• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Integrasi Pasar Beberapa Sentra Kakao Indonesia dan Dunia

IMC 0.5694 Berdasarkan pengujian hipotesis segmentasi pasar, terbukti bahwa pasar

6.2 Analisis Integrasi Pasar Beberapa Sentra Kakao Indonesia dan Dunia

Data yang digunakan dalam melakukan analisis integrasi pasar antara beberapa sentra kakao di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah data harga bulanan kakao di masing-masing propinsi tersebut dan harga kakao bulanan di dunia dari tahun 2000-2005 (Lampiran 3). Integrasi pasar di beberapa sentra utama kakao Indonesia perlu diteliti pula untuk melihat apakah setiap perubahan harga yang terjadi di dunia akan langsung diteruskan ke sentra-sentra kakao di Indonesia Hasil regresi integrasi pasar masing-masing sentra kakao di Indonesia dan dunia tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara terhadap Dunia

Variabel Bebas Pasaar Lokal Pasar Acuan Kons- tanta Pit−1 PtPt−1 Pt−1 R2 (persen) DW (d) F- hitung Sumut Dunia 48 (0.848) 0.954 (0.000) 0.185 (0.796) 0.360 (0.157) 95.7 1.630 0 493.62 (0.000) Sulsel Dunia 209 (0.240) 0.853 (0.000) 2.10 (0.000) 0.983 (0.004) 97.1 1.529 9 745.78 (0.000) Sulteng Dunia 146 (0.619) 0.817 (0.000) 1.01 (0.231) 1.37 (0.000) 93.2 1.737 8 307.51 (0.000) Sultra Dunia -334 (0.250) 0.815 (0.000) 2.87 (0.002) 1.73 (0.000) 94.3 1.921 8 371.11 (0.000) Keterangan : Angka di dalam kurung adalah nilai P-value, Sumut: Sumatera Utara, Sulsel:

Sulawesi Selatan, Sulteng: Sulawesi Tengah, Sultra: Sulawesi Tenggara

Melalui nilai koefisien regresi tersebut dapat dilakukan analisis integrasi pasar, dengan ringkasan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Analisis Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dengan Dunia

Segmentasi Pasar Integrasi Jangka Pendek

0

2 =

b b2 =1 1+b1 =0

Sentra

Kakao t-hitung t-tabel t-hitung t-tabel t-hitung t-tabel

IMC 0.259 1.960 1.140 1.960 1.43 1.960

Sumut Terima Ho

(tersegmentasi)

Terima kedua Ho (terintegrasi) 0.954*

4.06 1.960 2.125 1.960 2.965 1.960

Sulsel Tolak Ho (tidak tersegmentasi)

Tolak kedua Ho (tidak terintegrasi) 0.868

1.21 1.960 0.012 1.960 3.69 1.960

Sulteng Terima Ho

(tersegmentasi)

Hanya satu Ho yang diterima (tidak terintegrasi) 0.596 3.26 1.960 2.125 1.960 3.70 1.960 Sultra Tolak Ho (tidak tersegmentasi)

Tolak kedua Ho (tidak terintegrasi) 0.471 * tidak signifikan pada taraf nyata lima persen sehingga tidak digunakan dalam

perhitungan IMC ) (b3b1

Pada wilayah Sumatera Utara, hasil estimasi koefisien (1+b1)sebesar 0,954 artinya peningkatan harga kakao bulan lalu sebesar Rp 100/kg , ceteris paribus, akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Pasar Sumatera Utara sebesar Rp

95/kg. Dengan demikian pengaruh variabel ini terhadap pembentukan harga kakao di Sumatera Utara adalah sebesar 95 persen.

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 95,7 persen artinya sebesar 95,7 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sumatera Utara, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 4,3 persen dijelaskan oleh error. Pengujian autokorelasi melalui nilai Durbin Watson statistik (d) menunjukkan bahwa ada tidaknya autokorelasi tidak dapat disimpulkan (inconclusive) karena dl <d <du. Adapun nilai

dan 543 . 1 525 .

