• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SUNGGUMINASA GOWA (Tinjauan Yuridis Empiris Tentang Perlidungan Anak )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SUNGGUMINASA GOWA (Tinjauan Yuridis Empiris Tentang Perlidungan Anak )"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN

AGAMA SUNGGUMINASA GOWA

(Tinjauan Yuridis Empiris Tentang Perlidungan Anak )

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh :

MOHAMMAD IQBAL NIM : 105260014115

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1440 H / 2019 M

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

هبحصو هلأ ىلعو محمد اندٌس نٌلسرملا فرشأ ىلع ملاسلاو ةلاصلاو نٌملاعلا بر لله دمحلا

نٌعمجأ

Puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang hanya karena hidayah dan pertolongan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad saw. serta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya. Semoga Allah swt. mengampuni kedua orang tua dan semoga Allah swt. merahmati keduanya disebabkan keduanya memelihara ketika kecil.

penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sehubungan dengan selesainya penulisan skripsi ini, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih kepada mereka yang tidak dapat disebut namanya di sini, perkenankanlah untuk menyebut nama beberapa pihak dan/atau pribadi sebagai berikut:

1. Kedua orang tua (Jamri Adam dan Hj. Kartini Parojai) yang telah memelihara dan mendidik mulai dari masa kecil hingga sekarang ini. Semoga Allah swt. merahmati dan mengampuni dosa keduanya.

2. Rektor dan para Wakil Rektor UNISMUH Makassar yang banyak memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, dan menerima sebagai mahasiswa pada Program Ahwal syakhsiyah

3. Ketu Prodi Akhwal Syakhsiyah, Dr, M. Ilham Muchtar, Lc. M.A. dan seluruh jajarannya. Kebaikan hati, kebijakan, dan keramahan mereka semua tentu tidak bisa dibalas dengan hanya sebuah tanda hormat dan ucapan terima kasih.

(7)

4. Dr. Abbas Baco Miro, Lc, M.A. dan Dr. M. Ali Bakri, M. Pd. Selaku pembimbing pertama dan kedua yang sangat berjasa dalam membimbing penulisan skripsi ini. Keduanya tidak jarang harus kehilangan waktu yang sangat berharga hanya untuk memberi kesempatan guna berkonsultasi. Kesediaan mereka untuk memberi petunjuk secara amat luas dalam kaitan dengan pelbagi hal tentang metode dan subtansi isi uraian yang akan dipaparkan, amat membantu terwujudnya skripsi ini.

Akhirnya, Semoga segala bantuan, partisipasi, dan saran dari siapa pun datangnya dalam rangka penyempurnaan tulisan ini mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. amin

Makassar, 2 Agustus 2019

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

JUDUL ... PERSETUJUAN PEMBIMBING ... DAFTAR ISI ... BAB I. PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Kegunaan Penelitian ... E. Kerangka Konseptual ... F. Landasan Teori ... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... A. Tinjauan Umum Mengenai Anak ... B. Pengertian dan Kedudukan Perceraian ... C. Tinjauan Umum Tentang Hak Asuh Anak ... BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...

A. Jenis Penelitian ... B. Lokasi Penelitian ... C. Instrumen Penelitian ... D. Metode Pengumpulan Data ... BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. Keadaan Objektif Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa ... B. Analisis Hukum Islam terhadap Perkara Hak Asuh

Anak ... C. Pelaksanaan Putusan Perkara Hak Asuh Anak ...

I ii iii 1 1 8 9 9 11 12 16 16 28 32 42 42 43 43 45 48 48 54 70

(9)

BAB V. PENUTUP ... A. Kesimpulan ... B. Implikasi Penelitian ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN-LAMPIRAN 77 77 78 79

(10)

ABSTRAK

Metodologi penelitian dalam skripsi ini yang dilakukan di Pengadilan Agama (PA). Yakni Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa. Jl. Masjid Raya, Kel. Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kab. Gowa. Termasuk Pengadilan Agama yang ada di propinsi sulawesi selatan. Yang berkaitan dengan hak asuh anak pasca perceraian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asuh anak yang dikenal dengan istilah hadanah secara eksplisit ibulah yang diberi hak untuk mengasuh anak dengan aturan, bahwa anak tersebut belum mumayyiz dan apabila ibu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak asuh, maka hak asuh beralih kepada kerabat terdekat yang memenuhi syarat, sebagaimana yang diysaratkan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Adapun hak asuh bagi anak yang sudah mumayyiz, diberikan hak opsi untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Namun hak opsi tersebut tidak bersifat mutlak. Artinya bahwa pilihan anak dapat idkabulkan sepanjang yang dipilihnya memiliki kemampuan untuk menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak yang diasuhnya. Adapun hakim Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa,. Dalam proses penyelesaian perkara hak asuh, pada umumnya lebih cenderung hanya berasas pada hukum materil yakni Kompilasi Hukuk Islam (KHI) dan Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

(11)

Implikasi penelitian skripsi antara lain: pertama, Para praktisi hukum, khususnya kepada para hakim pada lingkungan pengadilan agama, agar kiranya lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil pertimbangan untuk memberikan putusan pada setiap perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kedua, Pertimbangan maslahat terhadap anak dalam kasus sengketa hak asuh di Pengadilan Agama perlu mendapat perhatian secara khusus, tidak hanya mengacu pada ketentuan formal tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum masyarakat dan kaidah-kaidah agama.

