• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

A. Ciri-ciri Subjek Penelitian

Tabel IV.1 Distribusi Data Responden Berdasarkan Usia

Usia Seksio

sesaria

prosentase Spontan Prosentase

20-29 tahun 28 84,85 % 30 90,91 %

30-35 tahun 5 15,15 % 3 9,09 %

Jumlah 33 100 % 33 100 %

Dari tabel IV. diketahui bahwa berdasarkan usia responden pada kelompok usia 20-29 tahun pada persalinan seksio sesaria sebanyak 84,85 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 90,91 %. Kelompok usia 30-35 tahun sebanyak pada persalinan seksio sesaria sebanyak 15,15 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 9,09 %. Rerata usia persalinan pada seksio sesaria adalah 25,57 tahun sedangkan pada persalinan spontan adalah 23,45 tahun.

Tabel IV.2 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Penghasilan Seksio

sesaria

Prosentase Spontan Prosentase

<Rp 1.000.000 9 27,27 % 26 78,79 % ≥Rp 1.000.000 24 72,73 % 7 21,21 %

Jumlah 33 100 % 33 100 %

Dari tabel IV.2 diketahui jumlah responden yang mempunyai penghasilan < Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria sebanyak 27,27 % sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 78,79 %. Responden yang mempunyai penghasilan ≥ Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria sebanyak 72,73 % sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 21,21 %. Tabel IV.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan.

Persalinan Jumlah Prosentase Spontan Seksio sesario 33 33 50,00 % 50,00 % Jumlah 66 100,00 %

Dari tabel IV.3 diketahui jumlah responden dengan persalinan spontan sebanyak 33 orang (50,00 %) dan responden dengan persalinan seksio sesaria sebanyak 33 orang (50,00 %).

Tabel IV.4 Distribusi Responden Berdasarkan Postpartum Blues. Postpartum Blues Jumlah Prosentase Ada Tidak 28 38 42,40 % 57,60 % Jumlah 66 100,00 % commit to user

Dari tabel IV.4 diketahui jumlah responden yang ada (mengalami)

postpartum blues sebanyak 28 orang (42,40 %) dan responden tidak

postpartum blues sebanyak 38 orang (57,60 %).

B. Analisis Data.

Untuk mengetahui perbedaan kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesario dan persalinan spontan uji statistik Chi Kuadrat. Tabel 5. Tabulasi Silang Hasil Penelitian

Tidak Postpartum Blues Postpartum Blues Total Persalinan SC Count (% of Total) 14 (21.2 %) 19 (28.8 %) 33 (50.0 %) Persalinan Spontan Count (% of Total) 24 (36.4 %) 9 (13.6 %) 33 (50.0 %) Total Count (% of Total) 38 (57.6 %) 28 (41.4 %) 66 (100 %)

Dari penelitian diperoleh hasil pada tabulasi silang responden dengan persalinan seksio sesaria yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14 orang (21,2%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 19 orang (28,8%). Sedangkan responden dengan persalinan spontan yang tidak mengalami

postpartum blues sebanyak 24 orang (36,40%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 9 orang (13,6%). Dari hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai c² hitung sebesar 6,203 dengan p-value sebesar 0,01, dengan df 1 c² tabel sebesar 3,8. Oleh karena c²hitung (6,203) > c²tabel (3,8) atau p value (0.01) < 0,05 (a) maka Ho ditolak, sehingga dapat dinyatakan ada perbedaan yang

bermakna kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesaria dan persalinan spontan. Risiko prevalensi pada persalinan seksio sesaria sebesar 2,11 yang berarti risiko postpartum blues dua kali lebih besar pada persalinan seksio sesaria.

BAB V PEMBAHASAN

Pospartum blues terdiri dari 28 gejala yang dibagi menjadi 7 kelas, di mana masing-masing kelas jumlah gejalanya tidak sama. Seorang dikatakan mengalami postpartum blues jika terdapat 12 gejala dari 28 gejala yang ada. Dari tabel IV.5 tabulasi silang hasil penelitian sebagian besar kejadian

postpartum blues dialami pada persalinan seksio sesaria yaitu sebesar 28,80 % sedangkan pada persalinan spontan sebesar 13,60 %. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian dari Gonidakis (2007), sekitar 71,3 % perempuan yang baru melahirkan di Yunani mengalami postpartum blues di tiga hari pertama

postpartum.

