• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dampak rencana penerapan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

FITRI NURDIYANI A14103013

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Oleh:

FITRI NURDIYANI A14103013

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia. Di bawah bimbingan AMZUL RIFIN.

Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian negara Indonesia. Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak heran pengembangan komoditas ini

terus dilakukan. Dalam 20 tahun terakhir luas perkebunan kakao meningkat pesat

lebih dari 25 kali lipat dan produksi meningkat lebih dari 69 kali lipat pada tahun

2003. Peningkatan produksi dan perluasan perkebunan kakao tersebut didorong oleh membaiknya harga kakao di dunia sejak tahun 1970-an.

Berfluktuasinya harga kakao dunia membuat ikut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri, termasuk harga kakao di beberapa sentra utama kakao Indonesia. Sehingga melalui pola inilah dapat diketahui bagaimana integrasi antara kedua pasar tersebut. Selain itu adanya rencana pemerintah untuk menghapuskan PPN 10 persen dan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao memerlukan suatu analisis tersendiri.

Oleh karena itu diadakan penelitian yang bertujuan: (1) menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di beberapa sentra kakao di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasinya terhadap para stakeholder agribisnis kakao.

(4)

dan sekunder (berupa data harga bulanan kakao). Alat analisis yang digunakan adalah model integrasi pasar berupa model Autoregressive Distributed Lag.

Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar, secara umum dapat disimpulkan bahwa pasar kakao dalam negeri dan dunia tersegmentasi dan tidak terintegrasi dalam jangka pendek. Dengan demikian harga yang terbentuk di dalam negeri tidak dipengaruhi oleh perubahan harga kakao di dunia dan perubahan ini tidak langsung diteruskan ke pasar dalam negeri. Pembentukan harga kakao di dalam negeri hanya dipengaruhi oleh harga kakao bulan sebelumnya di pasar domestik (pengaruhnya sebesar 71 persen) dan dipengaruhi pula oleh harga bulan sebelumnya di dunia.

Selain itu terlihat pula bahwa Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara kondisi pasarnya tidak tersegmentasi dengan dunia. Oleh karena itu harga kakao dikedua propinsi ini dipengaruhi oleh perubahan harga di dunia, dimana pengaruhnya masing-masing adalah sebesar 210 persen dan 287 persen untuk masing-masing pasar. Namun untuk Propinsi Sumatera Utara dan Sulawei Tengah pasarnya tersegmentasi. Karena sebagian besar pasar di beberapa sentra kakao tersebut tidak terintegrasi dalam jangka pendek (yang terintegrasi hanya Sumatera Utara), maka perubahan harga kakao di dunia tidak akan direfleksikan langsung pada harga kakao di wilayah tersebut.

(5)

di dalam negeri berbeda dengan harga kakao yang berlaku di dunia. Dengan demikian harga kakao yang terbentuk di dalam negeri lebih dipengaruhi oleh kualitas kakao yang dihasilkan dari pada oleh perubahan harga yang terjadi di dunia. Tidak terintegrasinya Indonesia dan sebagian besar sentra kakao Indonesia (kecuali Sumatera Utara) dalam jangka pendek dikarenakan jauhnya jarak untuk mengakses informasi harga dunia ke London Cocoa Terinal Market dan New York Board of Trade. Khusus untuk Sumatera Utara karena di wilayah ini terdapat perkebunan milik negara (PTPN), maka akses informasi lebih mudah untuk dilakukan.

Nilai IMC untuk semua sentra kakao kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pasar kakao di wilayah-wilayah tersebut mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan pasar kakao dunia. Akan tetapi wilayah Sulawesi Tenggara ternyata memiliki hubungan dengan pasar dunia yang lebih dekat, karena nilai IMC lebih dekat dengan nol.

(6)
(7)

Nama : Fitri Nurdiyani

NRP : A14103013

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Amzul Rifin, SP, MA NIP. 132 288 333

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

(8)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK RENCANA PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO TERHADAP INTEGRASI PASAR KAKAO INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Maret 2007

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan dalam proses penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia” menggambarkan kondisi pasar kakao di Indonesia dan dampak kebijakan pungutan ekspor yang rencananya akan diterapkan oleh pemerintah.

