudah dipahami berdasarkan perspektif tertentu yang dimaksudkan dalam proses framing tersebut. Jadi, realitas yang disampaikan bukanlah realitas yang sepenuhnya utuh dan otentik secara keseluruhan.

Analisis framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa yang lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak yang telibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realitas didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan dan bukan yang lain? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan sedang yang lain tidak? Mengapa menampikan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai?18

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasari bagaimana media massa membentuk dan mengonstruksi realitas, yang membuat khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang ditekankan dan ditonjolkan oleh media massa.

18

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 254.

Proses framing juga terkadang dibenturkan dengan alasan-alasan teknis, seperti keterbatasan-keterbatasan kolom dan halaman (pada media cetak) dan waktu (pada media elektronik), jarang ada media yang membuat berita secara utuh, mulai dari menit pertama kejadian hingga menit akhir. Atas nama jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang.19

Hal ini disebabkan karena produksi berita berhubungan dengan bagaimana rutinitas yang terjadi dalam ruang pemberitaan, yang menentukan bagaimana wartawan didikte/dikontrol untuk memberitakan peristiwa dalam perspektif tertentu. Dan aspek konstruksi berhubungan dengan bagaimana wartawan/media menampilkan peristiwa tersebut sehingga relevan bagi khalayak.

Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Tentu saja hal itu akan menimbulkan semacam pengaruh atau efek terhadap khalayak. Dan Eriyanto menjelaskan beberapa efek dari pembingkaian (framing) itu sendiri.

a. Mobilisasi Massa

Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada stategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Hal itu seringkali terjadi dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu, khalayak dapat digerakkan dan dimobilisasi. Dan semua itu membutuhkan frame: bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan

19

bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai. Framing juga merupakan senjata yang ampuh untuk melupakan kesalahan. Lewat framing, khalayak disediakan perspektif tertentu: seakan hanya perspektif itulah yang hanya bisa digunakan untuk memahami dan mendefinisikan masalah.

Namun, dalam hal menyediakan perspektif tertentu, juga ada konsekuensinya. Karena menyediakan perspektif tertentu, itu sama saja dengan melupakan perspektif atau pandangan lain. Karena itu, framing dapat menjadi senjata yang ampuh untuk menghapus kesalahan atau menuduhkan kesalahan kepada pihak lain. Dengan memberi batasan tertentu, media secara tidak sadar dapat mengukuhkan kesalahan kepada pihak lain.

Framing menentukan bagaimana sebuah peristiwa didefinisikan, sekaligus menentukan apakah sebuah peristiwa dianggap sebagai masalah sosial (social problem) ataukah tidak. Karena itu, framing selalu berhubungan dengan pendapat umum. Bagaimana tanggapan khalayak dan bagaimana penyikapan atas suatu peristiwa, di antaranya tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan dimaknai.20

b. Menggiring Khalayak pada Ingatan Tertentu

Media adalah tempat di mana khalayak memeroleh infromasi mengenai realitas politik dan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh pada bagaiman individu menafsirkan peristiwa tersebut. Apa yang khalayak tahu tentang realitas, sedikit banyak tergantung pada media menggambarkannya. Dalam peristiwa yang

20

dramatis, dan digambarkan oleh media secara dramatis pula, bahkan memengaruhi pandangan khalayak tentang realitas.

Sebuah ikon dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan citra yang timbul dari peristiwa yang diberitakan oleh media dan tertanam kuat dalam benak publik. Sebuah ikon, seperti yang dikatakan oleh W. Lance Bennet dan Regina G. Lawrence, timbul ketika berita diarahkan pada peristiwa dramatik. Umumnya, ikon ini berupa gambar atau foto yang menggambarkan secara dramatis suatu peristiwa.

Meskipun ikon yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda dalam kurun waktu yang berbeda. Namun, ikon menggambarkan orientasi nilai dan pandangan saat itu. Sebuah ikon bisa jadi pertama kalinya hanya menggambarkan peristiwa, tetapi ia bisa saja mendapatkan penafsiran yang sama sekali berbeda. Ikon membantu wartawan menyediakan bahan; bagaimana peristiwa harus dilihat, sekaligus membentuk dan memperkuat cerita atas peristiwa.21

Dokumen terkait