• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.4 Alur Pelaksanaan Penelitian

3.4.4 Analisis Hasil Percobaan

Pada penelitian ini diusahakan agar aliran yang terjadi adalah aliran sub kritis dengan nilai Fr < 1. Kedalaman aliran (yo) diukur pada titik tertentu yang belum terganggu akibat adanya abutmen. Pencatatan kedalaman aliran dilakukan beberapa kali pada saat yang bersamaan untuk mendapatkan data rata-rata kedalaman aliran yang optimal. Kedalaman gerusan (ys) diukur pada daerah gerusan yang paling maksimal yaitu disekitar ujung pilar.

Kecepatan aliran rata-rata (U) adalah perbandingan data debit yang telah dikalibrasi dengan luas penampang basah � =

�.�0 . Kecepatan aliran kritis (Uc) diambil pada saat material dasar mulai bergerak.

Kemiringan dasar saluran yang akurat sulit diperoleh karena perbedaan tinggi dasar saluran atau kedalaman aliran yang relatif kecil dan panjang flume yang terbatas. Untuk mendapatkan kemiringan dasar saluran, S0, dihitung dengan menggunakan rumus,� = (� �)2 , aliran dianggap seragam maka S0 = Sf = Sw.

Data kontur hasil pengukuran kemudian diolah menggunakan software (program komputer) surfer untuk mendapatkan tampilan kontur permukaan di sekeliling abutmen.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Material Dasar

Pengujian dilakukan di Laboratorium Rekaya Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Pasir yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir lolos saringan ASTM no. 8 dan tertahan pada no. 100 dengan Spesifik Grafity 2.65 serta kadar lumpur 1.25 % dan nilai d50 diperoleh dari pengujian analisa gradasi butiran. Dimana pasir sebagai material dasar diayak terlebih dahulu untuk mendapatkan ukuran butiran yang besarnya relatif merata. Hasil analisa gradasi butiran dapat dilihat di Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Analisa Gradasi butiran

Ayakan No. Ayakan dalam (mm) Berat Tertahan (gr) Berat Lolos (gr) Berat Lolos % 2 9.520 4 996 99.60 4 4.750 52 944 94.40 8 2.360 35 909 90.90 16 1.180 130 779 77.90 30 0.600 182 597 59.70 50 0.300 412 185 18.50 100 0.150 168 17 17.00 Σ = 983 Sumber: Hasil penelitian

Hasil analisa gradasi butiran dimasukkan dalam bentuk grain diameter

yang kemudian dapat diketahui nilai d50. Pada gambar 4.1 terlihat bahwa d50 adalah 0.51 mm

Gambar 4.1 Gradasi Sedimen

4.2 Karakteristik Aliran

Dalam melakukan penelitian karakteristik aliran tahap awal pengamatan yaitu dilakukan tanpa menggunakan abutmen. Pengamatan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui besar kecepatan aliran kritis pada material sedimen pasir dengan d50= 0.51 mm yang telah diuji di Laboratorium Rekayas Bahan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Dari hasil pengamatan tersebut diperoleh data-data yang menunjukan bahwa kecepatan aliran kritik atau kecepatan aliran pada saat butiran mulai bergerak adalah Uc = 0.23 m/s maka debit kritik yang terjadi adalah Qc = 0.62 lt/s.

Menurut data-data hasil penelitian yang telah dilakukan sehingga dapat diketahui besarnya debit aliran yang mengalir pada saluran (Q), kecepatan aliran rata-rata (U), angka Froude (Fr), dan angka Reynold (Re). Pengujian menggunakan debit aliran (Q) = 0.5 lt/s dengan kedalaman aliran (h) = 55 mm, sehingga didapat besarnya kecepatan aliran rata-rata (U) = 0.12 m/s, dengan kondisi aliran seragam (steady uniform). Kemudian dari data dapat dihitung intensitas aliran (U/Uc) = 0.52 dan bilangan Froude (Fr) = 0.163 serta angka Reynolds (Re) = 6600 terlihat seperti pada tabel 4.2.

