• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pemodelan AHH Indonesia

4.2.6 Analisis GWR

Berdasarkan hasil analisis regresi global menunjukkan bahwa terdapat beberapa observasi yang memiliki residual besar sehingga variansi cukup besar. Selain itu, berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa sebaran AHH di Indonesia heterogen dan mengelompok pada wilayah-wilayah tertentu. Oleh karena itu ada indikasi aspek spasial dalam pemodelan AHH sehingga dilakukan analisis GWR. Tujuan dilakukan analisis GWR adalah membuat pemodelan secara lokal yang mempertimbangkan adanya aspek spasial yaitu keragaman antar

56

lokasi pengamatan. Aspek spasial terdiri dari spatial autocorrelation dan spatial heterogeinity. Pada penelitian ini, difokuskan terhadap spatial heterogeinity

karena ingin menangkap keragaman karakteristik antar lokasi pengamatan.

Sebelum melakukan pemodelan dengan menggunakan GWR, terlebih dahulu dilakukan uji heterogenitas spasial dengan menggunakan uji Breusch-Pagan. Hasil uji heterogenitas spasial menunjukkan bahwa nilai p-value < 0,05 yang artinya tolak H0 pada signifikansi 5%. Kesimpulannya bahwa terjadi heterogenitas spasial pada data AHH yang menunjukkan varians antar pengamatan tidak identik sehingga model regresi global berbeda secara signifikan dengan regresi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat efek spasial pada data AHH sehingga perlu dilakukan pemodelan dengan GWR untuk mendapatkan model pada tiap lokasi.

Penyusunan model GWR diawali dengan penentuan bandwidth yang optimum. Metode yang digunakan untuk menentukan bandwidth yang optimum adalah dengan menggunakan metode Cross Validation (CV). Metode ini digunakan untuk menghitung bandwidth dari masing-masing fungsi pembobot yang digunakan, yaitu Gaussian, Bisquare, Tricube dan Adaptive Bisquare. Dalam penghitungan matriks pembobot ini diperlukan data jarak antar lokasi pengamatan (dij) yang dihitung dengan menggunakan jarak Eucledian.

Dari hasil pengolahan, dengan menggunakan metode CV, fungsi kernel yang menghasilkan bandwidth optimum adalah Adaptive Bisquare karena menghasilkan nilai CV yang paling minimum diantara fungsi kernel yang lainnya, yaitu sebesar 5,225e-16. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Bandwidth Optimum Dan Nilai CV Fungsi Pembobot Kernel Bandwidth Nilai CV Gaussian 1,6985 2976,6 Bisquare 5,1163 3163,2 Tricube 5,2053 3223,6

Adaptive Bisquare 27,04 5,2257e-16

Berdasarkan nilai bandwidth yang optimum dan fungsi pembobot kernel yang terbaik, maka dapat ditentukan matriks pembobot spasial. Matriks pembobot

57

yang dihasilkan, selanjutnya digunakan untuk menduga nilai parameter pada regresi GWR. Nilai parameter dalam pemodelan GWR akan berbeda pada setiap lokasi. Hasil pendugaan parameter (koefisien) dalam pemodelan GWR selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.

Uji hipotesis yang pertama dilakukan adalah pengujian model secara serentak untuk menguji kesesuaian (goodness of fit) dari model GWR. Lampiran 12 menyajikan hasil pengujian model serentak yang menunjukkan bahwa nilai relatif kecil yaitu sebesar 0,36171. Nilai F* < F tabel , artinya tolak H0 pada tingkat signifikansi 5%, sehingga dapat dikatakan bahwa model GWR mempunyai

goodness of fit yang lebih baik baik dari model regresi global.

Pengujian parameter model GWR secara parsial dilakukan untuk mengetahui variabel-variabel prediktor yang mempengaruhi AHH secara signifikan pada setiap lokasi (kabupaten/kota). Model GWR yang dihasilkan pada masing-masing lokasi pengamatan akan berbeda-beda bergantung pada nilai koefisien regresi GWR dan variabel prediktor yang signifikan mempengaruhi variabel respon. Hasil pemodelan GWR menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi AHH yang ditunjukkan pada Lampiran 14. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara parsial HLS berpengaruh terhadap AHH di 237 kabupaten/kota, pengeluaran per kapita berpengaruh signifikan di 388 kabupaten/kota, faskes berpengaruh di 72 kabupaten/kota dan sumber air minum layak berpengaruh di 358 kabupaten/kota. Bahkan terdapat 41 kabupaten/kota yang variabel prediktornya tidak ada yang signifikan mempengaruhi AHH. Selain itu, keempat variabel prediktor mempengaruhi AHH secara bersama-sama di Kabupaten Soralangun, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kota Ambon dengan hasil pemodelan GWR pada Tabel 4.10.