1 <dl< 1.703<du <1.709. Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar antara pasar kakao Sumatera Utara dan dunia (Lampiran 11) terlihat bahwa pasar ini tersegmentasi dengan dunia. Artinya perubahan harga kakao di dunia tidak mempunyai pengaruh terhadap harga kakao di wilayah ini. Di sisi lain, melalui hasil pengujian hipotesis integrasi jangka pendek, ternyata antara Sumatera Utara dan dunia terintegrasi secara penuh dalam jangka pendek. Artinya perubahan harga kakao di dunia akan langsung dan secara utuh diteruskan pada harga kakao di Sumatera Utara.

Merujuk pada variabel yang secara signifikan mempengaruhi harga kakao di Sumatera Utara, maka variabel harga kakao bulan sebelumnyalah yang berpengaruh terhadap pembentukan harga kakao di Sumatera Utara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan harga kakao di dunia yang ditransmisikan secara langsung dan utuh tersebut akan mempengaruhi harga

kakao yang akan diterima produsen dan pada akhirnya mempengaruhi pembentukan harga kakao pada waktu tertentu di propinsi ini.

Hasil uji signifikansi variabel di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa koefisien yang secara signifikan mempengaruhi harga kakao di Sulawesi Selatan

adalah , , . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga

kakao di wilayah ini tidak hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan lalu di Sulawesi Selatan, namun dipengaruhi juga oleh perubahan harga kakao di dunia dan harga kakao dunia bulan sebelumnya.

) 1

( +b1 b2 (b3−b1)

Hasil estimasi koefisien (1+b1)sebesar 0,853 berarti besarnya peningkatan harga kakao bulan lalu sebesar Rp 100/kg akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Pasar Sulawesi Selatan sebesar Rp 85/kg, ceteris paribus. Sehingga pengaruh variabel ini terhadap pembentukan harga kakao di Sulawesi Selatan adalah sebesar 85 persen. Koefisien sebesar 2,1 artinya perubahan harga kakao di dunia akan berpengaruh sekitar 210 persen terhadap pembentukan harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan. Nilai koefisien

2 b

)

(b3b1 sebesar 0,983 artinya harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan sebesar 98 persen.

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 97,1 persen artinya bahwa sebesar 97,1 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Selatan, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 2,9 persen dijelaskan oleh error. Pengujian autokorelasi melalui nilai Durbin Watson statistik (d) menunjukkan bahwa ada tidaknya autokorelasi tidak dapat disimpulkan (inconclusive) karena dl <d <du. Adapun nilai

543 . 1 525

.

1 <dl< dan 1.703<du <1.709. Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Selatan.

Analisis integrasi pasar yang dilakukan terhadap propinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pasar ini tidak tersegmentasi dan tidak terintegrasi dengan dunia (Lampiran 12). Artinya harga yang terbentuk di wilayah ini dipengaruhi oleh perubahan harga kakao dunia, namun perubahan tersebut tidak langsung dan utuh ditransmisikan untuk membentuk harga kakao yang baru. Namun demikian pada propinsi ini perubahan harga kakao yang terjadi di dunia sangat dominan dalam mempengaruhi pembentukan harga kakao di Sulawesi Selatan. Hal ini mungkin saja terjadi, meskipun pasar tidak terhubung dalam jangka pendek, namun dengan kekuatan ekonomi yang ada (misalnya kekuatan penawaran yang lebih besar akan membuat posisi harga produsen untuk menentukan harga lebih besar dengan merujuk pada informasi yang ada), akan membuat perubahan harga kakao dunia direfleksikan dan mempengaruhi harga kakao di propinsi ini.

Sulawesi Tengah pembentukan harga kakaonya hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di wilayah ini dan harga kakao dunia bulan sebelumnya. Hal ini dikarenakan hanya koefisien (1+b1)dan saja yang secara signifikan mempengaruhi variabel bebasnya.