Selanjutnya, dilakukan pengamatan proses gerusan pada abutmen. Proses gerusan yang terjadi adalah clear water scour yaitu gerusan pada lapisan dasar tanpa disertai terbawanya material oleh aliran. Selanjutnya dari definisi clear water scour terjadi saat 0,5≤U/Uc<1 dan live bed scour terjadi saat U/Uc≥1 maka, gerusan yang terjadi termasuk dalam kondisi clear water scour. Syarat untuk terjadinya kondisi clear water scour yaitu kecepatan aliran yang terjadi lebih kecil dari kecepatan aliran kritiknya (kecepatan aliran pada saat butiran mulai bergerak) dengan kata lain U<Uc.

Klasifikasi aliran melalui saluran terbuka akan turbulen apabila angka Reynolds Re >1000, dan laminar apabila Re < 500. Aliran disebut sub kritis apabila Fr <1, kritis apabila Fr =1, dan super kritis apabila Fr >1. Sehingga berdasarkan bilangan Froude dan angka Reynolds aliran yang terjadi untuk Fr <1 dan Re >1000 adalah termasuk kedalam aliran turbulen sub kritis.

Tabel 4.2 Karakteristik aliran Bentuk Abutmen B (mm ) H (mm ) Q (l/s ) U (m/s ) d50 (mm ) Qc (l/s) Uc (m/s ) Fr Re Jenis Aliran Dinding Vertikal Tanpa Sayap 76 55 0.5 0.12 0.51 0.62 0.23 0.16 3 6600 Turbule n Subkriti s Dinding Vertikal dengan Sayap 76 55 0.5 0.12 0.51 0.62 0.23 0.16 3 6600 Turbule n Subkriti s Sumber: Hasil penelitan

4.3 Aplikasi Program Surfer

Surfer adalah program pembuat peta kontur sederhana dengan kemampuan yang seperti Contouring dan permukaan, program perangkat lunak pemetaan 3D yang berdiri dibawah Microsoft Windows. Perangkat lunak Surfer mengkonversi data yang dihasilkan dari penelitian kedalam kontur, permukaan, wireframe, vektor, relif berbayang, peta pos dan gambar.

Surfer berbasis data yang berekstensikan, misalnya: *.xsl, *.dat, *.wk, dll. Untuk mulai menginput data ada 3 pilihan jenis data yang bisa di inputkan yaitu input plot,input worksheet dan editor. Plot dokumen adalah lembar kerja untuk membuat atau mengedit data dan juga memproses file grid dan peta. Worksheet adalah lembar kerja untuk menampilkan, memasukan, mengedit dan menyimpan data. Program surfer ini digunakan untuk mendapatkan hasil pola gerusan disekitar pilar berdasarkan data lapangan yang telah diperoleh sebelumnya pada saat penelitian. Cara mengaplikasikan program surfer untuk mendapatkan pola gerusan dengan data lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Data koordinat hasil penelitian dibuat dalam format excel (*.xls) berupa titik x,y dan z.

Gambar 4.2 Data hasil penelitan dibuat dalam format excel (*.xls) b. Buka software Surfer, pilih new, plot document pada menu bar.

Gambar 4.3 Tampilan jendela kerja Surfer.

c. Masukan data koordinat x, y, z pada worksheet

d. Simpan data worksheet dalam bentuk *.bln

Gambar 4.5 Tampilan penyimpanan data worksheet dalam bentuk *.bln e.Pilih new plot, grid, data pada menu bar. Pilih data worksheet sebelumnya yang

disimpan dalam bentuk *.bln

Gambar 4.6. Tampilan new data grid.

f. Data dalam bentuk *.bln dikonversikan ke bentuk .grd

g. Pilih new countur map dan new 3D wireframe

Gambar 4.8 Tampilan new contour map.

h. Pilih data koordinat yang sudah tersimpan dalam bentuk .grd. Hasil contour dan isometri akan ditampilkan.

Gambar 4.9 Tampilan contour dari data .grd.