Persalinan seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Selain itu ada pertimbangan lain yang digunakan sebagai indikasi seksio sesaria yaitu ibu dengan risiko tinggi persalinan. Komplikasi yang terjadi pada tindakan ini menyebabkan trauma jaringan baik pada ibu maupun janin. Trauma jaringan (fisik) pada ibu dapat mengakibatkan nyeri pasca seksio sesaria akut yang dapat mengganggu kondisi fisik dan psikologis sang ibu. Menurut Patel (2005) dan Sword (2009) menyatakan bahwa perawatan di rumah sakit yang lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta penundaan ke aktivitas normal yang

lebih lama dapat mempengaruhi gangguan psikologis pada ibu, yaitu depresi pasca persalinan.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cury (2008), postpartum blues yang muncul pada perempuan

post operatif (SC) terlihat lebih nyata dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan secara normal. Perbedaan sangat nyata terlihat dari waktu munculnya gejala postpartum blues. Pada perempuan yang melahirkan secara normal, gejala postpartum blues terlihat memuncak di hari ke tiga dan empat, sedangkan pada perempuan post SC gejala-gejala postpartum blues muncul segera setelah operasi dan menghilang secara progresif.

Menurut Iles (1989), perempuan yang menjalani kelahiran dengan SC lebih berisiko mengalami gangguan mood setelah melahirkan di awal masa

postpartum dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan spontan. Hal

tersebut karena stres akibat proses pembedahan yang dilakukan, yang mengakibatkan perubahan pada sistem endokrin dan psikologis di masa

puerpurium sehingga berakibat berkembangnya postpartum blues yang lebih nyata terlihat (Stig, 2001).

Postpartum blues yang muncul pada perempuan yang baru melahirkan karena perubahan hormonal setelah melahirkan, yaitu pengaruh perubahan hormon estrogen dan progesteron (Kennerley, 1989). Menurut Levy (1987), pada perempuan post SC, postpartum blues ini muncul karena pengaruh hormon kortisol. Hormon kortisol ini seperti diketahui meningkat selama hamil dan setelah operasi yang berakibat pada perubahan mood. Disforia yang

terjadi karena peningkatan hormon kortisol yang menyebabkan hormon adrenal makin meningkat karena stres. Postpartum blues merupakan disforia yang terjadi sebagai reaksi akibat dari stres akut setelah mengalami proses operasi dan karena trauma fisik akibat pembedahan.

Hasil penelitian Isdinawati (2000) menyebutkan kecenderungan depresi

postpartum perempuan primipara lebih tinggi dibandingkan perempuan

multipara. Perempuan primipara belum mempunyai pengalaman dalam merawat anak sehingga timbul rasa takut dan khawatir melakukan kesalahan dalam merawat bayi. Begitu pula dalam melakukan tugas sebagai seorang ibu, wanita primipara merasa bingung, lebih terbebani, dan merasa kebebasannya berkurang dengan hadirnya seorang anak (Isdinawati, 2000)

Menurut Freudenthal (1999), postpartum blues yang dialami seorang perempuan setelah melahirkan terjadi karena sedikit atau tidak ada sama sekali bantuan dalam merawat anak. Hal tersebut dapat terjadi pada setiap perempuan, baik pada perempuan primipara maupun multipara. Postpartum blues yang dialami perempuan setelah melahirkan juga disebabkan kurangnya pengetahuan perempuan yang baru melahirkan terhadap tugas-tugas baru yang harus dijalani sebagai seorang ibu (Hunker, 2007).

Menurut Fisher (1997) bahwa perempuan yang menjalani seksio sesaria

emergency akan mengalami perasaan gagal dan penurunan harga diri lebih besar karena tidak dapat melahirkan dengan normal serta tidak memiliki persiapan sebelumnya. Kelahiran dengan prosedur seksio sesaria commit to user emergency

akan membawa dampak psikologis yang negatif bagi perempuan setelahnya dibandingkan perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif. Perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif, persiapan telah dipersiapkan sebelumnya karena mendapat informasi dari tenaga kesehatan. Perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif akan menerima informasi mengenai proses seksio sesaria, waktu yang dibutuhkan, dan risiko yang kemungkinan muncul setelahnya dari staf kesehatan sewaktu pemeriksaan antenatal care.

Proses informasi yang diterima akan membuat wanita yang menjalani seksio sesaria elektif mempersiapkan diri lebih baik secara fisik maupun mental serta proses penyembuhannya akan lebih cepat dan tidak menimbulkan trauma yang berat seperti pada wanita yang menjalani seksio sesaria emergency (Churcill, 2005).

Perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak mengetahui sebelumnya bahwa kehamilannya harus diakhiri dengan seksio sesaria. Pemberitahuan bahwa proses persalinan akan dilakukan dengan seksio sesaria dilakukan sesaat sebelum proses operasi, sehingga perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak dapat mengantisipasi perasaannya (Churcill, 2005). Perempuan yang mejalani seksio sesaria emergency tidak memiliki persiapan dan pengetahuan yang cukup mengenai seksio sesaria dan dampak yang ditimbulkan setelah seksio sesaria. Seorang perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency akan merasa lebih takut akan kematian atau terluka, takut kehilangan bayinya, serta kehilangan kesadaran seterusnya akibat

penggunaan anestesi (loss contact with reality) karena tidak pernah terpikirkan akan melahirkan dengan seksio sesaria sebelumnya (Ryding, 2000).

Trauma akan kelahiran dengan proses operasi tanpa pemberitahuan sebelumnya merupakan salah satu penyebab postpartum blues. Selain karena trauma, proses pemisahan dengan bayi yang baru dilahirkan yang belum diantisipasi sebelumnya membuat kekhawatiran perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency bertambah. Sebagian besar perempuan yang menjalani SC, mempunyai masalah pada keadaan ibu dan bayinya sehingga keadaan keduanya setelah proses persalinan akan dipisahkan sampai keadaan keduanya stabil. Banyak wanita yang merasa cemas dan khawatir dengan keadaan fisik bayinya (Hunker, 2007).

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Iles (1989) yang dilakukan di RS Oxford, kelas postpartum blues yang paling dominan pada wanita post operasi adalah kelas retardasi (retardation) dan kelas kepercayaan diri. Kedua kelas tersebut memuncak di hari pertama dan kedua, selanjutnya menurun sampai hari ke sepuluh. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Kennerly dan Gath (1989) menyebutkan, bahwa gejala postpartum blues yang paling sering muncul pada wanita yang baru melahirkan berada dalam kelas primary blues

dan retardasi di mana masing-masing proporsinya adalah 36 %.

Penelitian Kane melaporkan, bahwa sekitar 64 % perempuan baru saja melahirkan mengalami kecemasan, depresi, commit to user mood yang labil dan kesulitan

kognitif (kurangnya konsentrasi dan penurunan memori jangka pendek) (Henshaw, 2003). Penelitian dari Herlina (2008) menyebutkan, sekitar 7 orang (18,92%) dari 37 orang perempuan postpartum mengalami depresi ringan (postpartum blues) dengan menunjukkan gejala-gejala seperti kelelahan, mudah tersinggung dan mudah menangis tanpa alasan yang jelas.

Banyak perempuan yang baru melahirkan mengalami perasaan bahagia dan disforia dalam waktu bersamaan (Henshaw, 2003). Penelitian dari Cury (2008) dengan Stein’s Scale menjelaskan, sekitar 50% perempuan mengalami

postpartum blues mengalami gejala mudah meneteskan air mata dan perasaan

sangat sedih. Penelitian dari Okano dan Nomura cit Rohde (1997) menjelaskan bahwa gejala yang sering muncul di hari ke tiga sampai hari ke lima antara lain kelelahan, emosi yang naik turun, dan mudah meneteskan air mata.

Pada penelitian ini didapatkan tingginya gejala ketidaknyamanan, kelelahan, dan kegelisahan. Penelitian yang dilakukan oleh Levy (1987) menyebutkan, gejala yang paling banyak muncul pada perempuan post operasi yang mengalami postpartum blues adalah ketidaknyamanan (89%), kelelahan (86%) dan kegelisahan (70%) dengan menggunakan Blues Rating Questionnaire oleh Stein. Ketidaknyamanan disebabkan adanya luka di dearah pembedahan yang menyebabkan rasa nyeri lebih hebat yang dirasakan dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan normal. Ketidaknyamanan juga membuat para perempuan post operasi pembedahan

kesulitan untuk melakukan aktivitasnya. Kelelahan terjadi karena beban berat dialami perempuan selama hamil serta proses kelahiran dengan proses pembedahan yang membuat seorang perempuan merasa tertekan (Iles, 1989). Kelelahan juga karena proses kala I yang panjang yang dialami perempuan sebelum melahirkan, di mana pada nulipara dihabiskan waktu sekitar 8 jam, sedangkan multipara sekitar 5 jam (Cunningham, 2000).

