• Tidak ada hasil yang ditemukan

62

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS

HAKIM MENGABULKAN PERMOHONAN PEMBATALAN

PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN PENIPUAN

STATUS KEWARGANEGARAAN (No. 2492/Pdt.G/2014/PA.BL)

A. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum yang Digunakan oleh Majelis

Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pembatalan Perkawinan Campuran dengan Alasan Penipuan Status Kewarganegaraan di Pengadilan Agama Blitar

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim peradilan agama merupakan pejabat Negara yang bertugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi kewenangannya sesuai dengan aturan yang terdapat dalam hukum acara peradilan agama.

Hakim dalam mempertimbangkan dasar hukum yang akan dipakai untuk menetapkan suatu perkara tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau hukum Islam. Namun seorang Hakim diperbolehkan memutus perkara dengan ijtihadnya, selama tidak bertentangan atau tidak diatur secara pasti dalam undang-undang maupun hukum Islam. Selain itu, Hakim juga harus mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan, alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pengajuan perkara, serta

63

pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara.

Segala yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan merupakan alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan. Hal ini terdapat dalam 184 HIR, 195 Rbg, dan pasal 23 Undang-Undang No.14 Tahun 1970. Dalam peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal dan hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim.

Adanya alasan sebagai dasar putusan menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif. Oleh karena itu, pasal 178 ayat 1 HIR (pasal 189 ayat 1 Rbg) dan pasal 50 Rv mewajibkan hakim karena jabatannya melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, perkara pembatalan perkawinan termasuk salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama dibidang perkawinan, sehingga Pengadilan Agama Blitar berwenang untuk menyelesaikan perkara permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon yakni Kepala Kantor Urusan Agama kepada

64

Termohon sebagaimana salinan putusan pengadilan Agama Blitar No. 2492/Pdt.G/2014/PA.BL.

Berdasarkan fakta hukum yang diajukan oleh Pemohon, diketahui bahwa semua persyaratan yang harus dipenuhi ketika melangsungkan sebuah perkawinan telah terpenuhi baik secara formil maupun materiil, sehingga terjadi perkawinan antara Termohon I dan Termohon II di Kantor Urusan Agama Wates berdasarkan Surat Keterangan Model N.1 (bukti P.4) dan Model N.2 (bukti P.3) yang semuanya menerangkan bahwa Termohon I bertempat tinggal di desa Sukorejo, kecamatan Wates. Akan tetapi, dikemudian hari diketahui bahwa berdasarkan surat dari Kantor Imigrasi, Termohon I masih tercatat sebagai warga Negara Asing Pakistan yang belum pernah pindah kewarganegaraan. Hal ini berarti bahwa ada unsur penipuan yang dilakukan oleh Termohon I ketika melangsungkan perkawinan sehingga pihak Pejabat Kantor Urusan Agama mengajukan permohonan pembatalan perkawinan karena merasa dirugikan atas adanya perkawinan tersebut.

Dalam menyelesaikan perkara permohonan pembatalan perkawinan campuran ini, Pengadilan Agama Blitar memberi putusan dengan mempertimbangkan fakta hukum yang ada. Berdasarkan fakta diatas, majelis hakim menilai bahwa perkawinan antara Termohon I dan Termohon II termasuk perkawinan campuran, sehingga ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi jika salah satu pihak adalah warga Negara Asing, seperti surat keterangan dari pejabat pencatat nikah di negaranya.

65

Menurut majelis Hakim, Perkawinan campuran antara WNA dan WNI di KUA Wates secara formil belum memenuhi syarat-syarat perkawinan campuran yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Negara masing-masing yaitu bukti berupa surat yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negara masing-masing, sehingga untuk menghindari terjadinya perkawinan yang melanggar hukum Negara dari masing-masing calon mempelai, maka perkawinan campuran tersebut telah cukup alasan untuk dibatalkan. Selain itu, demi kemaslahatan kedua belah pihak yakni Pemohon dan Termohon II serta untuk menghindari adanya madharat yang terjadi apabila perkawinan ini tetap dilaksanakan, maka Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Wates.

Berdasarkan pertimbangan majelis hakim tersebut, Penulis menyatakan bahwa permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon telah terbukti dan beralasan menurut hukum. Dengan adanya penipuan status kewarganegaraan yang dilakukan oleh Termohon I sebagaimana terurai diatas, berarti perkawinan yang selama ini berlangsung antara Termohon I dan Termohon II tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Negara.

Dalam perkara ini, hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon dengan pertimbangan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 23 Undang-undang Nomor 1

66

Tahun 1974 yang menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, suami atau istri itu sendiri, pejabat yang berwenang dan pejabat yang ditunjuk. Adapun pihak yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dalam perkara ini adalah kepala Kantor Urusan Agama selaku pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang. Hal ini berarti bahwa ketentuan dalam ini telah terpenuhi.