Penulis pun tak lupa menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Achmad J.S. dan Yati Rustiati, selaku orang tua penulis dan Dadi yang telah memberikan segala yang penulis perlukan selama proses belajar dan mencurahkan motivasi, kasih sayang serta doa kepada penulis.

2. Amzul Rifin, SP, MA atas saran-saran, bimbingan dan kritikannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Arif Karyadi, SP, selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan untuk penulisan skripsi yang lebih baik.

5. Faisal yang telah memberikan motivasi, kasih sayang, waktu dan kesabaran kepada penulis serta Netta, Astrid, Widia dan Iis atas bantuan dan dukungannya selama proses seminar dan sidang.

(10)

8. Seluruh kader HMI Komisariat Fakultas Pertanian atas persahabatan, motivasi serta dukungannya kepada penulis.

9. Keluarga besar IKC (Ikatan Kekeluargaan Cirebon).

10.Mbak Fitri dari Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) atas kemudahan dan seluruh informasi yang telah diberikan.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Maret 2007

(11)

Penulis dilahirkan di Cirebon, 29 Juni 1985 sebagai anak tertua dari dua bersaudara pasangan Drs. Achmad Jatodawa Situmorang dan Yati Rustiati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Sadagori I Cirebon pada tahun 1996. kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengahnya di SLTP Negeri 1 Cirebon. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Cirebon dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di organisasi intra kampus Unit Kegiatan Mahasiswa CENTURY (Center of Entrepreunership Development for Youth) dan menjabat sebagai sekretaris periode 2005-2006. Penulis juga aktif pada organisasi ekstra kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Pertanian dan menjabat sebagai wakil sekretaris umum Bidang Pembinaan Anggota periode 2006-2007. Selain itu, penulis pun pernah menjabat sebagai sekretaris Ormas Forum Komunitas Muda Indonesia pada tahun 2005-2006.

(12)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1 Komoditas Kakao ...8

2.2 Perkembangan Kakao Dunia ...9

2.2.1 Perkembangan Produksi ...9

2.2.2 Perkembangan Ekspor ...11

2.2.3 Perkembangan Impor ...12

2.2.4 Perkembangan Harga ...13

2.3 Kajian Penelitian Terdahulu ...14

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ...18

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...18

3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran ...18

3.1.2 Teori Perdagangan Internasional ...19

3.1.3 Pajak Ekspor ...21

3.1.4 Integrasi Pasar ...24

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ...25

BAB IV METODE PENELITIAN ...28

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...28

4.2 Pengumpulan Data ...28

4.3 Metode Analisis Data ...29

4.3.1 Analisis Deskriptif ...29

4.3.2 Analisis Integrasi Pasar ...29

4.3.3 Pengujian Hipotesis Integrasi Pasar ...32

4.3.3.1 Segmentasi Pasar ...32

4.3.3.2 Integrasi Jangka Pendek ...33

4.4 Definisi Operasional ...35

BAB V GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA ...37

5.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao ...37

5.2 Perkembangan Ekspor-Impor ...38

(13)

5.4 Perkembangan Konsumsi ...41

5.5 Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia ...43

BAB VI ANALISIS INTEGRASI PASAR ...46

6.1 Analisis Integrasi Pasar Dalam Negeri dan Dunia ...46

6.2 Analisis Integrasi Pasar Beberapa Sentra Kakao Indonesia dan Dunia ...50

BAB VII DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO ...59

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ...63

8.1 Kesimpulan ...63

8.2 Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA ...66

(14)

Nomor Halaman

1. Perkembangan Produksi dan Areal Perkebunan Kakao Indonesia...3

2. Perkembangan Produksi Kakao Dunia, 2000/2001-2003/2004

(Ribu Ton) ...11 3. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama,

2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) ...12 4. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama,

2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton) ...13 5. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Biji Kakao di Pasar Dunia,

1988-2005 (SDR/ton) ...14 6. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Indonesia, 1969-2004 ...39 7. Perkembangan Konsumsi dan Grindings Kakao Indonesia (Ribu ton) ..42 8. Perbandingan Koefisien Regresi Antara Data Sebelum dan Sesudah

Diubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural ...47 9. Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri

dan Dunia ...47 10. Analisis Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia ...49 11. Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Sumatera Utara, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara terhadap Dunia ...51 12. Analisis Integrasi Pasar Antara Sumatera Utara, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dengan Dunia ...51 13. Formulasi Harga Kakao Apabila Memperhitungkan Pungutan Ekspor