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah sunnatullah berlaku bagi semua ummat manusia guna melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh keturunan, maka Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bemacam-macam ungkapan yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis, hal ini sesuai dengan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad yang kuat untuk menaati perintah Allah swt, dan melakukannya merupakan ibadah, sebagaiman terdapat di dalam QS al-Nisa‟/4: 21



























Terjemahnya:

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.1

Maksud perkataan nikah sebagaimana yang terdapat pada ayat tersebut bukan merupakan perjanjian yang biasa, melainkan suatu perjanjian yang kuat. Untuk memahami pengertian perkawinan, ada beberapa pendapat para ahli antara lain:

1

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 81

(13)

Wahbah al-Zuhaily: perkawinan adalah akad yang telah ditetapkan syariat agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan

istimta‟ dengan seorang perempuan atau sebaliknya.2

Menurut peneliti, inti daripada perkawinan adalah untuk menciptakan kebahagian antara seorang laki-laki dan perempuan dalam menjalin hubungan rumah tangga sesuai dengan ketentuan agama yang diocntohkan baginda Nabi Saw.

Berdasarkan beberapa definisi perkawinan tersebut, apabila dibandingkan dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan undang-undang tidak ada perbedaan yang prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah:

“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Sedangkan tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang erat hubungannya dengan keturunan, menyangkut pengasuhan pemeliharaan dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban orang tua.4 Tujuan perkawinan yang diinginkan oleh undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya melihat segi lahiriah tetapi juga merupakan sutu ikatan batin antara suami dan istri

2

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, Cet. II (Damaskus; Dar al-Fikr, 1984), h.29

3

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Jakarta: Trinity, 2007), h.7

4

(14)

yang ditujukan untuk membentuk keluarga yang kekeal, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilaksanakan sesuai ketentuan, yaitu memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perturan yang berlaku. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, bahwa perkawinan yang sah itu hanyalah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya dari para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Selain itu juga harus dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5

Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur hidup dengan tujuan mewujudkan kehidupan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaiman disebutkan di dalam QS al-Rum/30:21





























































Terjemahnya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.6

Perkawinan dalam kenyataannya dapat putus atau berakhir karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Penjelasan umum dari

5

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.40

6

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 406

(15)

Undang-undang R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini meneganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian, sejauh mungkin menghindarkan terjadinya perceraian. Perceraian yang dimaksud harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.

Konflik yang terjadi dalam sebuah rumah tangga adalah suatu permasalahn yang besar, karena konflik yang terjadi antara suami istri bisa mempengaruhi kejiwaan anak-anak dan pertumbuhan emosional mereka. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai kesulitan perjalanan bahtera rumah tannga. Sayangnya, perceraiaan tidak selalu membewa kelegaan, sebaliknya seringkali perceraian justru menambah berkobarnya perseteruan. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Hak asuh seringkali menjadi permasalah pasca perceraian, bahkan tak jarang antar mantan suami dan mantan istri saling berebut mendapat hak asuh anak tersebut.

Perceraian yang terjadi antara suami istri yang telah memiliki anak tidak saja mengakibatkan terputusnya hubungan antara keduanya (suami dan istri), akan tetapi berimplikasi buruk terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup anak. Di sisi lain, kadang anak yang diharapkan sebagai sosok yang berguna tetapi jutru menjadi sengketa antara kedua belah pihak dengan alasan bahwa mereka masing-masing lebih berhak mengasuh anak tersebut.

Media elektronik maupun media cetak sering menayangkan persteruan pada proses maupun pasca perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotaiment. Hotline

(16)

service Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima sejumlah pengaduan bertajuk perbuatan anak. Hal ini tidak hanya berasal dari klangan menengah ke bawah, tetapi juga berasal dari kelas ekonomi atas, sebagian diantaranya adalah public figure seperti selebritis dan tokoh yang dikenal publik.

Pasangan tersebut memperebutkan anak mereka laksana piala bergilir, saling klaim antara kedua pasangan tersebut tidak hanya berakhir dengan perseteruan pro justisia (pidana), tetapi juga berlanjut pada pertukaran kecaman yang digencarkan via media penyiaran infotaiment.

