ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN
PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN
(
Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL) SKRIPSIOleh:
Nur Lailatul Farida
NIM: C51211150
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyah
SURABAYA
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN
ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negari Sunan Ampel
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Satu
Hukum Perdata Islam
Oleh:
Nur Lailatul Farida
NIM. C51211150
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Ahwal Al-Syakhshiyah
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi dengan judul ‚ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN DENGAN ALASAN PENIPUAN STATUS KEWARGANEGARAAN (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Agama Blitar No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛ merupakan
penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL dan bagaimana relevansi putusan Pengadilan Agama Bltar nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. dengan hukum Islam.
Guna menjawab permasalahan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen yang berupa putusan Pengadilan Agama Blitar serta telaah pustaka yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan perkara pembatalan perkawinan dan aturan perundang-undangan, untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap putusan PA Blitar tentang pembatalan perkawinan dengan alasan adanya penipuan status kewarganegaraan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa majelis hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status kewarganegaraan karena perkawinan campuran tersebut tidak memenuhi ketentuan pasal 60 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang tidak adanya bukti surat keterangan dari pihak Termohon I yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negaranya masing-masing. Selain itu, Hakim juga mengedepankan konsep maslahah dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan campuran ini. Menurut analisis hukum Islam, putusan pembatalan perkawinan campuran tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum Islam.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, tujuan perkawinan adalah membentuk suatu rumah
tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.1 Sedangkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah2, tetapi dalam
kenyataannya tidak selamanya demikian. Banyak terjadi pembatalan atas
adanya suatu perkawinan yang secara lahiriyah hal ini bertentangan
dengan tujuan-tujuan perkawinan itu sendiri.
Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan
bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak yang
berhak mengajukan pembatalan perkawinan sesuai dengan pasal 23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami maupun istri, suami atau istri itu
sendiri dan pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
diputuskan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut.3
Dalam mengajukan pembatalan perkawinan, tentu ada alasan-alasan
yang menjadi penyebab adanya pembatalan perkawinan tersebut. Menurut
pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
1. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum.
2. Terjadi salah sangka antara suami dan istri pada waktu
berlangsungnya perkawinan.
3. Suami atau istri masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan
perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya.
Menurut pasal 71 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama,
2. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pria lain yang mafqud.
3. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain.
4. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
3
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
6. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Fenomena pembatalan perkawinan, tidak hanya terjadi pada
perkawinan antara pihak yang satu kewarganegaraan saja, tetapi juga
terjadi pada perkawinan beda kewarganegaraan yang biasanya disebut
dengan istilah perkawinan campuran.
Perkawinan campuran berdasarkan pada pasal 57 UU Nomor 1 Tahun
1974 adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.4 Dari definisi pasal 57 UU
Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai
berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita di Indonesia
yang tunduk pada aturan yang berbeda,
2. Perbedaan kewarganegaraan.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam
perkawinan dan perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang
melangsungkan perkawinan. Tetapi perbedaan itu bukan karena
perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena
unsur kedua yakni karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan
4
kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai
hukum publik maupun hukum perdata.5 Akibat hukum dari perkawinan
campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri
dan status kewarganegaraan anak. Selain itu, akibat hukum lainnya dari
perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia
dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30
sampai dengan pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan
dijelaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan
menurut hukum agamanya dan kepercayaan masing-masing. Maksud dari
ketentuan dalam pasal tersebut juga mencakup ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam
Undang-undang.6
Di Pengadilan Agama Blitar terdapat sebuah putusan dengan Nomor
perkara 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan perkawinan.
Pembatalan perkawinan tersebut dalam masalah perkawinan campuran
5 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Undang-Undang Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 198.
5
yang diajukan oleh Pejabat Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Wates Kabupaten Blitar karena lembaga tersebut merasa
dirugikan atas adanya penipuan.
Dalam perkara pembatalan perkawinan campuran ini, pihak Pejabat
Pencatat Nikah mengajukan permohonan pembatalan pekawinan ke
Pengadilan Agama karena merasa dirugikan atas adanya perkawinan yang
terjadi pada tanggal 18 Juni 2002 di Kantor Urusan Agama kecamatan
Wates kabupaten Blitar. Berdasarkan pemberitahuan dari kantor Imigrasi,
diketahui bahwa Termohon adalah Warga Negara Asing Pakistan yang
belum pernah pindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara Indonesia.
Termohon sekarang sudah dipulangkan ke Pakistan tetapi belum pernah
bercerai secara resmi melalui Pengadilan Agama. Oleh karena itu,
Departemen Agama memberi teguran kepada Pejabat Pencatat Nikah
karena adanya perkawinan tersebut telah merugikan Negara secara
administratif.7
Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara ini adalah pasal 60
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 huruf (b) yang menjelaskan bahwa
untuk menghindari terjadinya perkawinan yang melanggar ketentuan
hukum Negara dari masing-masing calon mempelai, maka calon
mempelai diwajibkan membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak
melanggar peraturan perundang-undangan di Negaranya masing-masing.
Bukti tersebut berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh Pejabat
6
pencatat perkawinan yang berwenang di Negara masing-masing. Dalam
hal ini, Termohon ternyata belum mengurus surat keterangan yang
dikeluarkan oleh Pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di
negaranya. Atas dasar tersebut, maka pada akhir putusan persidangan,
hakim mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan
oleh Pejabat Pencatat Nikah.
