• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Gerusan Lokal Yang Terjadi Di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap Dan Dengan Sayap Pada Saluran Lurus (Eksperimen)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Gerusan Lokal Yang Terjadi Di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap Dan Dengan Sayap Pada Saluran Lurus (Eksperimen)"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 2. Data Perkembangan Kedalaman Gerusan terhadap Waktu pada Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap.

NO WAKTU KEDALAMAN GERUSAN (Ds/b)

(4)

Lampiran 3. Data Perkembangan Kedalaman Gerusan terhadap Waktu pada Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap.

NO WAKTU KEDALAMAN GERUSAN (z/b)

(5)

Lampiran 4. Hasil Gerusan pada Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap.

Model Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap

(6)
(7)
(8)

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian.

Proses pencucian pasir untuk

mendapatkan pasir yang bersih dari kandungan lumpur.

(9)
(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrosyid, Jaji dan Fatchan, Achmad Karim. 2007. Gerusan di Sekitar Abutmen dan Pengendaliannya pada Kondisi Ada Angkutan Sedimen Untuk Saluran Berbentuk Majemuk. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, Volume 7, Nomor 1, Januari 2007: 20-29. Surakarta: UMS.

Affandi, Mukhammad Risyal.2007. Pengaruh Kedalaman Aliran Terhadap Perilaku Gerusan Lokal Di Sekitar Abutmen Jembatan.Tugas Akhir. Semarang: UNNES.

Breuser. H.N.C. and Raudkivi. A.J. 1991. Scouring. IAHR Hydraulic Structure Design Manual. Rotterdam: AA Balkema.

Chow, V.T. 1992. Hidraulika Saluran Terbuka. Jakarta : Erlangga.

Garde, R.J and Raju K.G.R. 1997. Mechanics Of Sediment Transportation and Alluvial Stream Problem. New Delhi: Willy Limited

Gunawan, H.A. 2006. Pengaruh Lebar Pilar Segiempat Terhadap Perilaku Gerusan Lokal. Skripsi. Semarang: UNNES.

Hanwar, S. 1999. Gerusan Lokal di Sekitar Abutment Jembatan. Tesis. Yogyakarta: PPS UGM.

Husnan, Rawiyah. Th dan Yulistiyanto, Bambang. 2007.Gerusan Lokal di sekitar Dua Abutmen dan Upaya Pengendaliannya. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, no 2 volume 7, Teknik Sipil, Yogyakarta: UGM.

Miller, W. 2003. Model For The Time Rate Of Local Sediment Scour At A Cylb indrical Structure. Disertasi. Florida: PPS Universitas Florida.

Mira, S. 2004. Pola Gerusan Lokal Berbagai Bentuk Abutment dengan Adanya Variasi Debit. Tugas Akhir. Yogyakarta : UGM

Rangga Raju, K.G. 1986. Aliran Melalui Saluran Terbuka. Jakarta : Erlangga. Rinaldi. 2002. Model Fisik Pengendalian Gerusan di Sekitar Abutmen Jembatan.

Tesis. Yogyakarta: PPS UGM.

Sucipto dan Qudus, Nur. 2004. Analisis Gerusan Lokal di Hilir Bed Protection. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan . Nomer 1 Volume 6. Januari 2004. Semarang : UNNES

(11)

Teknik Sipil dan Perencanaan, nomor 1, volume 12, Januari 2010. Semarang: UNNES.

(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hidraulika Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Urutan penelitian dibedakan menjadi dua bagian utama, yaitu:

1. Penelitian secara fisik, dilaksanakan di Laboratorium Hidraulika Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dengan pengamatan dan pencatatan fenomena yang ada pada model.

2. Penelitian secara hipotetik dan analitik, dilaksanakan dengan tujuan menemukan beberapa variabel yang saling berpengaruh.

Penelitian fisik di laboratorium dengan tahapan studi literatur, persiapan alat, persiapan bahan, pembuatan model dan pengumpulan data dari penyajian model. Sedangkan penelitian hipotetik dan analitik berupa analisis data dan membuat kesimpulan hasil penelitian secara ringkas dan jelas.

3.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pasir

(13)

Hal ini dimaksudkan agar material yang dipakai tidak mengandung banyak lumpur, sehingga kondisi aliran mudah diamati.

2. Air

Air yang digunakan adalah air yang tersedia di Laboratorium Hidraulika Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Model Abutmen

Model miniatur abutmen dinding vertikal tanpa sayap dan abutmen vertikal dengan ujung bersayap (wing-wall) yang terbuat dari kayu.

3.3. Alat Penelitian

Peralatan untuk pembuatan model fisik dan pengujian berada di Laboratorium Hidraulika Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik USU. Secara spesifik dapat disampaikan nama dan fungsi dari masing-masing alat yang digunakan tersebut.

1. Recirculating sediment flume

(14)

Sistem aliran pelaksanaan model hidrolika dibuat dengan sistem sirkuit tertutup, agar pengamatan pola aliran dapat dilakukan secara berkelanjutan, tanpa adanya kehilangan banyak air. Air dari kolam tampungan dipompa masuk kedalam tandon air yang berfungsi sebagai kontrol tekanan air (constant head)

yang dilengkapi dengan kran pengatur debit dan dipasang pipa pembuangan untuk antisipasi kelebihan air. Selanjutnya air akan mengalir melewati saluran terbuka dan melewati model pilar sehingga terjadi proses penggerusan kemudian air akan mengalir masuk ke dalam bak penampung. Air masuk ke dalam bak pengatur dan pintu pengatur muka air hilir, yang kemudian masuk kembali ke dalam saluran terbuka. Prosedur pengaliran di atas akan terus berulang selama percobaan (running) berlangsung.

(15)

Disepanjang flume disebarkan material dasar seragam (movable bed) dengan ketebalan 100 mm. Pintu air dipasang pada bagian hilir yang berfungsi untuk mengatur ketinggian muka air, seperti terlihat pada gambar 3.2.

(a) Abutmen vertikal tanpa sayap

(b) Abutmen vertikal bersayap

Gambar 3.2 Tampak atas Abutmen pada flume

Abutmen Vertikal Tanpa Sayap

(16)

2. Point gauge

Alat ini digunakan untuk mengukur kedalaman aliran dan kedalaman gerusan yang terjadi dengan ujung runcing point gauge yang diturunkan hingga kedalaman yang sudah terbentuk oleh aliran. Kedalaman aliran diukur dengan lokasi tiap 10 mm ke arah hulu. Kedalaman gerusan diukur terhadap waktu selama penelitian berlangsung, sedangkan kontur gerusan di sekitar abutmen diukur setelah running selesai dilakukan. Point gauge yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3 Hook and Point gauge

3. Pintu air

(17)

Gambar 3.4. Pintu Air

4. Stop watch

Alat ini digunakan untuk menentukan waktu tiap satuan waktu yang ditentukan untuk pengambilan data kedalaman gerusan selama running berlangsung. Alat ini juga digunakan bersama-sama alat tampung air untuk mengukur debit aliran pada flume.

5. Model Abutmen

(18)

Gambar 3.5 Model Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap (a) dan Model

Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap (b).

Gambar 3.6. Model 3D Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap (a) dan

Model Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap (b).

(a) (b)

(19)

Gambar 3.7. Tampak atas penempatan titik pengamatan pada Abutmen

6. Kamera

Alat ini digunakan pengambilan data serta dokumentasi selama percobaan berlangsung.

7. Meteran dan Penggaris

Alat ini untuk mengukur tinggi material dasar dan kedalaman aliran di sepanjang flume. Serta acuan guna pembacaan data kedalaman gerusan pada sekitar abutmen. Skala ditulis di abutmen untuk membaca proses gerusan ketika

running.

8. Alat bantu lainya (alat tulis, tang, lampu, plastik dan lainnya)

3.4 Alur Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan peralatan

a. Persiapan material sedimen

(20)

b. Uji gradasi butiran material sedimen

Pengujian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Fakultas Teknik USU. Dari pengujian ini diperoleh nilai d50.

c. Pengecekan alat flume

Sebelum digunakan untuk penelitian, lakukan pengecekan alat flume

apakah berfungsi dengan baik atau memerlukan perbaikan sehingga tidak menghambat penelitian.

d. Kalibrasi Alat

Hal ini perlu dilakukan agar data yang di peroleh akurat. Langkah awal yaitu dengan melakukan pengecekan debit aliran yang mengalir secara manual yaitu dengan menampung air yang keluar dari saluran dalam sebuah wadah sampai penuh kemudian catat waktu dan hitung volume air dalam wadah tersebut sehingga diperoleh debit aliran yang terjadi.

e. Penghamparan Material Sedimen

(21)

3.4.2 Percobaan pendahuluan

Percobaan pendahuluan dimaksudkan untuk mengetahui kapasitas debit maksimum yang mampu di berikan oleh pompa. Dengan diketahui debit maksimum, sehingga dapat menentukan debit yang akan digunakan.

