• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN : STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO.2492/PDT.G/2014/PA.BL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN : STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO.2492/PDT.G/2014/PA.BL."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN

PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN

(

Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL) SKRIPSI

Oleh:

Nur Lailatul Farida

NIM: C51211150

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah

SURABAYA

(2)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN

ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negari Sunan Ampel

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Satu

Hukum Perdata Islam

Oleh:

Nur Lailatul Farida

NIM. C51211150

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah

SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul ‚ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP

PUTUSAN PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN (Studi Kasus

Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛ merupakan

penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL dan bagaimana relevansi putusan Pengadilan Agama Bltar nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. dengan hukum Islam.

Guna menjawab permasalahan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen yang berupa putusan Pengadilan Agama Blitar serta telaah pustaka yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan perkara pembatalan perkawinan dan aturan perundang-undangan, untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap putusan PA Blitar tentang pembatalan perkawinan dengan alasan adanya penipuan status kewarganegaraan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa majelis hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status kewarganegaraan karena perkawinan campuran tersebut tidak memenuhi ketentuan pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang tidak adanya bukti surat keterangan dari pihak Termohon I yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negaranya masing-masing. Selain itu, Hakim juga mengedepankan konsep maslahah dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan campuran ini. Menurut analisis hukum Islam, putusan pembatalan perkawinan campuran tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum Islam.

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk suatu rumah

tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.1 Sedangkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam

disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah2, tetapi dalam

kenyataannya tidak selamanya demikian. Banyak terjadi pembatalan atas

adanya suatu perkawinan yang secara lahiriyah hal ini bertentangan

dengan tujuan-tujuan perkawinan itu sendiri.

Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan

bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak yang

berhak mengajukan pembatalan perkawinan sesuai dengan pasal 23

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dari suami maupun istri, suami atau istri itu

sendiri dan pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum

1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(8)

2

diputuskan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara

langsung terhadap perkawinan tersebut.3

Dalam mengajukan pembatalan perkawinan, tentu ada alasan-alasan

yang menjadi penyebab adanya pembatalan perkawinan tersebut. Menurut

pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dapat

dibatalkan apabila:

1. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar

hukum.

2. Terjadi salah sangka antara suami dan istri pada waktu

berlangsungnya perkawinan.

3. Suami atau istri masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan

perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya.

Menurut pasal 71 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa suatu

perkawinan dapat dibatalkan apabila:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama,

2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih

menjadi istri pria lain yang mafqud.

3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain.

4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

(9)

3

5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali

yang tidak berhak.

6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Fenomena pembatalan perkawinan, tidak hanya terjadi pada

perkawinan antara pihak yang satu kewarganegaraan saja, tetapi juga

terjadi pada perkawinan beda kewarganegaraan yang biasanya disebut

dengan istilah perkawinan campuran.

Perkawinan campuran berdasarkan pada pasal 57 UU Nomor 1 Tahun

1974 adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia.4 Dari definisi pasal 57 UU

Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai

berikut:

1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita di Indonesia

yang tunduk pada aturan yang berbeda,

2. Perbedaan kewarganegaraan.

Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam

perkawinan dan perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang

melangsungkan perkawinan. Tetapi perbedaan itu bukan karena

perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena

unsur kedua yakni karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan

(10)

4

kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan

salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau

putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai

hukum publik maupun hukum perdata.5 Akibat hukum dari perkawinan

campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri

dan status kewarganegaraan anak. Selain itu, akibat hukum lainnya dari

perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia

dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30

sampai dengan pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan

dijelaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan

menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. Maksud dari

ketentuan dalam pasal tersebut juga mencakup ketentuan

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya

sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam

Undang-undang.6

Di Pengadilan Agama Blitar terdapat sebuah putusan dengan Nomor

perkara 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan perkawinan.

Pembatalan perkawinan tersebut dalam masalah perkawinan campuran

5 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Undang-Undang Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 198.

(11)

5

yang diajukan oleh Pejabat Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Wates Kabupaten Blitar karena lembaga tersebut merasa

dirugikan atas adanya penipuan.

Dalam perkara pembatalan perkawinan campuran ini, pihak Pejabat

Pencatat Nikah mengajukan permohonan pembatalan pekawinan ke

Pengadilan Agama karena merasa dirugikan atas adanya perkawinan yang

terjadi pada tanggal 18 Juni 2002 di Kantor Urusan Agama kecamatan

Wates kabupaten Blitar. Berdasarkan pemberitahuan dari kantor Imigrasi,

diketahui bahwa Termohon adalah Warga Negara Asing Pakistan yang

belum pernah pindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Indonesia.

Termohon sekarang sudah dipulangkan ke Pakistan tetapi belum pernah

bercerai secara resmi melalui Pengadilan Agama. Oleh karena itu,

Departemen Agama memberi teguran kepada Pejabat Pencatat Nikah

karena adanya perkawinan tersebut telah merugikan Negara secara

administratif.7

Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara ini adalah pasal 60

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 huruf (b) yang menjelaskan bahwa

untuk menghindari terjadinya perkawinan yang melanggar ketentuan

hukum Negara dari masing-masing calon mempelai, maka calon

mempelai diwajibkan membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak

melanggar peraturan perundang-undangan di Negaranya masing-masing.

Bukti tersebut berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh Pejabat

(12)

6

pencatat perkawinan yang berwenang di Negara masing-masing. Dalam

hal ini, Termohon ternyata belum mengurus surat keterangan yang

dikeluarkan oleh Pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di

negaranya. Atas dasar tersebut, maka pada akhir putusan persidangan,

hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan

oleh Pejabat Pencatat Nikah.