Dalam Hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan baik
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak ada
yang menyebutkan bahwa alasan penipuan merupakan salah satu alasan
untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Tetapi, dalam perkara ini
dihubungkan dengan pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
huruf (b) tentang bukti surat yang dikeluarkan oleh Pejabat pencatat
perkawinan.
Penulis tertarik untuk meneliti pertimbangan hakim yang
mengabulkan permohonan di Pengadilan Agama Blitar dengan Nomor
perkara 2492/Pdt.G/2014/PA.BL. di mana salah satu alasan yang
dicantumkan sebagai alasan pengajuan permohonan pembatalan
perkawinan adalah penipuan yang dilakukan oleh pihak Termohon,
meskipun dalam peraturan perundangan yang dikemukakan di atas, alasan
penipuan tersebut tidak dicantumkan. Maka dari itu pula, penulis akan
mengangkat skripsi dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap
7
Status Kewarganegaraan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar
No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditulis
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Pandangan Islam terhadap pembatalan perkawinan campuran
dengan alasan penipuan status kewarganegaraan.
2. Dasar hukum diperbolehkannya mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan,
3. Pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan di
Pengadilan,
4. Pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembatalan
perkawinan dengan alasan penipuan status kewarganegaraan,
5. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama
Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status
kewarganegaraan,
6. Relevansi putusan nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL dengan hukum
Islam.
8
1. Dasar pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan Agama
Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL mengabulkan permohonan
pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan status
kewarganegaraan.
2. Relevansi putusan Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL dengan
hukum Islam.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memutuskan
perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL?
2. Bagaimana relevansi putusan nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA/BL
dengan hukum Islam?
D. Kajian Pustaka
Penelitian penulis tentang ‚Analisis Hukum Islam terhadap Putusan
Pembatalan Perkawinan Campuran dengan Alasan Penipuan Status
Kewarganegaraan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Blitar
No.2492/Pdt.G/2014/PA.BL)‛ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain,
tetapi secara umum terdapat penelitian tentang pembatalan perkawinan
9
1. Skripsi yang ditulis oleh Ali Ghufron tahun 1999 yang berjudul
‚Pembatalan perkawinan dengan alasan poligami (Studi kasus tentang
izin poligami sebagai alasan pembatalan perkawinan di Pengadilan
Agama Madiun)‛. Penelitian ini termasuk studi dokumen yang
kemudian dianalisa dengan tahapan Editing, pengaturan dan
penyusunan data serta penganalisaan untuk merumuskan penelitian.
Hasil penelitiannya disajikan penulis dengan menggunakan metode
pembahasan induktif, deduktif dan analogis. Kesimpulan dari
penelitian tersebut menjelaskan bahwa poligami sebagai alasan
pembatalan perkawinan karena tidak adanya persetujuan dari istri,
tidak adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, serta tidak adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.8
2. Skripsi yang ditulis oleh Lilis Sulistyarini tahun 2002 yang berjudul
‚Pembatalan perkawinan dengan alasan penipuan status calon suami
di Pengadilan Agama Banyumas‛. Penelitian ini termasuk studi
dokumen, yaitu berupa pengamatan atas dokumen berkas perkara
serta berita acara persidangannya yang berhubungan dengan alasan
penipuan status calon suami. Dalam hal ini penulis menggunakan
analisis yuridis dengan menggunakan metode deskriptif analitis
10
dengan pola pikir deduktif dan induktif. Dalam kesimpulannya
dijelaskan bahwa penipuan status calon suami tersebut dapat
dijadikan alasan dalam pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama
Banyumas karena terdapat unsur kerugian dan kemadaratan di pihak
penggugat atau pemohon yang akhirnya menimbulkan ketidak
harmonisan keluarga.9
3. Skripsi yang ditulis oleh Habib Khoiri tahun 2011 yang berjudul
‚Analisis Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena
pemalsuan identitas (Studi kasus putusan Pengadila Agama
Lamongan No. 0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg)‛. Penelitian ini merupakan
penelitian studi dokumenter yang selanjutnya dianalisis dengan
metode deskriptif dan kesimpulannya diperoleh dengan menggunakan
pola pikir induktif. Dalam kesimpulannya dijelaskan bahwa mengacu
pada beberapa ulama’ fikih, pemalsuan identitas kaitannya dengan
putusan perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas
di Pengadilan Agama Lamongan No.0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg. tidak
dapat dijadikan alasan sebagai penyebab terjadinya fasakh terhadap
ikatan perkawinan tersebut dengan kata lain perkawinan tersebut
tidak dapat dibatalkan karena pemalsuan identitas.10
9Lilis Sulistyarini, ‚Pembatalan perkawinan dengan alasan penipuan status calon suami di Pengadilan Agama Banyumas‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002).