58

Tabel 4.10 Pemodelan GWR di beberapa kabupaten/kota di Indonesia

Kab/kota Model Soralangun ̂ Kepahiang ̂ Majene ̂ Mamuju ̂ Maluku Tenggara Barat ̂ Kota Ambon ̂

Dari Tabel 4.10 terlihat bahwa setiap kabupaten/kota mempunyai model berdasarkan karakteristik wilayah masing-masing. Terlihat bahwa variabel HLS dan pengeluaran per kapita berpengaruh positif terhadap AHH di 5 kabupaten/kota tersebut. Artinya dengan meningkatkan HLS atau pengeluaran per kapita dapat meningkatkan AHH. Pada variabel faskes berpengaruh positif di Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuhu, namun berpengaruh negative di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kota Ambon. Pada variabel sumber air minum layak terlihat bahwa di di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju berpengaruh positif, sedangkan di Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kota Ambon berpengaruh positif terhadap AHH.

Untuk mengetahui model yang lebih baik antara model global dan GWR, nilai error yang dihasilkan. Tabel 4.11 menginformasikan tentang besarnya nilai R2 dan RMSE yang dihasilkan dari model global dan GWR yang dapat digunakan untuk perbandingan model.

Tabel 4.11 Perbandingan model global dan GWR

Model R2 (%) RMSE

Model Global 32,10 3,0095

Model GWR 75,667 1,8091

Apabila dilakukan perbandingan model, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai R2 dan RMSE yang dihasilkan, GWR merupakan model yang lebih baik daripada model global dalam pemodelan AHH di Indonesia. Model

59

GWR mampu menjelaskan keragaman AHH sebesar 75,667 %, sedangkan model global hanya mampu menjelaskan variasi data sebesar 32,10%. Nilai RMSE yang dihasilkan dari model GWR lebih kecil daripada model global yaitu sebesar 1,8091.

Dari hasil pemodelan menggunakan metode GWR, diperoleh jumlah kabupaten/kota berdasarkan kelompok variabel yang signifikan mempengaruhi AHH.

Tabel 4.12 Jumlah Kabupaten/Kota Berdasarkan Variabel Yang Signifikan Variabel yang Sigifikan Jumlah Kabupaten/Kota Variabel yang Sigifikan Jumlah Kabupaten/Kota X1 5 X2, X4 118 X2 26 X1, X4 26 X3 3 X1, X2, X3 11 X4 21 X2, X3, X4 22 X1, X2 36 X1, X2, X4 153 X2, X3 20 X1, X3, X4 5 X3, X4 6 X1, X2, X3, X4 6

X1, X3 1 Tidak ada yang

signifikan

42

Kabupaten/kota di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan variabel yang signifikan seperti pada Tabel 4.12 sehingga memudahkan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi AHH di setiap kabupaten/kota dan pengambilan kebijakan lebih tepat sasaran. Rincian kabupaten/kota dalam tiap kelompok dapat dilihat pada Lampiran 15. Hal yang menarik dari Tabel 4.12 adalah terdapat 42 kabupaten/kota dimana AHH tidak dipengaruhi oleh HLS, pengeluaran per kapita, faskes dan sumber air minum layak. Artinya berapapun nilai keempat variabel prediktor tersebut maka nilai AHH akan tetap. Dari 42 kabupaten/kota, 76,19 persen merupakan kabupaten/kota dengan nilai AHH pada kelompok sangat tinggi, 14,26 persen kelompok AHH tinggi dan sisanya kelompok AHH rendah.

Dari deteksi outlier pada Gambar 4.1 maka diperoleh 10 kabupaten/kota yang nilai AHH merupakan outlier. Dari hasil GWR didapatkan model untuk 10 kabupaten/kota tersebut yang disajikan dalam Tabel 4.13.

60

Tabel 4.13 Model GWR Pada Kabupaten/Kota Yang Masuk Kategori Outlier

Kab/kota Model Nduga ̂ Asmat ̂ Mamberamo Raya ̂ Seram Bagian Timur ̂ Boven Digoel ̂ Jayawijaya ̂ Sabu Raijua ̂ Teluk Wondama ̂ Tambrauw ̂ Teluk Bintuni ̂

Dari model pada data yang outlier terlihat bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi AHH berbeda di setiap kabupaten/kota. Variabel prediktor yang berpengaruh signifikan hampir di semua kabupaten/kota yang outlier adalah sumber air minum layak kecuali Kabupaten Sabu Raijua. Sebagai contoh adalah kabupaten/kota di Pulau Papua yaitu Kabupaten Nduga, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Jayawijaya. Kelima kabupaten/kota tersebut berada di daerah rawa dan pegunungan dimana akses air minum yang layak masih sulit dan masih mengandalkan air hujan. Sehingga dalam pengambilan kebijakan perlu ditekankan pada pembangunan penyediaan sumber air minum layak yang dapat diakses oleh masyarakat di kabupaten/kota tersebut.

Dokumen terkait