Sekitar 15-80% perempuan yang sedang berada di masa puerpurium

mengalami perasaan yang sangat sedih dan mudah meneteskan airmata. Ketidaknyamanan fisik, stres sementara yang dialami setelah melahirkan dan gangguan psikologis akibat perubahan hormonal yang menyebabkan munculnya gejala-gejala tersebut. Sering meneteskan air mata dialami sekitar 50-80% perempuan yang baru melahirkan. Perasaan meneteskan air mata ini merupakan perasaan bahagia atas kelahiran sang bayi dengan selamat dan air mata yang menetes sering tidak disadari oleh para perempuan (Henshaw, 2003).

Postpartum blues yang muncul di masa puerperium tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi munculnya

postpartum blues. Menurut Kennerly dan Gath (1989) terdapat hubungan yang signifikan antara postpartum blues dengan riwayat penyakit obstetrik. Riwayat penyakit obstetrik yang biasanya ditemukan adalah abortus di awal kehamilan, adanya penyakit penyerta selama kehamilan, model persalinan yang dilakukan serta komplikasi yang ditemukan pada ibu dan bayi, seperti kelelahan dan

perdarahan pada ibu, serta lilitan tali pusat, jaundice, dan mata yang tidak dapat membuka (sticky eyes) pada bayi. Keadaan seperti di atas akan mempengaruhi keadaan emosional perempuan yang mengalaminya dan lebih rentan mengalami gangguan emosional setelah melahirkan.

Kecemasan selama kehamilan merupakan suatu perasaan yang subjektif yang dialami perempuan yang penuh tekanan emosional selama kehamilan. Kecemasan yang dialami lebih sering terjadi di trimester tiga atau menjelang kelahiran yang berhubungan dengan gangguan emosional perempuan terkait dengan beban untuk melahirkan (Gonidakis, 2007). Kecemasan dan ketakutan yang muncul di trimester tersebut di antaranya pikiran bagaimana perempuan

postpartum merespon nyeri selama proses persalinan, kehilangan kontrol dan emosi, serta khawatir akan keadaan bayi dan dirinya sendiri setelah melahirkan. Kecemasan selama kehamilan ditunjukkan oleh perasaan mudah tersinggung, mudah menangis, khawatir, dan sering membayangkan sesuatu. Pernyataan lain yang memperkuat hubungan antara postpartum blues dengan riwayat kecemasan selama kehamilan adalah penelitian Henshaw (2003), menjelaskan bahwa kecemasan yang terjadi selama kehamilan akan berpengaruh sangat besar pada gangguan emosional setelah melahirkan. Hasil penelitian mengenai hubungan bermakna antara postpartum blues dengan kecemasan juga dijelaskan dalam penelitian Murata (1998) dan Adewuya (2005).

Dukungan sosial diperlukan perempuan yang baru melahirkan untuk mengurangi stress dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan memberikan keamanan, kontak sosial, penerimaan, rasa memiliki serta kasih sayang (Rutgers, 2003). Dukungan sosial berhubungan dengan seorang perempuan untuk mengatasi segala macam perubahan yang terjadi setelah melahirkan. Penerimaan dukungan sosial oleh perempuan di masa postpartum

meliputi perasaan menerima dukungan sosial, keadekuatan dukungan sosial yang diterima serta kepuasan dukungan sosial yang diterima (Hunker, 2007).

Dukungan dari suami di masa setelah melahirkan sangat penting dalam masa penyesuaian diri seorang perempuan sebagai seorang ibu. Aspek yang lain dapat diperoleh dari orang tua, saudara, keluarga besar, serta teman (Hopkins, 2008). Menurut Rutgers (2003), aspek dalam dukungan sosial antara lain dukungan instrumental, penghargaan, emosional, dan dukungan informasional. Dukungan emosional dan instrumental yang cukup dapat membantu seorang perempuan meningkatkan keadaan fisiknya setelah melahirkan dan membantu dalam perawatan anak. Dukungan sosial yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan seorang yang membantu proses persalinan akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis perempuan yang menerimanya (Hopkins, 2008).

Peneliti menyadari bahwa masih terapat hal yang menjadi keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Waktu pengambilan sampel relatif singkat dan hari postpartum yang tidak

2. Beberapa variabel luar belum dapat dikendalikan dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, hormon, pendidikan, agama, dan sosial ekonomi.

3. Dalam pengisian kuesioner peneliti tidak didampingi oleh pihak yang berkompeten dalam bidang psikiatri.

BAB VI

Dokumen terkait