3.4.3 Pelaksanan penelitian

Pada pelaksanaan penelitian direncanakan dengan menggunakan dua model abutmen dinding vertika bersayap (wig wall) dan dengan abutmen dinding vertikal tanpa sayap. Langkah-langkah pelaksanaan penelitian sebagai berikut:

a. Model abutmen diletakkan di tengah flume dengan jarak 3.5 m dari hulu, kemudian diatur dengan material pasir yang telah dihamparkan sepanjang

flume.

b. Pengaturan debit aliran yaitu 0.5 lt/s.

c. Pengamatan kedalaman gerusan, dilakukan melalui pengamatan setiap percobaan dengan mencatat kedalaman gerusan dari awal running setiap selang waktu tertentu, yaitu 1 – 10 menit dicatat setiap selang waktu 1 menit, 10 – 40 menit dicatat setiap selang waktu 5 menit, 40 –70 menit dicatat setiap selang waktu 10 menit, 70 – 250 menit dicatat setiap selang waktu 15 menit. Pengamatan kedalaman gerusan dicatat terus menerus selama waktu kesetimbangan.

(22)

tersebut. Data kontur diukur dengan menggunakan alat point gauge. Daerah gerusan yang diukur elevasinya dibagi atas beberapa bagian yaitu arah sejajar aliran dan arah melintang aliran.

e. Setelah dilakukan pengukuran tiga dimensi, pasir diratakan kembali untuk selanjutnya dilakukan running dengan abutmen berikutnya.

(23)

Gambar 3.8 Diagram alur penelitian Pencatatan Data Pengamatan

Kesimpulan dan Saran Analisa Data Uji aliran/

Kalibrasi alat

Running model (clear water scour) Dengan 2 bentuk abutmen:

a. Abutmen vertikal bersayap (wing wall) b. Abutmen vertikal tanpa

sayap (persegi)

Pengamatan dan pengukuran kedalaman gerusan Tinjauan Pustaka

Persiapan Bahan dan Kegiatan Praktikum

Perbandingan Gerusan Lokal di sekitar Abutmen dinding vertikal tanpa sayap dan dengan sayap

(24)

Gambar 3.10 Diagram alur uji laboraturium Persiapan:

1. Uji aliran/ kalibrasi alat 2. Meletakkan Abutmen pada

dinding flume lt/s. Dengan variasi abutmen:

- Abutmen vertikal bersayap (wing wall)

- Abutmen vertikal tanpa sayap

-Pengamatan dan pengukuran kedalaman gerusan yang terjadi di delapan titik yang telah ditentukan dan pada selang waktu yang telah ditetapkan.

2. Hentikan running alat, kemudian ukur kedalaman gerusan disekitar abutmen sepanjang 40 cm pada sumbu X, Y dan Z.

Pengelolaan Data

1. Input data pada program Surfer

untuk mendapatkan pola gerusan. 2. Input data running untuk

mendapatkan grafik kedalaman

(25)

3.4.4 Analisis Hasil Percobaan

Pada penelitian ini diusahakan agar aliran yang terjadi adalah aliran sub kritis dengan nilai Fr < 1. Kedalaman aliran (yo) diukur pada titik tertentu yang belum terganggu akibat adanya abutmen. Pencatatan kedalaman aliran dilakukan beberapa kali pada saat yang bersamaan untuk mendapatkan data rata-rata kedalaman aliran yang optimal. Kedalaman gerusan (ys) diukur pada daerah gerusan yang paling maksimal yaitu disekitar ujung pilar.

Kecepatan aliran rata-rata (U) adalah perbandingan data debit yang telah dikalibrasi dengan luas penampang basah � = �

�.�0 . Kecepatan aliran kritis (Uc) diambil pada saat material dasar mulai bergerak.

Kemiringan dasar saluran yang akurat sulit diperoleh karena perbedaan tinggi dasar saluran atau kedalaman aliran yang relatif kecil dan panjang flume yang terbatas. Untuk mendapatkan kemiringan dasar saluran, S0, dihitung dengan menggunakan rumus,� = (� �⁄)2 , aliran dianggap seragam maka S0 = Sf = Sw.

(26)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Material Dasar

Pengujian dilakukan di Laboratorium Rekaya Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Pasir yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir lolos saringan ASTM no. 8 dan tertahan pada no. 100 dengan Spesifik Grafity 2.65 serta kadar lumpur 1.25 % dan nilai d50 diperoleh dari pengujian analisa gradasi butiran. Dimana pasir sebagai material dasar diayak terlebih dahulu untuk mendapatkan ukuran butiran yang besarnya relatif merata. Hasil analisa gradasi butiran dapat dilihat di Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Analisa Gradasi butiran

(27)

Hasil analisa gradasi butiran dimasukkan dalam bentuk grain diameter

yang kemudian dapat diketahui nilai d50. Pada gambar 4.1 terlihat bahwa d50 adalah 0.51 mm

Gambar 4.1 Gradasi Sedimen

4.2 Karakteristik Aliran

Dalam melakukan penelitian karakteristik aliran tahap awal pengamatan yaitu dilakukan tanpa menggunakan abutmen. Pengamatan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui besar kecepatan aliran kritis pada material sedimen pasir dengan d50= 0.51 mm yang telah diuji di Laboratorium Rekayas Bahan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Dari hasil pengamatan tersebut diperoleh data-data yang menunjukan bahwa kecepatan aliran kritik atau kecepatan aliran pada saat butiran mulai bergerak adalah Uc = 0.23 m/s maka debit kritik yang terjadi adalah Qc = 0.62 lt/s.

(28)

Menurut data-data hasil penelitian yang telah dilakukan sehingga dapat diketahui besarnya debit aliran yang mengalir pada saluran (Q), kecepatan aliran rata-rata (U), angka Froude (Fr), dan angka Reynold (Re). Pengujian menggunakan debit aliran (Q) = 0.5 lt/s dengan kedalaman aliran (h) = 55 mm, sehingga didapat besarnya kecepatan aliran rata-rata (U) = 0.12 m/s, dengan kondisi aliran seragam (steady uniform). Kemudian dari data dapat dihitung intensitas aliran (U/Uc) = 0.52 dan bilangan Froude (Fr) = 0.163 serta angka Reynolds (Re) = 6600 terlihat seperti pada tabel 4.2.

Selanjutnya, dilakukan pengamatan proses gerusan pada abutmen. Proses gerusan yang terjadi adalah clear water scour yaitu gerusan pada lapisan dasar tanpa disertai terbawanya material oleh aliran. Selanjutnya dari definisi clear water scour terjadi saat 0,5≤U/Uc<1 dan live bed scour terjadi saat U/Uc≥1 maka,

gerusan yang terjadi termasuk dalam kondisi clear water scour. Syarat untuk terjadinya kondisi clear water scour yaitu kecepatan aliran yang terjadi lebih kecil dari kecepatan aliran kritiknya (kecepatan aliran pada saat butiran mulai bergerak) dengan kata lain U<Uc.

(29)

Tabel 4.2 Karakteristik aliran

4.3 Aplikasi Program Surfer

Surfer adalah program pembuat peta kontur sederhana dengan kemampuan yang seperti Contouring dan permukaan, program perangkat lunak pemetaan 3D yang berdiri dibawah Microsoft Windows. Perangkat lunak Surfer mengkonversi data yang dihasilkan dari penelitian kedalam kontur, permukaan, wireframe, vektor, relif berbayang, peta pos dan gambar.

(30)

a. Data koordinat hasil penelitian dibuat dalam format excel (*.xls) berupa titik x,y dan z.

Gambar 4.2 Data hasil penelitan dibuat dalam format excel (*.xls)

b. Buka software Surfer, pilih new, plot document pada menu bar.

Gambar 4.3 Tampilan jendela kerja Surfer.

c. Masukan data koordinat x, y, z pada worksheet

(31)

d. Simpan data worksheet dalam bentuk *.bln

Gambar 4.5 Tampilan penyimpanan data worksheet dalam bentuk *.bln

e.Pilih new plot, grid, data pada menu bar. Pilih data worksheet sebelumnya yang disimpan dalam bentuk *.bln

Gambar 4.6. Tampilan new data grid.

f. Data dalam bentuk *.bln dikonversikan ke bentuk .grd

(32)

g. Pilih new countur map dan new 3D wireframe

Gambar 4.8 Tampilan new contour map.

h. Pilih data koordinat yang sudah tersimpan dalam bentuk .grd. Hasil contour dan isometri akan ditampilkan.