) (b3b1

Hasil estimasi koefisien (1+b1) sebesar 0,817 menunjukkan bahwa peningkatan harga bulan lalu sebesar Rp 100/kg akan meningkatkan harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah sebesar Rp 82/kg. Dengan kata lain pengaruh variable ini adalah sebesar 82 persen, ceteris paribus. Nilai koefisien

)

(b3b1 sebesar 1,37 artinya harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah sebesar 137 persen.

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 93,2 persen artinya bahwa sebesar 93,2 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Tengah, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 6,8 persen dijelaskan oleh error. Uji autokorelasi melalui Durbin Watson Statistik menunjukkan bahwa karena maka dapat simpulkan tidak

terjadi autokorelasi di dalamnya. Adapun nilai dan

. Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tengah.

du d > 543 . 1 525 . 1 <dl< 709 . 1 703 . 1 <du<

Hasil analisis integrasi di Propinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa pasar kakao di wilayah ini tersegmentasi dari pasar dunia dan tidak terintegrasi secara penuh dengan pasar dunia (Lampiran 13). Besarnya perubahan harga yang terjadi di pasar internasional hanya akan ditransmisikan tetapi tidak secara langsung. Pedagang akan menunggu agar harga menjadi stabil terlebih dahulu baru kemudian meneruskannya ke pasar lokal.

Tidak berbeda jauh dengan Sulawesi Selatan, harga kakao di Sulawesi Tenggara pun dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di wilayah ini dan dunia serta dipengaruhi pula oleh perubahan harga kakao di dunia. Hasil estimasi koefisien sebesar 0,815 artinya peningkatan harga kakao bulan sebelumnya di wilayah ini akan menyebabkan peningkatan harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara sekitar Rp 82/kg. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel ini

) 1 ( +b1

terhadap pembentukan harga kakao di Sulawesi Tenggara adalah sebesar 82 persen.

Nilai koefisien sebesar 2,87 artinya perubahan harga kakao dunia akan berpengaruh sebesar 287 persen terhadap pembentukan harga di Sulawesi Tenggara, ceteris paribus. Nilai koefisien

2 b

)

(b3b1 sebesar 1,73 mengindikasikan bahwa harga kakao bulan lalu di dunia berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara sebesar 173 persen.

Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 94,3 persen artinya bahwa sebesar 94,3 persen variasi dari harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara dapat dijelaskan oleh variabel harga kakao bulan sebelumnya di Sulawesi Tenggara, perubahan harga kakao di pasar dunia, dan harga kakao bulan sebelumnya di pasar dunia serta sisanya sebesar 5,7 persen dijelaskan oleh error. Uji autokorelasi

melalui Durbin Watson Statistik menunjukkan bahwa karena maka dapat

simpulkan tidak terjadi autokorelasi di dalamnya. Adapun nilai

dan . Selain itu melalui goodness of fit (uji F) dapat

disimpulkan bahwa paling tidak terdapat satu variabel yang berpengaruh terhadap harga kakao bulan ini di Sulawesi Tenggara.

du d > 543 . 1 525 . 1 <dl < 709 . 1 703 . 1 <du<

Pasar kakao di Sulawesi Tenggara berdasarkan hasil analisis integrasi pasar pada Lampiran 14, mengindikasikan bahwa antara pasar kakao di Sulawesi Tenggara dan dunia tidak tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Artinya pembentukan harga kakao di pasar ini mengacu pada harga kakao di dunia dengan memperhatikan perubahan harga yang terjadi di pasar dunia. Akan tetapi adanya informasi perubahan tersebut tidak akan langsung diteruskan oleh pedagang ke pasar lokal.

Keadaan tersegmetasinya wilayah Indonesia dan beberapa sentra kakao di dalam negeri (Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah) disebabkan oleh adanya sistem kontrak (resi guna) yang dilakukan oleh eksportir di dalam negeri dengan perusahaan induk di negara tujuan ekspor. Dengan demikian berapapun perubahan harga kakao di dunia, tidak akan mempengaruhi harga kakao dalam negeri. Informasi ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pihak ASKINDO.

