• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPUBLIKA membahas Frame Harian Kompas dan Republika terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Fungsi Media Massa

Sebelum penulis membahas fungsi media massa, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini perlu dilakukan karena antara media massa dengan komunikasi massa mempunyai hubungan yang saling terkait.

Menurut pandangan dari para ahli komunikasi, komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang disampaikan melalui media massa.

Media massa meliputi surat kabar dan majalah yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Dengan demikian surat kabar seperti Harian Kompas dan Republika termasuk dalam ruang lingkup media massa,

karena mempunyai sirkulasi yang luas dan ditujukan kepada masyarakat umum. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media.27 Media massa sendiri merupakan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki serangkain kegiatan produksi budaya dan informasi yang dilaksanakan oleh berbagai tipe komunikasi massa untuk disalurkan kepada khalayak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28

27

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.79.

28

Vincent Moscow, The Political Economy of Communication (London: Sage Publications, 1996) h. 150.

Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakeristik komunikasi massa. Karakteristik atau ciri-ciri komunikasi massa antara lain sebagai berikut:29

1. Komunikasi massa bersifat umum.

Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang membedakan media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, handphone misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan kepada orang tertentu.

2. Komunikator pada komunikasi massa bersifat melembaga.

Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Artinya di dalam media tersebut terdapat sekumpulan orang yang melakukan kegiatan seperti pengumpulan, pengelolaan, sampai penyajian informasi.

3. Komunikasi massa berlangsung satu arah.

Komunikasi yang terjadi berlangsung satu arah (one way communication). Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan

kepada komunikan. Dengan kata lain, wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan dari pembacanya terhadap pesan atau berita yang disampaikannya. Namun kalaupun terjadi umpan balik atau reaksi biasanya memerlukan waktu yang tertunda atau disebut juga arus balik

29

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 22-25.

tertunda (delayed feedback), contohnya dalam surat kabar umpan balik

berlangsung melalui surat pembaca.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan

Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Acara yang ditayangkan televisi, akan ditonton oleh berjuta-juta pemirsa secara bersamaan merupakan salah satu contohnya. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.

Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal (anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda

dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya.

Menurut Joseph R. Domminick dalam Onong Uchjana Effendy30, ada dua tahap untuk memperoleh kejelasan mengenai fungsi komunikasi massa atau media massa. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seorang sosiolog dan

meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditunjukan oleh media massa bagi keseluruhan masyarakat (pendekatan ini kadang-kadang disebut makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat pada isi media.

30

Kedua, sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada

khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini dinamakan mikroanalisis).

Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara yang tidak diduga oleh komunikator.

Berikut merupakan fungsi media massa atau komunikasi massa menurut Joseph R. Dominick:31

a. Pengawasan (Surveillance)

Media massa menyampaikan pesan-pesannya, baik dalam bentuk informasi maupun berita secara terus menerus untuk membuat masyarakat menyadari perkembangan di dalam lingkungannya. Fungsi pengawasan ini terbagi menjadi dua.

Pertama, Pengawasan Peringatan (warning or beware

surveillance), pengawasan ini terjadi jika media menyampaikan informasi

kepada kita mengenai ancaman angin topan, letusan gunung merapi, kondisi ekonomi yang mengalami depresi, meningkatnya inflasi atau bahaya serangan militer.

Kedua, Pengawasan Instrumental (instrumental surveillance), yaitu

berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berita tentang harga barang kebutuhan pokok di pasar, film

31

yang dipertunjukan di bioskop, produk-produk terbaru adalah contoh pengawasan instrumental.

b. Interpretasi (interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi/tafsiran mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh dari fungsi ini adalah tajuk rencana/editorial surat kabar.

c. Hubungan (linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Contohnya hubungan para elit partai politik dengan pengikut-pengikutnya ketika membaca berita surat kabar mengenai partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu.

d. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok.

e. Hiburan (entertainment)

Media massa menghadirkan tayangan-tayangan yang bersifat menghibur bagi pembacanya, yang berguna untuk melepaskan penat dari aktifitas keseharian maupun setelah melihat berita-berita berat.