(15)

Nomor Halaman 1. Nilai Ekspor Komoditas Pertanian, 2000-2004 ...1 2. Perkembangan Harga Kakao Dunia, 1995-2005 ...4 3. Pergerakan Harga Kakao Dunia, Domestik dan Beberapa Sentra

Kakao ...5 4. Kurva Perdagangan Internasional ...21

5. Pembebanan Pajak Ekspor ...22 6. Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap Industri

CPO ...23 7. Alur Pemikiran Operasional ...27

(16)

Nomor Halaman

1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Seluruh Indonesia

Menurut Propinsi dan Status Pengusahaan, 2003 ...69

2. Harga Bulanan Kakao di Pasar Dalam Negeri (Domestik)

Dan Dunia ...70 3. Harga Rata-Rata Bulanan Kakao di Propinsi Sumatera Utara, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Pasar Dunia ...71 4. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negeri dengan

Pasar Dunia ...73 5. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Dalam Negri dengan

Pasar Dunia (Menggunakan Data yang Diubah ke Dalam Bentuk

Logaritma Natural) ...74 6. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan

Dunia ...75 7. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sumatera Utara dan Dunia...77 8. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Selatan dan

Dunia ...78 9. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tengah dan

Dunia ...79 10. Persamaan Regresi Integrasi Pasar Kakao Sulawesi Tenggara dan

Dunia ...80 11. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sumatera Utara dan

Dunia ...81 12. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Selatan dan

Dunia ...83 13. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tengah dan

Dunia ...85 14. Pengujian Integrasi Pasar antara Pasar Kakao di Sulawesi Tenggara

(17)

1.1 Latar Belakang

Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat (Gambar 1), yaitu dari 3,8 milyar US$ di tahun 2000 menjadi 8,2 milyar US$ di tahun 2004. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen di tahun 2004 dengan total nilai ekspor sebesar 7,4 milyar US$. Besarnya kontribusi tersebut menyebabkan sub sektor ini dijadikan andalan Indonesia dalam ekspor di luar non migas.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2000 2001 2002 2003 2004 Tahun

Ju

ta U

S

$

Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Total

Gambar 1. Nilai Ekspor Komoditas Pertanian, 2000-2004

(18)

Salah satu komoditas perkebunan yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kakao. Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian negara Indonesia. Selain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan dan devisa negara, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900.000 kepala

keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke-tiga sub sektor perkebunan

setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 701 juta US$ (Badan

Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005).

Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, maka tak

heran pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Dalam 20 tahun terakhir luas

perkebunan kakao meningkat pesat lebih dari 25 kali lipat dari 37 ribu hektar pada

tahun 1980 menjadi 961 ribu hektar pada tahun 2003 dan produksi meningkat

lebih dari 69 kali lipat dari 10 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 695 ribu ton pada

tahun 2003 (Tabel 1).

Perluasan areal yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga

perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Perkebunan

kakao yang dikelola oleh rakyat adalah sebesar 87,4 persen dan selebihnya enam

persen perkebunan besar negara serta 6,6 persen perkebunan besar swasta.

Tanaman kakao hampir ditanam di seluruh pelosok tanah air dengan sentra utama

kakao di Indonesia secara berurutan adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

(19)

Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Irian Jaya (Badan Penelitian dan

Pengembangan Deptan, 2005).

Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Areal Perkebunan Kakao Indonesia Tahun Produksi

(ton)

Perkembangan Produksi

(persen)

Luas Areal (ha)

Perkembangan Luas Areal

(persen)

1970 1738 - 12110 -

1975 3921 125.60 17498 44.49

1980 10284 162.28 37082 111.92

1985 33798 228.65 92797 150.25

1990 142347 321.17 357490 285.24

1995 304866 114.17 602428 68.52

2000 421142 38.14 749917 24.48

2001 536804 27.46 821449 9.54

2002 619192 15.35 914051 11.27

2003 695361 12.30 961107 5.15

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005 (Diolah)

(20)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun

S

DR/

to

n

Gambar 2. Perkembangan Harga Kakao Dunia, 1995-2005 Sumber: International Cocoa Organization, 2006 (Diolah)

Keberhasilan peningkatan produksi dan perluasan perkebunan kakao yang telah dilakukan tersebut memberikan dampak yang nyata bagi perkembangan pangsa pasar ekspor kakao Indonesia. Pada tahun 2002, Indonesia menjadi produsen kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading (Cote D’Ivoire), walaupun pada tahun 2003 Indonesia harus kembali tergeser ke posisi tiga di bawah Ghana (Intenational Cocoa Organization, 2006).