Dalam Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan baik

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak ada

yang menyebutkan bahwa alasan penipuan merupakan salah satu alasan

untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Tetapi, dalam perkara ini

dihubungkan dengan pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

huruf (b) tentang bukti surat yang dikeluarkan oleh Pejabat pencatat

perkawinan.

Penulis tertarik untuk meneliti pertimbangan hakim yang

mengabulkan permohonan di Pengadilan Agama Blitar dengan Nomor

perkara 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. di mana salah satu alasan yang

dicantumkan sebagai alasan pengajuan permohonan pembatalan

perkawinan adalah penipuan yang dilakukan oleh pihak Termohon,

meskipun dalam peraturan perundangan yang dikemukakan di atas, alasan

penipuan tersebut tidak dicantumkan. Maka dari itu pula, penulis akan

mengangkat skripsi dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap

(13)

7

Status Kewarganegaraan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar

No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditulis

identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pandangan Islam terhadap pembatalan perkawinan campuran

dengan alasan penipuan status kewarganegaraan.

2. Dasar hukum diperbolehkannya mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan,

3. Pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan di

Pengadilan,

4. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembatalan

perkawinan dengan alasan penipuan status kewarganegaraan,

5. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama

Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL mengabulkan permohonan

pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status

kewarganegaraan,

6. Relevansi putusan nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL dengan hukum

Islam.

(14)

8

1. Dasar pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan Agama

Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL mengabulkan permohonan

pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status

kewarganegaraan.

2. Relevansi putusan Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL dengan

hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah

dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan

perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL?

2. Bagaimana relevansi putusan nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL

dengan hukum Islam?

D. Kajian Pustaka

Penelitian penulis tentang ‚Analisis Hukum Islam terhadap Putusan

Pembatalan Perkawinan Campuran dengan Alasan Penipuan Status

Kewarganegaraan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar

No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain,

tetapi secara umum terdapat penelitian tentang pembatalan perkawinan

(15)

9

1. Skripsi yang ditulis oleh Ali Ghufron tahun 1999 yang berjudul

‚Pembatalan perkawinan dengan alasan poligami (Studi kasus tentang

izin poligami sebagai alasan pembatalan perkawinan di Pengadilan

Agama Madiun)‛. Penelitian ini termasuk studi dokumen yang

kemudian dianalisa dengan tahapan Editing, pengaturan dan

penyusunan data serta penganalisaan untuk merumuskan penelitian.

Hasil penelitiannya disajikan penulis dengan menggunakan metode

pembahasan induktif, deduktif dan analogis. Kesimpulan dari

penelitian tersebut menjelaskan bahwa poligami sebagai alasan

pembatalan perkawinan karena tidak adanya persetujuan dari istri,

tidak adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, serta tidak adanya

jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anaknya.8

2. Skripsi yang ditulis oleh Lilis Sulistyarini tahun 2002 yang berjudul

‚Pembatalan perkawinan dengan alasan penipuan status calon suami

di Pengadilan Agama Banyumas‛. Penelitian ini termasuk studi

dokumen, yaitu berupa pengamatan atas dokumen berkas perkara

serta berita acara persidangannya yang berhubungan dengan alasan

penipuan status calon suami. Dalam hal ini penulis menggunakan

analisis yuridis dengan menggunakan metode deskriptif analitis

(16)

10

dengan pola pikir deduktif dan induktif. Dalam kesimpulannya

dijelaskan bahwa penipuan status calon suami tersebut dapat

dijadikan alasan dalam pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama

Banyumas karena terdapat unsur kerugian dan kemadaratan di pihak

penggugat atau pemohon yang akhirnya menimbulkan ketidak

harmonisan keluarga.9

3. Skripsi yang ditulis oleh Habib Khoiri tahun 2011 yang berjudul

‚Analisis Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena

pemalsuan identitas (Studi kasus putusan Pengadila Agama

Lamongan No. 0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg)‛. Penelitian ini merupakan

penelitian studi dokumenter yang selanjutnya dianalisis dengan

metode deskriptif dan kesimpulannya diperoleh dengan menggunakan

pola pikir induktif. Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa mengacu

pada beberapa ulama’ fikih, pemalsuan identitas kaitannya dengan

putusan perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas

di Pengadilan Agama Lamongan No.0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg. tidak

dapat dijadikan alasan sebagai penyebab terjadinya fasakh terhadap

ikatan perkawinan tersebut dengan kata lain perkawinan tersebut

tidak dapat dibatalkan karena pemalsuan identitas.10

9Lilis Sulistyarini, ‚Pembatalan perkawinan dengan alasan penipuan status calon suami di Pengadilan Agama Banyumas‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002).

10 Habib Khoiri, ‚Analisis Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena pemalsuan

identitas (Studi kasus putusan Pengadila Agama Lamongan No. 0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg)‛

(17)

11

4. Skripsi yang ditulis oleh Umi Sholihatin tahun 2006 yang berjudul

‚Ketidakgadisan sebagai alasan untuk melakukan pembatalan

perkawinan menurut Hukum Islam‛. Penelitian ini merupakan

penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis menggunakan

metode deskriptif dengan pola pikir induktif. Hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa ketidakgadisan istri dapat dijadikan sebagai

alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila

suami mensyaratkan adanya keperawanan sebelum perkawinan dan

mengacu pada Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi seorang suami

atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan,

salah sangka mengenai diri suami atau istri.11

5. Skripsi yang ditulis oleh Yeniek Yuli Kurniawati tahun 2003 yang

berjudul ‚Pembatalan perkawinan dengan alasan akta cerai palsu

(studi kasus di Pengadilan Agama Jombang)‛. Penelitian ini

merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode deskriptif

analitis dengan pola pikir induktif dan deduktif. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa akta cerai palsu termasuk dalam salah satu

faktor yang dapat membatalkan perkawinan. Jadi akta cerai palsu

dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan,

karena perkawinan tersebut dilakukan dengan tidak memenuhi

persyaratan. Dengan demikian putusan majelis hakim tentang

11 Umi Sholihatin, ‚Ketidakgadisan

sebagai alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan

(18)