Gambar 4.9 Tampilan contour dari data .grd.

4.4 Perkembangan Kedalaman Gerusan Terhadap Waktu

(33)

diambil mulai dari titik pengamatan 1 yang terletak pada abutmen bagian samping kemudian berputar berlawanan arah jarum jam sampai semua titik terukur, yaitu pada titik pengamatan 9 pada bagian samping abutmen satunya lagi.

Pada awal pengamatan dari setiap percobaan untuk kisaran waktu 0 sampai 1 menit, tampak terjadi penambahan kedalaman gerusan yang kecil. Hal ini disebabkan pada saat awal pengamatan debitnya dibuka perlahan-lahan dari debit kecil kemudian diatur sampai debit yang ditentukan. Setelah mencapai debit yang ditentukan dan besarnya konstan maka penambahan kedalaman gerusan akan terlihat semakin besar seiring dengan lama waktu pengamatan dan selanjutnya besarnya penambahan kedalaman gerusan semakin kecil setelah mendekati kondisi kesetimbangan (equilibrium scour depth).

Setiap kali pengamatan gerusan dilakukan selama 250 menit, karena dapat dianggap hingga waktu tersebut tidak lagi terjadi perubahan kedalaan gerusan atau dengan kata lain telah mendekati kondisi kesetimbanan.. Hal ini ditunjukan oleh

trend grafik yang dibentuk mendekati garis lurus seperti terlihat pada gambar hasil analisis.

4.4.1. Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu pada Abutmen

Dinding Vertikal Tanpa Sayap

(34)

Gambar 4.10 Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu

Gambar 4.11 Titik pengamatan pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap

Berdasarkan trend grafik 4.10 dapat dilihat bahwa gerusan yang terjadi pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan debit (Q) = 0.5 lt/s mengalami peningkatan kedalaman gerusan yang pada awalnya kecil kemudian membesar lalu semakin lama penambahan kedalaman gerusannya semakin mengecil hingga pada saat menit tertentu akan mencapai kesetimbangan (equilibrium scour depth). Terlihat bahwa perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 3 pada sisi samping abutmen bagian depan dan perkembangan gerusan terkecil

(35)

tercapai pada titik pengamatan 9 yang dapat dilihat pada gambar Pada gambar 4.11.

4.4.2. Perkembangan Kedalaman Gerusan Terhadap Waktu pada Abutmen

Dinding Vertikal dengan Sayap.

Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu pada abutmen dinding vertikal dengan sayap seperti yang terdapat pada lampiran, dapat diketahui hubungan kedalaman gerusan terhadap waktu seperti yang telah ditampilkan dalam gambar 4.12.

(36)

Gambar 4.12 Perkembangan kedalaman gerusan terhadap waktu

Gambar 4.13 Titik pengamatan pada abutmen dinding vertikal

dengan sayap.

4.4.3. Perkembangan Kedalaman Gerusan Maksimum

Pada gambar 4.10 dan gambar 4.12 dapat diketahui besarnya kedalaman gerusan maksimum yang terjadi pada masing-masing abutmen seperti yang terlihat pada gambar 4.14.

-1,40

100 130 160 180 210 250

(37)

Gambar 4.14. Perkembangan kedalaman gerusan maksimum

terhadap waktu

Dalam gambar 4.14 dapat dilihat bahwa gerusan yang terjadi pada kedua bentuk abutmen terlihat mengalami peningkatan kedalaman gerusan yang pada awalnya besar kemudian semakin lama penambahan kedalaman gerusannya mengecil hingga pada saat menit tertentu telah mendekati kondisi kesetimbangan (equilibrium scour depth). Hal ini ditunjukan oleh trend grafik yang dibentuk mendekati garis lurus seperti terlihat pada gambar hasil analisis.

Menurut Yulistianto dkk. (1998) dalam Abdurrasyid (2007), gerusan yang terjadi di sekitar abutmen jembatan adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh bangunan tersebut. Sistem pusaran yang menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir.

-1,80

Abutmen dinding vertikal tanpa sayap

(38)

Pada perkembangan kedalaman gerusan maksimum yang ada pada berbagai jenis abutmen, dapat diketahui tp (t pada saat waktu puncak mulai terjadi gerusan maksimum). Sehingga dapat diketahui perbedaan t puncak dari kedua jenis abutmen yang terlihat pada gambar 4.15.

Gambar 4.15 Perkembangan kedalaman gerusan maksimum tiap jenis

abutmen terhadap waktu pada saat t puncak.

Tabel 4.3 Kedalaman gerusan pada saat waktu puncak.

Variasi Abutmen

Waktu Puncak

(tp)

Kedalaman Gerusan (Ds/b)

Abutmen Dinding Vertikal Tanpa

Sayap 145 1.70

Abutmen Dinding Vertikal dengan

Sayap 100 1.20

Abutmen dinding vertikal tanpa sayap

(39)

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat pada abutmen dengan debit aliran tetap menunjukkan bahwa gerusan awal yang terjadi pada kedua abutmen umumnya dimulai dari sisi samping abutmen bagian depan. Waktu puncak mulai terjadinya gerusan maksimum pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap adalah menit ke 145 sedangkan untuk abutmen dinding vertikal dengan sayap waktu puncaknya adalah menit ke 100, perbedaan waktu puncak ini dipengaruhi oleh jenis dari abutmen.

4.5. Pola Gerusan

Pengamatan proses perkembangan kedalaman gerusan yang dilakukan di laboratorium menunjukan bahwa besarnya kedalaman gerusan bervariasi di tiap sisi abutmen dari kedua jenis abutmen. Proses penggerusan dimulai dari sisi samping bagian depan abutmen sebelah hulu. Lubang gerusan awal kemudian menyebar ke bagian depan dan sepanjang sisi abutmen sedangkan gerusan terkecil terdapat pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hulu aliran. Proses penggerusan ini terus terjadi dari awal penggerusan sampai kondisi stabil.

(40)

X sebesar 1 cm dan untuk arah Y sebesar 1 cm. Hasil pembacaan point gauge dan garis bantu pada sisi abutmenmenghasilkan titik-titik kedalaman (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar dengan pola gerusan yang berbeda untuk setiap variasi penelitian. Selanjutnya data-data dan hasil pengukuran diolah untuk mendapatkan peta kontur.

Gambar 4.16. Pola koordinat kontur

Peta kontur diperoleh dari program Surfer yang merupakan Contouring

dan permukaan. Perangkat lunak Surfer mengkonversi data yang dihasilkan dari penelitian kedalam kontur, permukaan, wireframe, vektor, relif berbayang, peta pos dan gambar.

Berikut tampilan dari pola gerusan disekitar abutmen untuk masing-masing variasi bentuk abutmen :

4.5.1. Pola Gerusan di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan menggunakan point gauge

menghasilkan titik-titik kedalaman gerusan (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar. Hasil pengukuran point gauge

(41)

0.5 l/s seperti padalampiran . Berdasarkan hasil pengukuran point gauge

kedalaman gerusan disekitar abutmen dinding vertikal tanpa sayap telah ditampilkan sebagai konturgerusan pada gambar 4.17 dan isometri gerusan pada gambar 4.18.

Gambar 4.17 Kontur pola gerusan pada abutmen dinding vertikal

tanpa sayap.

(42)

tanpa sayap.

Gerusan yang terjadi di sekitar abutmen adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen. Sistem pusaran menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal akan terus menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai kondisi keseimbangan.

Pada gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan abutmen dinding vertikal tanpa sayap seperti yang ditunjukan dalam gambar 4.17 dan gambar 4.18. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 3 pada sisi samping abutmen bagian depan hulu aliran. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 9 pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hilir, dimana pada bagian abutmen tersebut hanya terjadi sedikit gerusan dan jika melihat sedikit kehilir terjadi penumpukan material dasar. Lubang gerusan terbentuk mulai dari jarak 50 mm dari abutmen arah hulu dengan lebar lubang gerusan sebesar 110 mm.

(43)

semakin kecil sehingga material yang tergerus semakin sedikit. Hal ini tampak dari jarak garis kontur yang semakin ke hilir terlihat semakin renggang. Pergerakan aliran di hilir abutmen cenderung kembali stabil seperti aliran sebelum membentur abutmen, sehingga penggerus semakin kecil di samping abutmen sebelah hilir dan setelah jarak tertentu di samping abutmen sebelah hilir bahkan terjadi penumpukan material dasar.

