• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi realitas di media massa ( analisis framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi realitas di media massa ( analisis framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika )"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL

MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN

REPUBLIKA)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA

(ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL

MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN

REPUBLIKA)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I.)

Oleh

Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

Di Bawah Bimbingan

Dra. Armawati Arbi, M. Si

NIP. 150246288

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 10 Desember 2008

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Sekretaris

Drs. Study Rizal LK, MA Umi Musyarofah, MA

NIP. 150 262 876 NIP. 150 281 980

Penguji I Penguji II

Dr. Murodi, MA Drs. Jumroni, M.Si

NIP. 150 254 102 NIP. 150 254 959

Pembimbing,

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli

penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Ciputat, 17 November 2008

(5)

ABSTRAK Donie Kadewandana

NIM. 104051001897

102+vii hal, 7 Tabel, 9 Gambar/Bagan; 2008

KONSTRUKSI REALITAS DI MEDIA MASSA (ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P

DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA)

Pembentukan organisasi sayap Baitul Muslimin Indonesia di dalam tubuh PDI-P, banyak mendapat respon dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan langkah progresif karena dapat menghapus dikotomi Islam dan nasionalis. Ada juga yang menganggap bila pembentukan Baitul Muslimin Indonesia merupakan strategi PDI-P untuk memperbaiki citra dan mendongkrak suara dalam pemilihan umum (Pemilu) 2009. Opini mengenai pembentukan dan citra Baitul Muslimin Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari media massa. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini publik pada suatu peristiwa.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P; (2) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika.

Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi realitas sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, serta teori konstruksi sosial media massa Burhan Bungin. Kemudian dikaitkan dengan teori framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Metodologi penelitian dalam skripsi ini antara lain menggunakan: paradigma konstruksionis, pendekatan kualitatif, sifat penelitian eksplanatif, dan analisis data menggunakan framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamiiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat

serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok

teladan sepanjang zaman, beserta para sahabat dan pengikutnya, yang telah

mengantar umat manusia keluar dari masa kegelapan kepada zaman yang dihiasi

dengan ilmu seperti saat ini.

Adapun tugas akhir yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa

(Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di

Harian Kompas dan Republika)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya tugas akhir ini karena tak lepas dari bantuan dan

dorongan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Karena itu pada

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Murodi, MA., selaku Dekan

Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Arief Subhan, M.A., selaku Pudek

I, Drs. H. Mahmud Djalal, MA., selaku Pudek II dan Drs. Study Rizal

(8)

2. Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, dan Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi.

3. Dra. Armawati Arbi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, baik dari segi

keilmuan maupun tulisan. Semoga Ibu selalu diberikan limpahan karunia

dan nikmat serta senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.

4. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah

memberikan bantuan keilmuan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa selalu memberikan kemudahan,

limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada mereka.

5. Orang tuaku terkasih, Ibunda Mariam Muslihatun, yang telah memberikan

dukungan moril, materil serta doa dan keridhoannya yang tak terhitung

besarnya. Kepada kakakku tersayang Lindawati beserta sang suami Bang

Buyung, dan adikku Adrian yang telah mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT mengampuni segala

kesalahannya, memberikan kesehatan, umur yang bermanfaat, serta

senantiasa mendapat perlindungan dari Allah SWT.

6. Meisya Dwi Putri, yang telah mendukung dan membantu penulis dalam

mencari data. Terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan.

Akhirnya kita bisa wisuda ke-74 di Auditorium Utama UIN Jakarta pada

(9)

7. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., dan Istri, Ibu Ipah Fariah, yang telah

menyewakan tempat kos (Wisma Sakina) yang nyaman.

8. Rubrik Deteksi Harian Indopos, Pusat Penelitian Kompas, Womens

International Club (WIC), Orbit The Habibie Center, yang telah

memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk berkarya.

9. Harian Kompas dan Republika, tempat penulis melakukan penelitian

untuk skripsi ini.

10.Seluruh mahasiswa KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI E. Untuk

Maheso, Odih, Hasan, Irfanuddin, Sholeha, Husnul, Ranita (Akhirnya kita

bisa wisuda ke-74 bersama-sama). Serta teman-temanku Hanif, Sita,

Renal, Afif, Daraz, dan nama-nama lain yang tidak bisa disebutkan satu

persatu. Ini baru langkah awal dari perjalanan kita, teruslah berjuang

untuk kehidupan dan kemanusiaan. Besarkanlah diri kita, keluarga kita,

dan bangsa kita!

Akhirnya teriring salam dan doa, penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amien.

Jakarta, 17 November 2008

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR/ BAGAN... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Kajian Pustaka... 15

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Fungsi Media Massa ... 18

B. Konstruksi Realitas Sosial ... 24

C. Ideologi Media ... 32

D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) ... 36

E. Kerangka Pemikiran... 49

BAB III PROFIL MEDIA CETAK A. Harian Kompas... 50

1. Sejarah Perusahaan... 50

2. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Dasar Kompas... 61

3. Profil Pembaca ... 64

B. Harian Republika... 65

1. Sejarah Perusahaan... 65

2. Visi dan Misi Republika... 67

3. Profil Pembaca ... 69

(11)

1...F rame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan

Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)... 73 2...F

rame Republika: Dikotomi Islam dan Nasionalis Harus

Dihapuskan... 78 3...P

erbandingan Frame... 82 B. Isu/Peristiwa 2: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap

PDI-P... 85 1...F

rame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung

Kemenangan PDI-P dalam pemilu... 86 2...F

rame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra Lewat Baitul Muslimin Indonesia... 89 3...P

erbandingan Frame... 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96 B. Saran-saran... 97

DAFTAR PUSTAKA... 99 LAMPIRAN

(12)

HALAMAN DAFTAR TABEL

TABEL

Tabel 1: Struktur Wacana dan Perangkat Framing... 39 Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis

(Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan). ... 78 Tabel 3: Frame Republika: Dikotomi Islam & Nasionalis Harus Dihapuskan . 82 Tabel 4: Dikotomi Islam dan Nasionalis: Perbandingan Frame Kompas dan

Republika... 84 Tabel 5: Frame Kompas: Baitul Muslimin Indonesia Mendukung

Kemenangan PDI dalam Pemilu... 89 Tabel 6: Frame Republika: Untuk Menangkan Pemilu, PDI-P Perbaiki Citra