12

pembatalan perkawinan dengan alasan akta cerai palsu adalah

berdasarkan pada penafsiran undang-undang yang menyebutkan

bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan

tersebut dapat dibatalkan yang mana terdapat dalam pasal 22

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga seseorang yang masih terkait

dalam perkawinan seseorang berhak mengajukan pembatalan

perkawinan yang baru.12

Semua penelitian di atas berkaitan dengan pembatalan perkawinan,

tetapi yang membedakan dengan penelitian yang akan dibahas dalam

skripsi ini adalah perkawinan yang dibatalkan adalah perkawinan

campuran antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia

yang mana belum ada peneliti yang mengkaji sebelumnya. Penipuan atas

status kewarganegaraan ini tidak sengaja dilakukan oleh suami karena

suami tidak mengetahui adanya syarat administratif khusus yang harus

dipenuhi bagi Warga Negara Asing ketika dia ingin melangsungkan

pernikahan. Selain itu dari sisi pihak yang mengajukan juga berbeda

dengan penelitian sebelumnya. Pihak yang mengajukan pembatalan

perkawinan campuran dalam perkara ini adalah Pejabat Pencatat Nikah,

serta tempat penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Blitar.

12Yenik Yuli Kurniawati, ‚Pembatalan Perkawinan dengan Alasan Akta Cerai Palsu (Studi Kasus

(19)

13

E. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendiskripsikan dasar pertimbangan Hakim dalam

memutuskan perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL,

2. Untuk menilai relevansi putusan Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL

dengan hukum Islam.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat,

sekurang-kurangnya sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan mengenai

bidang ilmu hukum khususnya hukum perdata dalam lingkungan

Peradilan Agama khususnya bagi penulis dan pembaca pada

umumnya. Selain itu, penelitian ini juga sebagai konstribusi

pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

dibidang Hukum Keluarga Islam.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau

pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara serta

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Ahwal

(20)

14

G. Definisi Operasional

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan tidak menimbulkan

kesalahpahaman atas judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan

definisi operasional dalam penelitian ini.

Hukum Islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah

dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan

diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.13 Dalam penelitian

ini, hukum Islam yang dimaksud adalah ketentuan pembatalan

perkawinan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dan fikih

Shafi’iyyah.

Putusan adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara

yang didasarkan pada pertimbangan hukum.14 Dalam hal ini putusan yang

dimaksud adalah putusan Pengadilan Agama Blitar Nomor

2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan perkawinan dengan alasan

adanya penipuan status kewarganegaraan.

Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.15

Dalam hal ini, perkawinan dilakukan antara orang Indonesia dengan orang

Pakistan.

13 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011), 5.

14 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (TT: Wacana Intelektual Press, 2007), 397.

(21)

15

Pembatalan perkawinan dalam Islam disebut fasakh. Sedangkan

pengertian fasakh adalah merusak atau melepaskan tali ikatan

perkawinan.16 Batalnya perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya

perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau rukunnya, atau

sebab lain yang dilarang oleh agama.17 Dalam hal ini, pembatalan

perkawinan terjadi karena adanya penipuan status kewarganegaraan yang

dilakukan oleh suami.

Berdasarkan paparan di atas, maka definisi operasional dalam

penelitian ini adalah analisis hukum Islam yang terdapat dalam Kompilasi

Hukum Islam dan ketentuan Fikih Shafi’iyyah tentang pembatalan

perkawinan antara Warga Negara Asing Pakistan dengan Warga Negara

Indonesia di Pengadilan Agama Blitar.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan:

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, terdiri atas:

a. Data tentang dasar pertimbangan hukum yang dipakai oleh

Majelis Hakim di Pegadilan Agama Blitar dalam perkara

Nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan

perkawinan campuran dengan alasan penipuan status

kewarganegaraan,

16 Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 270.

(22)

16

b. Data tentang ketentuan pembatalan perkawinan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum

Islam dan fikih mazhab Shafi’i.

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari

mana data diperoleh.18 Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,

maka sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak

langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sumber data

sekunder ada tiga19, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang mengikat.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Putusan

Pengadilan Agama Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL

tentang pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan

status kewarganegaraan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain:

1. Kompilasi Hukum Islam,

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

18 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 129.

(23)

17

3. Al-fiqh ‘Ala> Madha>hib al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-

J>ziri>,

4. Bida>yatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd,

5. Fiqih Empat Madhab karya Syaikh al-‘Ala>mah Muhammad

bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi>,

6. Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah,

7. Fiqh as-Sunnah karya Sayid Sabiq,

8. Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghozali,

9. Risalah Nikah karya Al-Hamdani,

10.Fikih Munakahat karya H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani,

11.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir

Syarifuddin,

12.Fiqh Muamalah karya Rachmat Syafei,

13.Ushul Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah,

14.Ushul Fiqh karya Abd.Rahman Dahlan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian normatif ini, pengumpulan data dilakukan

penulis melalui dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari data yang

terkait topik penelitian yang berupa catatan, transkip, buku, surat

kabar, majalah, prasasti, dan semacamnya. Sedangkan obyeknya

adalah benda mati.20 Dalam proses penelitian, catatan, rekaman

(24)

18

wawancara dengan informan dan buku-buku yang digunakan untuk

mencari data.

4. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini

adalah teknik deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif. Teknik

deskriptif analitis adalah metode yang menjelaskan data secara rinci

dan sistematis sehingga diperoleh pemaham yang mendalam dan

menyeluruh.21 Dalam hal ini dengan mengemukakan putusan PA

Blitar, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat

dalam literatur sebagai analisis sehingga mendapatkan suatu

kesimpulan yang bersifat khusus. Sedangkan pola pikir deduktif

adalah metode berfikir yang diawali dengan mengemukakan

teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan perkara pembatalan

perkawinan dan aturan perundang-undangan, untuk selanjutnya

dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian

terhadap putusan PA Blitar tentang pembatalan perkawinan dengan

alasan adanya penipuan status kewarganegaraan, kemudian ditarik

sebuah kesimpulan.

(25)

19

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam

penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada

maka penulis menyusun pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode

penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, landasan teori yang terdiri dari 2 sub bahasan, pertama

tentang pengertian perkawinan campuran dan syarat administratif khusus

bagi Warga Negara Asing ketika melangsungkan perkawinan, kedua

tentang pengertian batalnya perkawinan atau fasakh, dasar hukum fasakh,

sebab-sebab terjadinya fasakh menurut Kompilasi Hukum Islam dan fikih

Shafi’iyyah dan qiyas.

Bab Ketiga, merupakan data penelitian yang berisi sekilas tentang

Pengadilan Agama kota Blitar, Putusan Pengadilan Agama Blitar Nomor

2492/Pdt.G/2014/PA.BL dan dasar pertimbangan Hakim dalam

memutuskan perkara.

Bab Keempat, merupakan analisis yang berisi tentang analisis

Hukum Islam terhadap pertimbangan hukum yang dipakai Hakim dalam

memutuskan perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang

(26)

20

kewarganegaraan dan relevansi putusan Nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL

dengan hukum Islam.

(27)

21

BAB II

PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT

HUKUM ISLAM

A. Perkawinan Campuran

1. Pengertian Perkawinan Campuran

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.1 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa

perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitha>qan ghali>z{an untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.2

Suatu perkawinan dapat dilangsungkan, baik di dalam maupun di

luar negeri, sedangkan subyek-subyeknya dapat berkewarganegaraan

Indonesia maupun berkewarganegaraan asing. Suatu perkawinan yang

dilangsungkan di Indonesia antara calon suami istri yang

berkewarganegaraan Indonesia, akan berlaku hukum Indonesia bagi

mereka. Sedangkan suatu perkawinan yang dilangsungkan di luar

(28)

22

negeri antara dua pihak, yang kedua-duanya berkewarganegaraan

Indonesia, dikuasai oleh hukum asing.3

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk Legislatif yang

berhubungan dengan perkawinan campuran, antara lain:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bergerlijke Wetboek).

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S. 1933

Nomor 74.

c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling og de gemengde

Huwelijke. S. 1898 Nomor 158).4

Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk Legislatif

tersebut tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan prinsip umum dalam

perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan yang

setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian, menghapuskan

ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan

sederajat yang mendahuluinya.5

Perkawinan campuran berdasarkan pasal 57 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua orang yang

tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan

3 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), 32.

4 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 196.

(29)

23

kewarganegaraan, di salah satu pihak berkewarganegaraan asing,

sedangkan di pihak lain berkewarganegaraan Indonesia.6

Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan

unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:

1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita di

Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda,

2. Karena perbedaan kewarganegaraan,

Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam

perkawinan dan perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita

yang melangsungkan perkawinan tersebut. Tetapi perbedaan itu bukan

karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia

melainkan karena unsur kedua yakni perbedaan kewarganegaraan

yang mana salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan

Indonesia.

Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum

terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum

yang berlaku bagi masing-masing pihak telah terpenuhi. Untuk

membuktikan hal tersebut, maka Pegawai Pencatat Nikah yang

mewilayahi tempat tinggal pihak tersebut memberikan surat

(30)

24

keterangan yang menerangkan bahwa syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan telah terpenuhi.7

2. Syarat Administratif Perkawinan Campuran

Seorang yang akan melaksanakan perkawinan atau nikah harus

memberitahukan kehendak nikah tersebut secara lisan atau tertulis

kepada Pegawai Pencatat atau kepada Penghulu. Pemberitahuan

tersebut dilakukan oleh calon mempelai, orang tua, atau wakilnya

dengan membawa surat-surat yang diperlukan, yaitu:8

1) Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama

lainnya (Model N1),

2) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat

keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah

atau nama lainnya (Model N2),

3) Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3),

4) Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala

desa/pejabat setingkat (Model N4),

5) Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai yang

belum mencapai usia 21 tahun (Model N5),

6) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum

mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum

mencapai umur 16 tahun,

7 Bahder Johan Nasutionn dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 48.

(31)

25

7) Surat izin atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota

TNI/Polri,

8) Putusan Pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak

beristri lebih dari seorang,

9) Kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi

mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama,

10)Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri

dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi

janda/duda (Model N6).

Bagi WNA (warga negara asing) yang akan melangsungkan

pernikahan di Indonesia harus membawa persyaratan administrasi

sebagai berikut:

1) Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka)

di atas segel/materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah)

diketahui 2 orang saksi.

2) Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Akta

Cerai/surat keterangan cerai yang asli.

3) Foto copy piagam masuk Islam (khusus untuk yang mualaf).

4) Foto copy Akte Kelahiran/Kenal Lahir/ID Card.

(32)

26

6) Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

apabila yang bersangkutan menetap di Indonesia.

7) Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang bekerja di

Indonesia).

8) Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor

Imigrasi atau foto copy visa.

9) Pas Port (foto copy).

10)Surat Keterangan atau izin menikah dari

Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.

