• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hakim

Putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang Penggelapan dalam Jabatan

Berdasarkan deskripsi kasus yang telah di paparkan pada bab 3 bahwa

sanksi hukum yang di jatuhkan kepada terdakwa adalah 1 (satu) tahun 4

(empat) bulan penjara dengan dijerat dengan Pasal 374 KUHP yang

berbunyi:2 “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang

barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena

ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun”. Dalam pasal ini seharusnya hukumannya 5 (lima) Tahun kurungan penjara.

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh terdakwa Adi Sudarto termasuk dalam jarimah ta’z>ir. Dimana ta’zir berarti menolak atau mencegah. Hukuman tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan mengulangi kembali perbuatannya dan

membuat bersangkutan menjadi jera.3

Adapun yang memperkuat dalam tindak pidana penggelapan dalam

jabatan yang termasuk dalam jarimah ta’z>ir adalah sebagai berikut:

Sebagaimana dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 188 yaitu:4

اب م نيب م لاومأ اولكأت َ

نم اًقيرف اولك أتل اَ حلا ىل ا ب اولدت لطبل

و لعت متنأ مث ْاب ساَنلا ومأ

"Dan janganlah sebahagian kamu makan harta sebahagian yang lain

diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa

2 R. Soesilo, Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia 1991). 259 3 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung CV. Pustaka Setia 2000), 140 4 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjamahnya, (Jakarta: Depag RI, 1985)., 2

77

(urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"

Dasar hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam al-Qur’an dan Hadis, yang bentuknya sebagai hukuman ringan. ta’z>ir merupakan hukuman yang lebih ringan yang

kesemuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hukuman ta’z>ir

adalah sebanyak 39 kali hukuman cambuk untuk orang yang merdeka,

sedangkan untuk budak sebanyak 19 kali hukuman cambuk.5 ta’z>ir

dishari’atkan terhadap segala kemaksiatan yang tidak dikenakan had dan tidak kaffarat. Serendah-rendah batas ta’z>ir dilihat kepada sebab-sebabnya ta’z>ir, boleh lebih dari serendah-rendahnya h{ad, asalkan tidak sampai kepada setinggi-tingginya.

Dalam jarimah ta’z>ir tersebut terdapat hukuman yang sesuai dengan

kejahatan penggelapan dalam jabatan yaitu hukuman penjara, ada dua

macam untuk istilah hukuman penjara, yakni al-habsu dan al-sijnu yang

mana keduanya memiliki makna al-man’u yaitu mencegah (menahan).

Hukuman penjara ini dapat menjadi hukuman pokok dan dapat juga

menjadi hukuman tambahan. Apabila hukuman pokok yang berupa

hukuman cambuk tidak membawa dampak jera bagi terhukum.6

Hakim dalam hal ini ulil amri diberi kewenangan untuk menjatuhkan

hukuman bagi pelaku jarimah ta’z>ir. Dalam kitabnya “al Hudud wa at

Ta’z>ir” Ibnu Qoyim mengklasifikasikan penggelapan merupakan bentuk

5 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 584. 6 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 252.

78

ta’z>ir untuk maksiat dikarenakan mengandung unsur mengambil seluruhnya atau sebagian harta yang bukan merupakan haknya, Pada dasarnya hukuman ta’z>ir tidak memiliki batasan hukuman. Seperti halnya tidak ada batasan dalam perbuatan kriminal dan bentuk hukumannya. Begitu juga

tidak semua perbuatan maksiat termasuk padahukuman h{ad dan qishas

pada hukum Islam. Maka diperlukan ijtihad seorang Hakim dalam menetapkan suatu hukuman ta’z>ir dengan melihat maslahah umum serta bentuk penjagaan terhadap dasar-dasar hukum Islam pada hukuman yang

dijatuhkan terhadap seorang pelaku.7

Hukuman diancamkan kepada setiap seseorang pembuat jarimah agar

orang tersebut tidak mengulangi tindak kejahatan lagi, juga memberi

pelajaran kepada orang lain agar tidak berbuat jarimah. Penjatuhan pidana

pada jarimah ta’z>ir bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang

paling terpenting adalah pemberian pendidikan dan pengayoman.

Pertimbangan Hakim dalam hukum pidana Islam sudah benar yaitu

terdakwa dikenai hukuman kurungan atau dipenjarakan yang dijelaskan

dalam jarimah ta’zi>r.

Tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh Adi

Sudarto tersebut sudah banyak terjadi di masyarakat, sehingga hukuman

harus di maksimalkan sehingga menimbulkan efek jera khususnya bagi para

pelaku tindak kejahatan penadahan, dimaksudkan agar pelaku tidak

mengulangi perbuatannya di masa yang akan datang. Dari definisi yang

7Bakr bin Abdullah Abu Zaid, al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘Inda Ibnu Qoyim, (Riyad: Dar as-

79

telah disebutkan di atas tentang tinjauan ta’zir, dari segi hukuman bahwa

ta’zir merupakan hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’. Jarimah

ta’zir adalah jarimah yang sebagian terbesar hukumannya dan seluruh

sanksinya ditentukan pengusa.8

Penerapan hukuman ta’zi>r pada tindak pidana penggelapan dalam

jabatan pada putusan Pengadilan Negeri Jombang dirasa sesuai jika diterapkan dalam konteks pidana Islam, karena ta’zi>r merupakan hukuman yang dijatuhkan serta besar kecilnya ditentukan oleh ulil amri dalam hal ini

Hakim. Hal ini sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jombang dalam

hal ini Hakim memutus perkara sesuai dengan denga keterangan saksi,

terdakwa dan alat bukti yang ada serta fakta hukum yang terungkap dalam

persidangan.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil analisis serta pembahasan yang telah dipaparkan oleh

penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1) Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak pidana

penggelapan dalam jabatan tersebut sudah tepat dengan kadar

kesalahan yang diperbuat, dapat dilihat dari penjatuhkan pidana pada

terdakwa yang tidak hanya menitik beratkan pada hukuman yang

bersifat memberikan efek jera, namun juga mengandung unsur edukatif

yakni pendidikan dengan maksud agar pelaku tindak pidana sadar dan

dapat dijadikan sebagai pembelajaran atas tindak pidana yang

dilakukan. Dalam amar putusan perkara Nomor

23/PID.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan dengan

menyatakan bahwa terdakwa Adi Sudarto telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan Dalam Jabatan” dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Menetapkan agar

terdakwa tetap berada dalam tahanan dan memerintahkan barang bukti

berupa 67 (enam puluh tujuh) lembar faktur atas nama Adi Setiawan

81

2) Dalam hukum pidana Islam tindak pidana penggelapan dalam jabatan

yang dilakukan oleh terdakwa Adi Sudarto termasuk dalam jarimah

ta’z>ir. Dimana ta’zir berarti menolak atau mencegah. Hukuman

tersebut bertujuan mencegah yang bersangkutan mengulangi kembali

perbuatannya dan membuat bersangkutan menjadi jera.1 Dalam

jarimah ta’z>ir tersebut terdapat hukuman yang sesuai dengan kejahatan penggelapan dalam jabatan yaitu hukuman penjara, ada dua macam

untuk istilah hukuman penjara, yakni al-habsu dan al-sijnu yang mana

keduanya memiliki makna al-man’u yaitu mencegah (menahan).

Hukuman penjara ini dapat menjadi hukuman pokok dan dapat juga

menjadi hukuman tambahan. Apabila hukuman pokok yang berupa

hukuman cambuk tidak membawa dampak jera bagi terhukum.2

Penerapan hukuman ta’zi>r pada tindak pidana penggelapan dalam

jabatan pada putusan Pengadilan Negeri Jombang dirasa sesuai jika

diterapkan dalam konteks pidana islam, karena ta’zi>r merupakan

hukuman yang dijatuhkan serta besar kecilnya ditentukan oleh ulil

amri dalam hal ini hakim. Hal ini sesuai dengan putusan Pengadilan

Negeri Jombang dalam hal ini hakim memutus perkara sesuai dengan

denga keterangan saksi, terdakwa dan alat bukti yang ada serta fakta

hukum yang terungkap dalam persidangan.

1 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung CV. Pustaka Setia 2000), 140 2 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 252.

82

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dipaparkan di atas, maka penulis

menyajikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Adapun ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim

dalam memutus suatu perkara hendaknya tidak memperhatikan dari

segi yuridis saja, akan tetapi dari aspek sosiologis juga harus menjadi

dasar pertimbangan hakim serta hakim dalam menangani suatu perkara

harus bersifat aktif dalam melihat fakta hukum yang muncul dalam

persidangan. Hal ini harus dilakukan agar hakim dalam memutus suatu

perkara tidak hanya mengedepankan efek jera namun juga memuat

unsur edukatif bagi pelaku tindak pidana.

2. Hendaknya dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana

dapat dilakukan secara efektif, karena segala perbuatan yang dilakukan

pasti akan dimintai pertanggungjawaban serta untuk penjatuhan

hukuman bagi pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan hakim

dapat memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai penjatuhan

pidana yang akan diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan

DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Ahmad, Abu Abdul Halim, Suap, Dampak dan Bahayanya, Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 1996

Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis ayat al-Quran dan Hadits,

(KH. Achmad Sunarto), Jilid VII. Jakarta: Widya Cahaya, 2009.

Arinil Hikmah, (Penggelapan Jabatan PNS Pemkab Banyuwangi Dalam

Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Islam) “Skripsi” IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2009.