Dari uraian di atas, fungsi-fungsi komunikasi massa atau media massa yang begitu beragam dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yakni:

menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to

entertaint), mempengaruhi (to influence).32

Media massa yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah surat kabar. Kurniawan Junaedhi menjabarkan:

Surat kabar mempunyai arti koran. Berupa harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 sampai 9 kolom. Isinya mengenai informasi sehari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar berita baru. Koran menyebabkan terjadinya pendekatan antara masyarakat dengan nilai-nilai baru.33

Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian ialah Surat Kabar Harian Kompas dan Republika. Kompas dan Republika terbit setiap hari dengan

jenis kertas gambar kulit dan jenis kertas isinya sama. Di samping itu, Kompas dan Republika menggunakan format 7 kolom, dan menampilkan informasi sehari-hari. Dengan demikian, Kompas dan Republika dapat digolongkan sebagai surat kabar harian.

Penelitian ini berupaya melihat bagaimana konstruksi yang dilakukan oleh Harian Kompas dan Republika di dalam pemberitaannya. Menurut Charnley dan James M. Neal dalam AS. Haris Sumadirian, menjelaskan bahwa berita adalah laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru, yang penting disampaikan kepada khalayak.34

Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S. Maulsby, dan Eric C. Hepwood, sebagaimana dikutip Djafar H. Assegaff, sama-sama menekankan unsur “menarik perhatian” dari definisi berita yang mereka

32

Ibid, hal. 31. 33

Kuniawan Junaedhi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985), h. 13.

34

AS. Haris Sumadirian, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan Praktis Jurnalistik Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 64.

buat, “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian khalayak pembaca,”35

B. Konstruksi Realitas Sosial

Gagasan teori konstruksi realitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality36, atau bila diterjemahkan sebagai “pembentukan

realitas secara sosial”. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.37

Artinya, dalam konteks kajian skripsi ini, realitas yang sesungguhnya mengenai mengenai Baitul Muslimin Indonesia tidak secara linear sesuai dengan realitas simbolik yang terdapat dalam isi pemberitaan media, yang meliput peristiwa tersebut dari hari ke hari. Hal ini karena sebagai “golongan sosial” tertentu media juga memiliki kepentingan tersendiri.

Menurut Robyn Penman, pendekatan Konstruksionime Sosial memiliki asumsi-asumsi seperti: (1) tindakan komunikatif yang bersifat sukarela; (2) pengetahuan adalah sebuah produk sosial; (3) pengetahuan bersifat kontekstual; (4) teori-teori menciptakan dunia; (5) pengetahuan sarat dengan nilai.38

35

DJafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 5.

36

Lihat Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.

37

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 175-176.

38

Lihat Robin Pennman, Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress,

Selanjutnya Penman menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat dari perpektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu bersifat konstitutif, artinya, komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu bersifat kontekstual, artinya, komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam, artinya, komunikasi itu terjadi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu bersifat tidak lengkap, artinya, komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh karenanya, selalu berjalan dan berubah.39

Pemikiran dasar Konstruksionisme Sosial oleh Berger dilukiskan dengan latihan para siswa di kelas. Setiap siswa diperintahkan membuat satu objek benda tertentu yang berasal dari kayu, logam plastik, kain, dan bahan lainnya. Setiap objek diletakan di atas meja. Seorang siswa mungkin mengelompokkan benda-benda yang terbuat dari kayu dalam satu kelompok, benda-benda-benda-benda plastik dalam kelompok lain, begitu juga benda-benda logam, benda-benda kain, dan seterusnya dalam kelompok yang berbeda.40

Siswa lain yang juga diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan benda-benda berdasarkan bentuknya, benda-benda yang berbentuk lingkaran dalam satu kelompok, benda-benda yang berbentuk segitiga dalam kelompok lain, begitu seterusnya. Selanjutnya, siswa yang diminta untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan berdasarkan kegunaannya, orang lain menyortir atas dasar warna, dan seterusnya. Dengan demikian, akan terdapat tak terhingga banyaknya cara seseorang dalam memahami setiap objek.

39

Ibid. 40

Kita dapat melihat “bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada realitas sosial yang memegang peranan.41

Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini

terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan

simbolis atau intersubjektif.42

Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia

objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.43

Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan

Luckmann44 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan

41 Ibid. 42

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.202.

43

Ibid, h. 192. 44

interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas.

Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia

intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial

berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.45

Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi

pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.46

Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu, ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru di dalam dunia objektif masyarakatnya.47

Dari uraian di atas kemudian timbul pertanyaan: bagaimana media massa mengkonstruksikan realitas? Seperti diketahui, hasil kerja media massa diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa

45

Lihat Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.194. 46

Ibid, 197-198. 47

mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks tersebut.