11)Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi dan

tersumpah.

B. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Perkawinan dapat dinyatakan sah apabila telah memenuhi rukun

dan syaratnya. oleh karena itu, perkawinan yang tidak memenuhi

rukun dan syarat yang telah ditentukan dapat dibatalkan, sebagaimana

yang tercantum dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

yaitu: ‚Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

(33)

27

Pembatalan menurut bahasa adalah pernyataan batal (urung,

tidak jadi) dari kata dasar batal, yaitu tidak sah lagi.9 Sedangkan yang

dimaksud dengan pembatalan perkawinan adalah pembatalan ikatan

perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan gugatan atau

tuntutan dari pihak istri maupun suami yang dapat dibenarkan oleh

Pengadilan Agama, atau karena telah terlanjur menyalahi

ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam.10

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut dengan istilah

fasakh. Fasakh berasal dari bahasa Arab خسف yang secara etimologi

berarti merusak atau membatalkan.11Apabila dihubungkan dengan

perkawinan berarti merusak atau membatalkan perkawinan.

Adapun pengertian fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq

dalam bukunya Fiqh as-Sunnah adalah bahwa memfasakh nikah

berarti membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antara

suami istri.12

Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah adalah:

َأ َما

ْلا

َف

ْس

ُخ

َف

َح ِق

ْ ي َق ُت

ُه َأ

َن ُه

َع

ِرا

ض

َْي َن

ُع

َ ب َق

َءا

ِّنلا

َك

ِحا

،

َا ْو

َي ُك

ْو ُن

َت

َد ُا

كرا

َِل

ْم ر

ِا ْق

َت َن

ِب

ِْاا

ْن َش

ِءا

ُج ِع

َل

ْلا َع

ْق ُد

َغ

ْ ي َر

َالا

ِز ِم

.

9 WJS. Perwadamints, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th), 95. 10 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 126.

(34)

28

Artinya: Adapun fasakh (nikah) itu sebenarnya adalah sesuatu

yang datang kemudian yang menghalangi kelangsungan nikah,

sehingga menjadikan akad itu tidak lazim.13

Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh

yaitu fasid. Menurut bahasa fasid berasal dari bahasa Arab

،دسفي ،دسف

ادسف

yang berarti rusak.14

Dinyatakan dalam kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz{a>hib al-Arba’ah

ِّنلا

َك

ُحا

ْلا

َف

ِسا

ُد

ُ َو

َما

ْا

َتح

َل

َش ْر

ط

ِم

ْن

ُش ُر

ِطو

ِه

َو ِّنلا

َاك

ُح

ْا َبل

ِطا

ُل

ُ َو

َما

ْا

َتح

َل

ُر ْك

ن

ِم

ْن

ْرا َك

ِنا ِه

َو ِّنلا

َاك

ُح

ْلا َف

ِسا

ُد

َبلاو

ِطا

ُل

ُح

ْك

ُم َه

ا

َو

ِحا

د

‚Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil adalah sama, yaitu tidak sah‛.15

Dalam prakteknya di Pengadilan Agama, para hakim tidak

membedakan antara fasid dan batal. Alasannya adalah supaya ada

kesatuan istilah bahasa hukum di lingkungan para hakim. Apabila

tidak ada kesatuan bahasa, maka akan timbul kerancuan dalam

merumuskan istilah bahasa hukum di lingkungan para hakim dan pada

akhirnya akan menghambat proses pemeriksaan perkara. Jadi para

hakim merujuk istilah tersebut di dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 pasal 22 yaitu dengan menggunakan kata batal.

13 Muhammad Abu> Zahrah, Ahwa>l Ash-Shaksi>yah, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-Ara>bi, t.th), 324. 14 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 92.

(35)

29

2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan

perkawinan, dikemukakan ayat al-Qur’an dan Hadis-hadis yang

berkaitan dengan nikah yang dibatalkan karena tidak memenuhi

syarat dan rukun nikah.

Larangan nikah sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an

surat an-Nisa>’ ayat 22-23:

                              

Artinya: ‚Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan

seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)‛.16

                                                                                                

(36)

30

Artinya: ‚Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan

bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan

menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛.17

Hadis Nabi yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori:

اهنع ه يضر ِةَيِراَصْنَلا ماَذِح ِتْنِب َءاَسْنَح ْنَع

ْتَِرَكَف ، بِّيَ ث َيِو اَهَجَوَز اَاَبَأ َنَأ

ْتَتَأَف َكِلَذ

َحاَكِن َدَرَ ف ملسو هيلع ه َلوسر

ُه

‚Dari Khansa>’ binti Khidham al-Ansha>riyyah ra: Bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada

Rasulullah SAW maka beliau membatalkannya‛. (HR. Bukhari).18

Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari ‘A>ishah ra:

ْسا اَِِ ُرْهَمْلا اَهَلَ ف اَِِ َلَخَد ْنِاَف لِطاَب اَهُحاَكِنَف اَهِّيِلَو ِنْذِا َِْْغِب ْتَحَكَن ةَأَرْما اَميَأ

َلَحَت

لاَف اُرَجَتْشا ْنِاَف اَهِجْرَ ف ْنِم

اَََ ََِِو َا ْنَم مَِِو ُناَطْلمس

Artinya: ‚Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila si sumi telah menggaulinya, maka bagi dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi izin) maka wali Hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali‛. (Riwayat Imam empat kecuali al-Nasa’i).19

17 Ibid.,

18 Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daru Ibnu Katsir, 2002), 1297.