Kontrak tersebut memuat perjanjian tentang volume dan harga kakao yang diperjualbelikan serta waktu pengirimannya. Waktu kontrak umumnya antara satu sampai dua bulan. Harga kakao ditetapkan pada saat penandatanganan kontrak, mengacu pada harga yang berlaku pada saat itu di dunia. Namun kenyataannya, harga tersebut tidak percis sama dengan harga di dunia karena diantara pihak- pihak tersebut terjadi negosiasi diskonto.

Meskipun di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara terdapat beberapa eksportir yang sudah terikat kontrak, namun karena eksportir di kedua wilayah ini seringkali melakukan ekspor langsung dari pelabuhannya masing- masing (Pelabuhan Makassar dan Pelabuhan Kolaka) tanpa melalui Singapura maka harga kakao di kedua wilayah ini dipengaruhi oleh perubahan harga dunia.

Pada sisi yang berbeda, penalti atau automatic detention yang dikenakan atas kakao Indonesia seringkali membuat harga kakao di dalam negeri berbeda dengan harga kakao yang berlaku di dunia. Penalti tersebut dikenakan karena mutu kakao yang dihasilkan masih rendah. Dengan demikian harga kakao yang terbentuk di dalam negeri lebih dipengaruhi oleh kualitas kakao yang dihasilkan dari pada oleh perubahan harga yang terjadi di dunia.

Tidak terintegrasinya Indonesia dan sebagian besar sentra kakao Indonesia (kecuali Sumatera Utara) dalam jangka pendek dikarenakan jauhnya jarak untuk mengakses informasi harga dunia ke London Cocoa Terinal Market dan New York Board of Trade. Meskipun saat ini akses informasi tersebut dilakukan dengan menggunakan telepon, namun karena mahalnya biaya tersebut maka ekportir tidak dapat memantau perubahan harga yang terjadi secara terus-menerus. Pedagang akan menunggu hingga kondisi harga stabil baru meneruskannya perubahan tersebut ke pedagang yang ada di bawahnya. Khusus untuk Sumatera Utara karena di wilayah ini terdapat perkebunan milik negara (PTPN), maka akses informasi lebih mudah untuk dilakukan.

Nilai IMC untuk semua sentra kakao tersebut kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pasar kakao di wilayah-wilayah tersebut mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan pasar kakao dunia. Akan tetapi wilayah Sulawesi Tenggara ternyata memiliki hubungan dengan pasar dunia yang lebih dekat, karena nilai IMC lebih dekat dengan nol.

Adanya rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kakao tentunya akan menimbulkan berbagai dampak. Meskipun kebijakan ini baru berada pada tahap perencanaan, namun berbagai polemik yang timbul dibalik perlu atau tidaknya menerapkan kebijakan ini memerlukan analisis tersendiri terhadap permasalahan ini.

Penerapan pungutan ekspor, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, akan meningkatkan harga ekspor kakao Indonesia namun di sisi lain akan menurunkan harga yang diterima oleh eksportir Indonesia dan pada akhirnya akan menyebabkan harga yang diterima oleh produsen kakao (petani) menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Adapun pengurangan harga yang diterima petani akibat adanya pungutan ekspor dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Formulasi Harga Kakao Apabila Memperhitungkan Pungutan Eskpor dengan Menggunakan Perhitungan Versi ASKINDO.

Rincian Tanpa Pungutan

Ekspor (PE)

Dengan Pungutan Ekspor (PE)

a. Harga dunia (NYBOT) 1.501 US$/mt 1.501 US$/mt

b. Penalti 250 US$/mt 250 US$/mt

d. Harga yang diterima eksportir (FOB) 1.251 US$/mt (1.251 US$/kg – t)

e. Cost & margin (eksportir) 50 US$/mt 50 US$/mt

f. Harga kakao 1201 US$/mt (1201 US$/mt – t)

g. Harga kakao pedagang* 10.448,7/kg (10.448,7/kg – t)

h. Harga kakao (petani) setelah dikurangi PPh 0.5 persen

10.396/kg (10.396/kg – t)

*

Berdasarkan kurs 1 US$ = Rp 8700

Diasumsikan harga kakao dunia tetap, baik sebelum maupun sesudah adanya pungutan ekspor, untuk memudahkan perhitungan. Adanya pungutan ekspor ini (sebesar t) ternyata akan dibebankan ke petani sehingga mengakibatkan harga kakao di dalam negeri tidak memiliki pola yang sama dengan harga dunia.