10 Habib Khoiri, ‚Analisis Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena pemalsuan
identitas (Studi kasus putusan Pengadila Agama Lamongan No. 0146/Pdt.G/2010/PA.Lmg)‛
11
4. Skripsi yang ditulis oleh Umi Sholihatin tahun 2006 yang berjudul
‚Ketidakgadisan sebagai alasan untuk melakukan pembatalan
perkawinan menurut Hukum Islam‛. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis menggunakan
metode deskriptif dengan pola pikir induktif. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa ketidakgadisan istri dapat dijadikan sebagai
alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
suami mensyaratkan adanya keperawanan sebelum perkawinan dan
mengacu pada Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi seorang suami
atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan,
salah sangka mengenai diri suami atau istri.11
5. Skripsi yang ditulis oleh Yeniek Yuli Kurniawati tahun 2003 yang
berjudul ‚Pembatalan perkawinan dengan alasan akta cerai palsu
(studi kasus di Pengadilan Agama Jombang)‛. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode deskriptif
analitis dengan pola pikir induktif dan deduktif. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa akta cerai palsu termasuk dalam salah satu
faktor yang dapat membatalkan perkawinan. Jadi akta cerai palsu
dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan,
karena perkawinan tersebut dilakukan dengan tidak memenuhi
persyaratan. Dengan demikian putusan majelis hakim tentang
11 Umi Sholihatin, ‚Ketidakgadisan
sebagai alasan untuk melakukan pembatalan perkawinan
12
pembatalan perkawinan dengan alasan akta cerai palsu adalah
berdasarkan pada penafsiran undang-undang yang menyebutkan
bahwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan
tersebut dapat dibatalkan yang mana terdapat dalam pasal 22
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga seseorang yang masih terkait
dalam perkawinan seseorang berhak mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru.12
Semua penelitian di atas berkaitan dengan pembatalan perkawinan,
tetapi yang membedakan dengan penelitian yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah perkawinan yang dibatalkan adalah perkawinan
campuran antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia
yang mana belum ada peneliti yang mengkaji sebelumnya. Penipuan atas
status kewarganegaraan ini tidak sengaja dilakukan oleh suami karena
suami tidak mengetahui adanya syarat administratif khusus yang harus
dipenuhi bagi Warga Negara Asing ketika dia ingin melangsungkan
pernikahan. Selain itu dari sisi pihak yang mengajukan juga berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Pihak yang mengajukan pembatalan
perkawinan campuran dalam perkara ini adalah Pejabat Pencatat Nikah,
serta tempat penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Blitar.
12Yenik Yuli Kurniawati, ‚Pembatalan Perkawinan dengan Alasan Akta Cerai Palsu (Studi Kasus
13
E. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendiskripsikan dasar pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL,
2. Untuk menilai relevansi putusan Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL
dengan hukum Islam.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat,
sekurang-kurangnya sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan mengenai
bidang ilmu hukum khususnya hukum perdata dalam lingkungan
Peradilan Agama khususnya bagi penulis dan pembaca pada
umumnya. Selain itu, penelitian ini juga sebagai konstribusi
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
dibidang Hukum Keluarga Islam.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau
pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara serta
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Ahwal
14
G. Definisi Operasional
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan tidak menimbulkan
kesalahpahaman atas judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan
definisi operasional dalam penelitian ini.
Hukum Islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah
dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.13 Dalam penelitian
ini, hukum Islam yang dimaksud adalah ketentuan pembatalan
perkawinan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dan fikih
Shafi’iyyah.
Putusan adalah hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara
yang didasarkan pada pertimbangan hukum.14 Dalam hal ini putusan yang
dimaksud adalah putusan Pengadilan Agama Blitar Nomor
2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan perkawinan dengan alasan
adanya penipuan status kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.15
Dalam hal ini, perkawinan dilakukan antara orang Indonesia dengan orang
Pakistan.
13 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011), 5.
14 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (TT: Wacana Intelektual Press, 2007), 397.
15
Pembatalan perkawinan dalam Islam disebut fasakh. Sedangkan
pengertian fasakh adalah merusak atau melepaskan tali ikatan
perkawinan.16 Batalnya perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya
perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau rukunnya, atau
sebab lain yang dilarang oleh agama.17 Dalam hal ini, pembatalan
perkawinan terjadi karena adanya penipuan status kewarganegaraan yang
dilakukan oleh suami.
Berdasarkan paparan di atas, maka definisi operasional dalam
penelitian ini adalah analisis hukum Islam yang terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam dan ketentuan Fikih Shafi’iyyah tentang pembatalan
perkawinan antara Warga Negara Asing Pakistan dengan Warga Negara
Indonesia di Pengadilan Agama Blitar.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan:
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, terdiri atas:
a. Data tentang dasar pertimbangan hukum yang dipakai oleh
Majelis Hakim di Pegadilan Agama Blitar dalam perkara
Nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang pembatalan
perkawinan campuran dengan alasan penipuan status
kewarganegaraan,
16 Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 270.
16
b. Data tentang ketentuan pembatalan perkawinan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum
Islam dan fikih mazhab Shafi’i.
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah dari
mana data diperoleh.18 Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,
maka sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak
langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sumber data
sekunder ada tiga19, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Putusan
Pengadilan Agama Blitar Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL
tentang pembatalan perkawinan campuran dengan alasan penipuan
status kewarganegaraan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum ini merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain:
1. Kompilasi Hukum Islam,
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
18 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 129.
17
3. Al-fiqh ‘Ala> Madha>hib al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-
J>ziri>,
4. Bida>yatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd,
5. Fiqih Empat Madhab karya Syaikh al-‘Ala>mah Muhammad
bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi>,
6. Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah,
7. Fiqh as-Sunnah karya Sayid Sabiq,
8. Fiqh Munakahat karya Abdul Rahman Ghozali,
9. Risalah Nikah karya Al-Hamdani,
10.Fikih Munakahat karya H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani,
11.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir
Syarifuddin,
12.Fiqh Muamalah karya Rachmat Syafei,
13.Ushul Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah,
14.Ushul Fiqh karya Abd.Rahman Dahlan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian normatif ini, pengumpulan data dilakukan
penulis melalui dokumentasi. Dokumentasi adalah mencari data yang
terkait topik penelitian yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, dan semacamnya. Sedangkan obyeknya
adalah benda mati.20 Dalam proses penelitian, catatan, rekaman
18
wawancara dengan informan dan buku-buku yang digunakan untuk
mencari data.
4. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini
adalah teknik deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif. Teknik
deskriptif analitis adalah metode yang menjelaskan data secara rinci
dan sistematis sehingga diperoleh pemaham yang mendalam dan
menyeluruh.21 Dalam hal ini dengan mengemukakan putusan PA
Blitar, kemudian dikaitkan dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat
dalam literatur sebagai analisis sehingga mendapatkan suatu
kesimpulan yang bersifat khusus. Sedangkan pola pikir deduktif
adalah metode berfikir yang diawali dengan mengemukakan
teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan perkara pembatalan
perkawinan dan aturan perundang-undangan, untuk selanjutnya
dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian
terhadap putusan PA Blitar tentang pembatalan perkawinan dengan
alasan adanya penipuan status kewarganegaraan, kemudian ditarik
sebuah kesimpulan.
19
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam
penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada
maka penulis menyusun pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, landasan teori yang terdiri dari 2 sub bahasan, pertama
tentang pengertian perkawinan campuran dan syarat administratif khusus
bagi Warga Negara Asing ketika melangsungkan perkawinan, kedua
tentang pengertian batalnya perkawinan atau fasakh, dasar hukum fasakh,
sebab-sebab terjadinya fasakh menurut Kompilasi Hukum Islam dan fikih
Shafi’iyyah dan qiyas.
Bab Ketiga, merupakan data penelitian yang berisi sekilas tentang
Pengadilan Agama kota Blitar, Putusan Pengadilan Agama Blitar Nomor
2492/Pdt.G/2014/PA.BL dan dasar pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara.
Bab Keempat, merupakan analisis yang berisi tentang analisis
Hukum Islam terhadap pertimbangan hukum yang dipakai Hakim dalam
memutuskan perkara Nomor: 2492/Pdt.G/2014/PA.BL tentang
20
kewarganegaraan dan relevansi putusan Nomor 2492/Pdt.G/2014/PA.BL
dengan hukum Islam.
21
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Perkawinan Campuran
1. Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.1 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitha>qan ghali>z{an untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.2
Suatu perkawinan dapat dilangsungkan, baik di dalam maupun di
luar negeri, sedangkan subyek-subyeknya dapat berkewarganegaraan
Indonesia maupun berkewarganegaraan asing. Suatu perkawinan yang
dilangsungkan di Indonesia antara calon suami istri yang
berkewarganegaraan Indonesia, akan berlaku hukum Indonesia bagi
mereka. Sedangkan suatu perkawinan yang dilangsungkan di luar
22
negeri antara dua pihak, yang kedua-duanya berkewarganegaraan
Indonesia, dikuasai oleh hukum asing.3
Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk Legislatif yang
berhubungan dengan perkawinan campuran, antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bergerlijke Wetboek).
b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S. 1933
Nomor 74.
c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling og de gemengde
Huwelijke. S. 1898 Nomor 158).4
Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk Legislatif
tersebut tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan prinsip umum dalam
perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan yang
setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian, menghapuskan
ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan
sederajat yang mendahuluinya.5
Perkawinan campuran berdasarkan pasal 57 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua orang yang
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
3 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), 32.
4 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 196.
23
kewarganegaraan, di salah satu pihak berkewarganegaraan asing,
sedangkan di pihak lain berkewarganegaraan Indonesia.6
Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita di
Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda,
2. Karena perbedaan kewarganegaraan,
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam
perkawinan dan perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita
yang melangsungkan perkawinan tersebut. Tetapi perbedaan itu bukan
karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia
melainkan karena unsur kedua yakni perbedaan kewarganegaraan
yang mana salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan
Indonesia.
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum
terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum
yang berlaku bagi masing-masing pihak telah terpenuhi. Untuk
membuktikan hal tersebut, maka Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal pihak tersebut memberikan surat
24
keterangan yang menerangkan bahwa syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan telah terpenuhi.7
2. Syarat Administratif Perkawinan Campuran
Seorang yang akan melaksanakan perkawinan atau nikah harus
memberitahukan kehendak nikah tersebut secara lisan atau tertulis
kepada Pegawai Pencatat atau kepada Penghulu. Pemberitahuan
tersebut dilakukan oleh calon mempelai, orang tua, atau wakilnya
dengan membawa surat-surat yang diperlukan, yaitu:8
1) Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama
lainnya (Model N1),
2) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat
keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah
atau nama lainnya (Model N2),
3) Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3),
4) Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala
desa/pejabat setingkat (Model N4),
5) Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai yang
belum mencapai usia 21 tahun (Model N5),
6) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum
mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum
mencapai umur 16 tahun,
7 Bahder Johan Nasutionn dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 48.
25
7) Surat izin atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota
TNI/Polri,
8) Putusan Pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak
beristri lebih dari seorang,
9) Kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi
mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama,
10)Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri
dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi
janda/duda (Model N6).
Bagi WNA (warga negara asing) yang akan melangsungkan
pernikahan di Indonesia harus membawa persyaratan administrasi
sebagai berikut:
1) Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka)
di atas segel/materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah)
diketahui 2 orang saksi.
2) Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Akta
Cerai/surat keterangan cerai yang asli.
3) Foto copy piagam masuk Islam (khusus untuk yang mualaf).
4) Foto copy Akte Kelahiran/Kenal Lahir/ID Card.
26
6) Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
apabila yang bersangkutan menetap di Indonesia.
7) Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang bekerja di
Indonesia).
8) Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor
Imigrasi atau foto copy visa.
9) Pas Port (foto copy).
10)Surat Keterangan atau izin menikah dari
Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.
11)Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi dan
tersumpah.
B. Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Perkawinan dapat dinyatakan sah apabila telah memenuhi rukun
dan syaratnya. oleh karena itu, perkawinan yang tidak memenuhi
rukun dan syarat yang telah ditentukan dapat dibatalkan, sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yaitu: ‚Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
27
Pembatalan menurut bahasa adalah pernyataan batal (urung,
tidak jadi) dari kata dasar batal, yaitu tidak sah lagi.9 Sedangkan yang
dimaksud dengan pembatalan perkawinan adalah pembatalan ikatan
perkawinan oleh Pengadilan Agama berdasarkan gugatan atau
tuntutan dari pihak istri maupun suami yang dapat dibenarkan oleh
Pengadilan Agama, atau karena telah terlanjur menyalahi
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam.10
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut dengan istilah
fasakh. Fasakh berasal dari bahasa Arab خسف yang secara etimologi
berarti merusak atau membatalkan.11Apabila dihubungkan dengan
perkawinan berarti merusak atau membatalkan perkawinan.
Adapun pengertian fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq
dalam bukunya Fiqh as-Sunnah adalah bahwa memfasakh nikah
berarti membatalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antara
suami istri.12
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah adalah:
َأ َما
ْلا
َف
ْس
ُخ
َف
َح ِق
ْ ي َق ُت
ُه َأ
َن ُه
َع
ِرا
ض
َْي َن
ُع
َ ب َق
َءا
ِّنلا
َك
ِحا
،
َا ْو
َي ُك
ْو ُن
َت
َد ُا
كرا
َِل
ْم ر
ِا ْق
َت َن
ِب
ِْاا
ْن َش
ِءا
ُج ِع
َل
ْلا َع
ْق ُد
َغ
ْ ي َر
َالا
ِز ِم
.9 WJS. Perwadamints, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th), 95. 10 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 126.
28
Artinya: Adapun fasakh (nikah) itu sebenarnya adalah sesuatu
yang datang kemudian yang menghalangi kelangsungan nikah,
sehingga menjadikan akad itu tidak lazim.13
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh
yaitu fasid. Menurut bahasa fasid berasal dari bahasa Arab
،دسفي ،دسف
ادسف
yang berarti rusak.14Dinyatakan dalam kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz{a>hib al-Arba’ah
ِّنلا
َك
ُحا
ْلا
َف
ِسا
ُد
ُ َو
َما
ْا
َتح
َل
َش ْر
ط
ِم
ْن
ُش ُر
ِطو
ِه
َو ِّنلا
َاك
ُح
ْا َبل
ِطا
ُل
ُ َو
َما
ْا
َتح
َل
ُر ْك
ن
ِم
ْن
ْرا َك
ِنا ِه
َو ِّنلا
َاك
ُح
ْلا َف
ِسا
ُد
َبلاو
ِطا
ُل
ُح
ْك
ُم َه
ا
َو
ِحا
د
‚Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil adalah sama, yaitu tidak sah‛.15
Dalam prakteknya di Pengadilan Agama, para hakim tidak
membedakan antara fasid dan batal. Alasannya adalah supaya ada
kesatuan istilah bahasa hukum di lingkungan para hakim. Apabila
tidak ada kesatuan bahasa, maka akan timbul kerancuan dalam
merumuskan istilah bahasa hukum di lingkungan para hakim dan pada
akhirnya akan menghambat proses pemeriksaan perkara. Jadi para
hakim merujuk istilah tersebut di dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 pasal 22 yaitu dengan menggunakan kata batal.
13 Muhammad Abu> Zahrah, Ahwa>l Ash-Shaksi>yah, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Ara>bi, t.th), 324. 14 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 92.
29
2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan
perkawinan, dikemukakan ayat al-Qur’an dan Hadis-hadis yang
berkaitan dengan nikah yang dibatalkan karena tidak memenuhi
syarat dan rukun nikah.
Larangan nikah sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an
surat an-Nisa>’ ayat 22-23:
Artinya: ‚Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)‛.16
30
Artinya: ‚Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛.17
Hadis Nabi yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori:
اهنع ه يضر ِةَيِراَصْنَلا ماَذِح ِتْنِب َءاَسْنَح ْنَع
ْتَِرَكَف ، بِّيَ ث َيِو اَهَجَوَز اَاَبَأ َنَأ
ْتَتَأَف َكِلَذ
َحاَكِن َدَرَ ف ملسو هيلع ه َلوسر
ُه
‚Dari Khansa>’ binti Khidham al-Ansha>riyyah ra: Bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada
Rasulullah SAW maka beliau membatalkannya‛. (HR. Bukhari).18
Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari ‘A>ishah ra:
ْسا اَِِ ُرْهَمْلا اَهَلَ ف اَِِ َلَخَد ْنِاَف لِطاَب اَهُحاَكِنَف اَهِّيِلَو ِنْذِا َِْْغِب ْتَحَكَن ةَأَرْما اَميَأ
َلَحَت
لاَف اُرَجَتْشا ْنِاَف اَهِجْرَ ف ْنِم
اَََ ََِِو َا ْنَم مَِِو ُناَطْلمس
Artinya: ‚Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila si sumi telah menggaulinya, maka bagi dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi izin) maka wali Hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali‛. (Riwayat Imam empat kecuali al-Nasa’i).19
17 Ibid.,
18 Imam Muhammad bin Ism’ail Al-Bukhori, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Daru Ibnu Katsir, 2002), 1297.