1.2 Perumusan Masalah

Berfluktuasinya harga kakao dunia membuat ikut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri, termasuk harga kakao di beberapa sentra utama kakao Indonesia. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian

(2005), harga kakao di dalam negeri mengikuti harga kakao di pasar dunia, terutama di London Cocoa Terminal Market dan New York Board of Trade

(21)

0

Internasional Sumut Sulsel Sulteng Sultra Domestik

Gambar 3. Pergerakan Harga Kakao Dunia, Domestik dan Beberapa Sentra Kakao

Sumber: International Cocoa Organization dan Dirjen Perkebunan Deptan, 2006 (Diolah)

Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga kakao domestik (dalam negeri) dan harga di wilayah Sulawesi Tengah tidak memiliki pergerakan yang sama dengan harga di dunia. Untuk wilayah Sulawesi Selatan pergerakan harga yang sama tampak setelah periode Januari 2004. Untuk wilayah Sumatera Utara meskipun sebelum Januari 2004 pergerakan yang ditunjukkan secara umum hampir sama, namun pada periode setelah bulan Januari 2004 terdapat beberapa pergerakan yang berbeda. Begitu pula halnya dengan wilayah Sulawesi Tenggara. Menurut Baffes dan Bruce (2003) pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di pasar kakao dunia tersebut langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama. Demikian halnya dengan pola yang ditunjukkan antara harga kakao dunia dan dalam negeri seharusnya menunjukkan pola yang sama agar dapat dikatakan terintegrasi.

(22)

Indonesia), baik melalui pajak maupun mekanisme subsidi akan menimbulkan distorsi harga. Adanya kebijakan tersebut akan membuat harga di dalam negeri jauh dari harga internasional. Dengan kata lain, adanya kebijakan pemerintah akan mempengaruhi integrasi antara pasar dalam negeri dan dunia.

Terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, penjualan domestik kakao dikenakan PPN 10 persen, sehingga tidak heran pedagang kakao lebih senang menjual kakao ke luar negeri (ekspor) dari pada menjual kakao untuk kepentingan industri pengolahan cokelat dalam negeri. Sebab, selama ini pungutan ekspor atas kakao tidak dikenakan atau sebesar nol persen. Dengan kondisi seperti ini dapat dipastikan industri pengolahan cokelat dalam negeri akan sulit berkembang. Menurut catatan Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Jakarta, dari 15 pabrik pengolahan cokelat dengan total kapasitas penggilingan sebesar 293.000 ton sejak beberapa tahun terakhir jumlah pabrik pengolahan hanya tinggal enam pabrik dengan kapasitas penggilingan sebesar 100.000 ton1.

Dilatarbelakangi kondisi tersebut, untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri, pemerintah berencana untuk menghapuskan PPN 10 persen dan sebagai gantinya pemerintah akan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao (Supriyanto, 2006).

Rencana pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor untuk kakao sebenarnya masih menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang terkait dalam agribisnis kakao Indonesia (petani, pedagang dan eksportir, serta industri). Petani, pedagang dan eksportir adalah pihak yang kontra terhadap kebijakan ini. Sementara itu, pihak industri memandang bahwa pungutan ekspor

1

(23)

akan memberikan dukungan atas pasokan bahan baku industri pengolahan cokelat (Supriyanto, 2005).

Mengingat pentingnya komoditas ini terhadap perekonomian Indonesia, akan sangat relevan apabila dilakukan analisis mengenai dampak kebijakan pungutan ekspor tersebut apabila jadi diterapkan di Indonesia sebagai langkah antisipatif. Oleh karena itu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana integrasi antara pasar kakao dunia dan dalam negeri?

2. Bagaimana dampak kebijakan pungutan ekspor terhadap integrasi pasar kakao Indonesia dan bagaimana implikasi kebijakan ini terhadap para stakeholder agribisnis kakao?