Selain itu, perkawinan campuran ini melanggar pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mana calon mempelai diwajibkan membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak melanggar peraturan perundang-undanan di Negaranya masing-masing. Bukti tersebut berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negaranya masing-masing. Dalam hal ini, Termohon I ternyata telah terbukti belum mengurus surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negaranya.

B. Relevansi Putusan Pembatalan Perkawinan Campura Nomor:

2492/Pdt.G/2014/PA.BL dengan Hukum Islam

Istilah pembatalan perkawinan hanya dikenal dalam hukum positif, sedangkan dalam hukum Islam dikenal dengan istilah fasakh. Pembatalan perkawinan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan

67

untuk melangsungkan perkawinan tercantum dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dipertegas dengan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi orang Islam untuk mengajukan pembatalan perkawinan.

Perkawinan menurut hukum Islam mempunyai unsur ibadah yang berarti telah memyempurnakan agama. Agama Islam sangat menganjurkan perkawinan karena di dalam perkawinan terdapat tujuan yang mulia dan agung. Oleh karena itu ketika melangsungkan perkawinan, harus memenuhi syarat dan rukunnya sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Islam. Bagi umat Islam di Indonesia selain harus mematuhi peraturan yang ada dalam hukum Islam, juga harus memenuhi syarat sahnya perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-undang perkawinan meliputi urusan administrasi dan persyaratan lainnya yang terkait dengan perkawinan.

Perkawinan dikatakan sah menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Menurut Sha>fi’iyyah, rukun perkawinan antara lain adanya calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan sighat. Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.

Pelaksanan perkawinan antara Termohon I dan Termohon II telah memenuhi semua syarat dan rukun perkawinan baik menurut hukum

68

Islam maupun hukum Positif. Akan tetapi dikemudian hari diketahui bahwa ada penipuan yang dilakukan oleh Termohon I terkait syarat administratif perkawinan, sehingga pihak Kepala Kantor Urusan Agama mengajukan pembatalan perkawinan tersebut dengan alasan adanya penipuan yang dilakukan oleh Termohon I.

Penipuan status kewarganegaraan yang dilakukan oleh Termohon I hanya terkait masalah status kewarganegaraan saja. Ketika melangsungkan perkawinan, Termohon I tidak mengetahui kalau ada persyarataan khusus yang harus dipenuhi bagi warga Negara Asing yang ingin menikah dengan warga Negara Indonesia. Termohon I baru mengetahuinya ketika ada surat dari Kantor Imigrasi dan Termohon I juga tidak merasa keberatan apabila perkawinannya dengan Termohon II dibatalkan.

Dalam hukum Islam, penipuan status kewarganegaraan tidak termasuk dalam alasan-alasan yang membatalkan atau memfasakh nikah.

Perkawinan dikatakan fasakh apabila setelah akad nikah ternyata salah

satu pihak cacat, li’an, murtad, perkawinan itu rusak (fasad) dan tidak ada kesamaan status (kufu).

Berdasarkan uraian di atas, menurut hukum Islam perkawinan antara Termohon I dan Termohon II adalah sah dan tidak bisa dibatalkan karena telah memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan oleh hukum Islam sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Tetapi, apabila perkawinan tersebut tidak dibatalkan, maka akan menimbulkan

69

kemudharatan bagi salah satu pihak yaitu Negara yang tertib hukum termasuk Negara Indonesia sehingga perkawinan semacam itu harus segera dibatalkan.

Hukum Islam tidak menghendaki kemudaratan dan kemudaratan harus dihilangkan hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

رارضلا

لازي

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

ا

ررَض

او

رار ِض

‚Tidak boleh berbuat bahaya pada dirinya sendiri dan orang lain‛ Berdasarkan nas, hadis dan kaidah di atas tersebut, bisa disimpulkan bahwa jika dalam keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemadaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita kemadaratan dapat mengambil tindakan untuk memutuskan perkawinan. Kemudian hakim dapat memfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan dari pihak yang menderita kemudaratan. Dalam perkara ini, pihak yang mendapat kemadaratan adalah Negara melalui pihak Kepala Kantor Urusan Agama.

Putusan pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama Blitar sesuai dengan ketentuan hukum yang apabila terjadi pertentangan antara kerusakan dan kemaslahatan pada suatu perbuatan, maka yang didahulukan adalah menolak kerusakan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat daripada perintah menjalankan kebaikan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

70

ءرد

دسافملا

دقم

ى ع

ب ج

حلاصملا

‚Menolak kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan‛.

Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahah dapat diterima dalam fiqh Islam. Setiap maslahah wajib diambil sebagai sumber hukum selama tidak dilatarbelakangi oleh dorongan syahwat dan hawa nafsu serta tidak

bertentangan dengan nash serta maqa>sid as-Syari’. Hanya saja golongan

Shafi’iyyah dan Hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahah.