31
3. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan definisi pembatalan perkawinan di atas, bahwasannya
perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat dan
rukunnya. Jadi ada dua unsur yang menyebabkan terjadinya
pembatalan perkawinan, yaitu:
a. Tidak terpenuhinya rukun perkawinan
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan
sah atau tidaknya suatu perkerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.20 Misalnya adanya
calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 disebutkan
bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1) Calon suami.
2) Calon istri.
3) Wali nikah.
4) Dua orang saksi.
5) Ijab dan kabul.
Menurut Sha>fi’iyyah, rukun perkawinan ada lima macam,
yaitu:
32
1) Calon suami.
2) Calon istri.
3) Wali.
4) Dua orang saksi.
5) Sighat.21
b. Tidak terpenuhinya syarat perkawinan.
Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan
sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut, seperti
menurut Islam calon laki-laki atau perempuan harus beragama
Islam.22
Syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur
dalam pasal 15 sampai dengan pasal 29 Kompilasi Hukum
Islam. Sedangkan menurut Sha>fi’iyyah, yang menjadi syarat
perkawinan diantaranya adalah:23
1) Syarat sighat:
a) Orang yang berakad harus mengerti makna lafaz{
sighat,
b) Lafaz{ sighat harus jelas,
c) Sah mendahulukan kabul dari ijab.
33
2) Syarat wali:
a) Laki-laki,
b) Mempunyai hubungan nasab,
c) Baligh,
d) Berakal,
e) Adil,
f) Bisa melihat,
g) Seagama,
h) Merdeka.
3) Syarat calon suami:
a) Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon
istri,
b) Tidak dipaksa,
c) Jelas atau tentu orangnya,
d) Mengetahui atau mengenal calon istri,
4) Syarat calon istri:
a) Tidak mempunyai hubungan nasab dengan calon
suami,
b) Jelas atau tentu orangnya,
c) Tidak ada halangan menikah,
d) Tidak sedang berada dalam perkawinan orang lain,
e) Tidak sedang dalam masa iddah.
34
a) Merdeka,
b) Dua orang laki-laki,
c) Adil,
d) Tidak buta dan bisu.
Para Ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari
suami istri mengetahui adanya ‘aib baik diketahuinya sebelum atau
sesudah akad nikah, tetapi jika ia sudah rela secara tegas atau ada
tanda yang menunjukkan kerelaannya maka ia tidak mempunyai hak
lagi untuk melakukan fasakh dengan alasan ‘a>ib itu. Ada 8 (delapan)
‘a>ib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya24:
a. Tiga hal berasa dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila,
penyakit kusta dan supak.
b. Dua hal tersebut dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga
persetubuhannya), impoten.
c. Tiga hal lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang
dalam lubang kemaluan yang menghalangi persetubuhan,
tumbuh daging dalam kemaluan, atau terlalu basah yang
menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhan.
Menurut Sha>fi’iyyah, hal-hal yang dapat memfasakh ikatan
perkawinan antara lain:
35
a. Pisah karena cacat salah seorang suami atau istri,
b. Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami,
c. Pisah karena li’an,
d. Salah seoang suami istri itu murtad,
e. Perkawinan itu rusak (fasad),
f. Tidak ada kesamaan status (kufu).25
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 70 disebutkan bahwa
perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat istri,
sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah
talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas istri yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga
kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah
menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da
dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu
yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
36
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah atau ke atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan.
Sedangkan dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri pra lain yang mafqu>d.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor
37
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh
wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau istri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan
tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan, maka haknya gugur.26
Akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusnya perkawinan secara
fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab, talak ada
talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami
38
istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika
itu juga.27
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan
maupun karena adanya rukun dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi,
maka hal itu mengakhiri perkawinan seketika itu juga. Putusnya
perkawinan dalam bentuk fasakh berstatus ba’in sughra. Suami tidak
boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istri tersebut menjalani
masa iddah. Apabila mantan suami dan mantan istri berkeinginan
untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan akad
nikah baru. Akibat lain dari fasakh adalah tidak mengurangi bilangan
t}alaq. Hal itu berarti hak suami untuk ment}ala>q istrinya maksimal tiga
kali, tidak berkurang dengan adanya fasakh tersebut.28
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan berdasarkan pasal 73 Kompilasi Hukum Islam adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah dari suami istri
b. Suami atau istri
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan
menurut undang-undang
27 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, 314.
39
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya
cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 67.
C. Qiyas
1. Pengertian Qiya>s
Kata qiya>s secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan).