Fonomena kehidupan semacam ini seakan menjadi life style beberapa tahun terakhir ini di kalangan masyarakat.7

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah swt, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah swt. harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena di dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Bab X A Pasal 28B (2) UUD R.I. Tahun 1945; “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Bahakan secara internasional dalam konvensi perserikatan Bangsa-bangsa pun memuat hak-hak anak8.

7

http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/24-dunia-penyiaran?start=6

8

Kementrian Kabinet Kerja, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta, Bhuana Ilmu, 2016), h. 63

(17)

Konvensi Hak Anak tahun 1989 yang termuat dalam pasal 3, yang disahkan oleh PBB pada tahun 1989 tersebut, ada pula beberapa undang-undang yang telah disahkan dan sifatnya mendunia; yaitu tahun 1924 disahkannya sebagai pernyataan hak anak oleh liga Bangsa-bangsa, tahun 1959 diumumkannya pernyataan hak-hak anak oleh PBB dan 1979 diputuskan adanya hari anak Internasional9.

Pasal 3:

1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.

2. Negara-negara pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-oranng lain yang secara sah atas dia dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.

3. Negara-negara pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan dan fasilitas yang bertanggung jawabatas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikandiri dengan standar-standar yang idtentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama dibidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf mereka dan juga pengawasan yang berwenang.

Secara normatif, masalah hak asuh anak diatur dalam kitab-kitab fikhi klasik maupun kontenporer dengan beberapa perbedaan paradigma dan konsep bahkan di Indonesia masalah hak asuh anak ini juga diatur dala Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).10

9

Hari Harjanto Setiawan, Reintegrasi Praktek Pekerjaan Sosial dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2012), h. 51

10

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Intruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Bab XIV pasal 98-106 tentang “Pemeliharaan Anak” (Jakarta: Departemen Agama R.I., 2000), h.50

(18)

Pada Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, ketentuan menegenai akibat perceraian terhadap anak diatur pasal 41:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusan.

2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak –anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan, pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa pihak ibu ikut memikul beban biya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban kepada bekas suami11.

Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adal kewjiban bagi kedua oran tua, 12 karena apabila anak yang belum mumayyiz tidak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak tersebut bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Pembehasan mengenai pengasuhan anak ini kembali muncul menjadi perhatian publik dengan berbagai latar belakang pemikiran, baik berdasarkan join custodian yaitu lebih mengedepankan hubungan baik antara mantan pasangan suami istri. maupun yang didasarkan pada jurigenic effect yaitu mengedepankan pada realitas psikologis anak saat akan ditetapakan oleh majelis hakim, bahwa konsep perlindungan, pengasuhan dan perlindungan anak, seyohyanya dikembangkan lewat basis yang kuat yakni memilih

11 Saptono Raharjo, Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Bhuana Ilmu populer, 2017),

h. 14

12

Muhammad Husain Zahabi, al-Syari’ah al-Islamiyyah: Dirasah al-Muqaranah

baina Mazahib Ahlu Sunnah wa al-Mazahib al-Ja’fariyyah (Mesir: Dar Kutub al-Hadisah), h.170

(19)

kepentingan terbaik bagi anak, kepentingan yang mendukung integritas pertumbuhan dan perkembangan anak, bukan hanya sekedar fisik biologisnya saja, tetapi juga mencakup psikis, psikologis mental dan pikiran anak.

Uraian diarahkan pada konsep dan aplikasi hasil putusan perkara hak asuh anak perspektif hukum Islam dan hukum materil, dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai tinjauan yuridis tentang perlindungan anak, yang dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan putusan perkara hak asuh anak di lingkungan peradilan, dengan sentuhan pemahaman dari berbagai sudut pandang, baik aspek filosofis, historis, yuridis, sosiologis maupun psikologis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini adalah bagaimana problematiaka hak asu anak pasca perceraian ditinjau dari berbagai aspek, terutama sisi yuridi-empiris tentang perlindungan anak tersebut

Berdasarkan sudut pandang tersebut, maka sub masalah menjadi bagian terpenting untuk menjawab permasalahn pokok, yaitu:

1. Bagaimana konsep hak asuh perspektif hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang perlindungan anak? 2. Bagaimana pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim

(20)

kepada siapa hak asuh anak diberikan tanpa harus melannggar ketentuan kepentingan hak asasi anak?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Ilmiah

Secara umum penelitian skripsi ini bertujuan untuk menelah secara umum antara konsep dan aplikasi keputusan yang dihasilkan majelis hakim Pengadilan Agama menyangkut perkara perceraian dan hak asuh pasca terjadinya perceraian. Mengingan seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam kebutuhan fisik, psikisnya maupun dalam pembentukan akhlaknya. Penelitian ini berupaya untuk mengemukaakan analisis keputusan pengadilan perihal hak asuh anak yang telah diputuskan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan perangkat peraturan perundang-undangan lain tentang perlindungan anak secara mendalam.

b. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa sebagai implementasi dalam menentukan kepada siapa hak asuh anak diberikan tanpa harus melanggar ketentuan hak asasi kepentingan seorang anak, melahirkan keputusan terbaik bagi anak

D. Kegunaan Penelitian

(21)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai hukum pengasuhan anak pasca terjadinya perceraian, terutama mengenai konsep hak asuh anak pesrfektif hukum Islam, hukum positif maupun perundang-undangan lain yang punya relevansi dengan hak asuh anak sekaligus menambah khasanah intelektual dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu ke-Islaman pada khususnya.

2. Kegunaan praktis

a) Dapat digunakan sebagai referensi baru dalam penerapan hak asuh anak pasca perceraian untuk mencapai penetapan hukum yang adil.

b) Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu pengalaman yang akan memperluas cakrawala pemikiran dan wawasan pengetahuan, khususnya mengenai hak asuh anak pasca perceraian.

(22)

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Pikir Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

Pemenuhan segala hak dasar anak: 1. Kasih sayang

2. Hak pendidikan 3. Hak kesehatan

4. Hak mendapat tempat tinggal Perkawinan Hak Asuh Perceraian Hak Asuh Kematian Perempuan (mantan istri) Laki-laki (mantan suami) anak

1. UUD Negara R.I. Tahun 1945

2. UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. (KHI)

4. UU R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

(23)

F. Landasan Teori

1. Perceraian

perceraian dalam Islam merupakan jalan keluar dalam perkawinan yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Perceraian disyariatkan dalam Islam, sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Talak/65: 1 berikut:









































































































Terjemahnya:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.13 Beberapa definisi yang diutarakan para ulama, maka pada hakikatnya perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami istri yang diantara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.

2. Yuridis-Empiris

Adanya perkara-perkara yang diterima di peradilan umum, peradilan agama maupun peradilan lainnya, hal itu memberi kewenangan

13

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 558

(24)

nyata pada pihak peradilan dalam memberi putusan atas setiap perkara. Putusan-putusan yang merupakan yurisprudensi nantinya, sangat bergantung pada beberapa perundang-undangan yang berisikan pasal-pasal sebagai rujukan lahirnya putusan-putusan tersebut.

Penegrtian hukum yuridis yaitu semua hal yang mempunyai arti hukum yang diakui sah oleh pemerintah. Aturan ini bersifat baku dan mengikat semua orang di wilayah di mana hukum tersebut berlaku. Sehingga jika ada orang yang melanggar hukum tersebut bisa dikenai hukuman. Hal ini karena aturan tersebut memiliki sifat memaksa, sehingga semua orang tanpa terkecuali termasuk para penegak hukum juga harus mematuhinya. Hukum yuridis ada yang berbentuk tertulis, ada juga yang bebentuk lisan. Contoh hukum yuridis dalam bentuk tertulis adalah Undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan gubernur dan lain sebagainya. Sedangkan contoh hukum yuridis dalam bentuk lisan yaitu hukum adat. Meskipun hadir dalam bentuk tidak tertulis, hukum adat wajib diindahkan dan dipatuhi oleh warga masyarakat dimana hukum adat itu berlaku. Di indonesia, hukum adat berlaku sesuai dengan adat masing-masing daerah,

Yuridis yaitu pendekatan dengan menggunakan disiplin hukum Islam dan ilmu hukum. Dalam hal ini, baik Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maupun yurisprudensi yang telah ada menjadi rujukan dalam setiap tahapan pelaksanaan penelitian. Pendekatan yuridis empiris digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengasuhan anak. Pendekatan yuridis mempergunakan data data sekunder, digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum

(25)

perdata Islam (KHI maupun hukum perkawinan), peraturan yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan perkawinan dan perwalian anak, perundang-undangan yang mempunyai kolerasi dan relevan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan pendekatan yuridis empiris digunakan untuk memberikan gambaran kualitatif tentang hak pengasuhan anaka apabila terjadi perceraian.

Perundang-undangan sebagai tinjauan yuridis yang dimaksud, kaitannya dengan permasalahan hak asuh anak sudah banyak, karena masalah anak yang dipandang sebagai suatu permasalahan yang sederhana, namun untuk perlindungan lebih lanjut terkait masa depan anak secara nasional maupun internasional, maka masalah anak dipandang sangat penting saat ini. Perundang-undangan yang terkait adalah:

a. UUD Negara R.I. Tahun 1945

b. UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

c. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) d. UU R.I. Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

Pengertian empiris adalah suatu cara atau metode yang dilakukan yang bisa diamati oleh indera manusia. Sehingga carata atau metode yang digunakan tersebut bisa diketahui dan diamati juga oleh orang lain.