Lewat Baitul Muslimin Indonesia ... 93 Tabel 7: Dukungan Baitul Muslimin Indonesia terhadap PDI-P:

(13)

HALAMAN DAFTAR GAMBAR/ BAGAN

GAMBAR/ BAGAN

Gambar/ Bagan 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya ... 29

Gambar/ Bagan 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa ... 30

Gambar/ Bagan 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese ... 35

Gambar/ Bagan 4: Profil Pembaca Kompas... 64

Gambar/ Bagan 5: Jenis Kelamin Pembaca Republika... 69

Gambar/ Bagan 6: Mayoritas Pembaca Republika... 69

Gambar/ Bagan 7: Profesi Pembaca Republika... 70

Gambar/ Bagan 8: Sebaran Pembaca Republika... 70

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009, beragam organisasi sayap

partai mulai banyak didirikan oleh partai politik. Pendirian organisasi tersebut

tidak hanya dilakukan oleh partai politik lama, partai politik baru pun banyak

yang ikut mendirikan. Bentuk organisasi sayap partai yang bermunculan cukup

beragam, antara lain ada yang bercorak keagamaan, kepemudaan, perempuan,

profesi, dan lain sebagainya.

Maraknya pembentukan organisasi sayap partai rupanya sejalan dengan

adanya peningkatan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009. Dari data Komisi

Pemilihan Umum (KPU) Pusat1, partai politik yang telah terdaftar dan terverifikasi hingga akhir batas waktu berjumlah 34 partai. Serta ditambah 6 partai

lokal Aceh dan 4 partai lama yang gugatannya dikabulkan oleh MA dan PTUN

terkait masalah electoral threshold dalam Pemilu 2004. Dengan demikian total

partai politik peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 partai, dengan rincian 38 partai

nasional dan 6 partai lokal.

Pendirian organisasi sayap partai terakhir belakangan ini sedang menjadi

trend di kancah perpolitikan nasional. Hal ini dimungkinkan karena eksistensi

organisasi sayap partai politik di Indonesia secara legal telah diakui dan dijamin

1

(15)

negara melalui UU Partai Politik No. 2 tahun 2008 tentang partai politik.2 Di dalam pasal 12 huruf (j) UU tersebut dinyatakan, bahwa salah satu hak partai

politik adalah “membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”.3 Pengakuan dan jaminan yuridis ini merupakan dasar sekaligus peluang bagi

pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh segmen masyarakat.

Menurut Abdul Khaliq Ahmad, organisasi sayap partai memiliki fungsi

dan peran yang penting bagi partai politik dalam upaya sosialisasi dan diseminasi

program kebijakan partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan

demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan memiliki organisasi

sayap yang beragam, partai politik akan diuntungkan karena bisa menjadikannya

sebagai instrumen pendukung untuk menarik simpati dan dukungan yang

sebesar-besarnya dari segenap lapisan masyarakat.4

Salah satu partai politik yang giat membentuk organisasi sayap menjelang

Pemilu 2009 adalah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P). PDI-P yang

merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga tahun 2008 ini telah

mendirikan beragam organisasi sayap partai. Sejauh ini tercatat ada lima

organisasi sayap yang dimiliki oleh PDI-P, antara lain Banteng Muda Indonesia

(BMI), Baitul Muslimin Indonesia, Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI), Taruna

Merah Putih (TMP) dan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem).

Dari beragam organisasi sayap yang dimiliki PDI-P tersebut, yang

menurut penulis menarik untuk dicermati dan diteliti adalah Baitul Muslimin

Indonesia. Bila melihat AD/ART PDI-P, disebutkan bahwa PDI-P merupakan

2

Undang-undang Partai Politik: UU RI Nomor 2 Tahun 2008, cet. Ke-2 (Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h.1.

3

Ibid, h. 8. 4

(16)

partai yang berideologi nasionalis, yakni partai yang terbuka untuk semua

golongan dan tidak disebutkan bercorak keagamaan. Namun tanpa diduga pada

tahun 2007, PDI-P mendirikan organisasi sayap partai yang bercorak keagamaan,

yaitu Baitul Muslimin Indonesia.

Ide awal pembentukan Baitul Muslimin Indonesia diprakarsai oleh Ketua

Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P, Taufik Kiemas. Kemudian gagasan ini baru

secara formal diumumkan pada saat acara buka puasa bersama di kediaman

Megawati Soekarno Putri pada hari kedua ramadhan 1427 H. Dalam acara

tersebut hadir Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin,

yang tampil memberikan tausiyah. Kemudian hadir pula Sekjen PDI-P Pramono

Anung, Hamka Haq, Adang Ruchiyatna, Daryatmo dan tokoh PDI-P lainnya.5 Setelah gagasan digulirkan, lalu PDI-P membentuk tim formatur yang

bertugas untuk menuntaskan berdirinya Baitul Muslimin Indonesia. Tim formatur

terdiri atas tujuh orang, diketuai oleh Hamka Haq. Sementara para anggotanya

adalah Arif Budimanta Sebayang, Irmadi Lubis, Said Abdullah, Zainun Ahmadi,

Ahmad Baskara dan Nova Andika.

Selanjutnya tim formatur dipandu oleh Taufik Kiemas serta seorang tokoh

non-Islam, Sabam Sirait melakukan konsultasi dan pendekatan kepada berbagai

organisasi dan tokoh Islam dalam rangka mematangkan pembentukan Baitul

Muslimin Indonesia. Konsultasi dilakukan oleh tim formatur dengan menghadap

langsung para ketua umum organisasi Islam, di antaranya KH. Hasyim Muzadi

5

(17)

(PBNU), Asri Harahap (KAHMI), KH. Said Agil Siradj, Syafi’i Maarif dan Akbar

Tanjung.6

Kemudian organisasi ini dideklarasikan pada 29 Maret 2007, dengan nama

Baitul Muslimin Indonesia. Nama “Baitul Muslimin”, yang berarti rumah bagi

kaum muslim, awalnya diusulkan oleh Taufik Kiemas setelah didiskusikan oleh

H. Cholid Ghozali dengan H. Erwin Moeslimin Singajuru melalui konsultasi

kepada Din Syamsudin. Lambang organisasi ini menggambarkan siluet dan dua

kubah masjid di mana Bung Karno menjadi arsiteknya pada 1938 di Bengkulu.