Pada peta kontur terlihat bahwa permukaan dasar saluran yang terjadi karena penggerusan membentuk suatu pola gerusan yang khas yaitu berupa lubang dengan diameter dan kedalaman yang cukup besar, dimana lubang gerusan di bagian depan dan bagian hulu abutmen lebih besar dibandingkan bagian hilir.

4.5.2. Pola Gerusan di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal dengan Sayap

Pengukuran gerusan di sekitar abutmen dengan menggunakan point gauge

menghasilkan titik-titik kedalaman gerusan (arah Z) tiap koordinat arah X dan arah Y di permukaan material dasar. Hasil pengukuran point gauge

kedalamangerusan di sekitar abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan debit 0.5 l/s seperti padaLampiran . Berdasarkan hasil pengukuran point gauge

(44)

Gambar 4.19. Kontur Pola Gerusan pada Abutmen Dinding Vertikal

dengan Sayap.

Gambar 4.20 Isometri Pola Gerusan pada Abutmen Dinding Vertikal

dengan Sayap.

(45)

vertikal tanpa sayap. Gerusan yang terjadi di sekitar abutmen adalah akibat sistem pusaran (vortex system) yang timbul karena aliran dirintangi oleh abutmen. Sistem pusaran menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal akan terus menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan.

Pada gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap seperti yang ditunjukan dalam gambar 4.19 dan gambar 4.20. Lubang gerusan terjadi dengan jarak 10 mm dari abutmen bagian depan, sedangkan lebar lubang gerusan yang dihasilkan adalah 90 mm. Bentuk kontur yang tidak beraturan dengan perkembangan gerusan terbesar tercapai pada titik pengamatan 4 pada sisi samping abutmen bagian depan. Perkembangan gerusan terkecil terjadi pada titik pengamatan 9 pada sisi samping bagian belakang abutmen sebelah hilir, dimana pada hilir tidak jauh dari abutmen terlihat penumpukan material dasar sedimen yang diakibatkan proses transpor sedimen.

(46)

dari jarak garis kontur yang semakin ke hilir terlihat semakin renggang. Pergerakan aliran di hilir abutmen cenderung kembali stabil seperti aliran sebelum membentur abutmen, sehingga hal ini menyebabkan pendangkalan gerusan di samping abutmen sebelah hilir serta bagian depan abutmen dan setelah jarak tertentu di samping abutmen sebelah hilir terjadi penumpukan material dasar.

Pada peta kontur yang didapat terlihat bahwa permukaan dasar saluran yang terjadi karena penggerusan membentuk suatu pola gerusan yang khas yaitu berupa lubang dengan diameter dengan kedalaman yang cukup besar, dimana lubang gerusan dibagian depan lebih besar dibandingkan dengan bagian hulu dan bagian hilir abutmen. Terlihat bahwa pola kedalaman gerusan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap lebih kecil dibanding abutmen dinding vertikal tanpa sayap.

4.5.3. Pengaruh Bentuk Abutmen tehadap Kedalaman Gerusan

Perbandingan kedalaman gerusan maksimum terhadap kedalaman aliran pada tiap kedalaman aliran seperti terlihat dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Kedalaman gerusan maksimum di sekitar abutmen sebagai fungsi variasi bentuk.

Variasi Abutmen Waktu

(47)

Berdasarkan Tabel 4.4 hasil pengukuran kedalaman gerusan maksimum di sekitar abutmen dengan variasi bentuk abutmen ditampilkan dalam grafik hubungan kedalaman gerusan maksimum pada abutmen sebagai fungsi bentuk abutmen, seperti terlihat dalam gambar 4.21.

Gambar 4.21 Kedalaman gerusan maksimum pada abutmen sebagai

fungsi variasi bentuk abutmen.

Gambar kontur dan gambar isometri pola gerusan pada masing-masing abutmenyang ditunjukan oleh gambar 4.17 sampai gambar 4.20, serta dari gambar kedalaman gerusan maksimum sebagai fungsi variasi bentuk abutmen seperti terlihat pada gambar 4.21. Kedalaman gerusan maksimum dari semua abutmen terjadi pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan kedalaman gerusan 1.70 pada titik pengamatan 3 sedangan abutmen dinding vertikal dengan sayap mengalami penggerusan lebih kecil daripada abutmen dinding vertikal tanpa sayap dengan gerusan maksimum sebesar 1.20 yang terjadi pada titik pengamatan 4. Gambar 4.21 di atas juga menunjukan perbedaan pola kedalaman gerusan

(48)

terjadi disebabkan oleh perbedaan bentuk abutmen. Hal ini dikarenakan bentuk abutmen mempengaruhi besarnya kedalaman dan lebar gerusan.

4.6. Perhitungan Empiris Kedalam Gerusan Lokal

4.6.1. Perhitungan Karakteristik Aliran

Data Parameter Aliran

 Menghitung Kecepatan Aliran (U) :

U = Q

 Menghitung Angka Reynold (Re) :

Re = U h

v =

0.12 x 0.055

10−6 = 6600

 Re > 1000 maka alirannya adalah aliran turbulen.

 Menghitung Bilangan Froude (Fr) :

Fr = U

�g h =

0.12

√9.81 x 0.055 = 0.163

(49)

 Menghitung jari-jari Hidrolis (R) :

 Menghitung Koefisien Manning (n) :

n =d50

1/6

21 =

0.000511/6

21 = 0.013

 Menghitung Kemiringan Saluran (S) :

(50)

 Menghitung Tegangan Geser (τo) :

�� = ��ℎ�= 1000 � 9.81 � 0.055 � 0. 000384 = 0.2072 �/�2

 Menghitung Kecepatan Geser (U*) :

�∗ = ����

0.5

= �0.2072 1000 �

0.5

= 0.0144 �/�

 Berdasarkan grafis Shield untuk d50 = 0.51 mm dan U* = 0.0144 m/s, maka didapat nilai koefisien shield (�) = 0.023

Persamaan Shield : �� = �� = �∗�

2 �∆�

 Menghitung Tegangan Geser Kritik (τc) :

�� = ���∆� = 0.023 � 9.81 � 1650 � 0.00051 = 0.1897 �/�2

 Menghitung Kecepatan Geser Kritik

�∗� = ����∆� = √0.023 � 9.81 � 1650 � 0.00051 = 0.436 �/�

 Dimana < �

�∗� >�∗ ( butiran bergerak)

(51)

�� = �∗��5.75 log�2

50�

+ 6�= 0.41 �5.75 log� 0.055

2 � 0.00051�+ 6�

= 6.957 �/�

Dari hasil di atas tersebut didapat bahwa Uc = 6.957 m/s dan U = 0.12 m/s. Sehingga untuk nilai U/Uc = 0.017 < 1.0 yang berarti belum terjadinya proses transfer sedimen.

4.6.2. Perhitungan Kedalaman Gerusan

A. Kedalaman Gerusan Lokal Menurut Persamaan Garde dan Raju (1977)

Persamaan kedalaman gerusan pada pilar dan abutmen untuk clear water scour menurut persamaan Garde dan Raju (1977) adalah sebagai berikut :

� �� =

4.0

� �1�2�3�4�

�����

�∗

dengan:

D = keadalaman gerusan maksimum diukur dari muka air (Do + Ds),(m)

Do = kedalaman aliran (m)

Ds = kedalaman gerusan (m)

(52)

� = perbandingan bukaan (B-L)/B

η1 = koefisien ukuran sedimen

η2 = perbandingan ukuran pilar, diambil 1.0

η3 = koefisien sudut datang

η4 = koefien terhadap bentuk geometri abutmen

n* = eksponen, fungsi ukuran sedimen dan geometri halangan

 Kedalaman Gerusan pada Abutmen Vertikal Tanpa Sayap Berdasarkan Persamaan Garde dan Raju (1997).

Data untuk abutmen vertikal tanpa sayap:

U = 0.12 m/s

Do = 0.055 m

n* = 0.761

� = �−�

� =

0.076−0.02

0.0076 = 0.74

η1 = 1.097

η2 = 1.5

η3 = 1.1

(53)

Dari data di atas dapat diketahui besarnya kedalaman gerusan :

Maka kedalaman gerusannya adalah 8.04 cm ��

� =

8.04

2 = 4.02

 Kedalaman Gerusan pada Abutmen Vertikal dengan Sayap Berdasarkan Persamaan Garde dan Raju (1997).

