• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implikasi Penerapan BLU

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-42)

Analisis implikasi penerapan BLU menuju pengelolaan TN Mandiri yang berkelanjutan dilaksanakan melalui analisis deskriptif dan analisis isi dengan memperhatikan hasil kajian terhadap tujuan pertama dan hasil kajian terhadap tujuan kedua. Implikasi penerapan model BLU menuju pengelolaan TN Mandiri diantaranya akan merumuskan pola tata kelola dan struktur organisasi TN yang sesuai dengan model BLU.

5.3.1. Beberapa Permasalahan yang Ditemukan

Beberapa permasalahan yang ditemukan selama pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

a. TN tidak memiliki tupoksi melaksanakan dan mengembangkan bisnis sehingga struktur organisasi TN tidak memiliki pejabat yang bertanggung jawab dalam mengelola bisnis dan tidak fokus melaksanakan bisnis. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala Bidang Teknis BBTN BTS, Emy Endah Suwarni dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha BTNK Heru Rudiharto, yang menyatakan perlunya penambahan SDM bagi TN untuk melaksanakan bisnis. Menurut Stoner et al. (1996), pengorganisasian adalah proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi, sehingga sasaran organisasi dapat tercapai. Menurut hasil wawancara dengan pihak Putri Naga Komodo (PNK), selaku pemegang Ijin Pemanfaatan Pariwisata Alam (IPPA) pada Balai TN Komodo, yaitu dengan Bapak Mulyana, pimpinan PNK menyatakan jika TN melaksanakan bisnis, maka akan terjadi conflict of interest dan beliau berpendapat TN sebaiknya

meningkatkan kinerja tupoksi yang sekarang dan menyerahkan urusan bisnis kepada pihak ketiga. TN yang berupaya melaksanakan bisnis akan berperan sebagai operator dan juga regulator dan tupoksi tersebut menjadi semakin berat. Menurut Mulyana, kerjasama bisnis dengan pihak ketiga dapat meringankan TN dalam melaksanakan tupoksinya. Berbeda dengan Bapak Mulyana, Manager pemegang IPPA Bromo Permai pada BBTN BTS, Indra, menyatakan tidak keberatan dengan rencana penerapan bisnis pada BBTN BTS tetapi menyarankan pengaturan produk yang dijual sehingga tidak terjadi persaingan antara sesama pelaku bisnis.

b. Kecilnya pendapatan karena rendahnya tarif PNBP dan belum optimalnya pengawasan terhadap sumber-sumber pendapatan. Tarif masuk kawasan untuk wisatawan domestik hanya Rp. 2.500,- dan tarif masuk untuk wisatawan asing hanya Rp. 20.000,-. Jika tarif masuk dapat ditetapkan minimal sama dengan biaya per unit layanan, maka potensi pendapatan akan semakin besar. Belum optimalnya pengawasan juga menjadi salah satu kendala tidak optimalnya pendapatan. Komposisi jumlah penerimaan berdasarkan jenis pungutan pada BTNK dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Realisasi PNBP BTNK berdasarkan jenis pungutan tahun 2011

No Jenis Pungutan Volume/Banyak Total Per Tahun

1 Pengunjung 47.268 838.120.000 2 Shooting Film/Video 31 67.000.000 3 Menyelam/Diving 10.201 759.700.000 4 Snorkling 2.826 166.680.000 5 Handycame 857 120.585.000 6 Kamera Foto 18.685 867.470.000 7 Penelitian (1-6 Bulan) 1 400.000 8 Kano 4 100.000 9 Kendaraan Air 0-40 PK 41-80 PK 81 PK Ke atas 2.145 80 585 107.250.000 6.000.000 58.200.000 JUMLAH 82.680 2.991.505.000

Sebagai contoh adalah pengawasan kegiatan snorkeling dan diving pada BTNK di mana kegiatan tersebut memiliki tarif per jam layanan tetapi karena kekurangan SDM pengawas pada titik-titik snorkeling dan diving maka sejumlah besar potensi pendapatan hilang. Seperti terlihat pada Tabel 30, dari 47.268 pengunjung, jumlah snorkling hanya 2.862 dan jumlah kamera hanya

18.685. Jika kegiatan snorkling dapat ditingkatkan 10 kali lipat maka potensi pendapatan dari snorkling melebihi 1,6 milyar rupiah. Demikian juga dengan pungutan kamera foto, jika jumlah kamera foto dapat ditingkatkan 2 kali lipat maka potensi penambahan pendapatan lebih dari 1,7 milyar rupiah.

