STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
B. Analisis Hasil Penelitian 1. Analisis Univariat
Analisis Univariat digunakan untuk mengetahui presentase dari pencapaian setiap responden sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok eksprimen dan kelompok kontrol. Untuk menghitung presentase dari analisis univariat akan dinilai dari karakteristik responden, yaitu jenis kelamin, usia, lamanya anak dirawat dan dukungan orangtua atau penunggu terhadap tingkat kooperatif anak. Gambaran berdasarkan karakteristik responden, yaitu jenis kelamin, usia, lamanya anak dirawat dan dukungan orangtua atau penunggu dapat dilihat pada tabel berikut ini:
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
52
Tabel 4.2
Gambaran karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada anak usia prasekolah 3 - 5 tahun
Kelompok Jenis Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok eksprimen tampak adanya perubahan yang besar dari sebelum terapi bermain dan setelah terapi bermain. Hal tersebut tampak pada kelompok anak yang berjenis kelamin perempuan, semula 75% (15 anak) dalam kategori tingkat kooperatif kurang namun setelah terapi bermain menjadi dalam kategori baik dan cukup. Sedangkan, perubahan yang besar tidak terjadi pada kelompok kontrol. Perubahan hanya terjadi pada kelompok anak yang berjenis kelamin perempuan, dimana semula kategori baik 0% hanya mengalami perubahan 5% (1 anak) setelah terapi bermain.
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
53
Tabel 4.3
Gambaran karakteristik responden berdasarkan usia pada anak prasekolah 3 - 5 tahun
Kelompok Usia F Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok eksprimen tampak adanya perubahan yang besar dari sebelum terapi bermain dan setelah terapi bermain. Hal tersebut tampak pada kelompok anak yang berusia 5 tahun, semula kategori baik 0% namun setelah terapi bermain 25%
(5 anak) berada dalam kategori baik. Sedangkan, perubahan yang besar tidak terjadi pada kelompok kontrol. Perubahan hanya terjadi pada kelompok anak yang berusia 5 tahun, dimana semula kategori kurang berjumlah 10% (2 anak) menjadi 0% setelah terapi bermain.
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
54
Tabel 4.4
Gambaran karakteristik responden berdasarkan lamanya anak dirawat di rumah sakit pada anak usia prasekolah 3 - 5 tahun Kelompok Lama Anak
Dirawat Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok eksprimen tampak adanya perubahan yang besar dari sebelum terapi bermain dan setelah terapi bermain. Hal tersebut tampak pada kelompok anak yang dirawat selama 1-3 hari, semula 60% (12 anak) dalam kategori kurang namun setelah terapi bermain menjadi dalam kategori baik dan cukup. Sedangkan, perubahan yang besar tidak terjadi pada kelompok kontrol. Perubahan hanya terjadi pada kelompok yang dirawat selama 4-6 hari, dimana semula kategori kurang berjumlah 30% (6 anak) menjadi 20% (4 anak).
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
55
Tabel 4.5
Gambaran karakteristik responden berdasarkan dukungan orangtua (penunggu) pada anak usia prasekolah 3 - 5 tahun
Kelompok Orangtua Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok eksprimen tampak adanya perubahan yang besar dari sebelum terapi bermain dan setelah terapi bermain. Hal tersebut tampak pada kelompok anak yang didukung oleh orangtuanya sendiri, semula 70% (14 anak) dalam kategori kurang namun setelah terapi bermain menjadi dalam kategori baik dan cukup.
Sedangkan, perubahan yang besar tidak terjadi pada kelompok kontrol.
Perubahan hanya terjadi pada kelompok anak yang didukung oleh orangtuanya, dimana semula kategori baik 0% hanya mengalami perubahan 5% (1 anak) setelah terapi bermain.
2. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan yaitu mempelajari hubungan antar variabel. Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga memiliki pengaruh menggunakan data yang berskala interval dan interval (Pre test–Post test perilaku kooperatif) (Notoatmodjo, 2010). Dan hubungan antar variabel ini
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
56
ditunjukkan dengan mengetahui presentase pencapaian responden secara keseluruhan atau distribusi frekuensi pemberian terapi bermain terhadap tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok eksprimen dan kelompok kontrol. Kriteria skoring pada tingkat kooperatif anak sebelum dan setelah pemberian terapi bermain terdiri dari 3 kriteria, yaitu tingkat koopertaif baik (76% - 100%), tingkat koopertaif cukup (56% - 75%) dan tingkat koopertif kurang (<56%) (Notoatmodjo, 2005). Gambaran berdasarkan distribusi frekuensi pemberian terapi bermain terhadap tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Pemberian Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Pada Anak Prasekolah Pada Kelompok Eksprimen
Di Ruang Menur RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Tingkat Kooperatif Skor
Sebelum Terapi Bermain
Setelah Terapi Bermain Frekuensi (%) Frekuensi (%)
Kooperatif Baik 76% - 100% 0 0% 14 70%
Kooperatif Cukup 56% - 75% 2 10% 6 30%
Kooperatif Kurang < 56% 18 90% 0 0%
20 100% 20 100%
Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil pada tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi pemberian terapi bermain terhadap tingkat kooperatif anak pada kelompok eksprimen memiliki perbedaan sebelum dan setelah terapi bermain, yaitu untuk tingkat kooperatif baik tidak ada sebelum terapi bermain dan meningkat menjadi (70%) sebanyak 14 orang setelah terapi bermain, untuk tingkat kooperatif cukup (10%) sebanyak 2 orang sebelum terapi bermain dan meningkat menjadi (30%) sebanyak 6 orang setelah terapi bermain, sedangkan untuk tingkat kooperatif kurang (90%) sebanyak 18 orang sebelum terapi bermain dan menjadi tidak ada setelah terapi bermain.
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
57
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Pemberian Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Pada Anak Prasekolah Pada Kelompok Kontrol
Di Ruang Menur RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Tingkat Kooperatif Skor
Sebelum Terapi Bermain
Setelah Terapi Bermain Frekuensi (%) Frekuensi (%)
Kooperatif Baik 76% - 100% 0 0% 1 5%
Kooperatif Cukup 56% - 75% 7 35% 8 40%
Kooperatif Kurang < 56% 13 65% 11 55%
20 100% 20 100%
Sumber: Data Primer 2012
Berdasarkan hasil pada tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi pemberian terapi bermain terhadap tingkat kooperatif anak pada kelompok kontrol memiliki perbedaan sebelum dan setelah terapi bermain, yaitu untuk tingkat kooperatif baik tidak ada sebelum terapi bermain dan meningkat menjadi (5%) sebanyak 1 orang setelah terapi bermain, untuk tingkat kooperatif cukup (35%) sebanyak 7 orang sebelum terapi bermain dan meningkat menjadi (40%) sebanyak 8 orang setelah terapi bermain, sedangkan untuk tingkat kooperatif kurang (65%) sebanyak 13 orang sebelum terapi bermain dan menurun menjadi (55%) sebanyak 11 orang setelah terapi bermain.