Data untuk abutmen vertikal dengan sayap:

U = 0.12 m/s

Do = 0.055 m

(54)

η1 = 1.097

η2 = 1.5

η3 = 1.1

η4 = 0.82

Dari data di atas dapat diketahui besarnya kedalaman gerusan :

Maka kedalaman gerusannya 5.6 cm ��

� =

(55)

B. Kedalaman Gerusan Lokal Menurut Persamaan Froehlich (1987)

��

��= 2.27 �1 �2 � �� ���

0.43

��0.61+ 1

dengan :

Ds = kedalaman gerusan (m)

Do = kedalaman aliran (m)

K1 = koefisien untuk bentuk abutmen

K2 = koefisien untuk sudut embankment terhadap aliran

La = Lebar abutmen (m)

Fr = bilangan Froude dari aliran upstream pada abutmen

 Kedalaman Gerusan pada Abutmen Vertikal Tanpa Sayap Berdasarkan Persamaan Froehlich (1987).

Data untuk abutmen vertikal tanpa sayap:

Do = 0.055 m

La = 0.02 m

Fr = 0.163

(56)

K2 = ��

Dari data di atas dapat dihitung besarnya kedalaman gerusan :

��

Maka kedalaman gerusannya adalah 8.17 cm ��

� =

8.17

2 = 4.09

 Kedalaman Gerusan pada Abutmen Vertikal dengan Sayap Berdasarkan Persamaan Froehlich (1987).

Data untuk abutmen vertikal tanpa sayap:

Do = 0.055 m

La = 0.02 m

Fr = 0.163

(57)

K2 = ��

Dari data di atas dapat dihitung besarnya kedalaman gerusan :

��

Maka kedalaman gerusannya adalah 7.69 cm ��

� =

7.69

2 = 3.84

(58)

parameter-parameter yang dipergunakan, seperti: debit aliran, kedalaman aliran, ukuran butiran, bentuk dan ukuran abutmen.

Tabel 4.5 Perbandingan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya.

(59)

Sarra

(60)
(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil yang diperoleh dari penelitian gerusan lokal dengan variasi bentuk abutmen ini adalah:

1. Bentuk abutmen menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kedalaman gerusan. Perbedaan bentuk abutmen menyebabkan adanya perbedaan gerusan.

2. Nilai kedalaman gerusan maksimum terhadap abutmen dinding vertikal tanpa sayap dan abutmen dinding vertikal dengan sayap masing-masing adalah 1.70 dan 1.20. Dimana semakin kecil nilai kedalaman gerusan yang didapat maka semakin baik digunakan.

3. Gerusan lokal terbesar pada kedua abutmen terjadi di bagian hulu abutmen. Pada abutmen dinding vertikal tanpa sayapgerusan yang terbesar terjadi pada titik pengamatan 3 sedangkan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap terjadi pada titik pengamatan 4. Dimana titik pengamatan 3 dan 4 ini sama-sama berada disisi samping bagian depan masing-masing abutmen.

4. Gerusan yang terjadi pada menit-menit awal penelitian berlangsung sangat cepat. Kemudian seiring waktu berangsur mengecil hingga pada waktu tertentu mengalami keseteimbangannya (equilibrium scour depth).

(62)

abutmen dinding vertikal tanpa sayap lebih besar daripada lebar gerusan pada abutmen dinding vertikal dengan sayap, yaitu masing-masingsebesar 110 mm dan 90 mm.

6. Dari hasil pengamatan diperoleh d50 = 0,51 mm, Q = 0.5 lt/s, U = 0.12, h = 55 mm, Uc = 0,23 m/s, Qc = 0.62 lt/s, U/Uc = 0,52. Sedangkan untuk Fr = 0,163 dan Re = 6600. Berdasarkan bilangan Froude dan angka Reynolds aliran yang terjadi untuk Fr <1 dan Re >1000 adalah termasuk aliran turbulen sub kritis.

5.2 Saran

1. Kualitas penelitian mengenai gerusan lokal pada abutmen perlu ditingkatkan lagi, seperti dengan cara menambah variasi penelitian, baik itu variasi bentuk abutmen, variasi debit, variasi tinggi muka air, variasi debit maksimum untuk mendapatkan gerusan maksimumnya, ataupun variasi-variasi lainnya. Guna diperoleh data yang lebih banyak lagi, sehingga akan lebih bermanfaat dikemudian hari.

2. Pemilihan bentuk abutmen pada konstruksi disarankan dipilih dengan sebaik mungkin agar dapat memaksimalkan fungsi dan kemampuannya. Pemilihan abutmen dinding vertikal dengan sayap lebih baik daripada abutmen dinding vertikal tanpa sayap jika perencanaan konstruksi lebih mempertimbangkan pengaruh kedalaman gerusan.

(63)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sungai

Sungai memiliki perananan yang sangat penting bagi mahkluk hidup terutama bagi kehidupan manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pemanfaatan sungai yang makin lama semakin meluas, mulai dari sarana transportasi, sumber air baku, sumber tenaga listrik, wahana rekreasi dan sebagainya.

Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (2008) adalah saluran dimana air mengalir dengan muka air bebas. Pada saluran terbuka, misalnya sungai (saluran alam), variabel aliran sangat tidak teratur terhadap ruang dan waktu. Variabel tersebut adalah tampang lintang saluran, kekasaran, kemiringan dasar, belokan, debit aliran dan sebagainya.

(64)

saluran tidak konstan. Apabila perubahan aliran terjadi pada jarak yang pendek maka disebut aliran berubah cepat, sedang apabila terjadi pada jarak yang panjang disebut aliran berubah tidak beraturan.

Aliran disebut mantap apabila variabel aliran di suatu titik seperti kedalaman dan kecepatan tidak berubah terhadap waktu, dan apabila berubah terhadap waktu disebut aliran tidak mantap. Selain itu aliran melalui saluran terbuka juga dapat dibedakan menjadi aliran sub kritis (mengalir) jika Fr <1, dan super kritis (meluncur) jika Fr >1. Diantara kedua tipe tersebut aliran adalah kritis ( Fr =1).

Klasifikasi aliran menurut Chow dalam Gunawan (2006) dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Klasifikasi Aliran Aliran Tetap

Aliran Seragam Aliran tak tentu

(65)

2.2 Gerusan

Menurut Legono (1990) dalam Sucipto (2010), proses erosi dan deposisi umumnya terjadi karena perubahan pola aliran terutama pada sungai alluvial. Perubahan pola aliran terjadi karena adanya halangan pada aliran sungai tersebut, berupa bangunan sungai seperti pilar jembatan dan abutmen. Bangunan semacam ini dipandang dapat merubah geometri alur dan pola aliran yang selanjutnya diikuti geruasan lokal di sekitar bangunan.

2.2.1 Pengertian Gerusan

Menurut Hoffmans dan Verheij (1997) dalam Abdurrosyid dkk (2007), gerusan merupakan erosi pada dasar dan tebing saluran alluvial. Sedangkan gerusan menurut Legono (1990) dalam Abdurrosyid dkk (2007), gerusan merupakan proses semakin dalamnya dasar sungai karena interaksi antara aliran dengan material dasar sungai. Proses penggerusan akan terjadi secara alami, baik karena pengaruh morfologi sungai seperti tikungan sungai atau penyempitan aliran sungai, atau pengaruh bangunan hidraulika yang menghalangi aliran seperti abutmen jembatan.

(66)

dalam Sucipto (2010), gerusan didefinisikan sebagai pembesaran dari suatu aliran yang disertai pemindahan material melalui aksi gerakan fluida.

2.2.2 Jenis Gerusan

Menurut Raudkivi dan Ettema (1982) dalam Gunawan (2006) tipe gerusan dibedakan sebagai berikut:

1. Gerusan umum di alur sungai, tidak berkaitan sama sekali dengan ada atau tidaknya bangunan sungai.

2. Gerusan lokal di alur sungai, terjadi karena penyempitan aliran sungai menjadi terpusat.

3. Gerusan lokal di sekitar bangunan, terjadi karena pola aliran lokal di sekitar bangunan sungai.

Gerusan dari jenis (2) dan (3) selanjutnya dapat dibedakan menjadi gerusan dengan air bersih (clear water scour) maupun gerusan dengan air bersedimen (live bed scour). Gerusan dengan air bersih berkaitan dengan suatu keadaan dimana dasar sungai di sebelah hulu bangunan dalam keadaan diam (tidak ada material yang terangkut) atau secara teoritik τo<τc. Sedangkan gerusan

dengan air bersedimen terjadi ketika kondisi aliran dalam saluran menyebabkan material dasar bergerak. Peristiwa ini menunjukan bahwa tegangan geser pada saluran lebih besar dari nilai kritiknya atau secara teoritik τo>τc.

(67)

Menurut Laursen (1952) dalam Sucipto dkk (2004), sifat alami gerusan mempunyai fenomena sebagai berikut:

1. Besar gerusan akan sama selisihnya antara jumlah material yang ditranspor keluar daerah gerusan dengan jumlah ma terial yang ditranspor masuk ke dalam daerah gerusan.