Secara empiris14 adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain. Pengertian tersebut dimaksudkan adalah hukum Islam dalam bentuk perdata khusus yaitu al ahwal a-syakhsiyah yang berkaitan kewenangan

14

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III, Cer. III, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2005), h.209

(26)

peradilan agama. Sedang untuk menunjang data empiris, dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi dan wawancara langsung dengan para hakim, pegawai pengadilan agama dan juga person yang terkait dengan perkara hak asuh anak. Dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan multidisipliner sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini dengan sedetailnya.

3. Perlindungan anak

Anak adalah aset masa depan umat mengharuskan semua pihak memberikan perhatian penuh kepada anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang berkualitas prima. Keluarga, masyarakat dan negara bahu-membahu untuk memenuhi hak-hak anak. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, psikis maupun sosial dan berakhlak mulia. Perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadapa pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya, maka dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ditetapkanlah Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Anak

Islam menganjurkan perkawinan dengan maksud untuk menciptakan hidup bahagia dalam membentuk rumah tangga yang harmonis, penuh ketenangan dan kecintaan yang diliputi rasa kasih sayang di antara sesama anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Manakalah pasangan suami istri telah mampu mewujudkan jalinan kasih sayang dan kedamaian dalam rumah tangga, secara kooperatif akan mampu menunaikan misi perkawinan selanjutnya yaitu melahirkan keturunan yang berkualitas, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berbakti kepada keluarga, agama, nusa dan bangsa.15 Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan di dalam QS al-Furqan/25: 74 berikut:













































Terjemahnya:

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.16

Tujuan melaksanakan perkawinan adalah untuk menyambung keturunan yang kelak akan dijadikan sebagai ahli waris. Keinginan mempunyai anak bagi setiap pasangan suami istri merupakan naluri insani, yang secara fitrah anak-anak tersebut merupakan amanah Allah

15

Abu Bunyamin, Hadanah dan Problematikanya (Suatu Analisis terhadap Pemegang Hadanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak), dalam Mimbar Hukum (Jkarta; PT. Tomasu, 1999), h.24

16

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 366

(28)

swt. kepada pasangan suami istri tersebut. Oleh karena itu, sebagai orang tua yang diberi amanah oleh Allah swt. harus dapat menerima dan menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.

Bagi semua orang tua, anak diharapkan dapat mengangkat derajat dan martabat orang tua, keluarga kelak, menjadi anak yang shaleh dan salehah. Berangkat dari pemikiran inilah, kemudian orang tua selalu berkeinginan untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya, agar dapat membimbing dan mendidik langsung agar kelak setelah anak-anak sudah dewasa dapat tercapai apa yang telah dicita-citakannya. Demikian pula anak-anak yang telah terlahirkan,selalu ingin dekat denngan orang tuanya, karena anak-anak ingin selalu dilindungi dan diberikan kasih sayang oleh kedua orang tua sampai anak-anak sudah mampu beriri sendiri.

Dalam Islam, pengasuhan anak disebut dengan hadanah, yang secara etimologisnya berarti mendekap, memeluk, mengasuh, dan merawat.17 Sedangkan secara terminologisnya berarti mengasuh, merwat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.18 Anak-anak yang telah lahir dari perkawinan berkeinginan untuk selalu terlindungi dan mendapatkan kasih sayang kedua orang tua mereka sampai dapat berdiri sendiri dalam mengarungi kehidupan hingga dewasa kelak.

17

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pendidikan Pesantren al-Munawwir, 1994), h.295

18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarat: Ikhtiar BaruVan Hoope, 1990), h. 415

(29)

Berikut ini beberapa pengertian anak, macam-macam anak, hubungan hukum antara orang tua dan anak dengan menegemukakan pendapat dari beberapa pakar dan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

1. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan erat kaitannya dalam hubungan kekeluargaan. Anak dalam hubungannya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.19

Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepntingan agama, hukum, sosial dari masing-masing aspek. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara subtansial; fungsi, makna dan tujuan. Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sangat berbeda dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum, sosial, ekonomi, politik dan hankam. Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah swt. yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang bersimensi pada kewenangan kehendak Allah swt.20 secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang

19

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta, 2002), h. 41

20

Imam Jauhari, Advokasi Hak-hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan (Pustaka Bangsa: Medan, 2008), h. 46

(30)

diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spritual yang diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam). Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam QS al-Isra‟/17: 70 berikut:



























































Terjemahnya

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.21

Ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur‟an meletakkan kedudukan anak sebagai makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus semua yang diperoleh melalui kehendak sang pencipta Allah swt.

Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah Allah swt. dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Anak adalah makhluk Allah yang memiliki sepasang orang tua; ayah dan ibu. Konsep anak dalam bahasa arab menggunakan beberapa istilah; نبلاا (al-Ibn), لفطلا (al-Tiflu), ناٌبصلا (as-Sibyan), دلولا (al-Walad), ملاغلا (al-Gulam).

21

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 289

(31)

a. نبلاا (al-Ibn)

Lafaz al-Ibn dalam Mu’jam dijelaskan bahwa kata ibn berasal dari

banawa dengan bentuk jamak abna. Lafaz ini memiliki makna yang sama

al-Walad yang berarti sesuatu atau seseorang yang dilahirkan.22 Dalam tahapan perkembangan manusia, term ibn lebih tepat sebagai tahapan penyusuan organ-organ tubuh hingga anak dapat mencapai tingkat kesempurnaan atau kedewasaan. Kata ini terdapat dalam al-Qur‟an dan terulang sebanyak 162 kali.23

Lafaz ibn ini dipergunakan untuk menjelaskan hubungan antara anak dengan ibu ketika proses kehamilan dan kelahiran anak. Maryam diberi amanah mengandung seorang pembawa risalah ketuhanan dengan melalui tanggung jawab pemeliharaan Isa dalam Kandungan (QS al-Baqarah/2: 87). Pemeliharaan anak ketika berada dalam suasana kritis, menghadapi bencana dan kebutuhan anak dalam pembinaan (QS Hud/11: 42 dan 45).

b. Al-Tiflu (لفطلا)

Lafaz al-tiflu merupakan bentuk ism dari fi’il: tufula – yatfulu –

tufuulah yang berarti ringan, halus, lembut atau lunak. Anak yang dalam posisi makna ini dapat berarti sebagai manusia yang berada dalam tahapan perkembangan fisik yang ringan, halus, lembut, lunak atau belum kuat, belum dewasa dalam melakukakan sesuatu. Bahkan lafaz al-tiflu

digunakan pula untuk menggambarkan pengaruh usia dan aktifitas seseorang yang masih berada dalam tahap perkembangan fungsi

22

Al-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an al-Karim, h. 177

23

Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alafaz Qur’an

(32)

biologis, khususnya pada tangan dan kaki sebagai alat yang memotongkeseimbangan tubuh.24

Dari makna al-tiflu di atas, maka dapat dipahami bahwa al-tiflu

adalah kata yang menunjukkan kepada makna umum terhadap segala sesuatu dalam kondisi rentan karena kelunakannya. Secara khusus, lafaz

al-tiflu menunjukkan kepada aspek fisik anak yang masih rentan dan belum mencapai bali, anak yang senangtiasa masih membutuhkan bantuan untuk memenuhi segala kebutuhannya.

Lafaz al-tiflu dalam pemaknaan al-Qur‟an secara umum dapat

dipahami, bahwa:

(1) Berhubungan dengan arti dasar; usia anak yang senangtiasa dalam kesenangan dan tidak mempunyai beban hidup yang disebabkan karena kelemahan kualitas fisik dan psikis.

(2) Lafaz al-tiflu berkenaan dengan aturan dalam aspek kekeluargaan dan ayat-ayatya selalu berkaitan dengan prinsip-prinsip keluarga.

pengungkapan tersebut menunjukkan anak-anak yang masih bayi, yaitu sekitar usia 0 – 2 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa bagi bayi sejak dilahirkan sangat tergantung pada sikap dan perhatian orang tuanya, terutama perhatian dari ibunya, mengingat kondisi bayi yang dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya untuk menolong dirinya. Allah swt menjelaskan di dalam QS al-Baqarah/2: 233, berikut :









































































24

Muhammad bin Mukrim bin Mansur, al-Fikr al-Misr (Lisan al-Arab Mujalladad III. 711 H), h. 402

(33)













































































































Terjemahnya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.25

c. As-Sibyan (ناٌبصلا)

Lafaz sibyan merupakan fi‟il saba: sabawa yang secara etimologi berarti kecenderungan berbuat salah, tidak mahir.26 Secara terminologi

sobi berarti istilah kepada kelompok anak yang berada dalam tahapan usia masih menyusui hingga anak tersebut berusia mencapai balig atau belum menampakkan tanda kedewasaan. Apabila dilihat dari usia, maka

sobi adalah kategori usia anak yang belum mencapai usia tujuh tahun. Usia ini merupakan batas usia seorang anak untuk diperbolehkan dapat melakukan puasa.27

Dalama al-Qur‟an, kata sibyan yang berarti anak disebutkan sebanyak 2 kali yaitu dalam QS Maryam/19: 12, 29. Ayat 12 menceritakan

25

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 37

26

Muhammad bin Mukrim bin Mansur al-Fikr, Lisan al-Arab (Majallad XIV), h.450

27

(34)

kisah nabi Yahya yang sejak kecilnya telah mendapatkan berbagai keistimewaan, salah satunya adalah diberikannya hikmah atau pengetahuan. Allah swt telah memberikan amanah kepada nabi Yahya meskipun usianya masih tergolong sangat muda. Adapun dalam ayat 29, menerangkan kebenaran keyakinan seorang perempuan suci yang hidup dalam kebingungan karena telah melahirkan seorang anak yang kelak menjadi seorang rasus.