3. Analisa Statistik
Analisis Statistik digunakan untuk menguji hipotesis kedua variabel tersebut yang diduga memiliki pengaruh terhadap data yang berskala interval dan interval dengan menggunakan uji statistik, yaitu Uji Paired t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri atas dua sampel yang saling berhubungan, artinya bahwa satu sampel akan mempunyai dua data (Sugiyono, 2008). Dan setelah diperoleh hasil dari analisis bivariat yang merupakan gambaran dari distribusi frekuensi pemberian terapi bermain terhadap tingkat kooperatif pada anak prasekolah sebelum dan setelah terapi
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
58
bermain menunjukkan presentase peningkatan perilaku kooperatif, kemudian dilanjutkan hipotesa dengan menggunakan Uji Paired t-test dan hasil pengujiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.8
Hasil Pengujian Paired t-test Paired Samples Test Hasil Observasi Setelah dan
Sebelum Terapi Bermain Pada Kelompok Eksprimen
9.50000 1.93309 .43225 8.59529 10.40471 21.978 19 .000
Hasil Observasi Setelah dan 8.9 Sebelum Terapi Bermain Pada Kelompok Kontrol
.60000 .99472 .22243 .13446 1.06554 2.698 19 .014
Dari hasil table 4.8 diatas dapat diketahui bahwa nilai t-hitung pada kelompok eksprimen adalah 21,978 dengan signifikasi 0,000 dan nilai t-hitung pada kelompok kontrol adalah 2,698 dengan signifikasi 0,014. Dan untuk menentukan hipotesis diterima atau ditolak dapat dinilai dari tingkat kemaknaan menggunakan p-value < 0,05 pada interval kepercayaan 95%. Jika signifikasi (p) lebih besar dari 0,05 atau (p > 0,05), maka hipotesis Ho diterima dan Ha ditolak dan jika signifikasi lebih kecil dari 0,05 atau (p <
0,05) maka hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penelitian menunjukkan nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 atau sama dengan (0,000 <
0,05) pada kelompok eksprimen dan nilai p = 0,014 lebih kecil dari 0,05 atau sama dengan (0,014 < 0,05) pada kelompok kontrol, artinya bahwa Ho ditolak
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
59
dan Ha diterima. Dan dari hasil Risk Different (RD) yang merupakan angka dari perbedaan rata-rata antara kelompok eksprimen dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil RD = 8,9 yang berarti bahwa anak yang diberikan perlakuan terapi bermain memiliki tingkat kooperatif delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan perlakuan terapi bermain.
Dengan demikian, berarti terdapat pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kooperatif anak usia prasekolah sebelum dan setelah terapi bermain di Ruang Menur RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
C. Pembahasan Penelitian 1. Sebelum Diberikan Terapi Bermain (Pre-test)
Dilihat dari karakteristik responden anak, yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia anak, lamanya anak dirawat dan dari dukungan orangtua (penunggu) sebelum diberikan terapi bermain tingkat kooperatif anak sangat kurang terhadap tindakan keperawatan yang diberikan. Reaksi anak sangat tidak kooperatif dengan mengeluarkan perilaku seperti menangis, meronta-ronta, memeluk ibunya dan mengajak orangtunya untuk pulang. Perilaku yang tidak kooperatif juga diperlihatkan oleh anak pada saat menerima tindakan keperawatan, seperti saat injeksi dan pemasangan termometer. Dari 20 orang anak pada kelompok eksprimen dan kelompok kontrol tidak ada satu orang anak pun yang berperilaku kooperatif dengan baik sebelum diberikan terapi bermain.
Pada umumnya ketakutan anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri. Sehingga reaksi anak terhadap hospitalisasi bersifat individual dan sangat tergantung pada usia perkembangan anak, pengalaman sakit sebelumnya, support system yang ada dan kemampuan koping yang dimilikinya (Wong, 2008).
Reaksi anak usia prasekolah terhadap hospitalisasi adalah menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Sering kali anak mempersepsikan hospitalisasi sebagai hukuman
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
60
dan perasaan malu, sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak, dan tidak mau bekerja sama dengan perawat (Supartini, 2004).
2. Setelah diberikan Terapi Bermain (Post-test)
Sebagian besar perilaku anak mengalami perubahan yang baik saat menerima tindakan keperawatan setelah diberi terapi bermain. Hal ini dibuktikan dengan data yang diperoleh saat penelitian, yaitu berdasarkan karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, usia anak, lamanya anak dirawat dan dukungan orangtua (penunggu). Reaksi anak pada saat diberikan terapi bermain, yaitu sangat antusias dan senang bermain dengan benda-benda atau mainan yang diinginkan, bahkan ada dari beberapa orang anak yang tetap ingin melanjutkan permainan. Sehingga, didapatkan hasil dari 20 orang anak pada kelompok eksprimen yang diberikan terapi bermain mengalami peningkatan perilaku kooperatif baik (70%) sebanyak 14 orang anak dan perilaku kooperatif cukup (30%) sebanyak 6 orang anak.