Di satu sisi, harga kakao dunia tetap (tidak terjadi perubahan), namun harga kakao di dalam negeri menurun. Perbedaan pola tersebut menunjukkan bahwa antara pasar kakao dunia dengan dalam negeri tidak terintegrasi.

Dengan kondisi pasar kakao di dalam negeri yang sudah tidak terintegrasi maka adanya pungutan ekspor ini akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri semakin jauh dari dunia dan semakin tidak terintegrasi. Begitu pula halnya dengan ketiga wilayah lainnya, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang memiliki kondisi pasar yang sudah tidak terintegrasi sebelum adanya pungutan ekspor.

Untuk wilayah Sumatera Utara, perkebunan kakao tidak hanya dimiliki oleh smallholders saja namun juga oleh perkebunan negara dengan luas wilayah yang cukup besar. Untuk perkebunan kakao yang dikelola oleh negara, tentunya formulasi harga yang ditampilkan pada Tabel 13 tidak berlaku karena dalam tataniaganya tidak melibatkan pedagang perantara. Selain itu pemerintah bertindak sebagai eksportir sekaligus sebagai pemilik dari perkebunan (produsen). Dengan demikian pungutan ekspor akan ditanggung sendiri oleh perusahaan perkebunan negara dan harga produsen di dalam negeri yang terjadi adalah sebesar 1.251 US$/kg – t. Kondisi Sumatera Utara ini mengakibatkan harga kakao dunia dan dalam negeri memiliki pola yang berbeda namun perbedaan tersebut tidak akan terlalu jauh, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara (di ketiga wilayah tersebut harga yang diterima produsen adalah sebesar 10.396/kg – t).

Kebijakan pungutan ekspor ini ternyata tidak hanya berdampak pada integrasi pasar kakao saja tetapi mempunyai implikasi lain. Pertama, adanya

pungutan ekspor akan membuat daya saing Indonesia di dunia dalam ekspor kakao melemah. Tanpa dilakukannya perbaikan kualitas kakao Indonesia, maka kenaikan harga ekspor kakao Indonesia, akibat adanya pungutan ekspor, akan membuat importir kakao Indonesia beralih pada eksportir kakao lainnya yang menjadi saingan Indonesia (seperti Pantai Gading dan Ghana). Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut cukup dikenal akan kualitas biji kakaonya.

Kedua, penurunan harga yang akan diterima produsen kakao akibat penerapan pungutan ekspor kakao ini akan menurunkan pendapatan yang diperoleh petani. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam sistem tataniaga kakao di Indonesia (Lampiran 15) besarnya margin yang ditetapkan pedagang biasanya tetap (untuk eksportir adalah sebesar 50 US$/mt). Apabila rantai distribusi untuk sampai ke tangan eksportir semakin panjang, maka semakin besar bagian petani yang akan hilang. Hal ini disebabkan ada biaya tambahan akibat pungutan tersebut akan dibebankan pada petani. Padahal selama ini telah cukup banyak komponen biaya yang dibebankan kepada petani, contohnya pungutan Pemda Rp50/kg, PPh 0.5 persen, PPN dan biaya ekspedisi dari gudang-pelabuhan Rp200/kg.

Ketiga, bagi pedagang (eksportir) adanya kebijakan ini tidak akan begitu berpengaruh. Pihak ini hanya akan menyesuaikan harga beli kakao di tingkat petani jika terjadi kenaikan harga jual kakao ekspor. Selain itu, adanya kebijakan ini akan menyebabkan terjadinya penyelundupan kakao ke negara lain akibat adanya biaya pungutan dalam melakukan ekspor.