2. Besar gerusan akan berkurang apabila penampang basah di daerah gerusan bertambah (misal karena erosi).

3. Untuk kondisi aliran akan terjadi suatu keadaan gerusan yang disebut gerusan batas, besarnya akan asimtotik terhadap waktu.

Gerusan lokal dipengaruhi langsung dari akibat bentuk pola aliran. Penggerusan lokal (Garde dan Raju, 1977) terjadi akibat adanya turbulensi air yang disebabkan terganggunya aliran, baik besar maupun arahnya, sehingga menyebabkan hanyutnya material-material dasar atau tebing sungai. Turbulensi disebabkan oleh berubahnya kecepatan terhadap tempat, waktu dan keduanya. Pengerusan lokal pada material dasar dapat terjadi secara langsung oleh kecepatan aliran sedemikain rupa sehingga daya tahan material terlampui. Secara teoristik tegangan geser yang terjadi lebih besar dari tegangan geser kritis dari butiran dasar.

2.2.3. Mekanisme Gerusan

(68)

Sistem pusaran yang menyebabkan lubang gerusan (scour hole), berawal dari sebelah hulu abutmen yaitu pada saat mulai timbul komponen aliran dengan arah aliran ke bawah, karena aliran yang datang dari hulu dihalangi oleh abutmen, maka aliran akan berubah arah menjadi arah vertikal menuju dasar saluran dan sebagian berbelok arah menuju depan abutmen selanjutnya diteruskan ke hilir. Aliran arah vertikal ini akan terus menuju dasar yang selanjutnya akan membentuk pusaran. Di dekat dasar saluran komponen aliran berbalik arah vertikal ke atas, peristiwa ini diikuti dengan terbawanya material dasar sehingga terbentuk aliran spiral yang akan menyebabkan gerusan dasar. Hal ini akan terus berlanjut hingga tercapai keseimbangan. Mekanisme gerusan lokal akibat pola aliran di sekitar abutmen ini dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme gerusan akibat pola aliran air di sekitar abutmen

(modifikasi dari Breusers dan Raudkivi, (1991) dalam Husnan

(69)

Gerusan lokal diklasifikasikan menjadi clear water scour dan live bed scour (Miller 2003). Bila tidak ada perpindahan sedimen pada bed menjauhistruktur, fenomena ini disebut clear water scour. Pada kondisi ini, tegangan geseraliran kurang dari yang dibutuhkan untuk perpindahan sedimen (kurang daritegangan geser kritis). Pada struktur, periode inisial dari erosi diikuti oleh equilibrium (keseimbangan, terjadi pada saat perubahan aliran yang disebabkan lubang gerusan mengurangi besarnya tegangan geser yaitu bila sedimen tidak bisa lagi bergerak dan berpindah lagi dari lubang gerusan).

Pada saat sedimen mulai bergerak dari bed menjauhi struktur, proses ini dinamakan live bed scour. Dalam hal ini, tegangan geser aliran dari struktur lebih besar daripada nilai kritis yang dibutuhkan sedimen untuk bergerak dan terangkut. Pada umumnya rata-rata inisial gerusan cenderung lebih besar pada waktu terjadi

live bed scour dibandingkan clear water scour dan equilibrium kedalaman gerusan terjadi lebih cepat. Dalam kondisi live bed scour, sedimen dari upstream

struktur terus menerus terangkut ke dalam lubang gerusan. Dalam hal ini, kondisi

equilibrium tercapai pada saat jumlah sedimen yang masuk ke dalam lubang gerusan setara dengan jumlah yang terangkut. Meskipun begitu kedalaman lubang gerusan akan berubah-ubah sejalan dengan waktu walau setelah kondisi

equilibrium tercapai.

(70)

Sedangkan Breusers dan Raudkivi (1991) menyatakan bahwa kedalaman gerusan maksimum merupakan fungsi kecepatan geser, sepeti terlihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.3 Hubungan kedalaman gerusan (ys) dengan waktu

(Breuser dan Raudkivi, 1991)

Gambar 2.4 Hubungan kedalaman gerusan (ys) dengan kecepatan geser (u*)

(71)

2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Kedalaman Gerusan

Menurut Breusers dan Raudkivi (1991), kedalaman gerusan tergantung dari beberapa variabel, yaitu karakterisitik fluida, material dasar, aliran dalam saluran dan bentuk pilar atau abutmen jembatan.

2.2.4.1. Kecepatan Aliran

Menurut Breusers (1977) dalam Hanwar (1999), perkembangan proses gerusan tergantung pada kecepatan aliran dan intensitas turbulen pada transisi antara fixed dan erodible bed, oleh karena itu tidak diperlukan informasi mengenai kecepatan dan turbulensi dekat dasar pada lubang gerusan. Chabert dan Engeldinger (1956) dalam Hanwar (1999) menyimpulkan bahwa kedalaman gerusan maksimum diperoleh pada kecepatan yang mendekati kecepatan aliran kritik, sedangkan gerusan mulai kira – kira pada setengah kecepatan aliran kritik, seperti terlihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Hubungan kedalaman gerusan dengan kecepatan aliran

(72)

2.2.4.2. Kedalaman Aliran

Dalam gerusan lokal yang terjadi dipengaruhi oleh kedalaman dasar sungai dari muka air (tinggi aliran zat air), maka kecepatran relatif U*/U*c dan kedalaman relatif (yo/b) merupakan faktor penting untuk mengestrimasi kedalaman gerusan lokal ini. Neil (1964) dalam Breuser (1991), kedalaman gerusan lokal merupakan fungsi dari tinggi aliran dengan persamaan sebagai berikut :

Ys/Yo = 1.5(b/Yo) 0.70 (1)

(73)

Gambar 2.6 Hubungan koefisien aliran (Kd) dan kedalaman aliran relatif

(Yo/b) dengan ukuran relatif (b/d50)

(Sumber: Breuser dan Raudkivi, 1991)

2.2.4.3. Ukuran Butiran

Ukuran butiran dari transpor sedimen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman gerusan pada kondisi air bersih (clear water scour). Kedalaman gerusan (ys/b) tak berdimensi merupakan fungsi dari karakteristik ukuran butiran material dasar (σ/d50). Dimana σ adalah standar deviasi untuk

(74)

Dengan demikian nilai koefisien simpangan baku geometrik (σg) dari

distribusi ukuran butiran material dasar akan berpengaruh pada kedalaman gerusan air bersih dan dapat ditentukan dari nilai grafik koefisien simpangan baku (σg) fungsi standart deviasi geometri ukuran butira (Breusers dan Raudkivi,

1991), seperti gambar 2.7.

Gambar 2.7 Koefisien simpangan baku (Kσ) fungsi standar deviasi geometri ukuran butiran. (Sumber : Breuser dan Raudkivi,

1991)

Estimasi kedalaman gerusan dikarenakan adanya pengaruh distribusi material dasar mempunyai nilai maksimum dalam kondisi setimbang pada aliran air bersih (clear water) menurut Breuser dan Raudviki (1991) adalah sebagai berikut :

(75)

2.2.4.4. Bentuk Abutmen

Abutmen jembatan merupakan salah satu bagian konstruksi jembatan yang ditempatkan pada pangkal konstruksi jembatan. Simon dan Senturk (1992) dalam Hanwar (1999) menyatakan bahwa ada dua bentuk umum abutmen yaitu

verticalwall abutment dengan wing atau box wall dan spill – thourgh abutment. Kedalaman gerusan untuk vertical wall abutment kurang lebih dua kali dibanding dengan spill through abutment.

Breusers (1991) dalam Hanwar (1999) menyatakan bahwa kedalaman gerusan untuk wing –wall (WW), spill-through (ST) dan vertical wall pointingdownstream (TS1) adalah sekitar 70% dibanding semi-circular-end-abutment (SCE).

2.3 Studi Model

(76)

Hubungan antara model dan prototip dipengaruhi oleh hukum-hukum sifat sebangun hidraulik. Sifat sebangun ini terbagi atas sebangun geometrik, sebangun kinematik, dan sebangun dinamik.

1. Sebangun Geometrik

Sebangun geometrik dipenuhi apabila model dan prototip mempunyai bentuk yang sama tetapi berbeda ukuran, hal ini berarti bahwa perbandingan antara semua ukuran panjang yang bersangkutan termasuk kekasaran antara model dan prototip adalah sama, (Triatmodjo, 1996).