Sedangkan dari 20 orang anak pada kelompok kontrol yang seharusnya tidak diberikan terapi bermain mengalami peningkatan perilaku kooperatif baik (5%) sebanyak 1 orang dan perilaku kooperatif cukup (40%) sebanyak 8 orang anak. Hal ini terjadi, karena adanya anak pada kelompok kontrol yang ikut bermain dengan kelompok eksprimen tetapi dibedakan tempat dan permainan yang telah disiapkan oleh peneliti. Berdasarkan hasil penelitian untuk perilaku kooperatif baik yang terjadi pada 1 orang anak dalam kelompok kontrol disesuaikan dengan teori bahwa anak perempuan apabila diberikan permainan dapat menstimulasi perasaan, pemikiran dan sikap didalam menjalankan peran (Supartini, 2004). Untuk anak yang berusia 5 tahun dengan lamanya waktu dirawat dan mendapatkan dukungan dari orangtua akan mempunyai perilaku kooperatif yang lebih baik karena dipengaruhi dengan adanya peningkatan mental, efek pembiasaan dan merasa disayang (Gunarsa, 2007).
Anak usia prasekolah memiliki kemampuan sosial yang belum begitu meningkat tetapi anak sudah cukup mampu untuk bekerja sama dengan teman
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
61
sepermainannya serta pergaulan dengan teman menjadi tempat belajar mengenal norma baik atau buruk (Supartini, 2004).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan dan stress pada anak adalah dengan bermain. Bermain dirumah sakit memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya, merasa takut, dan memperhatikan terhadap perlakuan atau penyakitnya, pengobatan dan lingkungan rumah sakit serta menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi, dan memperhatikan perlindungan pada anak terhadap stress karena dapat membantu anak dalam menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan. Melalui bermain anak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan teman dan lingkungannya yang baru serta dapat menunjukkan tindakan kooperatif terhadap petugas kesehatan didalam mendapatkan perawatan atau pengobatan (Wong, 2008).
Dari hasil penelitian secara keseluruhan adalah diketahui bahwa terapi bermain dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat kooperatif pada anak usia prasekolah di Ruang Menur RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten pada bulan Mei 2012. Dimana tingkat kooperatif anak meningkat setelah diberikan terapi bermain.
3. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Pada Anak Prasekolah Selama Menjalani Perawatan di Ruang Menur RSUP Dr. soeradji Tirtonegoro Klaten
Pemberian terapi bermain dapat meningkatkan perilaku kooperatif anak usia prasekolah selama menjalani perawatan di Ruang Menur RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten. Hal ini sesuai dengan teori bahwa terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang paling efektif menurunkan stress pada anak dan yang paling penting untuk menyeimbangkan antara mental dan emosional anak (Supartini, 2004).
Keberhasilan pemberian terapi bermain dalam meningkatkan perilaku kooperatif anak selama menjalani perawatan dipengaruhi oleh permainan yang disediakan oleh peneliti berupa jenis permainan yang sesuai dengan tingkat
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
62
tumbuh kembang anak, sehingga anak tertarik dengan permainan yang diberikan. Rasa tertarik anak terhadap permainan akan menimbulkan rasa senang selama menjalani perawatan dan rasa senang ini dapat meningkatkan perilaku kooperatif anak.
Keberhasilan terapi bermian dalam meningkatkan perilaku kooperatif juga dipengaruhi oleh karakteristik responden itu sendiri, seperti jenis kelamin, usia anak, lamanya anak dirawat, dan dukungan orangtua (penunggu). Berdasarkan hasil penelitian menurut jenis kelamin, yang mengalami peningkatan kooperatif yang lebih tinggi adalah anak yang berjenis kelamin perempuan dari pada laki-laki. Hal ini dikarenakan, pada awal kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan yang relatif seimbang meskipun terdapat perbedaan secara individual dalam setiap aspek perkembangan fisik. Anak dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, misalnya tubuhnya cenderung lebih tinggi pada awal masa kanak-kanak daripada mereka yang kecerdasannya rata-rata atau dibawah rata-rata dan gigi sementaranya lebih cepat tanggal. Meskipun perbedaan gender tidak menonjol dalam peningkatan tinggi dan berat badan, tetapi pengerasan tulang dan lepasnya gigi sementara akan lebih cepat pada anak perempuan dari usia ke usia (Wong, 2008).