Lambang ini mengabadikan “rasa cinta Bung Karno terhadap Islam”, sekaligus

mencerminkan nuansa Islam pada organisasi ini.

Setelah terbentuk, akhirnya pengurus Baitul Muslimin Indonesia dilantik

oleh ketua umum PDI-P Megawati Soekarno Putri pada 5 Agustus 2007 di kantor

pusat DPP PDI-P Lenteng Agung. Yang menjabat sebagai ketua Baitul Muslimin

adalah Hamka Haq, yang juga Ketua Bidang kerohanian DPP PDI-P sekaligus

Guru Besar UIN Alauddin Makassar. Hadir dalam acara tersebut Mantan Ketua

Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, dan Ketua PBNU, Said Agil Siradj.7 Menurut Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Baitul Muslimin, Cholid

Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia dibentuk atas dua tujuan strategis, internal

dan eksternal. Secara internal, karena Baitul Muslimin Indonesia adalah sayap

PDI-P maka tujuan organisasi ini harus melekat secara inheren sekaligus sejalan

dengan tujuan PDI-P. Sebagai konsekuensi logisnya, ciri utama organisasi ini

harus mampu bertumpu kepada penghayatan terhadap wawasan kebangsaan, sense

of nationalism yang tinggi, berasas Pancasila, penghayatan terhadap pluralisme

6 Ibid 7

(18)

dan cinta kepada tanah air, yang ujungnya bermuara kepada utuhnya Negara

Kesatuan Republik Indonesia.8

Dalam konteks ini, menjadi kewajiban Baitul Muslimin Indonesia untuk

dapat memaknai asas-asas yang di atas sesuai dengan cara pandang yang religius

dan Islami. Sejalan dengan ini, Baitul Muslimin Indonesia dituntut untuk

meningkatkan kualitas keIslaman bagi semua pemeluk Islam di dalam tubuh

PDI-P, sehingga pada gilirannya partai ini harus dapat dicitrakan sebagai partai

kebangsaan yang religius.

Sedangkan tujuan eksternalnya, Baitul Muslimin Indonesia harus sejalan

dengan tujuan PDI-P. Semua tujuan utama Baitul Muslimin Indonesia sebagai

sayap Islam PDI-P harus tercermin pada pelaksanaan tugas, kewajiban,

gerakan-gerakan dan kiat-kiat yang semuanya bernuansa Islami seiring dengan asas

perjuangan PDI-P.

Sebagai contoh, manakala PDI-P memandang bahwa memenangkan

Pemilu dan Pilpres 2009 merupakan tujuan strategisnya, maka Baitul Muslimin

Indonesia harus “all out” dalam mendukung kemenangan PDI-P itu. Dalam

tingkat yang paling praktis, dengan tujuan eksternalnya ini Baitul Muslimin

Indonesia harus dapat merangkul semua eksponen Islam yang selama ini berada di

luar PDI-P untuk bersama-sama memberikan andil bagi kemenangan PDI-P.9 Dari tujuan eksternal tersebut di atas rupanya agak sedikit berbeda dengan

apa yang diungkapkan Megawati Soekarno Putri dalam sambutannya pada acara

pelantikan Baitul Muslimin Indonesia. Megawati Soekarno Putri menyatakan bila

pembentukan Baitul Muslimin Indonesia tidak ada kaitannya dengan persiapan

8

Cholid Ghozali, Baitul Muslimin Indonesia: Tujuan dan Perannya di tengah Pluralisme Indonesia, dalamHelmi Hidayat, ed., Bunga Rampai Pemikiran Islam Kebangsaan, h. 2.

(19)

pemilihan Presiden 2009. Pendirian itu bertujuan untuk menampung semangat

Islam yang ada di kalangan nasionalis.10

Isu panas dikotomi Islam dan nasionalis selalu mewarnai perjalanan

PDI-P. Dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia, sepertinya PDI-P ingin

melepaskan diri dari belenggu dikotomi itu. Sehingga wajar bila di dalam pidato

sambutan deklarasi pendirian Baitul Muslimin Indonesia, Megawati Soekarno

Putri menolak dikotomi Islam dan nasionalis, dengan berkata:

“Bagi PDI Perjuangan, dideklarasikannya sayap partai Baitul Muslimin Indonesia ini, sekaligus juga ingin menunjukkan bahwa pada bangsa ini sebenarnya pengkategorisasian Santri, Abangan, Priyayi seperti yang diperkenalkan oleh almarhum Clifford Geerzt kepada kita semua sebenarnya sudah tidak relevan lagi, karena dalam oganisasi ini yang kita lihat adalah semangat kebangsaan yang dilandasi oleh cita-cita luhur untuk membangun Indonesia kita secara bersama-sama. Dalam organisasi ini, kita dapat melihat bahwa klaim mengenai seseorang lebih santri dari yang lain, ataupun lebih nasionalis daripada yang lain tidak akan ditemukan dan saya berharap tidak akan pernah dapat ditemukan. Yang kita lihat adalah semangat kebangsaan, semangat kekitaan untuk terus mendorong Indonesia menjadi yang lebih baik, sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita PDI Perjuangan selama ini.”11

Opini mengenai pembentukan dan eksistensi Baitul Muslimin Indonesia

sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran pers atau media massa. Media

massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan opini

publik pada suatu peristiwa tertentu bahkan terkadang membuat audiensnya tidak

sadar akan persitiwa yang sesungguhnya terjadi.

Menurut Reese dan Shoemaker, setiap berita yang disajikan oleh media

tentunya telah didesain sesuai dengan “kepentingan” media baik secara internal

maupun eksternal. Dengan demikian, maka teks media sangat dipengaruhi oleh

10

Muhammad Jafar Anwar, Merebut Simpati Ulama dan Umat Islam, di akses pada 5 Juli 2008 dari http://www.hupelita.com/baca.php?id=36611

11

(20)

pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri,

institusi diluar media, dan oleh ideologi.12

Berita atau pesan yang ditampilkan oleh media seringkali dimaknai apa

adanya oleh masyarakat. Artinya, masyarakat lebih terpengaruh pada judul berita

yang dimunculkan dan kesan yang disimpulkan oleh media massa daripada

menganalisis secara mendalami teks berita tersebut. Padahal dalam kenyataannya

sering terjadi misinformasi dan misinterpretasi antara apa yang seharusnya

disampaikan dan kenyataan yang diterima oleh pembaca.13

Menurut Robert N. Entman dalam Eriyanto, media melakukan framing

dalam dua dimensi besar, yaitu proses seleksi isu dan penekanan atau penonjolan

aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Sehingga realitas yang disajikan secara

menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan

dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.14

Dengan demikian, media massa atau pers bukanlah sesuatu yang objektif.