c. Walaupun penelitian ini tidak mengkaji Persyaratan Administrasi dalam penetapan BLU, namun persyaratan administrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mengkaji persyaratan substantif dan teknis. Beberapa permasalahan yang ditemui terkait dengan permasalahan administrasi diantaranya adalah pada dua satker yang di teliti yaitu BBTN BTS dan BTNK menggunakan format penulisan dan substansi penulisan yang berbeda dalam penyusunan Rencana Strategi Bisnis dan menggunakan asumsi yang berbeda. Penetapan tarif misalnya, pada BBTN BTS menggunakan tarif sesuai dengan PP No. 59 tahun 1998 tentang Tarif Jasa Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, sementara pada BTNK tidak sepenuhnya menggunakannya. Hal lainnya adalah perhitungan biaya, pada Renstra Bisnis BLU BTNK biaya telah diperhitungkan, sementara pada BBTN BTS belum diperhitungkan. Penyusunan Renstra Bisnis ini perlu peyempurnaan guna mendukung pemenuhan persyaratan BLU terutama persyaratan teknisnya. Permasalahan lainnya terkait persyaratan administrasi adalah terkendalanya pemenuhan persyaratan administrasi seperti penyusunan Rencana Strategi Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran, penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan penyusunan Pola Tata Kelola.

d. Instansi Pembina di pusat tidak memiliki tupoksi pembinaan BLU, sehingga upaya pencapaian pembentukan BLU menjadi terhambat. Instansi Pembina BLU ini penting keberadaaannya dalam mensukseskan pembentukan BLU. Permasalahan ini berdampak minimnya alokasi sumber daya terhadap perwujudan satker BLU baik dalam hal sumberdaya manusia, metode dan anggaran yang berkaitan dengan BLU. Bahkan sampai dengan bulan Juni tahun 2012 belum ada realisasi anggaran terkait BLU pada instansi Pembina di pusat. Padahal perwujudan persiapan BLU merupakan salah satu indikator kinerja utama (IKU) Kementerian Kehutanan Tahun 2012 seperti yang tertulis pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.57/Menhut-II/2011

tanggal 14 Juli 2011 tentang Rencana Kerja (Renja) Kementerian Kehutanan 2012. Menurut hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan PK-BLU III C Direktorat Pembinaan PK-BLU, Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan, Bapak Wahyu Joko Susilo, meyatakan bahwa salah satu permasalahan yang terjadi terhadap kegagalan peningkatan kinerja satker BLU adalah instansi Pembina Pusat lepas tangan terhadap satker sehingga satker BLU tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan meningkatkan kinerja layanannya. Kesatuan gerak dan sinergitas antara satker BLU dan instansi Pembina merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan keberhasilan pembentukan BLU. Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Teknis BBTN BTS, Emy Endah Suwarni menyatakan bahwa persiapan pembentukan BLU BBTN BTS saat ini tinggal menunggu arahan dari pusat di mana masing-masing satker telah mengalokasikan anggaran Persiapan Pembentukan BLU namun terkendala belum optimalnya arahan dari pusat. Hasil wawancara dengan Kepala Balai TNK Sustyo Iriono dan Kepala Balai Besar TN BTS Ayu Dewi Utari yang menyatakan bahwa perangkat organisasi pada satkernya siap melaksanakan PK-BLU.

5.3.2. Langkah-langkah Penerapan PK-BLU dan Implikasinya

Berdasarkan hasil analisis dan tinjauan permasalahan yang telah disebutkan di atas maka langkah-langkah yang dapat ditempuh adalalah sebagai berikut : a. Penambahan tupoksi pengembangan bisnis pada satker (UPT TN) BLU yaitu

revisi pada P.03/Menhut-II/2007 dan penyesuaian struktur organisasi dan tata kelolanya. Sesuai dengan Permenpan Nomor : PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan Kerja di Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan PPK-BLU menyatakan bahwa pembagian unit organisasi harus memperhatikan sifat pekerjaan dalam organisasi dalam arti mendukung terwujudnya institutional coherence, namum tugas-tugas yang bersesuaian tidak perlu dipecah-pecah ke dalam beberapa unit.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Biro Perum Perhutani Unit III, Ir. Lies Bahunta, MSc pada awalnya Perum Perhutani juga tidak memiliki unit bisnis, namun karena pelaksanaan bisnis menjadi tidak fokus maka dibentuklah Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) di bawah Kepala Unit. KBM

dipimpin oleh seorang General Manager. Struktur organisasi KBM berkembang dinamis sesuai kebutuhan organisasi dan setelah terbentuknya KBM, pendapatan menjadi meningkat secara signifikan yaitu Rp 9.031.402.828,- pada tahun 2007, meningkat sampai dengan Rp. 34.653.151.408,- pada tahun 2011 atau terjadi peningkatan pendapat sebesar hampir 400%.

Untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang baru maka perlu peningkatan kapasitas SDM melalui Pelatihan-Pelatihan, Penambahan Jumlah maupun perekrutan tenaga lepas. Berdasarkan hasil wawancara dengan General Manager KBM Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Bapak Slamet, kekurangan tenaga juga terjadi pada unit kerjanya terutama untuk tenaga pemasaran. Hal ini diatasi dengan merekrut tenaga lepas yang handal dan terus melaksanakan pelatihan-pelatihan dan penyegaran. Menurut Osborne et al (1996), pemerintahan dan bisnis adalah lembaga yang berbeda secara mendasar. Pemerintah tidak bisa meraih efisiensi pasar seperti bisnis. Kenyataan bahwa pemerintah tidak dapat dijalankan seperti sebuah bisnis tentu saja tidak berarti bahwa pemerintah tidak bisa mewirausaha. Pemerintah yang berwirausaha dapat menjadi pemerintahan yang lebih baik namun membutuhkan keahlian yang lebih baik.

b. Untuk meningkatkan kinerja keuangan perlu dilakukan optimalisasi pendapatan dan efisiensi biaya (Tabel 31). Optimalisasi pendapatan dilakukan pada tupoksi yang direncanakan menghasilkan pendapatan dengan mengoptimalkan pengawasan pada sumber-sumber pendapatan, penyesuaian tarif berdasarkan hasil survey kesediaan membayar bagi TN yang berpotensi untuk diterapkannya PK-BLU secara berkala guna mendukung penyesuaian tarif sesuai biaya per unit layanan serta efisiensi pada sumber-sumber biaya (Tabel 31). Menurut Walpole et al. (2000), kesediaan membayar wisatawan mancanegara (willingness to pay (WTP)) pada tiket masuk ke TN Komodo dapat mencapai nilai tertinggi yaitu USD 32 atau setara dengan Rp. 304.000,- dengan asumsi kurs 1 USD = Rp. 9.500,-

Tabel 31 Strategi peningkatan kinerja keuangan TN dengan PPK-BLU

No. Tupoksi Strategi

1 Penataan Zonasi, Penyusunan Rencana Kegiatan, Pemantauan Evaluasi Pengelolaan Kawasan TN

Efisiensi Biaya

2 Pengelolaan Kawasan TN Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan 3 Penyidikan, Perlindungan, dan

Pengamanan Kawasan TN

Efisiensi Biaya 4 Pengendalian Kebakaran Hutan Efisiensi Biaya

5 Promosi, Informasi KSDAHE Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan 6 Pengembangan Bina Cinta Alam

serta Penyuluhan KSDAHE

Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan 7 Kerjasama Pengembangan

KSDAHE

Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan 8 Pemberdayaan Masyarakat Sekitar

Kawasan TN

Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan 9 Pengembangan dan Pemanfaatan

Jasa Lingkungan dan Pariwisata Alam

Efisiensi Biaya dan Optimalisasi Pendapatan

10 Pelaksanaan TURT Efisiensi Biaya

c. Kerjasama dengan pihak ketiga baik tenaga ahli dan konsultan dalam Pemenuhan Persyaratan Administrasi seperti penyusunan Rencana Strategis Bisnis, Rencana Bisnis dan Anggaran, pembuatan SPM dan penyusunan Pola Tata Kelola. Berdasarkan hasil wawancara dengan General Manager KBM Jasa Lingkungan dan Produk LainnyaPerum Perhutani Unit III Slamet Winarto, Penyusunan Master Plan KBM dilakukan oleh pihak ketiga sehingga memungkinkan hasil yang lebih baik. Menurut Basuni (2009), manajemen kawasan hutan konservasi menjadi lebih kompleks sejalan dengan munculnya konsep biodiversitas yang mencakup level genetik, species dan ekosistem bahkan lanskap-lanskap. Implementasi konsep ini tentu saja membawa implikasi pada semakin banyaknya macam obyek dan aktivitas konservasi serta semakin perlu untuk melibatkan banyak profesional yang berlainan dari banyak bidang keahlian yang berbeda yang bekerja ke arah tujuan yang sama yaitu konservasi biodiversitas dalam kawasan hutan konservasi.

d. Optimalisasi alokasi sumber daya pada instansi Pembina pusat baik dalam hal sumberdaya manusia, metode dan anggaran yang berkaitan dengan BLU guna mendukung perwujudan satker BLU.

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-42)

Dokumen terkait