Berdarkan usia anak, yang mengalami peningkatan perilaku kooperatif yang lebih tinggi adalah anak dengan usia 4 dan 5 tahun dari pada anak dengan usia 3 tahun. Hal ini dikarenakan, tahap perkembangan dan pertumbuhan setiap anak memiliki ciri-ciri umum yang berbeda sesuai dengan perkembangannya disamping ciri-ciri khusus yang sesuai dengan pribadinya.
Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan, yaitu pada saat pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan pun demikian, terjadi peningkatan mental, memori, daya ingat, asosiasi dan lain-lain. Anak sehat, bertambah umur, bertambah berat badan dan tinggi badannya serta bertambah kepandaiannya.
Sehingga anak yang berusia 3 tahun berbeda dengan anak yang berusia 4 dan 5 tahun dalam menghadapi sikap dan merawatnya selama dirumah sakit (Gunarsa, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan ciri-ciri dan prinsip
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
63
tumbuh kembang anak, antara lain perkembangan menimbulkan perubahan, yaitu perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan, setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi.
Berdasarkan lamanya anak dirawat, yang mengalami peningkatan perilaku kooperatif paling tinggi adalah anak yang dirawat selama 4-6 hari dari pada anak yang dirawat selama 1-3 hari. Hal ini dikarenakan lamanya seorang anak dirawat dirumah sakit mempengaruhi pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan, sedangkan ketepatan melakukan pendekatan yang merupakan bagian dari keperawatan akan mempengaruhi proses kesembuhan anak. Pada anak yang dirawat dalam waktu singkat, pemulihan diarahkan pada hal-hal yang traumatik dan anak yang dirawat dalam waktu singkat tidak mudah atau sulit didalam menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah sakit.
Sedangkan pada anak yang dirawat cukup lama akan memunculkan adanya efek pembiasaan, yaitu anak terbiasa dilayani, diperhatikan, dibantu, merasa disayang, sehingga muncul reaksi untuk mempertahankan sakitnya agar terus memperoleh perlakuan yang menyenangkan (Gunarsa, 2007).
Berdasarkan dukungan orangtua (penunggu), yang mengalami peningkatan perilaku kooperatif paling tinggi adalah anak yang didukung oleh orangtuanya sendiri. Hal ini dikarenakan ketakutan anak yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit dapat menyebabkan anak cemas, stress dan gelisah (Imam, 2008). Oleh karena itu, untuk mengurangi kecemasan anak, orangtua harus mampu menjelaskan kapan dan mengapa anak harus dirawat dalam waktu yang lama karena orangtua juga mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat dirumah sakit. Sehingga, dari kepandaian orangtua didalam menjelaskan kepada anak akan membantu anak untuk tetap tenang dan tidak panik (Supartini, 2004).
Hasil penelitian secara keseluruhan dapat diketahui melalui uji statistik, yaitu Uji Paired t-test dengan hasil nilai t-hitung pada kelompok eksprimen adalah 21,978 dengan signifikasi p = 0,000 atau (0,000 < 0,05) dan nilai t-hitung pada kelompok kontrol adalah 2,698 dengan signifikasi p =
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
64
0,014 atau (0,014 < 0,05). Dan hasil Risk Different (RD) yang merupakan angka dari perbedaan rata-rata antara kelompok eksprimen dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil RD = 8,9 yang berarti bahwa anak yang diberikan perlakuan terapi bermain memiliki tingkat kooperatif delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan perlakuan terapi bermain.