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi qiya>s yang
dirumuskan ulama, antara lain:
Menurut Ibnu as-Subki, qiya>s adalah:
ُلْعَم ُلََْ
مْوُلْعَم ىَلَع مْو
ِف ِهِتاَسُمِل
ِلِماََا َدْنِع ِهِمْكُح ِةَلِع
Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan
hukumnya.29
Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiya>s adalah:
ُقاََِْإ
رْمَأ
ُرْ يَغ
صْوُصْنَم
َىلَع
ِهِمْكُح
ىِعْرَشلا
رْمَأِب
صْوُصْنَم
ىلع
ِهِمْكُح
اَمِهِكاَِتْشِا
ِف
ِةَلِع
ِمْكَُْا
Menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah
hukum.30
40
Sedangkan menurut ulama ushul, qiya>s adalah menerangkanj
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash.31
Imam Shafi’iy mengatakan ‚setiap peristiwa pasti ada kepastian
hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Tetapi jika ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang
sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiya>s.32
2. Unsur-Unsur Qiya>s
Meskipun definisi di atas berbeda-beda redaksinya, tetapi pada
hakikatnya terdapat kesamaan makna, di mana dalam definisi mereka
terdapat unsur-unsur qiya>s antara lain33:
a. Al-Ashl (Dasar; Pokok)
Al-Ashl yaitu sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan
hukumnya berdasarkan nash, baik nash tersebut berupa al-Quran
maupun sunnah.
b. Al-Far’u (Cabang)
Al-Far’u yaitu masalah yang hendak di qiya>skan yang tidak
ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.
31 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>, tt), 336. 32 Ibid.,
41
c. Hukum Ashl
Hukum ashl yaitu hukum yang terdapat dalam masalah yang
ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik
al-Qur’an maupun sunnah.
d. ‘Illah
‘Illah yaitu suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu
peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari
suatu peristiwa hukum.
3. Macam-Macam Qiya>s
Ditinjau dari segi kekuatan atau lemahnya ‘illah, qiya>s terdiri atas
tiga tingkatan, antara lain34:
a. Qiya>s al-Awla>
Qiya>s al-Awla> adalah suatu qiya>s yang ‘illahnya pada al-far’u
lebih kuat dibandingkan dengan al-ashl, sehingga penerapan
hukum yang terdapat pada ashl lebih utama diterapkan pada
al-far’u. sebagai contoh firman Allah SWT pada surah al-Isra’ (17):
2335:
34 Ibid, 174.
42
Artinya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
‘Illah larangan mengatakan ‚ah‛ kepada kedua orangtua yang
terdapat pada ayat di atas, yang kedudukannya sebagai al-ashl
adalah menyakiti. Sebagai al-far’u, memukul orangtua juga
menyakiti, bahkan sifatnya lebih kuat dan lebih besar daripada
sifat menyakiti yang terdapat pada al-ashl. Oleh karena itu, hukum
larangan menyakiti lebih utama diterapkan pada al-far’u.
b. Qiya>s al-Musa>wi>
Qiya>s al-Musa>wi> adalah suatu qiya>s yang memiliki kekuatan
‘illah yang sama, yang terdapat pada al-ashl dan al-far’u, sehingga
hukumnya juga sama pada al-ashl dan al-far’u. Misalnya firman
Allah SWT pada surah an-Nisa> (4): 10:36
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
43
‘Illah larangan memakan harta anak yatim sebagai al-ashl
pada ayat di atas karena perbuatan itu mergikan anak yatim.
Membakar atau merusak harta anak yatim, sebagai al-far’u uga
melahirkan dampak yang sama. Oleh karena itu perbuatan tersebut
dilarang karena ‘illahnya sama, yaitu sama-sama merugikan anak
yatim.
c. Qiya>s al-Adna>
Qiya>s al-Adna> adalah qiya>s yang ‘illah hukum yang terdapat
pada al-far’u lebih lemah daripada ‘illah yang terdapat pada
al-ashl. Meskipun ‘illah hukumnya lebuh lemah, namun ketentuan
hukum yang terdapat pada al-ashl tetap memenuhi syarat untuk
diterapkan pada al-far’u. Misalnya: menahan harta anak yatim
secara ketat, sehingga mereka menderita kelaparan ketika masih
kecil, meskipun tidak dengan tujuan memilikinya. Perbuatan ini
dilarang karena merugikan anak yatim, meskipun ‘illahnya lebih
lemah dibandingkan dengan ‘illah larangan memakan atau
memiliki harta anak yatim secara penuh yang terdapat pada
al-ashl.37
44
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BLITAR TENTANG
PEMBATALAN PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA WNA
DAN WNI (Nomor: 2492/Pdt.G/2014)
A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Blitar
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Blitar
Pengadilan Agama Blitar terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 42
Kota Blitar, dengan kedudukan antara 7 57-8 9’51 LS dan 111 25’ –
112 20’ BT. Batas wilayah Pengadilan Agama Blitar adalah sebelah
Utara Kecamatan Bakung dan Kecamatan Sukorejo. Sebelah Timur
Kecamatan Kanigoro dan Kecamatan Sanan Wetan. Sebelah Selatan
adalah Kecamatan Binangun dan Kecamatan Wates. Dan sebelah Barat
adalah Kecamatan Doko dan Kecamatan Gandusari.
Pengadilan Agama Blitar terletak pada ketinggian ± 167 meter di
atas permukaan laut. Sebagai aset Negara, Pengadilan Agama Blitar
menempati lahan seluas 1.588 m² dengan luas bangunan 890 m2 yang
terbagi dalam bangunan-bangunan pendukung yakni ruang sidang,
ruang tunggu, ruang pendaftaran perkara dan ruang arsip.