4.4 Perkembangan Kedalaman Gerusan Terhadap Waktu

Pengamatan gerusan meliputi kedalaman aliran dan kedalaman gerusan maksimum. Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan variabel waktu 1 menit, 5 menit, 10 menit dan 15 menit. Cara mengamati gerusan pada tiap kali percobaan adalah dengan mencatat besarnya kedalaman gerusan tiap selang waktu 1 menit selama 10 menit, tiap selang waktu 5 menit selama 30 menit, tiap selang waktu 10 menit selama 30 menit dan tiap selang waktu 15 menit selama 180 menit sampai tercapai kondisi setimbang (equilibrium scour depth). Titik yang diukur

diambil mulai dari titik pengamatan 1 yang terletak pada abutmen bagian samping kemudian berputar berlawanan arah jarum jam sampai semua titik terukur, yaitu pada titik pengamatan 9 pada bagian samping abutmen satunya lagi.

Pada awal pengamatan dari setiap percobaan untuk kisaran waktu 0 sampai 1 menit, tampak terjadi penambahan kedalaman gerusan yang kecil. Hal ini disebabkan pada saat awal pengamatan debitnya dibuka perlahan-lahan dari debit kecil kemudian diatur sampai debit yang ditentukan. Setelah mencapai debit yang ditentukan dan besarnya konstan maka penambahan kedalaman gerusan akan terlihat semakin besar seiring dengan lama waktu pengamatan dan selanjutnya besarnya penambahan kedalaman gerusan semakin kecil setelah mendekati kondisi kesetimbangan (equilibrium scour depth).

Setiap kali pengamatan gerusan dilakukan selama 250 menit, karena dapat dianggap hingga waktu tersebut tidak lagi terjadi perubahan kedalaan gerusan atau dengan kata lain telah mendekati kondisi kesetimbanan.. Hal ini ditunjukan oleh

trend grafik yang dibentuk mendekati garis lurus seperti terlihat pada gambar hasil analisis.

4.4.1. Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu pada Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap

Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap seperti yang terdapat pada lampiran , dapat diketahui hubungan kedalaman gerusan terhadap waktu seperti yang telah ditampilkan dalam gambar 4.10.

Gambar 4.10 Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu

Gambar 4.11 Titik pengamatan pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap

Berdasarkan trend grafik 4.10 dapat dilihat bahwa gerusan yang terjadi pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan debit (Q) = 0.5 lt/s mengalami peningkatan kedalaman gerusan yang pada awalnya kecil kemudian membesar lalu semakin lama penambahan kedalaman gerusannya semakin mengecil hingga pada saat menit tertentu akan mencapai kesetimbangan (equilibrium scour depth). Terlihat bahwa perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 3 pada sisi samping abutmen bagian depan dan perkembangan gerusan terkecil

-1,80 -1,60 -1,40 -1,20 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 1 3 5 7 9 15 25 35 50 70 100 130 160 180 210 250 K e da la m a n Ge rus a n ( z/ b) Waktu (t) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8

tercapai pada titik pengamatan 9 yang dapat dilihat pada gambar Pada gambar 4.11.

4.4.2. Perkembangan Kedalaman Gerusan Terhadap Waktu pada Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap.

Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu pada abutmen dinding vertikal dengan sayap seperti yang terdapat pada lampiran, dapat diketahui hubungan kedalaman gerusan terhadap waktu seperti yang telah ditampilkan dalam gambar 4.12.

Berdasarkan trend grafik 4.12 dapat dilihat bahwa gerusan yang terjadi pada abutmen dinding vertikal dengan sayap dengan debit (Q) = 0.5 lt/s mengalami peningkatan kedalaman gerusan yang pada awalnya kecil kemudian membesar lalu semakin lama penambahan kedalaman gerusannya semakin mengecil hingga pada saat menit tertentu akan mencapai kesetimbangan (equilibrium scour depth). Terlihat bahwa perkembangan gerusan terbesar terjadi pada titik pengamatan 4 pada sisi samping abutmen bagian depan dan perkembangan gerusan terkecil terdapat pada titik pengamatan 9 yang masing-masing dapat dilihat pada gambar 4.13.

Gambar 4.12 Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu

Gambar 4.13 Titik pengamatan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap.

4.4.3. Perkembangan Kedalaman Gerusan Maksimum

Pada gambar 4.10 dan gambar 4.12 dapat diketahui besarnya kedalaman gerusan maksimum yang terjadi pada masing-masing abutmen seperti yang terlihat pada gambar 4.14.