(37)

31

3. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan definisi pembatalan perkawinan di atas, bahwasannya

perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat dan

rukunnya. Jadi ada dua unsur yang menyebabkan terjadinya

pembatalan perkawinan, yaitu:

a. Tidak terpenuhinya rukun perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan

sah atau tidaknya suatu perkerjaan (ibadah), dan sesuatu itu

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.20 Misalnya adanya

calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 disebutkan

bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

1) Calon suami.

2) Calon istri.

3) Wali nikah.

4) Dua orang saksi.

5) Ijab dan kabul.

Menurut Sha>fi’iyyah, rukun perkawinan ada lima macam,

yaitu:

(38)

32

1) Calon suami.

2) Calon istri.

3) Wali.

4) Dua orang saksi.

5) Sighat.21

b. Tidak terpenuhinya syarat perkawinan.

Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan

sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu

tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut, seperti

menurut Islam calon laki-laki atau perempuan harus beragama

Islam.22

Syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur

dalam pasal 15 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum

Islam. Sedangkan menurut Sha>fi’iyyah, yang menjadi syarat

perkawinan diantaranya adalah:23

1) Syarat sighat:

a) Orang yang berakad harus mengerti makna lafaz{

sighat,

b) Lafaz{ sighat harus jelas,

c) Sah mendahulukan kabul dari ijab.

(39)

33

2) Syarat wali:

a) Laki-laki,

b) Mempunyai hubungan nasab,

c) Baligh,

d) Berakal,

e) Adil,

f) Bisa melihat,

g) Seagama,

h) Merdeka.

3) Syarat calon suami:

a) Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon

istri,

b) Tidak dipaksa,

c) Jelas atau tentu orangnya,

d) Mengetahui atau mengenal calon istri,

4) Syarat calon istri:

a) Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon

suami,

b) Jelas atau tentu orangnya,

c) Tidak ada halangan menikah,

d) Tidak sedang berada dalam perkawinan orang lain,

e) Tidak sedang dalam masa iddah.

(40)

34

a) Merdeka,

b) Dua orang laki-laki,

c) Adil,

d) Tidak buta dan bisu.

Para Ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari

suami istri mengetahui adanya ‘aib baik diketahuinya sebelum atau

sesudah akad nikah, tetapi jika ia sudah rela secara tegas atau ada

tanda yang menunjukkan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak

lagi untuk melakukan fasakh dengan alasan ‘a>ib itu. Ada 8 (delapan)

‘a>ib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya24:

a. Tiga hal berasa dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila,

penyakit kusta dan supak.

b. Dua hal tersebut dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga

persetubuhannya), impoten.

c. Tiga hal lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang

dalam lubang kemaluan yang menghalangi persetubuhan,

tumbuh daging dalam kemaluan, atau terlalu basah yang

menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhan.

Menurut Sha>fi’iyyah, hal-hal yang dapat memfasakh ikatan

perkawinan antara lain:

(41)

35

a. Pisah karena cacat salah seorang suami atau istri,

b. Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami,

c. Pisah karena li’an,

d. Salah seoang suami istri itu murtad,

e. Perkawinan itu rusak (fasad),

f. Tidak ada kesamaan status (kufu).25

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 disebutkan bahwa

perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak

melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat istri,

sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah

talak raj’i.

b. Seseorang menikahi bekas istri yang telah dili’annya.

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga

kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah

menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da

dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai

hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu

yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

(42)

36

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah atau ke atas.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara

orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu atau ayah tiri.

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak

sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman

sesusuan.

Sedangkan dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam disebutkan

bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan

Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih

menjadi istri pra lain yang mafqu>d.

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari

suami lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor

(43)

37

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh

wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di

bawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya

perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri

suami atau istri.

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu

menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam)

bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan

tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan

pembatalan, maka haknya gugur.26

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusnya perkawinan secara

fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab, talak ada

talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami

(44)

38

istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika

itu juga.27

Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan

maupun karena adanya rukun dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi,

maka hal itu mengakhiri perkawinan seketika itu juga. Putusnya

perkawinan dalam bentuk fasakh berstatus ba’in sughra. Suami tidak

boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istri tersebut menjalani

masa iddah. Apabila mantan suami dan mantan istri berkeinginan

untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan akad

nikah baru. Akibat lain dari fasakh adalah tidak mengurangi bilangan

t}alaq. Hal itu berarti hak suami untuk ment}ala>q istrinya maksimal tiga

kali, tidak berkurang dengan adanya fasakh tersebut.28

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan berdasarkan pasal 73 Kompilasi Hukum Islam adalah:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke

bawah dari suami istri

b. Suami atau istri

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan

menurut undang-undang

27 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, 314.

(45)

39

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya

cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum

Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

tersebut dalam Pasal 67.

C. Qiyas

1. Pengertian Qiya>s

Kata qiya>s secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan).

Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi qiya>s yang

dirumuskan ulama, antara lain:

Menurut Ibnu as-Subki, qiya>s adalah:

ُلْعَم ُلََْ

مْوُلْعَم ىَلَع مْو

ِف ِهِتاَسُمِل

ِلِماََا َدْنِع ِهِمْكُح ِةَلِع

Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan

hukumnya.29

Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiya>s adalah:

ُقاََِْإ

رْمَأ

ُرْ يَغ

صْوُصْنَم

َىلَع

ِهِمْكُح

ىِعْرَشلا

رْمَأِب

صْوُصْنَم

ىلع

ِهِمْكُح

اَمِهِكاَِتْشِا

ِف

ِةَلِع

ِمْكَُْا

Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah

hukum.30

(46)

40

Sedangkan menurut ulama ushul, qiya>s adalah menerangkanj

hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis

dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan

hukumnya berdasarkan nash.31

Imam Shafi’iy mengatakan ‚setiap peristiwa pasti ada kepastian

hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Tetapi jika ada

ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang

sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiya>s.32

2. Unsur-Unsur Qiya>s

Meskipun definisi di atas berbeda-beda redaksinya, tetapi pada

hakikatnya terdapat kesamaan makna, di mana dalam definisi mereka

terdapat unsur-unsur qiya>s antara lain33:

a. Al-Ashl (Dasar; Pokok)

Al-Ashl yaitu sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan

hukumnya berdasarkan nash, baik nash tersebut berupa al-Quran

maupun sunnah.

b. Al-Far’u (Cabang)

Al-Far’u yaitu masalah yang hendak di qiya>skan yang tidak

ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.