Menurut M. Wonohitho, “bagi pers, bahasa merupakan sine quanon: tanpa bahasa, pers tidak mungkin dapat bekerja. Sebuah bahasalah yang kita suruh melukiskan pada halaman surat kabar segala informasi, bimbingan serta hiburan yang kita sampaikan kepada khalayak ramai”.48

Melalui pernyataan ini, dengan jelas terlihat pentingnya bahasa bagi kalangan pers. Bahasa menjadi elemen utama dalam membuat suatu produk jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers, dapat dikomunikasikan.

Bahkan Wonohito memberikan peringatan bagi kalangan pers. Katanya, “apabila wartawan tidak tepat menggunakan bahasa, apakah dapat diharapkan, muatan surat kabar yang dibaca orang banyak benar-benar berisi pesan yang hendak disampaikan?”49

Mengenai pentingnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualitas dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.50

Menurut Ibnu Hamad, bahasa terdiri dari: “Bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (bukan kata-kata dalam bentuk gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai

48

Almanak Pers Antara 1976 (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), h. 45. 49

Ibid. 50

Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohamad Qodari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.69.

Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya

elemen utama berkomunikasi, diungkapkan Ibnu Hamad tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan dimunculkan di benak khalayak, terutama dalam media massa.

Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Bahasa dengan unsur utama kata, memiliki kekuatan yang besar dalam berinteraksi antar komunkitas sosial. Bahasa adalah cermin budaya masyarakat pemakainya. Hubungan antara realitas, bahasa dan budaya oleh Christian dan Christian digambarkan sebagai berikut:

(Christian and Christian, 1996)51

Di dalam tulisannya tentang konstruksi sosial media massa, Burhan Bungin telah merevisi (mengoreksi kelemahan) teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger, dengan melihat variabel atau fenomena media massa yang substansif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.52 Berikut proses konstruksi sosial media media massa menurut Burhan Bungin.53

51

Ibid, 71. 52

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 203 53

Ibid, h. 204

Language

Reality Creates Creates Creates Reality Culture

Menurut Burhan Bungin, proses kelahiran konstruksi sosial media massa berlangsung dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut54:

1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi

Isu-isu penting yang setiap hari menjadi fokus media massa, berhubungan dengan tiga hal, yaitu kedudukan (tahta), harta, dan perempuan. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang, yaitu persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas, maupun ketakutan/kengerian.

Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial55, yaitu: (1) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Artinya, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk dijadikan sebagai 54 Ibid, h. 204 55 Ibid, h. 205-206. P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n Eksternalisasi Objektivasi Internalisasi

Source Message Channel Receiver Effects M E D I A M A S S A Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat - Lebih Luas - Sebaran Merata

- Membentuk Opini Massa

- Massa Cenderung Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori

- Opini Massa Cenderung Sinis

- Objektif - Subjektif - Intersubjektif

mesin penciptaan uang/pelipatgandaan modal. (2) Keberpihakan semu kepada masyarakat. Artinya, bersikap seolah-olah simpati, empati, dan

berbagai partisipasi kepada masyarakat. (3) Keberpihakan kepada kepentingan umum. Artinya sebenarnya adalah visi setiap media massa,

namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

2. Tahap Sebaran Konstruksi

Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.56

3. Pembentukan Konstruksi Realitas

a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas

Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan (penceritaan) telah sampai pada pembaca dan pemirsanya (penonton), yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.57

b. Pembentukan Konstruksi Citra

Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra

56

Ibid, h. 208. 57

yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; (1) model good news (story) dan (2) model bad news (story).58

4. Tahap Konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa (penonton) memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca (penonton), tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.59

C. Ideologi Media

Kata ideologi banyak dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda, dan tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Kita tidak bisa berbicara tentang ideologi tanpa menjabarkan dulu apa yang kita maksud. Bila kita ingin merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham terlebih dulu dalam arti apa ideologi dipakai olehnya. Ini dilakukan supaya terjadi saling kesepahaman.

Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi ke dalam tiga arti.60 Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok

atau kelas tertentu. Definisi ini banyak digunakan oleh kalangan psikologi yang

58 Ibid, h. 209. 59 Ibid, h. 212. 60

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 87-92.

melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren/saling berhubungan.

Kedua, ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu. Ideologi dalam

pengertian ini adalah seperangkat kategori di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol dengan ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, maka akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen, mulai dari pendidikan, politik sampai media massa.

Ketiga, Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide.

Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.

Franz Magnis Suseno mengartikan ideologi: (1) ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa). (2) Ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. (3) Ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam filsafat sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis. 61

61

Untuk mengetahui bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan, teori Gramsci tentang hegemoni layak menjadi acuan.

Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam

Dokumen terkait