-1,40 -1,20 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 1 3 5 7 9 15 25 35 50 70 100 130 160 180 210 250 K e da la m a n Ge rus a n ( z/ b) Waktu (t) Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik 8 Titik 9

Gambar 4.14. Perkembangan kedalaman gerusan maksimum terhadap waktu

Dalam gambar 4.14 dapat dilihat bahwa gerusan yang terjadi pada kedua bentuk abutmen terlihat mengalami peningkatan kedalaman gerusan yang pada awalnya besar kemudian semakin lama penambahan kedalaman gerusannya mengecil hingga pada saat menit tertentu telah mendekati kondisi kesetimbangan (equilibrium scour depth). Hal ini ditunjukan oleh trend grafik yang dibentuk mendekati garis lurus seperti terlihat pada gambar hasil analisis.

Menurut Yulistianto dkk. (1998) dalam Abdurrasyid (2007), gerusan yang terjadi di sekitar abutmen jembatan adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh bangunan tersebut. Sistem pusaran yang menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir.

-1,80 -1,60 -1,40 -1,20 -1,00 1 3 5 7 9 15 25 35 50 70 100 130 160 180 210 250 z/b Waktu (menit)

Abutmen dinding vertikal tanpa sayap

Pada perkembangan kedalaman gerusan maksimum yang ada pada berbagai jenis abutmen, dapat diketahui tp (t pada saat waktu puncak mulai terjadi gerusan maksimum). Sehingga dapat diketahui perbedaan t puncak dari kedua jenis abutmen yang terlihat pada gambar 4.15.

Gambar 4.15 Perkembangan kedalaman gerusan maksimum tiap jenis abutmen terhadap waktu pada saat t puncak.

Tabel 4.3 Kedalaman gerusan pada saat waktu puncak.

Variasi Abutmen

Waktu Puncak (tp)

Kedalaman Gerusan (Ds/b)

Abutmen Dinding Vertikal Tanpa

Sayap 145 1.70

Abutmen Dinding Vertikal dengan

Sayap 100 1.20

Sumber: Hasil penelitian

-1,80 -1,70 -1,60 -1,50 -1,40 -1,30 -1,20 -1,10 -1,00 0 1 2 3 4 z/b t/tp (menit)

Abutmen dinding vertikal tanpa sayap Abutmen dinding vertikal dengan sayap

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat pada abutmen dengan debit aliran tetap menunjukkan bahwa gerusan awal yang terjadi pada kedua abutmen umumnya dimulai dari sisi samping abutmen bagian depan. Waktu puncak mulai terjadinya gerusan maksimum pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap adalah menit ke 145 sedangkan untuk abutmen dinding vertikal dengan sayap waktu puncaknya adalah menit ke 100, perbedaan waktu puncak ini dipengaruhi oleh jenis dari abutmen.

4.5. Pola Gerusan

Pengamatan proses perkembangan kedalaman gerusan yang dilakukan di laboratorium menunjukan bahwa besarnya kedalaman gerusan bervariasi di tiap sisi abutmen dari kedua jenis abutmen. Proses penggerusan dimulai dari sisi samping bagian depan abutmen sebelah hulu. Lubang gerusan awal kemudian menyebar ke bagian depan dan sepanjang sisi abutmen sedangkan gerusan terkecil terdapat pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hulu aliran. Proses penggerusan ini terus terjadi dari awal penggerusan sampai kondisi stabil.

Setiap kali running selesai dilakukan pengukuran kontur disekitar abutmen. Pengukuran kontur ini dilakukan dengan pointgauge dan garis bantu yang ada pada sisi abutmen yang berguna untuk mengukur kedalaman gerusan dan deposisi yang terjadi pada material dasar saluran di sekitar abutmen. Pengambilan koordinat kontur yaitu untuk X searah aliran, Y tegak lurus arah aliran (horisontal) dan Z tegak lurus arah aliran (vertikal) seperti terlihat pada gambar 4.16. Kedalaman gerusan (arah Z) diukur dengan interval jarak untuk arah

X sebesar 1 cm dan untuk arah Y sebesar 1 cm. Hasil pembacaan point gauge dan garis bantu pada sisi abutmenmenghasilkan titik-titik kedalaman (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar dengan pola gerusan yang berbeda untuk setiap variasi penelitian. Selanjutnya data-data dan hasil pengukuran diolah untuk mendapatkan peta kontur.