1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis integrasi pasar kakao dunia dan dalam negeri, termasuk di beberapa sentra kakao di Indonesia, (2) menganalisis dampak kebijakan pungutan ekspor kakao terhadap integrasi pasar kakao Indonesia serta implikasi kebijakan ini terhadap petani, pedagang dan industri kakao serta pemerintah Indonesia.

(24)

2.1Komoditas Kakao

Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L.) terdiri atas pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Sebelum penanaman pohon kakao, lahan ditanami pohon pelindung. Pembibitan kakao dilakukan dengan menyemaikan bijinya pada polibag sampai bibit berumur sekitar enam bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, dengan lubang dan pohon pelindung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yaitu tiga meter dalam baris dan enam meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak diantara barisan tanaman kakao.

Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman kakao antara lain mempertahankan kesuburan tanah, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemangkasan. Pemangkasan dilakukan untuk menjaga agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga sinar matahari tidak terhalangi sehingga merangsang pertumbuhan dan pembuahan.

Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur tiga tahun dengan umur ekonomis 20 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan setelah buah yang merah menjadi orange dan buah hijau menjad kuning, perubahan warna kulit tersebut menunjukkan bahwa buah tersebut sudah masak. Pada saat itu biji-biji di dalam buah mulai lepas dari dinding buah.

(25)

selama dua sampai tiga hari, selanjutnya dilakukan pencucian untuk menghindari kapang atau jamur. Setelah pencucian, biji kakao dikeringkan dengan cara dijemur selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan.

Dalam industri pengolahan, biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter, cocoa cake, cocoa paste, cocoa powder, cokelat, bahan baku farmasi dan bahan campuran kosmetik. Selain itu kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan pakan ternak.

2.2Perkembangan Kakao Dunia 2.2.1 Perkembangan Produksi

Produksi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Afrika (Ghana, Nigeria, Pantai Gading dan Kamerun) karena negara-negara ini memproduksi kakao sebanyak 80 persen dari total produksi kakao dunia. Pada awal dekade tahun 1980-an, negara-negara Asia-Pasifik yang berperan dalam produksi kakao adalah Malaysia, Papua Nugini dan Indonesia. Pada waktu itu pangsa produksi ketiga negara tersebut hanyalah sebesar lima persen dari produksi dunia. Rincian pangsa produksi tersebut adalah Indonesia (0,4 persen), Pantai Gading (24,7 persen), Brazil (21,3 persen), Ghana (15,5 persen), Nigeria (9,3 persen), Kamerun (7,2 persen), Ekuador (4,9 persen), Malaysia (2,4 persen), Papua Nugini (1,7 persen) dan negara-negara lainnya sekitar 12,6 persen (Roesmanto, 1991).

(26)

Malaysia, Kamerun dan Indonesia. Sebaliknya produksi menurun di Ghana dan Ekuador. Ternyata kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, pangsa produksinya telah meliputi 15,2 persen dari total produksi dunia tahun 1987/1988. Ghana, sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Afrika dan dikenal sebagai “a high quality origin”, ternyata pada saat ini hanya mampu menghasilkan kakao sekitar 180-200 ribu ton setahun bila dibandingkan dengan prestasinya sebelum tahun 1970-an yang mampu menghasilkan 400 ribu ton setahun (Roesmanto, 1991). Diperkirakan produksi kakao di beberapa negara di Afrika masih akan terus menurun, demikian juga di beberapa negara di Amerika Latin (Siswoputranto, 1988).

(27)

Tabel 2. Perkembangan Produksi Kakao Dunia, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton)

Negara 2000/01 2001/02 2002/03 2003/04 Pertumbuhan (persen/tahun)

Pangsa (persen)