�� = ������ ����������

������ ������� = ��

�� (3)

Semua ukuran yang ada pada model dan prototip harus mempunyai skala yang sama :

(77)

2. Sebangun Kinematik

Sebangun kinematik terjadi antara prototip dan model jika prototip dan model sebangun geometrik dan perbandingan kecepatan dan percepatan di dua titik yang bersangkutan pada prototip dan model untuk seluruh pengadilan adalah sama, (Triatmodjo, 1996).

Besaran kinematik seperti kecepatan, percepatan, debit aliran dan sebagainya dapat diberikan dalam bentuk skala panjang dan skala waktu.

Skala kecepatan : � = ��

(78)

mempunyai perbandingan yang sama dan bekerja pada arah yang sama, maka dikatakan sebagai sebangun dinamik.

�� = (�1) (1) =

(�2)

(2) (12)

2.4. Persamaaan Empiris

2.4.1. Bilangan Froude

Interaksi gaya gravitasi dan gaya inersia aliran pada saluran dinyatakan dengan bilangan Froude (Fr) yang didefinisikan sebagai:

Fr = �

���� (13)

dengan :

U = nilai kecepatan aliran rata-rata, (m/s).

Yo = kedalaman aliran, (m).

g = percepatan graitasi, (m/s2).

(79)

Bilangan Froude dapat digunakan untuk menentukan regime aliran yang terjadi pada saluran. Regime aliran dapat dibagi menjadi 3 kategori (Rinaldi, 2002) yaitu :

1. Regime aliran sub-kritis jika nilai Fr < 1. Pada aliran sub-kritis peranan gaya tarik bumi lebih menonjol, sehingga aliran mempunyai kecepatan rendah dan sering dikatakan tenang.

2. Regime aliran kritis jika nilai Fr = 1. Kedalaman aliran pada regime ini adalah kedalaman kritis.

3. Regime aliran super-kritis terjadi jika Fr > 1. Dalam keadaan ini gaya–gaya inersia sangat menonjol, sehingga aliran mempunyai kecepatan tinggi dan kedalaman aliran pada regime ini lebih kecil dari kedalaman kritis, D < Dkr.

2.4.2. Koefisien Kekasaran Dasar

(80)

dengan :

n = angka kekasaran Manning.

d = diameter butir seragam pada dasar saluran, (mm).

r = jari-jari hidrolis, (m).

Kecepatan rata-rata menurut Chezy dirumuskan sebagai berikut :

� =���� (16)

dengan :

U = kecepatan aliran rata-rata, (m/s).

Sf = kemiringan dasar energi.

So = kemiringan dasar saluran.

Sw = kemiringan permukaan air.

(81)

2.4.3. Persamaan untuk Kedalaman Gerusan

2.4.3.1 Persamaan Froehlich (1987), dalam Hanwar (1999)

Untuk menentukan kedalaman gerusan pada kondisi clear water scour

pada abutmen, Froehlich (1987), menggunakan analisa dimensi dan analisamultiple regresi terhadap 164 percobaan pada saluran air (flume) laboratorium,sehingga diperoleh persamaan berikut :

��

�� = 2.27 �1 �2 � �� ���

0.43

��0.61 (17)

dengan :

K1 = koefisien untuk bentuk abutmen

K2 = koefisien untuk sudut embankment terhadap aliran

La = panjang abutmen, (m)

Fr = bilangan Froude dari aliran upstream pada abutmen

Do = kedalaman aliran, (m)

(82)

Tabel 2.1 Koefisien Bentuk Abutmen (Mellvile, 1997)

Bentuk Abutmen nilai K1

Abutmen vertikal 1,00

Abutmen vertikal dengan ujung wing-wall 0,82

Abutmen spill through 0,55

Sedangkan nilai

2.4.3.2. Persamaan Garde dan Raju (1977), dalam Hanwar (1999)

Persamaan Garde dan Raju (1977) digunakan pada gerusan lokal disekitar pilar jembatan, spur dan abutmen jembatan untuk aliran transportasi sedimen dan

(83)

dengan :

D = kedalaman gerusan maksimum diukur dari muka air

(Do+Ds), (m)

Do = kedalaman aliran, (m)

Ds = kedalaman gerusan, (m)

U = kecepatan rata-rata aliran, (m/s) α = perbandingan bukaan (B-L)/B

n* = eksponen, fungsi ukuran sedimen dan geometri halangan η = koefisien

Tabel 2.2 Nilai η dan n* untuk berbagai diameter butiran sedimen

D (mm) 0.29 0.45 1 2.15 4 7.5 10.5

η 1 1.00 1.09 1.15 1.00 0.85 0.66 0.54

(84)

Tabel 2.3. Nilai η 4 untuk bentuk Abutmenterhadap gerusan

Sumber: Garde dan Raju , 1977

Shape η 4

Rectangular 1.00

Circular (or semicircular) 0.81-0.90

Lenticular nose (2:1) 0.80

(3:1) 0.70

(4:1) 0.56

Joukowsky (2:1) 0.67

Elliptic nose (2:1) 0.80

(3:1) 0.75

Triangular nose 150 appex angle 0.38

300 0.52

600 0.64

900 0.75

1200 0.80

(85)

Gambar 2.8 Hubungan η 3dengan θ

(Sumber: Breuser dan Raudkivi, 1991)

2.5. Pola Aliran

Menurut Cartens (1976) dalam Rinaldi (2002) tiga tipe interaksi dapat dibedakan berdasarkan perbandingan antara panjang abutmen, (La) dengan kedalaman aliran, (Do) yaitu :

1. Do/ La < 0,5 interaksi kuat, pusaran menyebabkan pemisahan aliran pada sisi kiri dan kanan struktur yang berlangsung tidak kontinyu atau hanya sebentar.

2. 0,5 < Do/ La < 1,5 interaksi lemah

3. Do/ La > 1,5 tidak ada interaksi, pusaran secara bebas dari sisi kiri dan kanan struktur.

(86)

jarak yang cukup jauh dari abutmen ke arah hilir, aliran uniform akan terbentuk kembali.Pemisahan aliran dan pusaran yang kecil hanya terjadi pada bagian hulu abutmen. Jika sudut antara abutmen dan dinding saluran 90o, maka permukaan air akan bergulung dan pemisahan pusaran yang kecil terjadi pada sudut antara tepi saluran dengan abutmen.

Aliran ke bawah pada vertical-wall abutment bisa mengakibatkan gerakan spiral yang kuat pada dasar saluran. Jika aliran cukup kuat maka aliran akan menghantam bagian hulu abutmen, dan selanjutnya terjadi lagi pemisahan aliran.jalur vortex akan menyebabkan terjadinya lobang gerusan pada dasar saluran.

Menurut Graf (1998) dalam Rinaldi (2002) pola aliran dan gerusan pada abutmen agak mirip dengan pilar tunggal. Aliran vertikal ke bawah menyebabkan terjadinya prinsip vortex, yang aktif menyebabkan proses gerusan. Panjang abutmen (La), adalah sangat menentukan adanya arus balik pada daerah dead-water di bagian hulu abutmen, dan akan mengganggu prinsip tegangan vortex. Selanjutnya jika panjang abutmen semakin besar maka gerusan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh adanya abutmen tetapi juga disebabkan oleh adanya penyempitan (constriction).

2.6. Transpor Sedimen

(87)

akibat adanya aliran air timbul gaya-gaya aliran yang bekerja pada material sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan/ menyeret material sedimen.

Untuk material sedimen kasar (pasir dan batuan / granuler), gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut tergantung dari besar butiran sedimen. Untuk material sedimen halus yang mengandung fraksi lanau (silt) atau lempung (clay) yang cenderung bersifat kohesif, gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut lebih disebabkan kohesi daripada berat material (butiran) sedimen.

2.7. Awal Gerak Butiran

Akibat adanya aliran air, timbul gaya-gaya yang bekerja pada material sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk menggerakkan atau menyeret butiran material sedimen. Pada waktu gaya-gaya yang bekerja pada butiran sedimen mencapai suatu harga tertentu, sehingga apabila sedikit gaya ditambah akan menyebabkan butiran sedimen bergerak, maka kondisi tersebut disebut kondisi kritik.