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjamahnya, Jakarta: Depag RI, 1985.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

23/Pid.B/2016/PN.JBG

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk

Teknis Penulisan Skripsi, Surabaya: 2014.

Kemal Pasha, Mustofa, Fiqh Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002.

Marsum, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta: BAG. Penerbitan

FH UII, 1991.

Muhammad Zein Nur, (Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penggelapan Yang

82

83/Pid.B/2012/Pn.Wtp)), “Skripsi”--Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:

PT Eresco, 1986

R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1991.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Moh. Nabhan Husein), Jilid IV. Bandung: PT.

Al-Ma’arif, 1993.

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, cetakan pertama, 1996.

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin berkembangnya zaman kejahatan dan pelanggaran banyak bermunculan di negeri pertiwi ini dengan berbagai metode. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks pemahaman dari berbagai sisi yang berbeda, sehingga komentar atau pendapat tentang suatu kejahatan dan pelanggaran seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pembentuk aturan di negeri ini menitik beratkan pembuatan dan penerapan peraturan yang berlaku kepada tindakan kejahatan-kejahatan serta pelanggaran yang timbul terhadap ketertiban umum.

Di sisi lain tindak kejahatan yang marak terjadi yakni tindak pidana penggelapan sebagaimana yang diatur dalam pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP. Tindak pidana sebagaimana tersebut sebagai “penyalah-gunaan kepercayaan”. Sebab, inti dari tindak pidana yang diatur dalam pasal tersebut adalah “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”.1

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam

1 Ahmad Abu Abdul Halim, Suap, Dampak dan Bahayanya, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996)

2

pasal 362.2 Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan pasal 372 sampai dengan 377 KUHP diantaranya:3

1. Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Penggelapan Ringan

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.250.000. (Diatur dalam pasal 373 KUHP).

3. Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan

2 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1991) 249.

3 Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, cetakan

3

pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (pasal 374 KUHP).

4. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (pasal 375 KUHP).

Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja, dan penggelapan melawan hukum.

Adapun unsur-unsur dari penggelapan ialah:4 1. Berusaha memiliki dengan melawan hukum. 2. Barang itu kepunyaan orang lain.

3. Barang itu ada dalam tangannya, bukan karena kejahatan. 4. Barang itu berada, sebelum melakukan penggelapan.

Dalam hukum Islam masalah penggelapan jabatan tidak disebutkan dengan jelas dalam al-Qur'an dan al-Hadist akan tetapi bukan berarti Islam tidak mengatur masalah ini. Justru diperlukan penggalian atau penafsiran dari al-Qur'an untuk menemukan hukum dari masalah ini. Hukum Islam

4

merupakan hukum yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadist. Apapun bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia pasti ada hukumannya. Dalam hukum Islam bentuk tindak kejahatan dikenal dengan istilah jarimah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta’zi>r.5

Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Qur'an atau Hadist. Dalam hal ini dibagi menjadi tiga macam, yakni:6

1. Jarimah hudud, meliputi perzinaan, qażaf (menuduh zina), minum khamr (meminum minuman keras), pencurian, perampokan, pemberontakan dan murtad.

2. Jarimah qis}a>s}/diyat, meliputi pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja, dan pelukaan semi sengaja.

3. Jarimah ta’zi>r terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Jarimah hudud atau qis}a>s}/diyat yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Seperti pencurian aliran listrik, percobaan pembunuhan.

b. Jarimah yang ditentukan oleh al-Qur'an dan al-Hadis|, namun tidak ditentukan sanksinya. Seperti saksi palsu, penghinaan, tidak melaksanakan amanah, dan menghina agama.

5 Kemal Pasha, Mustofa, Fiqh Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), 20 6 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 13.

5

c. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umum, seperti pelanggaran atas peraturan lalu lintas.

Dari uraian di atas, maka penggelapan jabatan dalam hukum Islam dapat dikenakan hukuman ta’zi>r, karena nasnya tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Hadist. Oleh sebab itu masalah penggelapan jabatan sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri atau badan yang mempunyai kewenangan untuk menangani masalah tersebut.7

Tindak pidana penggelapan dalam hukum Islam lebih ditujukan kepada tindakan kriminal. Pada tindak pidana penggelapan dalam jabatan prinsipnya bertentangan dengan moral dan etika keagamaan. Dalam hal penegakan dan pemeliharaan harta, Islam menetapkan ketentuan tentang cara memperoleh harta dan konsekuensinya (akibat hukumnya). Banyak cara untuk memperoleh dan menguasai harta yang benar dan sah, tentu saja Islam melarang memperoleh harta dengan jalan yang tidak benar serta melanggar ketentuan hukum. Sebagaimana dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 188 yaitu:8

َ

نم اًقيرف اولك أتل اَ حلا ىل ا ب اولدت لطبلاب م نيب م لاومأ اولكأت

ومأ

و لعت متنأ مث ْاب ساَنلا

"Dan janganlah sebahagian kamu makan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"

7 Ibid., 163

6

Ayat di atas menjelaskan bahwasannya mengambil harta yang bukan haknya merupakan pebuatan tercela. Sama halnya dalam tindak pidana penggelapan berupa penggelapan jabatan dalam arti tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan secara prosedural yang mengakibatkan kerugian negara karena dengan adanya penggelapan makin banyak pengeluaran pemerintah yang sebenarnya sudah dianggarakan.