2. Wewenang Pengadilan Agama Blitar
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1993
tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama, ditetapkan bahwa
45
kelas dalam urutan pertama dalam klasifikasi Pengadilan Tingkat
Pertama. Wewenang Pengadilan Agama Blitar ada dua, yaitu:
a. Kewenangan Absolut
Wewenang absolut atau dalam bahasa Belanda disebut
attributie van rechtsmacht merupakan kewenangan yang
menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan Peradilan.1
Wewenang mengadili bidang-bidang perkara ini bersifat mutlak,
artinya apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan yurisdiksi
suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan mutlak baginya
untuk memeriksa dan memutus perkara.2
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:3
a) Perkawinan
b)Waris
c) Wasiat
d)Hibah
e) Wakaf
f) Zakat
g) Infaq
1 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, Cet. VIII, 1997), 11.
2 Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku ke-2, (Edisi 2007), 62.
46
h)Shadaqah dan
i) Ekonomi syari’ah.
Dalam mengadili perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya, Pengadilan Agama harus menganut asas
personalitas keIslaman,4 seperti bunyi pasal 2 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, ‚Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkar tertentu sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang ini‛.5 Artinya bahwa pihak-pihak yang
berperkara harus sama-sama beragama Islam atau pada saat terjadi
hubungan hukum, kedua belah pihak sama-sama beragama Islam.
Adapun sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama, dalam
hal ini Pengadilan Agama Blitar mempunyai kewenangan absolut
yang sama, yang pada pokoknya ada Sembilan perkara, yaitu:
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syariah.
b. Kewenangan Relatif
Pengadilan Agama Blitar membawahi 20 kecamatan antara
lain: kecamatan Kepanjen Kidul terdiri dari 7 desa, Sanan Wetan
terdiri dari 7 desa, Sukorejo terdiri dari 5 desa, Bakung terdiri dari
47
11 desa, Binangun terdiri dari 12 desa, Doko tersiri dari 10 desa,
Gandusari terdiri dari 14 desa, Garum terdiri dari 9 desa,
Kademangan terdiri dari 15 desa, Kanigoro terdiri dari 12 desa,
Kesamben terdiri dari 10 desa, Nglegok terdiri dari 11 desa,
Panggungrejo terdiri dari 10 desa, Ponggok terdiri dari 15 desa,
Sanan Kulon terdiri dari 12 desa, Selopuro terdiri dari 8 desa,
Selorejo terdiri dari 10 desa, Srengat terdiri dari 16 desa,
Sutojayan terdiri dari 11 desa, Talun terdiri dari 14 desa, dan
beberapa kecamatan lainnya.
Adapun beberapa desa yang dibawahinya antara lain:
1. Kecamatan Kepanjen Kidul terdiri dari 7 desa, yaitu:
a. Sentul b. Ngadirejo
c. Tanggung d. Bendo
e. Kauman f. Kepanjen Kidul
48
2. Kecamatan Sanan Wetan terdiri dari 7 desa, yaitu:
3. Kecamatan Sukorejo terdiri dari 5 desa, yaitu:
4. Kecamatan Bakung terdiri dari 11 desa, yaitu:
a. Sumberdadi b. Tumpakoyot
c. Bakung d. Pulerejo
e. Bululawang f. Sumberdadi
g. Kedungbanteng h. Tumpakkepuh
i. Ngrejo j. Plandirejo
k. Lorejo
a. Bendogerit b. Gedog
c. Plosokerep d. Karang Tengah
e. Rembang f. Sanan Wetan
g. Klampok
a. Sukorejo b. Karang Sari
c. Pakunden d. Tanjung Sari
49
5. Kecamatan Binangun terdiri dari 12 desa, yaitu:
3. Landasan Hukum Pengadilan Agama Blitar
Adapun landasan hukum yang menjadi ketentuan-ketentuan
sebagai aturan dan pedoman bagi Pengadilan Agama adalah:
a. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB-HIR).
b. UU No. 20 Tahun 1974 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan
Madura.
c. UU No. 14 Tahun 1970 yang dirubah dengan UU No. 4 Tahun
2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
e. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
a. Umbul Damar b. Tawang Rejo
c. Sumber Kembar d. Sukorame
e. Sambigede f. Salamrejo
g. Rejoso h. Ngembul
i. Ngadri j. Kedungwungu
50
f. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974.
g. UU No. 7 Tahun 1989 dengan perubahannya UU No. 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama.
h. Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Jo. Keputusan Menteri Agama RI
No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
i. Keputusan Ketua RI No. KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24
Januari 1991 tentang Pola Pembinaan dan Pengadilan
Administrasi (BINDALMIN) Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
j. Keputusan Menteri Agama RI No. 303 Tahun 1990 tentang
Sususnan Organisasi dan Tata Keja Kesekretariatan
Pengadilan Agama RI No. 589 Tahun 1999 tentang Penetapan
Kelas dan Kesekretariatan Pengadilan Agama.
k. Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/006/SK/III/1994
tentang Pengawasan dan Evaluasi Atas Hasil Pengawasan oleh
Pengadilan Tingkat Bnading dan Pengadilan Tingkat Pertama,
Jo. Keputusan Menteri Agama RI No. 120 Tahun 1995 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat di Lingkungan
51
l. Keputusan Menteri Agama RI No. KMA/007/SK/IV/1994
tentang memberlakukan Buku I dan Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.
m. Keputusan Menteri Agama RI No. 81 Tahun 1994 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kea