Pers bukan alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan

suatu peristiwa serta even kehidupan secara apa adanya. Keterbatasan teknis

jurnalistik dan berbagai kepentingan manusia yang ada di balik media massa

menyebabkan penggambaran dan pemotretan yang dilakukan oleh pers

mengalami reduksi, simplifikasi, dan interpretasi. Sejalan dengan itu, McLuhan

menyatakan, pers merupakan alat untuk memotret suatu peristiwa tertentu dan

12

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content (New York: Longman Publishing Group, 1996), h. 223.

13

Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 5-6.

14

(21)

bertindak sebagai translator yang memformulasi, merancang, dan memformat

statement of event yang ingin dicitrakan oleh pers itu sendiri.15

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka

penulis memberi suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada pesan

tekstual (message) pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di Harian

Kompas dan Republika pada bulan Maret 2007 – Agustus 2008. Penulis

mengambil empat berita yang berkaitan dengan isu/peristiwa yang akan

penulis angkat. Antara lain berita pada Harian Kompas tanggal 30 Maret

2007 dan 25 Agustus 2008, serta berita pada Harian Republika tanggal 5

November 2007 dan 8 Mei 2008.

2. Perumusan Masalah

Mengacu pada pembatasan masalah di atas, peneliti merumuskan

masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Harian Kompas dan Republika mengemas pemberitaan

Baitul Muslimin Indonesia PDI-P?

b. Apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing (sintaksis, skrip,

tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P

di Harian Kompas dan Republika?

15

(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian analisis teks media dengan

menggunakan perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin

Indonesia di Harian Kompas dan Republika adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana Harian Kompas dan Republika

mengemas pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.

b. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan struktur wacana framing

(sintaksis, skrip, tematik, retoris) dalam pemberitaan Baitul Muslimin

Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian menggunakan

perangkat framing terhadap pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia di

Harian Kompas dan Republika ini antara lain:

a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi bagi pengembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada

kajian teks media (framing), mengenai pengkonstruksian realitas sosial

oleh media massa.

b. Manfaat Praktis. Penelitiaan ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pemikiran bagi profesional media tentang bagaimana

mengkonstruksi sebuah pesan dengan idealisme tertentu, sehingga

dapat menghasilkan dampak yang diinginkan dari khalayak. Serta

memberikan pengetahuan kepada khalayak media tentang proses

(23)

D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip Dedy

Nur Hidayat, paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi

tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist

dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3)

paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).16

Karena penelitian ini menggunakan analisis framing, yaitu analisis

yang melihat wacana sebagai hasil dari konstruksi realitas sosial, maka

penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma konstruksionis.

Paradigma ini, menurut Eriyanto17, mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya.

Konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas

yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis

pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa

atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu

dibentuk.

Paradigma konstruktivis memandang bahwa untuk mengetahui

“dunia arti” (world of meaning) mereka harus menginterpretasikannya.

Mereka juga harus menyelidiki proses pembentukan arti yang muncul

dalam bahasa atau aksi-aksi sosial para aktor.18 Pendekatan interpretasi

16

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.237

17

Eriyanto, Analisis framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, h. 13 18

(24)

(interpretive) mencakup teori-teori yang mencoba untuk menemukan arti

dalam teks dan aksi, dari gulungan surat-surat atau teks-teks kuno sampai

pada perilaku. Sejumlah teori komunikasi yang masuk dalam wilayah

interpretatif adalah teori-teori interpretasi kultural, budaya organisasi, dan

interpretasi tekstual.19 2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang

mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam

masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari

gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari

masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai

kategorisasi tertentu.20

Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam

pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut

antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui

dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.21

Menurut Crasswell, beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif

yaitu pertama, peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.

Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi. Ketiga, peneliti

kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis

data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan

19

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 15.

20

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302. 21

(25)

observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif

menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses penelitian,

interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.22 3. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat eksplanatif. Sifat

eksplanatif ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang

telah memiliki gambaran yang jelas dan bermaksud menggali secara lebih

jauh lagi (why). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mencari sebab dan

alasan (reasoning) mengapa sesuatu dapat terjadi, diantaranya

menjelaskan secara akurat mengenai satu bahasan topik, menghubungkan

topik-topik yang berbeda namun memiliki kesamaan, dan membangun

atau memodifikasi sebuah teori dalam topik baru atau menghasilkan bukti

untuk mendukung sebuah penjelasan/teori.23

Eksplanatif tidak hanya sekadar memberikan gambaran (deskriptif)

dari sebuah permasalahan yang diteliti saja, melainkan juga berusaha

menjelaskan pembahasan yang tengah diteliti secara lebih mendalam lagi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan

peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran

utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna

mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan

pendukung ataupun pembanding.

22

Ibid., h. 303. 23

(26)

a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh dari

pemberitaan di Harian Kompas dan Republika. Penulis memilih berita

yang hanya menyangkut Baitul Muslimin Indonesia.

b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi

berupa buku-buku dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian

ini.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek yang akan diteliti ialah Harian Umum Kompas dan

Republika, sedangkan objek penelitiannya ialah pesan tekstual dalam

pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia.

6. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan framing. Framing

adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan

dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan konstruksi realitas itu, hasil

akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol

dan lebih mudah dikenal.24

Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh

dari bidang psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama

melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema

tentang diri, sesuatu, atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak

berhubungan dengan teori mengenai aspek kognitif: bagaimana seseorang

memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu.

24

(27)

Misalnya teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya

tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu

berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah informasi yang ditangkap oleh

panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat.25

Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh

pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya

secara aktif mengklasifikasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti

atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan

manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar

bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat

tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.26

Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis framing ini

menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki. Model

analisis ini dibagi ke dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur

sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Lebih lanjut lagi akan dijelaskan pada

Bab II.