م لاومأ اولكأت َ اونمآ ني َلا ا يأاي

نع ً راجت و ت أ ََ دطابلاب م نيب

هل َ م سفنأ اولتقت َ م نم ضادت

اً يحر م ب اك

“wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu maha kasih sayang kepada kalian.”

Seperti kasus tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh terdakwa Adi Sudarto, pada sekitar tanggal 10 juli 2015 sampai dengan tanggal 27 oktober 2015, bertempat di kantor penjualan PT. Sinar Sosro Jombang yang beralamat di Jl. Raya Balong Besuk no 9-11 Ds. Ceweng Kec. Diwek Kabupaten Jombang. terdakwa menerima pemesanan produk PT. Sinar Sosro dari para pelanggan yang menjadi tanggung jawab terdakwa, dan pembayarannya dilakukan dengan secara kredit, selanjutnya terdakwa melakukan penagihan kepada para pelanggan yang melakukan pembelian secara kredit tersebut, dan kemudian pelanggan tersebut membayar pembelian produk PT. Sinar Sosro tersebut dengan cara menyerahkan

7

sejumlah uang pembayaran kepada PT. Sinar Sosro melalui terdakwa yang mana hal tersebut adalah merupakan tugas terdakwa.9

Selanjutnya terdakwa juga melakukan pemesanan produk PT. Sinar Sosro dengan menggunakan nama pelanggan yang tidak sebenarnya yakni pelanggan tersebut tidak melakukan pemesanan barang atau produk PT. Sinar Sosro, melainkan terdakwa membuat faktur dengan menggunakan nama pelanggan tersebut untuk melakukan pemesanan barang, selanjutnya produk pesanan tersebut terdakwa serahkan atau terdakwa jual kepada pihak lain. Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 374 KUHP.

Berdasarkan kasus di atas peneliti tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam sebuah penelitian untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dan tinjauan hukum Islam terhadap penggelapan dalam jabatan pada putusan nomor 23/Pid.b/2016/PN.JBG

Oleh karena itu, penulis akan menganalisis permasalahan tersebut untuk melakukan penelitian dan menuangkan dalam skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jombang Nomor 23/PID.B/2016/PN.JBG Tentang Penggelapan Dalam Jabatan.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

8

Dari paparan latar belakang di atas maka pokok yang akan dikaji dalam pembahasan ini adalah:

1. Pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan.

3. Perspektif hukum pidana terhadap tindak pidana penggelapan dalam jabatan berdasarkan pasal 374 KUHP.

4. Perspektif hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penggelapan dalam jabatan.

5. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan.

6. Tinjauan hukum pidana islam terhadap sanksi yang diterapkan bagi pelanggar pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan.

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, perlu diperjelas batasan atau ruang lingkup persoalan yang akan dikaji/diteliti dalam penelititan ini agar penelitian ini dapat terarah permasalahan yang akan dikaji/diteliti, adapun batasan masalah dalam pembahasan ini yaitu:

1. Pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan.

9

2. Tinjaun hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar belakang di atas adalah:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim pada putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan?

2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang penggelapan dalam jabatan?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.10

Penelitian mengenai penggelapan dalam jabatan ini banyak diteliti oleh peneliti sebelumnya. Tema yang berkaitan diantaranya yaitu:

10 Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan

10

1. Arinil Hikmah dengan judul “Penggelapan Jabatan PNS Pemkab Banyuwangi Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Islam” pada tahun 2009. Adapun hasil temuan dari Arinil Hikmah tersebut adalah Penggelapan jabatan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil Pemkab Banyuwangi. Modus operandi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah dengan cara merekayasa kenaikan pangkat tanpa adanya Surat Keputusan, hanya berupa ketikan palsu saja. Hal ini dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk korupsi, yakni sebagai penggelapan jabatan atau penyelewengan kekuasaan. Karena penggelapan jabatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan dalam hukum Islam, penggelapan jabatan termasuk dalam kategori gulu>l yakni penggelapan harta atau pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga. Dalam hal ini pelaku dikenakan pidana ta’zi>r yakni sanksi diserahkan kepada pihak yang berwajib atau hakim.11

2. Karya Muhammad Zein Nur (2013), dengan judul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penggelapan yang Dilakukan Oleh Tenaga Kerja Honorer

Dokumen terkait