31 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>, tt), 336. 32 Ibid.,

(47)

41

c. Hukum Ashl

Hukum ashl yaitu hukum yang terdapat dalam masalah yang

ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik

al-Qur’an maupun sunnah.

d. ‘Illah

‘Illah yaitu suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu

peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari

suatu peristiwa hukum.

3. Macam-Macam Qiya>s

Ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah, qiya>s terdiri atas

tiga tingkatan, antara lain34:

a. Qiya>s al-Awla>

Qiya>s al-Awla> adalah suatu qiya>s yang ‘illahnya pada al-far’u

lebih kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga penerapan

hukum yang terdapat pada ashl lebih utama diterapkan pada

al-far’u. sebagai contoh firman Allah SWT pada surah al-Isra’ (17):

2335:

                                            34 Ibid, 174.

(48)

42

Artinya:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.

‘Illah larangan mengatakan ‚ah‛ kepada kedua orangtua yang

terdapat pada ayat di atas, yang kedudukannya sebagai al-ashl

adalah menyakiti. Sebagai al-far’u, memukul orangtua juga

menyakiti, bahkan sifatnya lebih kuat dan lebih besar daripada

sifat menyakiti yang terdapat pada al-ashl. Oleh karena itu, hukum

larangan menyakiti lebih utama diterapkan pada al-far’u.

b. Qiya>s al-Musa>wi>

Qiya>s al-Musa>wi> adalah suatu qiya>s yang memiliki kekuatan

‘illah yang sama, yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga

hukumnya juga sama pada al-ashl dan al-far’u. Misalnya firman

Allah SWT pada surah an-Nisa> (4): 10:36

                       Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

(49)

43

‘Illah larangan memakan harta anak yatim sebagai al-ashl

pada ayat di atas karena perbuatan itu mergikan anak yatim.

Membakar atau merusak harta anak yatim, sebagai al-far’u uga

melahirkan dampak yang sama. Oleh karena itu perbuatan tersebut

dilarang karena ‘illahnya sama, yaitu sama-sama merugikan anak

yatim.

c. Qiya>s al-Adna>

Qiya>s al-Adna> adalah qiya>s yang ‘illah hukum yang terdapat

pada al-far’u lebih lemah daripada ‘illah yang terdapat pada

al-ashl. Meskipun ‘illah hukumnya lebuh lemah, namun ketentuan

hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk

diterapkan pada al-far’u. Misalnya: menahan harta anak yatim

secara ketat, sehingga mereka menderita kelaparan ketika masih

kecil, meskipun tidak dengan tujuan memilikinya. Perbuatan ini

dilarang karena merugikan anak yatim, meskipun ‘illahnya lebih

lemah dibandingkan dengan ‘illah larangan memakan atau

memiliki harta anak yatim secara penuh yang terdapat pada

al-ashl.37

(50)

44

BAB III

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BLITAR TENTANG

PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA WNA

DAN WNI (Nomor: 2492/Pdt.G/2014)

A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Blitar

1. Letak Geografis Pengadilan Agama Blitar

Pengadilan Agama Blitar terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 42

Kota Blitar, dengan kedudukan antara 7 57-8 9’51 LS dan 111 25’ –

112 20’ BT. Batas wilayah Pengadilan Agama Blitar adalah sebelah

Utara Kecamatan Bakung dan Kecamatan Sukorejo. Sebelah Timur

Kecamatan Kanigoro dan Kecamatan Sanan Wetan. Sebelah Selatan

adalah Kecamatan Binangun dan Kecamatan Wates. Dan sebelah Barat

adalah Kecamatan Doko dan Kecamatan Gandusari.

Pengadilan Agama Blitar terletak pada ketinggian ± 167 meter di

atas permukaan laut. Sebagai aset Negara, Pengadilan Agama Blitar

menempati lahan seluas 1.588 m² dengan luas bangunan 890 m2 yang

terbagi dalam bangunan-bangunan pendukung yakni ruang sidang,

ruang tunggu, ruang pendaftaran perkara dan ruang arsip.

2. Wewenang Pengadilan Agama Blitar

Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1993

tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama, ditetapkan bahwa

(51)

45

kelas dalam urutan pertama dalam klasifikasi Pengadilan Tingkat

Pertama. Wewenang Pengadilan Agama Blitar ada dua, yaitu:

a. Kewenangan Absolut

Wewenang absolut atau dalam bahasa Belanda disebut

attributie van rechtsmacht merupakan kewenangan yang

menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan Peradilan.1

Wewenang mengadili bidang-bidang perkara ini bersifat mutlak,

artinya apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan yurisdiksi

suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan mutlak baginya

untuk memeriksa dan memutus perkara.2

Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:3

a) Perkawinan

b)Waris

c) Wasiat

d)Hibah

e) Wakaf

f) Zakat

g) Infaq

1 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, Cet. VIII, 1997), 11.

2 Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku ke-2, (Edisi 2007), 62.

(52)

46

h)Shadaqah dan

i) Ekonomi syari’ah.