Cameroon 120,00 126,00 135,00 162,00 3,70 4,60

Ivoire 100,00 1.265,00 1.300,00 1.407,20 3,47 39,96

Ghana 410,00 340,60 475,00 737,00 12,53 20,93

Nigeria 180,00 180,00 165,00 175,00 1,29 4,97

Brazil 120,00 123,60 150,00 136,40 (4,26) 3,87

Ecuador 105,00 80,70 85,00 117,00 1,84 3,32

Indonesia 420,00 455,00 440,00 420,00 3,73 11,93

Malaysia 45,00 25,00 40,00 34,00 (14,28) 0,97

Lainnya 1.329,60 259,40 265,70 333,00 2,36 9,46

Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan, 2006

2.2.2 Perkembangan Ekspor

Pada awal tahun 1970-an total ekspor dunia telah mencapai sekitar 1,13 juta ton, kemudian mengalami penurunan sekitar awal tahun 1980-an, namun setelah itu, secara terus-menerus mengalami kenaikan dimana pada tahun 1985 ekspor menjadi sekitar 1,40 juta ton. Kemudian pada tahun 1990 naik menjadi sekitar 1,90 juta ton dan pada tahun 1996 total ekspor sudah mencapai sekitar 2,08 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1970 (Arsyad, 2004).

(28)

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Beberapa Negara Produsen Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton)

Negara 2000/01 2001/02 2002/03 2003/04 Pertumbuhan

(persen/tahun)

Pangsa (persen)

Cameroon 101.56 95.63 108.19 136.08 5.24 5.40

Ivore 903.39 1,019.25 1,070.98 1,039.48 1.63 41.25

Ghana 306.83 284.68 310.33 608.10 12.51 24.13

Nigeria 149.37 160.29 145.09 161.84 2.42 6.42

Brazil 2.48 3.50 3.59 1.56 (24.89) 0.06

Rep.Dominica 33.81 40.25 38.39 40.44 (0.23) 1.60

Equador 57.19 58.86 57.37 85.88 6.80 3.41

Venezuela 7.59 8.20 8.30 7.39 (2.62) 0.29

Indonesia 326.46 364.81 365.65 314.10 2.50 12.47

Malaysia 17.17 18.45 21.11 11.84 (13.69) 0.47

Papua New Guinea

38.80 37.92 39.07 38.70 4.63 1.54

Lainnya 42.07 46.80 47.92 74.38 2.26 2.95

Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006

2.2.3 Perkembangan Impor

(29)

Tabel 4. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama, 2000/2001-2003/2004 (Ribu Ton)

Negara 2000/01 2001/02 2002/03 2003/04 Pertumbuhan (persen/tahun)

Pangsa (persen)

France 157.18 142.65 138.89 154.59 4.79 5.77

Germany 228.24 212.39 205.13 212.15 (5.98) 7.92

Netherland 549.05 493.91 495.24 561.23 2.77 20.95

United Kingdom

150.73 107.34 126.96 138.81 (3.32) 5.18

Spain 48.80 55.73 60.05 67.35 4.74 2.51

Belgium 101.31 106.27 122.54 139.59 11.13 5.21

Switzerland 21.48 22.12 22.51 24.64 1.44 0.92

Estonia 58.65 65.50 57.28 68.69 0.81 2.56

Rusia

USA 354.68 397.13 323.26 488.57 4.74 18.24

Cina 22.09 12.16 9.06 19.43 (8.06) 0.73

Japan 49.16 50.09 49.18 56.84 0.82 2.12

Malaysia 109.63 113.99 99.19 181.20 27.11 6.77

Singapore 67.00 62.53 64.97 57.09 (7.28) 2.13

Thailand 12.29 14.53 15.72 18.89 7.89 0.71

Lainnya 302.18 298.47 276.46 306.39 3.99 11.44

Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006

2.2.4 Perkembangan Harga

(30)

dahulu Pantai Gading memang merajai kakao dunia dengan hasil tinggi dan mutunya yang menjadi incaran para pembeli (Roesmanto, 1991).

Harga kakao di pasar dunia senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh laju peningkatan produksi yang tinggi. Terjadinya akumulasi stok yang terus meningkat mengakibatkan harga kakao dunia melemah. Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5, harga biji kakao dunia selama periode 1988-1990 cukup fluktuatif. Pada tahun 1989 harga biji kakao mengalami penurunan meskipun kembali mengalami kenaikan yang cukup berarti pada tahun 1997. Hal ini mendorong terjadinya perluasan areal yang dapat meningkatkan produksi kakao dunia dan secara terus-menerus mengakumulasi stok. Akibatnya, harga kakao dunia turun kembali pada tahun 1999 dan kembali menguat pada tahun 2002.