25

Ibid, h. 71. 26

(28)

E. Kajian Pustaka

Penelitian skripsi yang berjudul “Konstruksi Realitas di Media Massa

(Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di

Harian Kompas dan Republika)” ini terinspirasi dari kondisi pemberitaan media

massa cetak yang cenderung menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu.

Selain itu, kajian framing terhadap organisasi yang bercorak keagamaan seperti

Baitul Muslimin Indonesia PDI-P belum pernah diteliti di fakultas ini. Sehingga

penulis merasa tertarik untuk lebih dalam meneliti kajian ini. Adapaun literatur/

kepustakaan yang penulis gunakan untuk penelitian skripsi ini antara lain:

1. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Buku ini

ditulis oleh Eriyanto dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2002.

Buku ini merupakan buku teks berbahasa Indonesia pertama yang

membahas secara lengkap tentang: konsep dasar dan teori analisis framing,

pandangan kaum konstruksionis dalam melihat teks berita, hubungan

antara ideologi media dengan framing, serta membahas juga model-model

framing dari para pakar, seperti model framing Murray Edelman, Robert

N. Entman, William A. Gamson, Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

2. NU Politik: Analisis Wacana Media. Buku ini ditulis oleh Fathurin Zen

dan diterbitkan LKIS Yogyakarta pada tahun 2004. Buku ini merupakan

pengembangan dari hasil karya ilmiah (tesis S2) penulis tentang NU dalam

media massa. Isi buku ini antara lain membahas: profil NU, konstruksi

realitas sosial, komunikasi politik melalui media, analisis framing beserta

(29)

peranan media cetak dalam komunikasi politik dan analisis berita NU

dalam media massa.

3. Politik Media Mengemas Berita. Buku ini ditulis oleh Bimo Nugroho,

Eriyanto dan Franz Sudiarsis. Diterbitkan oleh Institut Studi Arus

Informasi (ISAI), Jakarta pada tahun 1999. Buku ini membahas tentang

konsep dasar analisis framing beserta dengan model-modelnya, serta

menampilkan hasil penelitian terhadap isi media cetak dalam

persitiwa-perstiwa sosial politik.

4. Kabar-kabar Kekerasan dari Bali. Buku ini ditulis oleh Arifatul Choiri

Fauzy dan diterbitkan LKIS Yogyakarta tahun 2007. Buku ini merupakan

hasil adaptasi dari tesis master penulis. Di dalamnya, penulis menganalisis

pemberitaan mengenai wacana teroris dalam media massa. Penulis

mengambil studi kasus peristiwa bom Bali. Analisis yang digunakan

adalah framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

5. Analisis Framing Film Berbagi Suami Karya Nia Dinata. Skripsi ini

ditulis oleh Junaidi Mahasiswa Jurusan KPI, pada tahun 2007. Skripsi ini

membahas: skenario film, kajian framing, konstruksi sosial media massa,

dan analisis framing terhadap Film Berbagi Suami. Perangkat framing

yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Yang dianalisis dalam skrispsi ini adalah pesan tekstual, yaitu skenario

(30)

F. Sistematika Penulisan

Penelitian yang akan dibahas terdiri dari lima bab dan masing-masing bab

terdiri dari sub bab, yakni:

BAB I PENDAHULUAN membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi

Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS membahas Fungsi Media Massa, Konstruksi Realitas Sosial, Ideologi Media, Teori Framing (Model Zhongdang

Pan dan Gerald M. Kosicki), dan Kerangka Pemikiran.

BAB III PROFIL MEDIA CETAK membahas Sejarah Perusahaan, Visi dan Misi serta Profil pembaca Harian Kompas dan Republika.

BAB IV ANALISIS FRAMING TERHADAP PEMBERITAAN BAITUL MUSLIMIN INDONESIA PDI-P DI HARIAN KOMPAS DAN REPUBLIKA membahas Frame Harian Kompas dan Republika terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P.

(31)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Fungsi Media Massa

Sebelum penulis membahas fungsi media massa, terlebih dahulu akan

dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini perlu dilakukan karena antara media

massa dengan komunikasi massa mempunyai hubungan yang saling terkait.

Menurut pandangan dari para ahli komunikasi, komunikasi massa (mass

communication) adalah komunikasi yang disampaikan melalui media massa.

Media massa meliputi surat kabar dan majalah yang mempunyai sirkulasi yang

luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang

dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Dengan demikian surat kabar seperti

Harian Kompas dan Republika termasuk dalam ruang lingkup media massa,

karena mempunyai sirkulasi yang luas dan ditujukan kepada masyarakat umum.

Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada

komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan

media.27 Media massa sendiri merupakan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki serangkain kegiatan produksi budaya dan informasi yang dilaksanakan

oleh berbagai tipe komunikasi massa untuk disalurkan kepada khalayak sesuai

dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku.28

27

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.79.

28

(32)

Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk

melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakeristik komunikasi

massa. Karakteristik atau ciri-ciri komunikasi massa antara lain sebagai berikut:29 1. Komunikasi massa bersifat umum.

Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum dan

mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan

atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang membedakan

media massa dengan media nirmassa. Surat, telepon, telegram, handphone

misalnya, adalah media nirmassa, bukan media massa, karena ditujukan

kepada orang tertentu.

2. Komunikator pada komunikasi massa bersifat melembaga.

Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan

lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Artinya di dalam media

tersebut terdapat sekumpulan orang yang melakukan kegiatan seperti

pengumpulan, pengelolaan, sampai penyajian informasi.

3. Komunikasi massa berlangsung satu arah.

Komunikasi yang terjadi berlangsung satu arah (one way

communication). Ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan

kepada komunikan. Dengan kata lain, wartawan sebagai komunikator

tidak mengetahui tanggapan dari pembacanya terhadap pesan atau berita

yang disampaikannya. Namun kalaupun terjadi umpan balik atau reaksi

biasanya memerlukan waktu yang tertunda atau disebut juga arus balik

29

(33)

tertunda (delayed feedback), contohnya dalam surat kabar umpan balik

berlangsung melalui surat pembaca.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan

Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk

menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam menerima pesan-pesan

yang disebarkan. Acara yang ditayangkan televisi, akan ditonton oleh

berjuta-juta pemirsa secara bersamaan merupakan salah satu contohnya.