Dalam mengadili perkara-perkara yang menjadi

kewenangannya, Pengadilan Agama harus menganut asas

personalitas keIslaman,4 seperti bunyi pasal 2 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006, ‚Peradilan Agama adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkar tertentu sebagaimana yang dimaksud

dalam Undang-Undang ini‛.5 Artinya bahwa pihak-pihak yang

berperkara harus sama-sama beragama Islam atau pada saat terjadi

hubungan hukum, kedua belah pihak sama-sama beragama Islam.

Adapun sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama, dalam

hal ini Pengadilan Agama Blitar mempunyai kewenangan absolut

yang sama, yang pada pokoknya ada Sembilan perkara, yaitu:

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah dan ekonomi syariah.

b. Kewenangan Relatif

Pengadilan Agama Blitar membawahi 20 kecamatan antara

lain: kecamatan Kepanjen Kidul terdiri dari 7 desa, Sanan Wetan

terdiri dari 7 desa, Sukorejo terdiri dari 5 desa, Bakung terdiri dari

(53)

47

11 desa, Binangun terdiri dari 12 desa, Doko tersiri dari 10 desa,

Gandusari terdiri dari 14 desa, Garum terdiri dari 9 desa,

Kademangan terdiri dari 15 desa, Kanigoro terdiri dari 12 desa,

Kesamben terdiri dari 10 desa, Nglegok terdiri dari 11 desa,

Panggungrejo terdiri dari 10 desa, Ponggok terdiri dari 15 desa,

Sanan Kulon terdiri dari 12 desa, Selopuro terdiri dari 8 desa,

Selorejo terdiri dari 10 desa, Srengat terdiri dari 16 desa,

Sutojayan terdiri dari 11 desa, Talun terdiri dari 14 desa, dan

beberapa kecamatan lainnya.

Adapun beberapa desa yang dibawahinya antara lain:

1. Kecamatan Kepanjen Kidul terdiri dari 7 desa, yaitu:

a. Sentul b. Ngadirejo

c. Tanggung d. Bendo

e. Kauman f. Kepanjen Kidul

(54)

48

2. Kecamatan Sanan Wetan terdiri dari 7 desa, yaitu:

3. Kecamatan Sukorejo terdiri dari 5 desa, yaitu:

4. Kecamatan Bakung terdiri dari 11 desa, yaitu:

a. Sumberdadi b. Tumpakoyot

c. Bakung d. Pulerejo

e. Bululawang f. Sumberdadi

g. Kedungbanteng h. Tumpakkepuh

i. Ngrejo j. Plandirejo

k. Lorejo

a. Bendogerit b. Gedog

c. Plosokerep d. Karang Tengah

e. Rembang f. Sanan Wetan

g. Klampok

a. Sukorejo b. Karang Sari

c. Pakunden d. Tanjung Sari

(55)

49

5. Kecamatan Binangun terdiri dari 12 desa, yaitu:

3. Landasan Hukum Pengadilan Agama Blitar

Adapun landasan hukum yang menjadi ketentuan-ketentuan

sebagai aturan dan pedoman bagi Pengadilan Agama adalah:

a. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB-HIR).

b. UU No. 20 Tahun 1974 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan

Madura.

c. UU No. 14 Tahun 1970 yang dirubah dengan UU No. 4 Tahun

2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

e. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

a. Umbul Damar b. Tawang Rejo

c. Sumber Kembar d. Sukorame

e. Sambigede f. Salamrejo

g. Rejoso h. Ngembul

i. Ngadri j. Kedungwungu

(56)

50

f. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974.

g. UU No. 7 Tahun 1989 dengan perubahannya UU No. 3 Tahun

2006 tentang Peradilan Agama.

h. Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Jo. Keputusan Menteri Agama RI

No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

i. Keputusan Ketua RI No. KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24

Januari 1991 tentang Pola Pembinaan dan Pengadilan

Administrasi (BINDALMIN) Pengadilan Agama dan

Pengadilan Tinggi Agama.

j. Keputusan Menteri Agama RI No. 303 Tahun 1990 tentang

Sususnan Organisasi dan Tata Keja Kesekretariatan

Pengadilan Agama RI No. 589 Tahun 1999 tentang Penetapan

Kelas dan Kesekretariatan Pengadilan Agama.

k. Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/006/SK/III/1994

tentang Pengawasan dan Evaluasi Atas Hasil Pengawasan oleh

Pengadilan Tingkat Bnading dan Pengadilan Tingkat Pertama,

Jo. Keputusan Menteri Agama RI No. 120 Tahun 1995 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat di Lingkungan

(57)

51

l. Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/007/SK/IV/1994

tentang memberlakukan Buku I dan Buku II Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

m. Keputusan Menteri Agama RI No. 81 Tahun 1994 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Kea

Referensi

Dokumen terkait

Comparative study of the classification results in the present work, demonstrates that utilizing all channels in MCS of five Artificial Neural Network classifiers outperforms a

pemasaran dari mulut ke mulut.Pelaku bisnis yang menggunakan blog sebagai media berkomunikasi dengan konsumennya akan memberikan pengalaman positif kepada konsumen, sehingga

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui peran komunikasi keluarga dalam usaha pelestarian bahasa Tidore, serta menelusuri kendala-kendala mempengaruhi

Bangsa tsamud adalah umat binaan Nabi Saleh. Mereka tinggal di semenanjung Arabia bagian utara. Hidup sebagai petani dan pedagang. Mereka pandai memotong batu-.. batu

Pengertian sistem menurut para ahli.. Diperoleh

Sedangkan rasio likuiditas, leverage , reputasi auditor, ukuran perusahaan dan umur obligasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peringkat

Penulisan ini lebih menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum

Status : Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dengan ini mengajukan permohonan kepada Bapak / Ibu untuk bersedia menjadi responden penelitian yang akan