Gambar 4.16. Pola koordinat kontur

Peta kontur diperoleh dari program Surfer yang merupakan Contouring

dan permukaan. Perangkat lunak Surfer mengkonversi data yang dihasilkan dari penelitian kedalam kontur, permukaan, wireframe, vektor, relif berbayang, peta pos dan gambar.

Berikut tampilan dari pola gerusan disekitar abutmen untuk masing-masing variasi bentuk abutmen :

4.5.1. Pola Gerusan di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan menggunakan point gauge

menghasilkan titik-titik kedalaman gerusan (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar. Hasil pengukuran point gauge

0.5 l/s seperti padalampiran . Berdasarkan hasil pengukuran point gauge

kedalaman gerusan disekitar abutmen dinding vertikal tanpa sayap telah ditampilkan sebagai konturgerusan pada gambar 4.17 dan isometri gerusan pada gambar 4.18.

Gambar 4.17 Kontur pola gerusan pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap.

tanpa sayap.

Gerusan yang terjadi di sekitar abutmen adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen. Sistem pusaran menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal akan terus menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai kondisi keseimbangan.

Pada gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan abutmen dinding vertikal tanpa sayap seperti yang ditunjukan dalam gambar 4.17 dan gambar 4.18. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 3 pada sisi samping abutmen bagian depan hulu aliran. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 9 pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hilir, dimana pada bagian abutmen tersebut hanya terjadi sedikit gerusan dan jika melihat sedikit kehilir terjadi penumpukan material dasar. Lubang gerusan terbentuk mulai dari jarak 50 mm dari abutmen arah hulu dengan lebar lubang gerusan sebesar 110 mm.

Bentuk kontur di dekat abutmen cenderung rapat karena tegangan geser di sekeliling abutmen lebih tinggi. Semakin ke hilir tegangan geser yang terjadi

semakin kecil sehingga material yang tergerus semakin sedikit. Hal ini tampak dari jarak garis kontur yang semakin ke hilir terlihat semakin renggang. Pergerakan aliran di hilir abutmen cenderung kembali stabil seperti aliran sebelum membentur abutmen, sehingga penggerus semakin kecil di samping abutmen sebelah hilir dan setelah jarak tertentu di samping abutmen sebelah hilir bahkan terjadi penumpukan material dasar.

Pada peta kontur terlihat bahwa permukaan dasar saluran yang terjadi karena penggerusan membentuk suatu pola gerusan yang khas yaitu berupa lubang dengan diameter dan kedalaman yang cukup besar, dimana lubang gerusan di bagian depan dan bagian hulu abutmen lebih besar dibandingkan bagian hilir. 4.5.2. Pola Gerusan di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan menggunakan point gauge

menghasilkan titik-titik kedalaman gerusan (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar. Hasil pengukuran point gauge

kedalamangerusan di sekitar abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan debit 0.5 l/s seperti padaLampiran . Berdasarkan hasil pengukuran point gauge

kedalaman gerusan ditampilkan sebagai konturgerusan pada gambar 4.19 dan isometri gerusan pada gambar 4.20.

Gambar 4.19. Kontur Pola Gerusan pada Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap.

Gambar 4.20 Isometri Pola Gerusan pada Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap.

Jika dilihat pola gerusan yang terjadi pada abutmen dinding vertikal dengan sayap relatif sama dengan pola gerusan yang terjadi pada abutmen dinding

vertikal tanpa sayap. Gerusan yang terjadi di sekitar abutmen adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen. Sistem pusaran menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal akan terus menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan.

Pada gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap seperti yang ditunjukan dalam gambar 4.19 dan gambar 4.20. Lubang gerusan terjadi dengan jarak 10 mm dari abutmen bagian depan, sedangkan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah 90 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 4 pada sisi samping abutmen bagian depan. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 9 pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hilir, dimana pada hilir tidak jauh dari abutmen terlihat penumpukan material dasar sedimen yang diakibatkan proses transpor sedimen.