Maslahah harus mengacu pada qiyas yang mempunyai ‘illat yang jelas

batasannya (mundlabithah).

Penipuan status kewarganegaraan dalam akad nikah bisa diqiyaskan dengan konsep akad dalam jual beli menurut ulama Shafi’iyyah. Qiya>s ini termasuk qiya>s al-Awla>.

Ulama Shafi’iyyah berpendapat bahwa:

ِةَيِمَاَكْلا ِةَفِّصلِب َاا ُعْيَ بْلا ُدِقَعْ نَ يَا

‚Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab kabul) yang diucapkan‛.

Menurut ulama Shafi’iyyah, akad dalam jual beli saja harus ada sighat yang di ucapkan. Apalagi akad dalam perkawinan yang merupakan akad yang sangat kuat atau mitha>qan ghali>z{an. Ulama Shafi’iyyah sangat berhati-hati dalam masalah akad terutama akad perkawinan. Oleh karena itu, suatu perkawinan yang didalam akadnya terdapat unsur penipuan

71

maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan atas adanya perkawinan tersebut.

Kesimpulannya, putusan pembatalan perkawinan campuran ini sesuai dengan aturan hukum Islam yang ada. Penulis tidak berbeda pendapat dengan majelis hakim. Penulis lebih menguatkan pendapat majelis hakim yang mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan campuran yang diajukan oleh Kepala Kantor Urusan Agama di Pengadilan Agama Blitar.

72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan pada bab I sampai IV dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Majelis hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan

campuran di Pengadilan Agama Blitar dengan mempertimbangkan adanya kemaslahatan kedua belah pihak.

2. Putusan hakim nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL yang mengabulkan

permohonan pembatalan perkawinan sesuai dengan hukum Islam.

B. Saran

Adapun saran yang dapat Penulis berikan setelah melakukan penelitian dan pembahasan atas perkara Nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. di Pengadilan Agama Blitar adalah sebagai berikut:

1. Terhadap pejabat yang berwenang atau pihak PPN yang

mengawasi pelaksanaan perkawinan dalam melaksanakan tugasnya agar lebih teliti dan lebih cermat. Untuk menghidari adanya kasus penipuan status kewarganegaraan, hendaknya PPN melakukan pemeriksaan mengenai kebenaran status mempelai dan surat-surat sebelum perkawinan dilaksanakan.

73

2. Usaha-usaha maksimal dari pihak penegak hukum, belum bisa menyadarkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Untuk itu serangkaian kegiatan yang bersifat pembelajaran dan penyuluhan hukum di bidang hukum perkawinan pada masyarakat perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2002.

___________. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Kencana. 2011

Ash-Sidqi, Hasbi. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakrta: Bulan Bintang. 1991. Asmawi, Muhammad. Nikah (Dalam Perbincangan dan Perdebatan. Yogyakarta:

Darussalam. 2004.

Badudu, Yus dan Sutan Muhammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia Digital. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2008.

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UI Press. 2000. Bukhori (al), Imam Muhammad bin Ism’ail. Shahih Bukhari. Beirut: Darul Ibnu

Katsir. 2002.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya,. Semarang: Toha Putra. 1989.

Djubaidah, Neng. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Ghozali, Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat Cet.4. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2010.

Hamdani (al). Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani. 2002.

I Doi, A. Rahman. Kharakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. Jakarta: Grafindo Persada. 1996.

Jaziri> (al), ‘Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh ‘Ala> Al-Maza>hib Al-Arba’ah, Juz IV. Beirut Libanon: Dar Kitab Al-‘Ilmiyah. 1999.

Jones, Jamilah dan Abu> Aminah Bilal Philips. Monogami dan Poligami dalam Islam. Jakarta: Grafindo Persada. 1996.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama. Buku ke-2. Edisi 2007.

MD, Mahfud. Kompetensi dan Struktur Organisasi Peradilan Agama, dalam: Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press. 1993.

Nasutionn, Bahder Johan dan Sri Warjiyati. Hukum Perdata Islam. Bandung: Mandar Maju. 1997.

Nazhir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya: Airlangga University Press. 2008.

Ramulyo, Moh. Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1999.

Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Juz VIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif. t.t.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.

Yogyakarta: Liberty. 1996.

Sutantio, Retno Wulan dan Iskandar Oerip Kartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju. Cet. VIII. 1997.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2007.

Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Tirmidhi (at), Imam Muhammad bin ‘Isa. Al Jami>’ul Kabi>r. Beirut: Darul ‘Arabi Al-Islami. 1996.

Zahrah, Muhammad Abu>. Ahwal Ash-Shaksi>yah. Beirut: Dar Fikr Al-‘Ara>bi. t.th.

Munawi, A.W. Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.

Perwadamints, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, t.t. Prajogo, Soesilo. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia. TT: Wacana

Intelektual Press. 2007.

Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2012.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dokumen terkait