Keempat, adanya penerapan pungutan ekspor kakao akan menyebabkan pihak industri lebih terjamin dalam memperoleh input untuk produksi cokelatnya

karena selama ini pedagang lebih memilih untuk melakukan ekspor akibat kebijakan PPN 10 persen atas biji kakao. Akan tetapi dengan kondisi kualitas biji kakao olahan dalam negeri yang masih rendah, tidak dapat dijamin apakah industri akan beralih menggunakan kakao dalam negeri sebagai input dalam proses produksinya. Dan apabila kebijakan PPN 10 persen atas komoditas primer jadi akan dicabut, maka penerapan pungutan ekspor dapat menjadi alternatif pendapatan bukan pajak bagi pemerintah.

8.1 Kesimpulan

Harga kakao dunia yang berfluktuasi turut membuat berfluktuasinya harga kakao dalam negeri. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pembentukan harga kakao di dunia terhadap harga kakao di dalam negeri serta apakah suatu pasar tersegmentasi atau terintegrasi, maka dilakukan analisis integrasi pasar kakao antara dunia dan dalam negeri serta di beberapa sentra kakao Indonesia (Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah dan Sulawesi Tenggara).

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar, secara umum dapat disimpulkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Dengan demikian harga yang terbentuk di dalam negeri tidak dipengaruhi oleh perubahan harga kakao di dunia dan perubahan ini tidak langsung diteruskan ke pasar dalam negeri. Pembentukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di pasar domestik (pengaruhnya sebesar 71 persen) dan dipengaruhi pula oleh harga bulan sebelumnya di dunia.

Selain itu terlihat pula bahwa Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara kondisi pasarnya tidak tersegmentasi dengan dunia. Oleh karena itu harga kakao dikedua propinsi ini dipengaruhi oleh perubahan harga di dunia, dimana pengaruhnya masing-masing adalah sebesar 210 persen dan 287 persen untuk masing-masing pasar. Namun untuk Propinsi Sumatera Utara dan Sulawei Tengah pasarnya tersegmentasi. Karena sebagian besar pasar di beberapa sentra

kakao tersebut tidak terintegrasi dalam jangka pendek (yang terintegrasi hanya Sumatera Utara), maka perubahan harga kakao di dunia tidak akan direfleksikan langsung pada harga kakao di wilayah tersebut.

Terkait dengan rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor kakao, ternyata penerapan kebijakan ini pada akhirnya akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri menjadi semakin tidak terintegrasi. Selain itu, adanya kebijakan pungutan ekspor ini akan berimplikasi pada: (1) melemahnya posisi daya saing ekspor kakao Indonesia di dunia, (2) menurunnya bagian pendapatan yang akan diterima oleh petani, (3) bagi pedagang (eksportir), pungutan ekspor mungkin tidak akan begitu berpengaruh meskipun akan memicu kegiatan penyelundupan, (4) bagi pihak industri, adanya pungutan ekspor akan menjamin ketersediaan input untuk proses pengolahan cokelat dan bagi pemerintah tentu saja kebijakan ini akan menjadi alternatif pendapatan bukan pajak.

8.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis tersebut maka beberapa rekomendasi saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang rencana penerapan kebijakan pungutan ekspor ini karena pada dasarnya akan menyebabkan kondisi pasar kakao Indonesia menjadi semakin tidak terintegrasi.

2. Untuk memecahkan masalah kurang berkembangnya industri pengolahan kakao di dalam negeri, maka rencana pemerintah untuk mencabut PPN 10 persen tetap perlu dilakukan dan sebagai gantinya pemerintah dapat menerapkan pajak yang serupa yang dikenakan atas barang jadi bukan barang primer.

3. Rencana pembentukan Bursa Barjangka Kakao di Jakarta sebaiknya segera direalisasikan agar harga ekspor kakao tidak terlalu berfluktuasi jika mengikuti harga yang berlaku di bursa berjangka komoditi di Singapura atau dunia dan diharapkan pasar akan lebih terintegrasi serta tidak tersegmentasi karena akses informasi lebih mudah.

Dokumen terkait