• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis adalah sebuah pengkajian yang dilakukan terhadap suatu penelitian secara mendalam. Kata analisis berasal dari bahasa Inggris: analisys, yaitu menganalisa, perancang alur sehingga menjadi mudah dan jelas untuk dibuat maupun dibaca, dapat diartikan sebagai menganalisa, pemisahan, dan pemeriksaan yang teliti.13

Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai macam bagiannya dan penelaahan bagian tadi serta hubungan anatara bagian untuk memperoleh pemahaman dan pengertian arti keseluruhan.14 Di dalam penelitian dikenal dengan istilah analisis. Menurut Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, mereka menganggap bahwa analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadisecara kebersamaan yaitu: reduksi data, yaitu proses penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verivikasi. Pertama, reduksi data yaitu proses pemilahan,

12

Ibid, h. 22-23

13

Jhon M.Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,1990), h. 28.

14

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 2005), Ed.3 Cet.Ke-3, h. 43.

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari temuan-temuan di lapangan. Kedua, penyajian data yaitu menyajikan data dari sekumpulan temuan-temuan yang sekiranya dapat memberikan kemungkinan menarik suatu kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, penarikan kesimpulan atau verivikasi, yaitu dari data-data yang telah terkumpul mulai dicari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat dan proporsinya, sehingga semua itu dapat ditarik kesimpulan.15

2. Pengertian Framing

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sudibyo, 1999a:23). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan prilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.16

Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjokan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut.17

15

Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif. Penerjemah TjetjepRohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), h. 16-19.

16

Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), h. 161-162.

17

Menurut G.J. Aditjondro (Sudibyo, 1999b:165) framing sebagai metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.18

Dalam ranah studi komunikasi, framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktifitas komunikasi. Konsep tentang framing bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kltural yang melingkupinya.19

Beberapa pakar mendefinisikan framing, sebuat saja di antaranya, Robert N. Entman, William Gamson, dan Todd Gitlin. Menurut Robert N. Entman, framing

merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.20

Sedangkan menurut William A. Gamson, framing merupakan cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa serta menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu

18 Ibid, h. 165. 19 Ibid, h. 162. 20 Ibid, h. 67.

semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.21

Sementara menurut Todd Gitlin, framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.22

3. Pengertian Analisis Framing

Analisis framing sebagai metode analisis isi media adalah barang baru seperti yang penulis telah jabarkan di atas. Ia (analisis framing) berkembang pesat dari pandangan kaum konstruksionis. Namun meski begitu, analisis framing sebagai suatu metode analisis teks banyak dipengaruhi oleh teori sosiologi dan psikologi.23

Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.24 Analisis framing pada dasarnya adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. Analisis

21 Ibid. 22 Ibid. 23

Drs. Alex Sobur, M. Si, Analisis Teks Mudia: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 162.

24

framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas.25

Proses pembentukan konstruksi realitas oleh media tadi, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Penonjolan tersebut akan membuat penerima informasi melihat pesan dengan lebih tajam serta mudah diingat dalam ingatan penerima pesan.26

Salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standar kebenaran, matriks objektivitas, serta batasan-batasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita. Dalam merekonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi skemata interpretasi (schemata of interpretation). Dengan skemata ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyeleksi sumber berita, menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau perspektif yang muncul dalam wacana media.27

Meski begitu, framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan) saja, melainkan juga berhubungan dengan proses produksi berita-kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja, dan aktifitas masing-masing. Bisa jadi institusi media itu yang mengontrol dalam pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa dalam kemasan tertentu, atau bisa juga

25

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 10.

26

Ibid, h. 66.

27

Drs. Alex Sobur, M. Si, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 166.

terjadi wartawan sebagai bagian dari anggota komunitas menyerap nilai-nilai yang ada dalam komunitasnya.28

Menurut Fishman, ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi dalam berita dilihat: pertama, sering disebut sebagai pandangan seleksi berita (selectivity of news). Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan mana yang tidak. Setelah berita itu masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan bagian mana yang perlu ditambah. Kedua, adalah pendekatan pembentukan berita (creation of news). Dalam perspektif ini, peristiwa itu bukan diseleksi, melainkan sebaliknya, dibentuk. Berita dihasilkan dari pengetahuan dan pikiran, bukan karena ada realitas objektif yang berada di luar, melainkan karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna.29

4. Model Framing

a. Murray Edelman 1. Kategorisasi

Menurut Edelman, apa yang kita ketahui tentang dunia tergantung pada bagaimana kita membingkai dan mengkonstruksi/menafsirkan realitas. Realitas

28

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 99.

