• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAISL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Analisis Hukum Islam terhadap Perkara Hak Asuh Anak

Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Pemeliharaan anak meliputi berbagai hal, yaitu ekonomi. Pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Yanggung jawab ekonomi dalam Islam berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ekonomi, tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi, karena hal yang terpenting adalah adanya kerja sama dan saling pengertian antara kedua pihak dalam pemeliharaan anak.

Ibu adalah orang yang utama dan pertama berhak dalam masala hadanah. Menempatkan ibu sebagai yang paling berhak mengasuh anak, para ulama fikih mendasarkannya kepada hadis Abdullah bin Anas (sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya), disamping itu para ulam fikih juga berkesimpulan bahw aibu yang dipandang paling mampu

dari pada ayah dalam mengasuh anak, karena rasa kasih sayang ibu dianggap lebih tinggi, ibu lebih sabar dalam mengajarkan sesuatu dan mengurus kebutuhan bayi ataupun anak.

Adanya urutan tingkatan orang yang berhak atas pemeliharaan anak adalah perempuan yang dianggap mampu juga adanya pertimbangan hubungan muhrim antara yang memelihara (hadinah) dengan yang dipelihara (mahdun). Wahbah Az-Zuhaili lebih merinci urutan tingkatan orang yang berhak atas hak asuh:

1. Orang yang berhak untuk mengurus hadanah dari kaum perempuan. a. Ibu lebih berhak daripada ayah untuk mengurus hadanah anaknya

meski sudah bercerai atau ditinggal mati suaminya kecuali apabila ia murtad, tidak dapat dipercaya, sehingga menyia-nyiakan anak seperti menjadi pezina, pencuri dan amoral lainnya.

b. Ibunya ibu atau nenek dari ibu, karena nenek memiliki emosional yang sama seperti ibu.

c. Saudara perempuan dari anak yang dipelihara d. Bibi dari ibu (bibinya anak yang dipelihara)

e. Putri-putri dari saudara perempuan, kemudian putri-putri dari saudara laki-laki.

f. Bibi dari jalur ayah, hal ini telah disepakati para ulama. 2. Orang yang berhak mengasuh (hadanah) dari kaum laki-laki.

Apabila anak yang hendak diasuh atau dipelihara tidak memiliki kerabat perempuan yang berhak mengasuhnya, maka hak mengasuh dan memelihara dilimpahkan kepada kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan bagian waris muhrim, yaitu ayah, kakek sampai ke atas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai ke bawah, kemudian para paman dan

anak-anaknya, ini menurut hanafiyyah dan menurut pendapat yang sahih mazhab syafi‟iyyah.

Hal menarik yang masih menjadi pembahasan hak asuh anak atau hadanah ini; apakah hadanah itu hak seoran ibu atau hak seorang anak. Karena ada pendapat yang dijadikan fatwa menurut mazhab hanafiyyah adalah bahwa seorang ibu atau yang lainnya jika menolak untuk mengasuh atau memelihara anak, maka tidak boleh dipaksa untuk mengasuh, memelihara anaknya, sebagaimana halnya juga tidak dipaksa jika menolak untuk menyusui.

Berdasarkan pendapat yang masyhur, maka seorang ibu boleh menggugurkan haknya dalam hal hadanah, namun menurut mazhab Maliki, ia sudah tidak lagi memiliki hak hadanah jika kemudian hari hendak memintanya.

Seorang ibu boleh dipaksa untuk mengasuh, memelihara anaknya jika memang si anak sudah tidak memiliki muhrim. Tujuannya agar hidup anak tidak tercampakan. Pendapat lain mengatakan, bahwa seorang ibu boleh dipaksa mengasuh anaknya secara mutlak dan ia tidak memiliki hak untuk menggugurkannya meski dengan khuluk.

Secara hukum, pengambilan upah dalam hal pengasuhan anak sama dengan pengambilan upah dalam hal penyusuan anak (rada). Karena itu, seorang ibu tidak berhak untuk mendapatkan upah susuan selama ia masih menjadi istri atau berada dalam masa iddah.65 Hal ini dilakukan karena apbila ia masih resmi menjadi istri dan berada dalam

masa iddah, maka ia tetap mendapatkan nafkah keluarga dan nafkah iddah dari suaminya, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 233.

Terjemahnya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Adapun jika masa iddah perempuan sudah berakhir, maka ia berhak mendapatkan upah pengasuhan anak, seperti upah menyusui. Hal itu di sebutkan dalam Q.S. al-Talaq/65:6



































































Terjemahnya:

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.66

66 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 559

Dalam hal ini, Wahbah az-Zuhaily67 memiliki dua pendapat, yaitu:

a. Menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyaj, seorang pengasuh (hadin) tidak berhak meminta upah mengasuh, baik statusnya sebagai ibu maupun selainnya karena seorang ibu berhak mendapat nafkah jika statusnya masih seorang istri, adapun apabila statusnya selain ibu dari si anak maka nafkahnya ditanggung ayahnya, akan tetapi jika nak dipeliharah membutuhkan bantuan lain, seperti memasak dan mencucipakaian maka pengasuh berhak mendapat upah.