Artinya bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukkan adanya pengaruh pemberian terapi bermain secara signifikan terhadap tingkat kooperatif anak prasekolah selama menjalani perawatan di Ruang Menur RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2012.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herliana (2001) dengan judul
“Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Terhadap Tindakan Kooperasi Anak Usia Prasekolah yang sedang Menjalani Hospitalisasi di IRNA II RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta” menunjukkan hasil yang hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan pada kelompok eksprimen, yaitu adanya perbedaan yang bermakna antara sebelum dan setelah diberikan terapi bermain. Dan disini penulis melakukan penelitian pada dua kelompok, yaitu kelompok eksprimen dan kelompok kontrol, sedangkan pada penelitian sebelumnya tidak menggunakan kelompok kontrol. Dan hasil penelitian pada kelompok kontrol, yaitu adanya perbedaan antara sebelum dan setelah terapi bermain pada kelompok kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian pada kelompok kontrol yang berdasarkan karakteristik respondennya, yaitu berjenis kelamin perempuan, berusia 5 tahun, lamanya perawatan selama 4-6 hari dan selama menjalani perawatan anak selalu ditemani oleh orangtuanya, sehingga membuat anak merasa lebih nyaman didalam menjalani perawatan.
Banyak diantara anak prasekolah yang mengalami hospitalisasi menjadi anak yang pendiam. Ada juga diantara mereka yang menangis dengan perlahan-lahan untuk mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan. Anak prasekolah yang sedang mengalami hospitalisasi biasanya tidak kooperatif dengan petugas kesehatan. Sering mereka menghindari petugas kesehatan yang mereka anggap sebagai seseorang yang telah memisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai (Sufyanti, 2008).
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
65
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan dan stress pada anak adalah dengan bermain. Bermain dirumah sakit memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya, merasa takut, dan memperhatikan terhadap perlakuan atau penyakitnya, pengobatan dan lingkungan rumah sakit serta menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi, dan memperhatikan perlindungan pada anak terhadap stress karena dapat membantu anak dalam menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan. Melalui bermain anak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan teman dan lingkungannya yang baru serta dapat menunjukkan tindakan kooperatif terhadap petugas kesehatan didalam mendapatkan perawatan atau pengobatan (Wong, 2008).
Bermain juga menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan anak terhadap stres, sebab bermain membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif. Dengan demikian diharapkan respon anak terhadap hospitalisasi berupa perilaku agresif dan regresi dapat berkurang sehingga anak lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit (Wong, 2008).
D. Keterbatasan Penelitian 1. Kesulitan Penelitian
a. Peneliti sendiri yang melakukan terapi bermain dan observasi langsung terhadap tingkat kooperatif pada anak yang dilakukan pada dua kelompok, yaitu kelompok eksprimen dan kelompok kontrol walaupun telah dibantu oleh perawat atau praktekan yang ada tetapi peneliti tidak dapat melakukan observasi secara bersamaan.
b. Keterbatasan waktu dalam membujuk anak untuk terlibat dalam aktivitas terapi bermain.
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
66
c. Tidak semua responden kelompok eksprimen yang akan diberikan terapi bermain mau ikut serta tetapi peneliti tetap melakukan pendekatan kepada anak untuk terlibat dalam aktivitas terapi bermain.
d. Dikarenakan tempat penelitian berada dalam satu bangsal, adanya responden dari kelompok kontrol yang ikut main bersama kelompok eksprimen sehingga peneliti susah untuk menentukan tindakan yang harus diberikan agar kelompok kontrol bersedia memisahkan diri dengan kelompok eksprimen.
2. Kelemahan Penelitian
a. Pada kelompok eksprimen terapi bermain hanya diberikan satu kali, sehingga pada kelompok eksprimen kemungkinan akan tetap tidak kooperatif pada esok harinya. Tetapi, peneliti tetap memberikan motivasi terhadap orangtua atau penunggu untuk tetap memberikan aktivitas bermain pada anak.
b. Pelaksanaan terapi bermain pada anak cukup singkat, yaitu hanya berkisar 40 menit tiap harinya dan pada responden yang berbeda tiap waktunya, sehingga peningkatan perilaku kooperatif anak tidak dapat dilihat tiap harinya.
STIKES JENDERAL A. YANI YOGYAKARTA
PERPUSTAKAAN
67 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dalam rangka kesembuhan anak yang dirawat di
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dalam rangka kesembuhan anak yang dirawat di