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.

Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota

masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran

yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara

terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal

(anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda

dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan,

pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya.

Menurut Joseph R. Domminick dalam Onong Uchjana Effendy30, ada dua tahap untuk memperoleh kejelasan mengenai fungsi komunikasi massa atau media

massa. Pertama, kita dapat menggunakan perspektif seorang sosiolog dan

meneropongnya melalui lensa lebar seraya mempertimbangkan fungsi-fungsi yang

ditunjukan oleh media massa bagi keseluruhan masyarakat (pendekatan ini

kadang-kadang disebut makroanalisis). Titik pandang ini terfokus kepada tujuan

yang jelas dari komunikator dan menekankan tujuan yang tampak itu melekat

pada isi media.

30

(34)

Kedua, sebaliknya kita dapat melihatnya melalui lensa close-up kepada

khalayak secara perseorangan, dan meminta kepadanya agar memberikan laporan

mengenai bagaimana mereka menggunakan media massa (pendekatan ini

dinamakan mikroanalisis).

Kadang-kadang hasilnya menunjukkan hal yang sama dalam arti bahwa

khalayak menggunakan isi media massa yang sejalan dengan yang dituju oleh

komunikator. Adakalanya tidak sama, khalayak menggunakan media dengan cara

yang tidak diduga oleh komunikator.

Berikut merupakan fungsi media massa atau komunikasi massa menurut

Joseph R. Dominick:31

a. Pengawasan (Surveillance)

Media massa menyampaikan pesan-pesannya, baik dalam bentuk

informasi maupun berita secara terus menerus untuk membuat masyarakat

menyadari perkembangan di dalam lingkungannya. Fungsi pengawasan ini

terbagi menjadi dua.

Pertama, Pengawasan Peringatan (warning or beware

surveillance), pengawasan ini terjadi jika media menyampaikan informasi

kepada kita mengenai ancaman angin topan, letusan gunung merapi,

kondisi ekonomi yang mengalami depresi, meningkatnya inflasi atau

bahaya serangan militer.

Kedua, Pengawasan Instrumental (instrumental surveillance), yaitu

berkaitan dengan penyebaran informasi yang berguna bagi kehidupan

sehari-hari. Berita tentang harga barang kebutuhan pokok di pasar, film

31

(35)

yang dipertunjukan di bioskop, produk-produk terbaru adalah contoh

pengawasan instrumental.

b. Interpretasi (interpretation)

Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga

informasi beserta interpretasi/tafsiran mengenai suatu peristiwa tertentu.

Contoh dari fungsi ini adalah tajuk rencana/editorial surat kabar.

c. Hubungan (linkage)

Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat

di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh

saluran perseorangan. Contohnya hubungan para elit partai politik dengan

pengikut-pengikutnya ketika membaca berita surat kabar mengenai

partainya yang dikagumi oleh para pengikutnya itu.

d. Sosialisasi

Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values)

yang mengacu kepada cara-cara di mana seseorang mengadopsi perilaku

dan nilai-nilai dari suatu kelompok.

e. Hiburan (entertainment)

Media massa menghadirkan tayangan-tayangan yang bersifat

menghibur bagi pembacanya, yang berguna untuk melepaskan penat dari

aktifitas keseharian maupun setelah melihat berita-berita berat.

Dari uraian di atas, fungsi-fungsi komunikasi massa atau media massa

(36)

menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to

entertaint), mempengaruhi (to influence).32

Media massa yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah surat

kabar. Kurniawan Junaedhi menjabarkan:

Surat kabar mempunyai arti koran. Berupa harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 sampai 9 kolom. Isinya mengenai informasi sehari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar berita baru. Koran menyebabkan terjadinya pendekatan antara masyarakat dengan nilai-nilai baru.33

Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian ialah Surat Kabar

Harian Kompas dan Republika. Kompas dan Republika terbit setiap hari dengan

jenis kertas gambar kulit dan jenis kertas isinya sama. Di samping itu, Kompas

dan Republika menggunakan format 7 kolom, dan menampilkan informasi

sehari-hari. Dengan demikian, Kompas dan Republika dapat digolongkan sebagai surat

kabar harian.

Penelitian ini berupaya melihat bagaimana konstruksi yang dilakukan oleh

Harian Kompas dan Republika di dalam pemberitaannya. Menurut Charnley dan

James M. Neal dalam AS. Haris Sumadirian, menjelaskan bahwa berita adalah

laporan tentang situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru,

yang penting disampaikan kepada khalayak.34

Pakar lain seperti Dean M. Lyle Spencer, Willard C. Bleyer, William S.

Maulsby, dan Eric C. Hepwood, sebagaimana dikutip Djafar H. Assegaff,

sama-sama menekankan unsur “menarik perhatian” dari definisi berita yang mereka

32

Ibid, hal. 31. 33

Kuniawan Junaedhi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1985), h. 13.

34

(37)

buat, “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian

khalayak pembaca,”35

B. Konstruksi Realitas Sosial

Gagasan teori konstruksi realitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh

Peter Berger bersama Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The

Social Construction of Reality36, atau bila diterjemahkan sebagai “pembentukan

realitas secara sosial”. Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan

pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain.

Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam

komunikasi tertentu.37

Artinya, dalam konteks kajian skripsi ini, realitas yang sesungguhnya

mengenai mengenai Baitul Muslimin Indonesia tidak secara linear sesuai dengan

realitas simbolik yang terdapat dalam isi pemberitaan media, yang meliput

peristiwa tersebut dari hari ke hari. Hal ini karena sebagai “golongan sosial”

tertentu media juga memiliki kepentingan tersendiri.

Menurut Robyn Penman, pendekatan Konstruksionime Sosial memiliki

asumsi-asumsi seperti: (1) tindakan komunikatif yang bersifat sukarela; (2)

pengetahuan adalah sebuah produk sosial; (3) pengetahuan bersifat kontekstual;

(4) teori-teori menciptakan dunia; (5) pengetahuan sarat dengan nilai.38

35

DJafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 5.

36

Lihat Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge (Terj.) Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 75.

37

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, seventh edition (USA: Wadsworth Publishing Company, 2001), h. 175-176.