QS Maryam/19: 12 berikut:

























Terjemahnya:

Hai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.28 QS Maryam/19: 12 berikut :



























Terjemahnya:

Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: "Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?"29

d. Al-Gulam (ملاغلا)

Kata a-lgulam berasal dari fi‟il: galima - yaglamu - galaman gullaman kata ini dipergunakan untuk menggambarkan perkembangan fisik seseorang yang ditandai dengan munculnya berbagai perubahan biologis. Lafaz al-gulam menunjukkan kepada kelompok usia pemuda, usia seorang anak yang telah memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan dengan ditumbuhinya rambut halus pada bagian-bagian tertentu. Saat

28

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 306

29

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 307

(35)

perkembangan fisik menunjukkan adanya perubahan, masa ini memasuki usia 12 tahun ke atas.30

Dalam al-Qur‟an terdapat lafaz al-gulam; menunjukkan kepada anak yang berada dalam kelompok usia belum mencapai kematangan, baik secara fisik maupun psikis.31 Pada ayat ini, menjelaskan kondisi fisik Yusuf yang masih ringan ketika mendapatkan perlakuan zalim dari para saudaranya dengan dimasukkan ke dalam sumur.

Masa al-gulam ini disebut juga masa remaja. Masa remaja adalah suatu masa dari umur manusia yang paling banyak mengalami perubahan sehinnga beralih dari masa anak-anak menuju masa dewas. Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi segala segi kehidupan manusia, baik jasmani, rohani, pikiran, perasaan dan sosial. Masa remaja berkisar antara umur 13 samapi 20 tahun.32 Masa remaja merupakan masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, masa bergejolaknya jiwa seseorang anak untuk mendapat jati dirinya.

e. Al-Walad (دلولا)

Dalam kamus kamus bahasa arab, anak disebut juga dengan al-walad, secara etimologis al-walad berarti sesuatu yang dilahirkan. Kata al-walad merupakan perubahan bentuk dari susunan fi’il: walada – yalidu –

wiladatan – wiladan – wiladatan. Kata al-walad dipergunakan untuk menunjukkan makna; anak yang bersifat umum atau menunjukkan kepada kelompok usia sebelum menginjak dewasa.

30

Al-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim, h. 775

31 QS, Yusuf/12: 19;                        32

Zakariah Drajat, Problematika Remaja di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 80

(36)

Kata al-walad merupakan salah satu dari lafaz-lafaz yang bermakna anak, berdasarkan analisa, kata al-walad dapat dilihat dalam al-Qur‟an dan diperoleh sejumlah perubahan bentuk dalam 112 tempat.33 Diantaranya Allah swt. menjelaskan di dalam QS al-Nisa/4: 176 berikut:







































































































































Terjemahnya:

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.34

Pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat Nabi Muhammad saw. yang dikutip Abdul Wahab Khallaf dalam penafsiran kata-kata al-walad pada ayat di atas yaitu: mencakup anak laki-laki dan juga bisa berarti perempuan. Namu demikian, pengertian al-walad dalam nas bisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan.35

33

Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz Qur’an

al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 930

34

Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010),

35

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fikh (Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar: Kairo, 1990), h. 95

(37)

Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan ibu kandung.

Defenisi mengenai anak juga banyak ditemui dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah anak, diantaranya:

1. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan defenisi:

“Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.

2. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi:

“Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”.

3. Konvensi tentang Hak-hak Anak, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 mendefinisikan anak sebagai berikut:

“seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.

B. Pengertian dan Kedudukan Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh perhatian yang cukup signifikan terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa terlihat apabila mengkaji hukum Islam, niscaya akan ditemukan kedua hal itu menjadi salah satu objek pembahasan hukum Islam. Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa diawali

(38)

perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang

sakinah, mawaddah warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak tercapai, makan perceraian merupakan jalan keluar terakhir yang mesti ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang. Dalam hukum islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan sesuai dengan keadaan sosial melingkupi hukum tersebut.

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali pernikahan lebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law,common law, Islamic law maupun social law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi suami istri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban.36

Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak.