Garde dan Raju (1977) dalam Sucipto dkk (2004) menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai awal gerakan butiran adalah salah satu dari kondisi berikut :

1. Satu butiran bergerak,

2. Beberapa (sedikit) butiran bergerak,

3. Butiran bersama-sama bergerak dari dasar, dan

(88)

Tiga faktor yang berkaitan dengan awal gerak butiran sedimen yaitu :

1. Kecepatan aliran dan diameter/ukuran butiran,

2. Gaya angkat yang lebih besar dari gaya berat butiran, dan

3. Gaya geser kritis

Distribusi ukuran partikel menurut Raudkivi (1991) dalam Gunawan (2006) dinyatakan dalam diameter rata-rata geometrik (d50), standar geometri (σg) adalah sebagai berikut :

�� = ��8450� 0.5

(20)

Sheild dalam Gunawan (2006) mengungkapkan suatu diagram untuk awal gerak butiran pada material dasar seragam. Shield menyatakan parameter mobilitas kritis yang dinamakan parameter Shields :

(89)

Kecepatan kritik dihitung di atas dasar rumus sebagai berikut :

�� = �∗��5.75 log�20

50�+ 6�

(25)

Kecepatan geser kritik diberikan :

�∗� = ���.�.∆.� (26)

dengan :

σg = standar geometri

d = diameter butiran d50, (m)

g = percepatan grafitasi, (m/s²) Δ = relatif densiti

ρ = massa jenis air, (kg/m³)

u*c = kecepatan geser kritik, (m/s)

τc = nilai kritik, (N/m2)

θc = parameter mobilitas kritik

R = jari-jari hidraulik, (m)

y0 = kedalaman aliran, (m)

(90)

Gambar 2.9 Diagram Shields, Hubungan Tegangan Geser Kritis

(91)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sungai memiliki perananan yang sangat penting bagi mahkluk hidup terutama bagi kehidupan manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pemanfaatan sungai yang makin lama makin meluas, mulai dari sarana transportasi, sumber air baku, sumber tenaga listrik, wahana rekreasi dan sebagainya.

Menurut Chow (1992), Saluran yang mengalirkan air dengan suatu permukaan bebas disebut saluran terbuka. Menurut asalnya saluran dapat digolongkan menjadi saluran alam (natural) dan saluran buatan (artificial). Saluran alam meliputi semua alur air yang terdapat secara alamiah di bumi, mulai dari anak selokan kecil di pegunungan, selokan kecil, sungai kecil dan sungai besar sampai ke muara sungai.

Sungai merupakan suatu saluran drainase yang terbentuk secara alami yang mempunyai fungsi sebagai saluran. Air yang mengalir di dalam sungai akan mengakibatkan proses penggerusan tanah dasarnya. Penggerusan yang terjadi secara terus menerus akan membentuk lubang-lubang gerusan di dasar sungai. Proses gerusan dapat terjadi karena adanya pengaruh morfologi sungai yang berupa tikungan atau adanya penyempitan saluran sungai.

(92)

akan memberikan pola aliran di sekitarnya. Struktur jembatan umumnya terdiri dari dua bangunan penting, yaitu struktur bangunan atas dan struktur bangunan bawah. Salah satu struktur utama bangunan bawah jembatan adalah abutmen jembatan yang selalu berhubungan langsung dengan aliran sungai. Aliran yang terjadi pada sungai biasanya disertai proses penggerusan/erosi dan endapan sedimen/deposisi. Gerusan (scouring) merupakan suatu proses alamiah yang terjadi di sungai sebagai akibat pengaruh morfologi sungai (dapat berupa tikungan atau bagian penyempitan aliran sungai) atau adanya bangunan air (hydraulic structur) seperti: jembatan, bendung, pintu air, dll. Morfologi sungai merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses terjadinya gerusan, hal ini disebabkan aliran saluran terbuka mempunyai permukaan bebas (free surface). Kondisi aliran saluran terbuka berdasarkan pada kedudukan permukaan bebasnya cenderung berubah sesuai waktu dan ruang, disamping itu ada hubungan ketergantungan antara kedalaman aliran, debit air, kemiringan dasar saluran dan permukaan saluran bebas itu sendiri.

(93)

dibawa bersama aliran oleh struktur bangunan dan peningkatan turbulensi aliran akibat gangguan suatu struktur.

Abutmen merupakan bangunan jembatan yang terletak di pinggir sungai, yang dapat mengakibatkan perubahan pola aliran. Bangunan seperti abutmen jembatan selain dapat merubah pola aliran juga dapat menimbulkan perubahan bentuk dasar saluran sepeti penggerusan. Gerusan lokal yang terjadi pada abutmen biasanya terjadi gerusan pada bagian hulu abutmen dan proses deposisi pada bagian hilir abutmen (Hanwar, 1999).

Keberadaan abutment di sebagian tebing sungai hingga masuk ke dalam sungai menyebabkan lebar sungai mengalami penyempitan dan akan menimbulkan pengaruh pada perilaku aliran yang melewatinya. Perubahan perilaku aliran yang direpresentasikan dalam kecepatan aliran ini akan menimbulkan perubahan pula pada distribusi sedimen. Pada debit yang sama, penyempitan badan sungai mengakibatkan bertambahnya kecepatan, yang menyebabkan terjadinya gerusan lokal. Gerusan lokal di sekitar abutment, bisa berupa live-bed scour ataupun clear water scour.

(94)

Mengingat kompleks serta pentingnya permasalahan di atas, kajian tentang

local scouring disekitar abutmen jembatanakibat adanya pengaruh debit terhadap aliran, serta pengaruh bentuk abutmen pada sungai perlu mendapat perhatian khusus, sehingga nantinya dapat diketahui mengenai pola aliran, pola gerusan dan kedalaman gerusan yang terjadi dan selanjutnya dapat pula dicari upaya pengendalian dan pencegahan gerusan pada pilar jembatan.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam mempelajari Perbandingan Gerusan Lokal Yang Terjadi di Sekitar Abutmen Dinding Vertikal Tanpa Sayap dan dengan Sayap pada Saluran Lurusadalah:

1. Bagaimana pengaruh masing-masing bentuk abutmen terhadap kedalaman gerusan lokal disekitar abutmen tersebut?

2. Apa perkembangan yang terjadi pada kedalaman gerusan terhadap waktu? 3. Bagaimana pola gerusan yang terjadi di sekitar masing-masing bentuk

abutmen?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini:

1. Mengetahui pengaruh bentuk abutmen terhadap gerusan lokal di daerah sekitar abutmen.

(95)

3. Mendapatkan pola gerusan disekitar abutmen.

1.4. Batasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai batasan sebagai berikut:

1. Penelitian menggunakan dua bentuk abutmen, yaitu abutmen dinding vertikal tanpa sayap dan abutmen dinding vertikal bersayap.

2. Perilaku gerusan yang ditinjau adalah yang disekitar abutmen.

3. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasir yang sebelumnya sudah disaring dan lolos ayakan no.8 dan tertahan di ayakan no.100. Hal ini dimaksudkan agar material yang dipakai tidak mengandung banyak lumpur. Pola aliran yang diamati adalah pola kontur tiga dimensi dengan pengukuran kedalaman arah x, y dan z.

4. Aliran yang digunakan adalah aliran tanpa adanya kandungan sedimen (clear water scour ).

5. Pengaruh dinding batas flume terhadap gerusan yang terjadi tidak diperhitungkan.

6. Menggunakan flume dengan panjang 8 m, tinggi 0.3 m dan lebar 0.076 m.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini antara lain adalah:

(96)

abutmen dinding vertikal tanpa sayang dan abutmen dinding vertikal dengan sayap.

2. Hasil dari penelitian diharapkan memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada bidang studi hidrolika yang berkaitan dengan konsep gerusan lokal pada abutmen jembatan.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi konsultan perencana dalam perencanaan bangunan air.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan salah satu sumber informasi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

1.6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam lima Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Pendahuluan menerangkan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II Tinjauan Pustaka

(97)

aliran beraturan.

BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini membahas mengenai metode pengumpulan data dan langkah langkah penelitian.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini menguraikan data-data hasil penelitian dan pembahasan.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Gambar

Gambar 4.4 Tampilan menu worksheet.
Gambar 4.7 Tampilan hasil konversi dalam bentuk .grd.
Gambar 4.9 Tampilan contour dari data .grd.
Gambar 4.11 Titik pengamatan pada abutmen dinding vertikal tanpa sayap
+7

Referensi

Dokumen terkait

2. Dasar negara dan konstitusi memiliki hubungan yang sangat erat, karena nilai-nilai dan norma-norma dasar yang terkandung di dalam dasar negara, menjiwai dan mendasari

Problem yang dihadapi dan solusi yang diambil oleh Dosen Perempuan Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang dalam perencanaan keluarga baik perencanaan kesehatan,

Hal ini dapat diar- tikan bahwa jantan 1, meskipun mempunyai kualitas semen segar yang paling rendah tetapi motilitas atau pun persentase spermatozoa hidup setelah

Dengan berlakuknya Peraturan Bupati ini maka Keputusan Bupati Kudus Nomor 18 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus Nomor 3 Tahun

Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah

[r]

[r]

[r]