b. Menurut ulama Hanafiyyah, seorang pengasuh (hadinah) tidak berhak mendapatkan upah mengasuh (hadanah) jika statusnya sebagai istri atau dalam masa iddah, baik cerai ba‟in maupun raji‟i, seperti halnya tidak mendapatkan upah rada‟ karena wajibnya kedua hal tersebut seperti utang, di samping ia juga masih berhak mendapatkan nafkah sebagai istri maupun dalam masa iddah dan nafkah itu cukup keperluan hadanah. Adapun setelah selesainya iddah makah hadinah berhak meminta upah hadanah karena terhitung upah suatu pekerjaan.

Pada hakikatnya, dalam sebuah putusan hakim adalah kemaslahatan seharusnya merupakan fundamen yang utama, mengingat setiap hikmatu al-tasyri’ baik hukum agama maupun hukum positif, akan selalu mengedepankan unsur maslahat, yaitu unsur kebaikan, manfaat, kenyamanan, serta keharmonisan.

Putusan hakim Pengadilan Agama yang berkenaan dengan sengketa hadanah haruslah lebih mengedepankan maslahat, manfaat bagi anak, asas manfaat ini sesuai dengan amanat Rakernas Mahkama Agung pada tahun 2007 di Makassar, Pengadilan Agama dalam sengketa hadanah harus memutuskan dengan mendahulukan 4 hal, yaitu: 1) kepentingan anak sesuai dengan pasal 10 Undang-undang R.I. nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, 2) mengupayakan perdamaian melalui mediasi, 3) menerapkan lembaga dwangsom, 4) menerapkan ketentuan pasal 225 HIR/259 Rbg. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan masa depan anak tidak tereduksi oleh kepentingan sesaat dari orang tua yang tidak bertanggung jawab.

Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan hak pemeliharaan anak mumayyiz dilandasi pada pemikiran bahwa kepentingan yang terbaik bagi anak adalah berada dalam pengasuhan ibunya. Hal ini merupakan asas atau prinsip hukum yang bersifat universal. Dari kedu kasus yang peneliti cantumka dalam skripsi ini maka dapat dianalisa bahwa:

Kasus pertama, dalam hal pihak ayah dan ibu sama-sama menuntut agar ditetapkan sebagai pemegang hak asuh. Di dalam persidangan pihak ibulah yang lebih berhak untk mengasuh anak tersebut karena anak itu belum mumayyiz atau berusia 6 tahun. Dan ibu tersebut cakap menurut undang-undang dalam hak asuh.

Kasus kedua, dalam pihak ayah dan ibu masing-masing mengasuh anak, pihak ibu mengasuh anak yang kedua berumur 1 tahun 1 bulan dan pihak ayah mengasuh anak pertama yang berumur 2 tahun 2 bulan. Akan tetapi pihak ayah selalu menghalang-halangi pihak ibu ketika ingin menjenguk anak pertamanya yang berada dalam pangkuan ayah. Maka

dari itu ketika pihak ibu menuntut ke Pengadilan Agama tentang hak asuh anak, maka hakim memutuskan perkara tersebut bahwa hak asuh kedua anak tersebut jatuh ketangan ibu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang hak asuh anak akibat perceraian dan problematikanya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep Islam mengenai hak asuh anak yang dikenal dengan istilah hadanah, kriteria terjadi perceraian, secara eksplisit ibulah yang diberi hak untuk mengasuh anak dengan aturan, bahwa anak tersebut belum mumayyiz dan apabila ibu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak asuh, maka hak asuh beralih kepada kerabat terdekat yang memenuhi syarat, sebagaimana yang diysaratkan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Adapun hak asuh bagi anak yang sudah mumayyiz, diberikan hak opsi untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Namun hak opsi tersebut tidak bersifat mutlak. Artinya bahwa pilihan anak dapat idkabulkan sepanjang yang dipilihnya memiliki kemampuan untuk menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak yang diasuhnya.

Antara hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 terntang perkawinan, Konvensi Internasional dan beberapa perundang-undangan, ada kesamaan pandang antara prinsip kepentingan yan terbaik pada anak yang lebih mendasarkan pada pertimbangan maslahat. Secara yuridis, apabila terjadi sengketa tentang hak asuh anak bagi yang belum mumayyiz, maka pengadilanlah yang akan memutuskan berdasarkan kepentingan anak tersebut.

2. Berdasarka hasil penelitian pada Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa, gugatan perceraian yang diajukan bersamaan tuntutan hak asuh, lebih banyak diajukan oleh pihak istri. Dalam proses penyelesaian perkara hak asuh, hakim pada umumnya lebih cenderung hanya berasas pada hukum materil yakni Kompilasi Hukuk Islam (KHI) dan Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Karena sudah menjadi ketentuan hukum agar hakim-hakim di Pengadilan Agama mengunakan ketentuan-ketentuan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI),

Dokumen terkait