Sayyid Sabiq mendefinisikan menurut bahasa at-talaq berasal dari kata al-itlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Adapun menurut istilah

talaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.37

36 Rifyal Ka‟bah, „Permasalahan Perkawinan’

dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta, hal 7

37

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h.232

(39)

Menurut H.A. Fuad Sa‟id yang dimaksudkan dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain dan sebelumnya telah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak. Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabilah telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang dibolehkan namun dibenci oleh agama.38 Berdasarkan sabda Rasul:

"قلاطلا ىلاعت الله ىلا للاحلا ضغبا" : صلى الله عليه وسلم ًبنلا نع رمع نبا نع

39

Artinya:

Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian. Al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banya kesempatan selalu menyarankan agar suami istri bergaul secara ma‟ruf dan jangan menceraikan istri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat memuncak diantara suami istri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seseorang hakam dari keluarga pihak suami dan hakam dari

38

Ghazali Mukri, Panduan Fikhi Perempuan (Cet 1; Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), h. 159

39 Abi Daud Sulaiman bin al-Asy‟as al-sajastani,

Sunan Abi Daud, Juz II; Kitab Talaq (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h.334

(40)

keluarga pihak istri untuk mengadakan perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat dilakukan.

2. Sebab dan Akibat Perceraian

Pasal 39 Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk mempositifkan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada: (1) kematian salah satu pihak, (2) perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3) keputusan pengadilan.

Suatu perkawinanan yang berujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, merupakan keinginan dari setiap pasangan suami istri. Perkawinan mempunyai tujuan yang mulia, akan tetapi dalam kenyataannya dapat berakhir karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.40

Islam meberikan hak talaq kepada suami untuk menceraikan istrinya dan hak huluq kepada istri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk untuk kedua-duanya suami istri. Putusnya perkawinan seseorang juga diatur dalam pasal 38-41 Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang disebabkan beberapa hal, yaitu:

a. Kematian

Yang dimaksud dengan dengan kematian adalah meninggalnya salah satu pihak (suami atau istri) yang menyebabkan putusnya/berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat halangan maka istri atau suami yang di tinggal mati berhak mewarisi atas harta peninggalan atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan keperluan

40

H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), h. 102

(41)

penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman, kemudian untuk melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya. Mengenai putunya perkawinan tidak diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 atau Undnag-Undang-undang lain, tetapi yang menyangkut harta peninggalan atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal, karena hal itu diatur dalam hukum waris.

b. Perceraian

Mengenai perceraian, diatur secara mendetail dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, yaitu peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, menurut pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu menyatakan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Mengenai alasan-alasan perceraian dalam pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun1974 sebagai beruikut: “untuk melakukan perceraian harus ada alasan cukup, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”

Alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian menurut pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah:

1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan

2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

(42)

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41

c. Atas Putusan Pengadilan

Pasal butir (c) Undang-Undang perkawinan yaitu atas putusan pengadilan berbeda dengan keputusan pengadilan dalam rangka perceraian. Putusnya perkawinan dimaksud yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat cerai dari pihak suami istri atau keluarganya atau yang diatur dalam pasal 22 sampai pasal 28 Undang-undang perkawinan, sedangkan menurut pasal 23 Undang-undangperkawinan permohonan pembatalan perkawinan ini di samping dapat diajukan oleh keluarga dari suami istri atau masing-masing suami istri bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah yang berwenang. Dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin bercerai atau membetalakn perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.

Perkawinan, jika tidak memenuhi syarat-syarat suatu perkawinan, sesuai dengan bunyi pasal 22 Undang-undang perkawinan yaitu, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, misalnya melanggar larangan perkawinan pasal 8 Undang-undang perkawinan, yaitu suami istri ternyata masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama tertentu, mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi perkawinan tersebut tidak sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu mengusahakan melakukan pembatalan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan keadaan tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai manfaat serta kerugian yang ditimbulkan akibat keberadaan TPA sehingga diketahui kelayakan

HUBUNGAN KERJA MANUAL HANDLING TERHADAP KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH (LBP) PADA PERAWAT ICU DAN ICCU SILOAM HOSPITAL KEBUN JERUK JAKARTA BARAT.. 6 Bab, 85 Halaman,

Penyakit ( Germ Theory of Disease ).. Penggolongan mikroba: mikroskop, bentuk mikroba ditemukan yaitu bakteri, jamur, virus. 2). Asal-usul mikroba : Louis Pasteur, merobohkan

Hasil penelitian ini didukung teori yang dikemukakan oleh Buchari (2000), dimana Buchari mengatakan bahwa dengan adanya strategi yang baik terhadap bauran pemasaran seperti

Adanya motivasi dalam bekerja merupakan kekuatan untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan serta dapat membantu meningkatkan produktifitas yang tinggi. Selain dimiliki

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan Ekstrak Daun Gamal dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan tanaman nilam,

Perkara yang perlu dikemukakan semasa lapor diri iaitu buku laporan latihan industri yang telah siap, buku laporan harian, borang prestasi organisasi dan surat pengesahan tamat