29

yang sama bisa jadi akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau dikonstruksi dengan cara yang berbeda.30

Edelman mensejajarkan framing dengan kategorisasi. Kategorisasi menurut pandangan Edelman, merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategori bisa membantu manusia untuk memahami realitas yang beragam menjadi bermakna, namun kategorisasi bisa juga berarti penyederhanaan: realitas yang kompleks dan berdimensi dapat dipahami atau ditekankan pada suatu sisi sehingga dimensi lain dalam suatu peristiwa atau fakta tidak terliput.31

Dalam memengaruhi kesadaran publik, kategorisasi lebih halus dibanding propaganda. Propaganda perang seperti “pembasmian etnis” atau “agresi” berbeda dengan pemakaian kategorisasi seperti “kebijakan luar negeri” atau “tindakan militer”. Pemakaian kata-kata tersebut tampak terlihat halus dibandingkan dengan propaganda yang terlihat jelas dari komunikator.32

Penggunaan bahasa yang dilakukan media jangan diartikan sebagai sebuah teknis dari berita saja, karena dalam bahasa terdapat sebuah kekuatan untuk menggiring opini khalayak. Penggunaan bahasa tertentu dalam sebuah pemberitaan dipakai dalam situasi yang berbeda. Meskipun kita mungkin melihat bahwa fungsi bahasa secara primer adalah sebagai alat untuk membuat pernyataan benar atau salah atau sebagai instrumen komunikasi ide. Jakobson (1960) mengidentifikasi adanya fungsi pengaturan (atau „konotatif‟), emotif, estetis (puitis), dan metabahasa yang juga layak mendapatkan perhatian.33

30 Ibid, h. 155. 31 Ibid, h. 156. 32 Ibid, h. 157. 33

John Hartley, Communication, Cultural, and Media Studies, Penerjemah: Kartika Wijayanti, (Yogyakarta: Jalasutra Anggota IKAPI, 2010), cet. 1, h. 11.

Salah satu aspek kategorisasi penting dalam pemberitaan adalah rubrikasi. Bagaimana suatu peristiwa dikategorisasikan dalam rubrik-rubrik tertentu. Rubrikasi ini menentukan bagaimana peristiwa dan fenomena harus dijelaskan. Peristiwa yang harusnya dikategorisasikan dalam satu kasus, tetapi karena masuk dalam rubrik tertentu, akhirnya dikategorisasikan dalam dimensi tertentu. Inilah yang menjadi kesalahan rubrikasi yang kerap dilakukan media.34

Tabel 2

Pola Kategorisasi

Konsep Kategorisasi

Frame Isi berita dalam sebuah pemberitaan di media

Pihak Kita Kategorisasi yang dilakukan media dalam sebuah pemberitaan

Pihak Mereka Hasil kategorisasi

Dalam tabel di atas diterangkan bahwa media menjadikan sebuah pengalaman, latar belakang, dan ideologi sebagai sebuah hal yang wajar dalam sebuah pemberitaan. Pemakaian bahasa tertentu menjadi kekuatan dalam kategorisasi untuk menggiring opini khalayak.

Salah satu gagasan utama dari Edelman adalah dapat mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian mereka akan suatu isu. Pandangan tentang suatu peristiwa karenanya, hanya dibatasi dengan perdebatan yang telah ditentukan dalam kategorisasi tersebut. Karena itu, dalam melihat suatu peristiwa, elemen penting adalah bagaimana orang membuat kategorisasi tersebut.

34

Kategorisasi bukan hanya persoalan teknis karena ia kemudian mengarahkan pada hendak ke mana peristiwa dijelaskan dan diarahkan. Kategorisasi tadi akhirnya ditindaklanjuti dengan mengarahkan pada kategori yang dimaksud. Ini berarti narasumber yang diwawancarai, pertanyaan yang diajukan, kutipan yang diambil, bagian mana yang dibuang, semua diarahkan pada kategori yang dibuat.35

2. Kategorisasi dan Ideologi

Dalam pandangan Edelman, kategorisasi berhubungan dengan ideologi. Pemakaian kategorisasi, seperti regulasi, pertahanan, pemilu, dan sebagainya, hendaklah tidak dipahami semata sebagai persoalan teknis kebahasaan, tetapi harus dipahami sebagai masalah ideologi.36

Ada banyak definisi mengenai ideologi, salah satunya Raymond William dengan tiga gagasannya mengenai ideologi. Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Kedua, sebuah sistem kepercayaan palsu atau ide palsu, ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide, ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.37

Edelman yakin, khalayak hidup dalam dunia citra. Bahasa politik yang dipakai dan dikomunikasikan pada khalayak lewat media memengaruhi pandangan khalayak dalam memandang realitas. Kata-kata tertentu memengaruhi seseorang

35 Ibid, h. 159-160. 36 Ibid, h. 166. 37

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta, 2011), h. 87-92.

dicitrakan dan pada akhirnya membentuk pendapat umum mengenai suatu peristiwa atau masalah.38

Dari penjabaran mengenai model framing di atas, maka penulis memutuskan untuk menggunakan model Murray Edelman.

Model ini memiliki pandangan mengenai kategorisasi dan rubrikasi serta kategorisasi dan ideologi.

Alasan mengapa penulis mengambil model Murray Edelman adalah:

a. Model ini memiliki gagasan mengenai kesalahan kategorisasi dan rubrikasi pada berita yang sesuai dengan fokus penelitian penulis. b. Model Murray Edelman sangat memudahkan penulis untuk meneliti

frame media.

38

BAB III