38

Lihat Robin Pennman, Good Theory and Good Practice: An Argument in Progress,

(38)

Selanjutnya Penman menguraikan empat kualitas komunikasi jika dilihat

dari perpektif konstruksionis. Pertama, komunikasi itu bersifat konstitutif, artinya,

komunikasi itu sendiri yang menciptakan dunia kita. Kedua, komunikasi itu

bersifat kontekstual, artinya, komunikasi hanya dapat dipahami dalam batas-batas

waktu dan tempat tertentu. Ketiga, komunikasi itu bersifat beragam, artinya,

komunikasi itu terjadi dalam bentuk yang berbeda. Keempat, komunikasi itu

bersifat tidak lengkap, artinya, komunikasi itu ada dalam proses, dan oleh

karenanya, selalu berjalan dan berubah.39

Pemikiran dasar Konstruksionisme Sosial oleh Berger dilukiskan dengan

latihan para siswa di kelas. Setiap siswa diperintahkan membuat satu objek benda

tertentu yang berasal dari kayu, logam plastik, kain, dan bahan lainnya. Setiap

objek diletakan di atas meja. Seorang siswa mungkin mengelompokkan

benda-benda yang terbuat dari kayu dalam satu kelompok, benda-benda-benda-benda plastik dalam

kelompok lain, begitu juga benda-benda logam, benda-benda kain, dan seterusnya

dalam kelompok yang berbeda.40

Siswa lain yang juga diminta untuk menyortir benda-benda tersebut

mungkin akan menggolongkan benda-benda berdasarkan bentuknya, benda-benda

yang berbentuk lingkaran dalam satu kelompok, benda-benda yang berbentuk

segitiga dalam kelompok lain, begitu seterusnya. Selanjutnya, siswa yang diminta

untuk menyortir benda-benda tersebut mungkin akan menggolongkan berdasarkan

kegunaannya, orang lain menyortir atas dasar warna, dan seterusnya. Dengan

demikian, akan terdapat tak terhingga banyaknya cara seseorang dalam

memahami setiap objek.

39

Ibid. 40

(39)

Kita dapat melihat “bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk

membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung

pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami

objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada

realitas sosial yang memegang peranan.41

Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui

tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini

terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan

realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan

simbolis atau intersubjektif.42

Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia

objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai

kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif

dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk

sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam

individu melalui proses internalisasi.43

Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan

Luckmann44 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus

dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu

sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis

manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan

41

Ibid. 42

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h.202.

43

Ibid, h. 192. 44

(40)

interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus

mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas.

Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia

intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial

berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan

Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan

manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain

sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai

melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.45 Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi

pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain

serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan

sosial.46

Individu oleh Berger dan Luckmann dikatakan, mengalami dua proses

sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer

dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu, ia menjadi anggota

masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses lanjutan dari sosialisasi

primer yang mengimbas ke individu, yang sudah disosialisasikan ke dalam

sektor-sektor baru di dalam dunia objektif masyarakatnya.47

Dari uraian di atas kemudian timbul pertanyaan: bagaimana media massa

mengkonstruksikan realitas? Seperti diketahui, hasil kerja media massa

diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa

45

Lihat Bungin, Sosiologi Komunikasi, h.194. 46

Ibid, 197-198. 47

(41)

mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks

tersebut.

Menurut M. Wonohitho, “bagi pers, bahasa merupakan sine quanon: tanpa

bahasa, pers tidak mungkin dapat bekerja. Sebuah bahasalah yang kita suruh

melukiskan pada halaman surat kabar segala informasi, bimbingan serta hiburan

yang kita sampaikan kepada khalayak ramai”.48

Melalui pernyataan ini, dengan jelas terlihat pentingnya bahasa bagi

kalangan pers. Bahasa menjadi elemen utama dalam membuat suatu produk

jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers,

dapat dikomunikasikan.

Bahkan Wonohito memberikan peringatan bagi kalangan pers. Katanya,

“apabila wartawan tidak tepat menggunakan bahasa, apakah dapat diharapkan,

muatan surat kabar yang dibaca orang banyak benar-benar berisi pesan yang

hendak disampaikan?”49

Mengenai pentingnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun

menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama.

Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat

konseptualitas dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita,

cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.50

Menurut Ibnu Hamad, bahasa terdiri dari: “Bahasa verbal (kata-kata

tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (bukan kata-kata dalam bentuk

gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai

48

Almanak Pers Antara 1976 (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), h. 45. 49

Ibid. 50

(42)

Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya

elemen utama berkomunikasi, diungkapkan Ibnu Hamad tidak lagi sebagai alat

semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan

gambaran (citra) yang akan dimunculkan di benak khalayak, terutama dalam

media massa.

Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki

kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Bahasa dengan unsur utama kata,

memiliki kekuatan yang besar dalam berinteraksi antar komunkitas sosial. Bahasa

adalah cermin budaya masyarakat pemakainya. Hubungan antara realitas, bahasa

dan budaya oleh Christian dan Christian digambarkan sebagai berikut:

(Christian and Christian, 1996)51

Di dalam tulisannya tentang konstruksi sosial media massa, Burhan

Bungin telah merevisi (mengoreksi kelemahan) teori dan pendekatan konstruksi

sosial atas realitas Peter L. Berger, dengan melihat variabel atau fenomena media

massa yang substansif dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi.

Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan

proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.52 Berikut proses konstruksi sosial media media massa menurut Burhan Bungin.53

51

Ibid, 71. 52

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 203 53

Ibid, h. 204

Language

Reality Creates Creates Creates Reality

(43)

Menurut Burhan Bungin, proses kelahiran konstruksi sosial media massa

berlangsung dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut54: 1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi

Isu-isu penting yang setiap hari menjadi fokus media massa,

berhubungan dengan tiga hal, yaitu kedudukan (tahta), harta, dan

perempuan. Selain tiga hal itu ada juga fokus-fokus lain, seperti informasi

yang sifatnya menyentuh perasaan banyak orang, yaitu

persoalan-persoalan sensitivitas, sensualitas, maupun ketakutan/kengerian.

Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial55, yaitu: (1) Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Artinya, media

massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk dijadikan sebagai

- Membentuk Opini Massa

- Massa Cenderung Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori

- Opini Massa Cenderung Sinis

- Objektif - Subjektif - Intersubjektif

(44)

mesin penciptaan uang/pelipatgandaan modal. (2) Keberpihakan semu

kepada masyarakat. Artinya, bersikap seolah-olah simpati, empati, dan

berbagai partisipasi kepada masyarakat. (3) Keberpihakan kepada

kepentingan umum. Artinya sebenarnya adalah visi setiap media massa,

namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya,

namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

2. Tahap Sebaran Konstruksi

Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah

semua informasi harus sampai pada pemirsa atau pembaca secepatnya dan

setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting

oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.56 3. Pembentukan Konstruksi Realitas

a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas

Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, di mana pemberitaan

(penceritaan) telah sampai pada pembaca dan pemirsanya (penonton),

yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap

yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas

pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga,

sebagai pilihan konsumtif.57 b. Pembentukan Konstruksi Citra

Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang

diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra

56

Ibid, h. 208. 57

(45)

yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model; (1)

model good news (story) dan (2) model bad news (story).58 4. Tahap Konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca

dan pemirsa (penonton) memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap

pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi

media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi

terhadap alasan-alasan konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan

pembaca (penonton), tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan

mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.59

C. Ideologi Media

Kata ideologi banyak dipergunakan dalam arti yang berbeda-beda, dan

tidak ada keseragaman mengenai pengertian ideologi. Kita tidak bisa berbicara

tentang ideologi tanpa menjabarkan dulu apa yang kita maksud. Bila kita ingin

merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham terlebih

dulu dalam arti apa ideologi dipakai olehnya. Ini dilakukan supaya terjadi saling

kesepahaman.

Raymond William mengklasifikasikan kata ideologi ke dalam tiga arti.60 Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki kelompok

atau kelas tertentu. Definisi ini banyak digunakan oleh kalangan psikologi yang

58

Ibid, h. 209. 59

Ibid, h. 212. 60

(46)

melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan

dalam bentuk yang koheren/saling berhubungan.

Kedua, ideologi merupakan sebuah kesadaran palsu. Ideologi dalam

pengertian ini adalah seperangkat kategori di mana kelompok yang berkuasa atau

dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak

dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol dengan ideologi yang

disebarkan ke dalam masyarakat, maka akan membuat kelompok yang didominasi

melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini

ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen, mulai dari pendidikan, politik

sampai media massa.

Ketiga, Ideologi merupakan proses umum produksi makna dan ide.

Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi

makna.

Franz Magnis Suseno mengartikan ideologi: (1) ideologi sebagai

kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai

konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada

kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa).

(2) Ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan

sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. (3) Ideologi

sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam filsafat sosial yang berhaluan

positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau

empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis. 61

61

(47)

Untuk mengetahui bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan,

teori Gramsci tentang hegemoni layak menjadi acuan.

Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok meninggikan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukan berarti media sebagai kekuatan jahat yang secara sengaja merendahkan masyarakat bawah.62

Artinya, hegemoni dipandang sebagai cara kelompok dominan untuk

menguasai media massa dalam memperkuat posisinya terhadap kelompok lainnya

(yang didominasi). Kelompok dominan (pemilik kekuasaan) dapat

mempergunakan media massa untuk merendahkan kelompok yang lemah.

Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan memenuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan dominasi oleh kelas penguasa lewat kegunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga itu berlangsung mempengaruhi dan membentuk alam pikir mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Seperti yang dikatakan Raymond William, hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui makna nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi dan indoktrinasi, hegemoni justru melihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemoni itu menyatu dan tersebar dalam praktek, kehidupan, persepsi, dan pandangan dunia sebagai suatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.63

Peneliti berkesimpulan, bahwa hegemoni merupakan cara yang digunakan

untuk memaksa ideologi kelas penguasa (kelompok yang dominan) kepada

kelompok yang tidak dominan. Hegemoni melakukan penyebarannya melalui dua

saluran, yakni ideologi dan budaya.

62

Eriyanto, Analisis Wacana, h. 103. 63

(48)

Gambar 3: “Hierarchy of Influence” Shoemaker and Reese

Karl Marx menyatakan ideologi sebagai “kesadaran palsu”. Van Dijk

menjelaskan “kesadaran palsu” tersebut, “ Bagaimana kelompok dominan

memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye

disinformasi..., melalui kontrol media dan sebagainya”.64

Dalam hubungannya dengan media massa, kecenderungan atau perbedaan

setiap media massa dalam memproduksi informasi kepada khalayak, dapat

diungkap dengan pelapisan-pelapisan yang meliputi insitusi-institusi media massa.

Dengan kata lain, pelapisan-pelapisan inilah yang mempengaruhi isi media.

Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese membentuknya dalam model

“Hierarchy of Influence”, sebagai berikut:65

Tingkat Ideologis (5)

Tingkat Ekstramedia (4)

Tingkat Organisasi (3)

Isi Media

Tingkat Rutinitas Media (2)

Tingkat Individual (1)

1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi (wartawan), latar belakang personal dan profesional.

2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan seleksi-seleksi yang dihasilkan oleh komunikator.

64

Ibid, h. 13. 65

(49)

3. Pengaruh Organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengauh pada isi yang dihasilkan.

4. Pengaruh dari luar organisasi. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, pseudoevent dari praktisi public relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan dibidang pers.

5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi di sini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat.66

Bila dikaitkan dengan masalah penelitian di dalam skripsi ini, maka Harian

Kompas dan Republika memiliki hegemoni dan ideologi di dalam medianya serta

mempengaruhinya dalam mengkonstruksi realitas.

D. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki)

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun

1955. Awalnya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat

kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta

yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep

ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang

mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing

individu dalam membaca realitas.67 Dalam perkembangan terakhir, konsep ini digunakan untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan

aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media.

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah

cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati

strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih

bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring

66

Ibid, h. 138-139. 67

Gambar

Tabel 2: Frame Kompas: Terdapat Titik Temu Antara Islam dan Nasionalis (Dikotomi Islam dan Nasionalis Tidak Relevan)
Gambar/ Bagan 2: Proses Konstruksi Sosial Media Massa................................  30
gambar, photo, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel)”. Keberadaan bahasa sebagai
Gambar 1: Hubungan Bahasa, Realitas dan Budaya
+7

Referensi

Dokumen terkait