Bentuk kontur di dekat abutmen cenderung rapat karena tegangan geser di sekeliling abutmen lebih tinggi. Semakin ke hilir tegangan geser yang terjadi semakin kecil sehingga material yang tergerus semakin sedikit. Hal ini tampak

dari jarak garis kontur yang semakin ke hilir terlihat semakin renggang. Pergerakan aliran di hilir abutmen cenderung kembali stabil seperti aliran sebelum membentur abutmen, sehingga hal ini menyebabkan pendangkalan gerusan di samping abutmen sebelah hilir serta bagian depan abutmen dan setelah jarak tertentu di samping abutmen sebelah hilir terjadi penumpukan material dasar.

Pada peta kontur yang didapat terlihat bahwa permukaan dasar saluran yang terjadi karena penggerusan membentuk suatu pola gerusan yang khas yaitu berupa lubang dengan diameter dengan kedalaman yang cukup besar, dimana lubang gerusan dibagian depan lebih besar dibandingkan dengan bagian hulu dan bagian hilir abutmen. Terlihat bahwa pola kedalaman gerusan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap lebih kecil dibanding abutmen dinding vertikal tanpa sayap.

4.5.3. Pengaruh Bentuk Abutmen tehadap Kedalaman Gerusan

Perbandingan kedalaman gerusan maksimum terhadap kedalaman aliran pada tiap kedalaman aliran seperti terlihat dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Kedalaman gerusan maksimum di sekitar abutmen sebagai fungsi variasi bentuk.

Variasi Abutmen Waktu

Puncak

Kedalaman Gerusan (Ds/b) Titik Pengamatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Abutmen Dinding

Vertikal Tanpa Sayap 145 1.50 1.60 1.70 1.50 1.35 1.15 1.10 0.60 0.25 Abutmen Dinding

Vertikal dengan Sayap 100 1.00 1.10 1.15 1.20 1.10 1.05 0.90 0.60 0.25 Sumber: Hasil pengamatan.

Berdasarkan Tabel 4.4 hasil pengukuran kedalaman gerusan maksimum di sekitar abutmen dengan variasi bentuk abutmen ditampilkan dalam grafik hubungan kedalaman gerusan maksimum pada abutmen sebagai fungsi bentuk abutmen, seperti terlihat dalam gambar 4.21.

Gambar 4.21 Kedalaman gerusan maksimum pada abutmen sebagai fungsi variasi bentuk abutmen.

Gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan pada masing-masing abutmenyang ditunjukan oleh gambar 4.17 sampai gambar 4.20, serta dari gambar kedalaman gerusan maksimum sebagai fungsi variasi bentuk abutmen seperti terlihat pada gambar 4.21. Kedalaman gerusan maksimum dari semua abutmen terjadi pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan kedalaman gerusan 1.70 pada titik pengamatan 3 sedangan abutmen dinding vertikal dengan sayap mengalami penggerusan lebih kecil daripada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan gerusan maksimum sebesar 1.20 yang terjadi pada titik pengamatan 4. Gambar 4.21 di atas juga menunjukan perbedaan pola kedalaman gerusan

-1,80 -1,60 -1,40 -1,20 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 z/b Titik Pengamatan Abutmen Dinding vertikal tanpa sayap Abutmen Dinding vertikal dengan sayap

terjadi disebabkan oleh perbedaan bentuk abutmen. Hal ini dikarenakan bentuk abutmen mempengaruhi besarnya kedalaman dan lebar gerusan.

4.6. Perhitungan Empiris Kedalam Gerusan Lokal

4.6.1. Perhitungan Karakteristik Aliran

Data Parameter Aliran B = 0.076 m h = 0.055 m Q = 0.5 lt/s d50 = 0.23 mm Gs = 2.65

 Menghitung Kecepatan Aliran (U) :

U = Q A = Q

B h = 0.0005

0.076 x 0.055 = 0.12 m/s

 Menghitung Angka Reynold (Re) :

Re = U h

v =0.12 x 0.055

10−6 = 6600

 Re > 1000 maka alirannya adalah aliran turbulen.

 Menghitung Bilangan Froude (Fr) :

Fr = U

�g h = 0.12

√9.81 x 0.055 = 0.163

Dokumen terkait