Tabel 5. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Biji Kakao di Pasar Dunia, 1988-2005 (SDR/ton)

Tahun Harga Tahun Harga 1988 1176.94 1997 1177.06 1989 967.44 1998 1236.46 1990 934.20 1999 833.45 1991 872.36 2000 672.76 1992 780.52 2001 855.17 1993 800.04 2002 1369.17 1994 973.86 2003 1256.28 1995 945.23 2004 1045.09 1996 1002.98 2005 1040.50

Sumber : Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics ICCO, 2006

2.3 Kajian Penelitian Terdahulu

(31)

penawaran dan permintaan sampai pada penelitian yang membahas dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan dan ekspor kakao. Namun dalam bagian ini hanya akan dijabarkan studi-studi terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan.

Arsyad (2004) dalam penelitiannya mencoba untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi areal panen dan produktivitas kakao di daerah produsen utama Sulawesi Selatan, faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Sulawesi Selatan, menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan serta menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor.

Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek ekspor kakao Sulawesi Selatan kurang responsif terhadap perubahan harga ekspor sebelumnya, pertumbuhan produksi kakao Sulawesi Selatan, nilai tukar tahun sebelumnya dan trend waktu. Kebijakan subsidi harga pupuk bagi petani produsen ternyata merupakan alternatif kunci pengembangan produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan. Kebijakan depresiasi perlu dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya, mengingat dampak kebijakan ini mampu meningkatkan produksi, ekspor, dan harga kakao Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi utama kakao Indonesia. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kedua kebijakan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(32)

besar swasta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua sistem komoditas kakao menguntungkan baik secara finansial dan ekonomi dimana ketiga bentuk pengusahaan memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial memiliki keunggulan kompetitif sebagai komoditas ekspor.

Pada sisi yang berbeda, Akiyama (1992) menganalisis dampak dari pajak optimal atas komoditas kakao terhadap surplus produsen dan cadangan pemerintah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor yang paling penting dalam menentukan pajak ekspor yang optimal adalah bagaimana petani dan pemerintah membentuk harapan harga. Ketika harapan petani tidak diketahui atau tidak tergantung pada harga dan pajak, maka pajak optimal tidak dapat ditentukan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Lam (1979). Lam mengukur pengaruh pajak ekspor pada kopi, kopra, dan kakao di Papua New Guinea. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak ekspor membuat petani dengan luas tanah marginal akan mendapat efek negatif yang paling besar apabila harga ekspor turun. Di sisi lain, apabila terjadi kenaikan harga, maka keuntungan tersebut tidak akan ditransfer seluruhnya oleh petani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak dalam sektor ini akan menyebabkan harga yang tidak pantas untuk petani.

Baffes dan Bruce (2003) menyatakan dalam penelitiannya bahwa:

“One of the objectives of these programs was the removal of distortionary price and trade policies by moving prices close to international ones.”

(33)

distorsi harga dan perdagangan serta membuat harga domestik semakin jauh dari harga internasional. Dengan demikian hubungan antara pasar dalam negeri dan internasional akan semakin jauh dan semakin tidak terintegrasi. Dalam penelitian yang dilakukannya di beberapa negara yang mengalami reformasi kebijakan, misalnya di Chile, adanya kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi pasar gelap (dengan memonopoli penjualan gandum) membuat harga gandum di negara tersebut tidak bergantung pada harga internasional. Selain itu di Madagaskar, adanya reformasi kebijakan membuat integrasi pasar di negara ini membaik.

Adapun studi yang menggunakan pendekatan integrasi pasar, salah satunya adalah yang dilakukan Lestari (2006) untuk menganalisis tataniaga bengkuang. Lestari menganalisis keterpaduan pasar antara tingkat petani di Kecamatan Prembun dengan Pasar Gamping Yogyakarta dan Pasar Induk Keramat Jati sebagai pasar acuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasar di tingkat petani, yaitu Pasar Prembun, tidak terintegrasi dengan kedua pasar acuan. Namun melalui analisis nilai Index of Market Connection (IMC) terlihat bahwa antara pasar Prembun dan Pasar Gamping lebih efisien.

(34)

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran

Permintaan terhadap suatu komoditas adalah jumlah yang diinginkan oleh konsumen untuk dibeli dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Antara harga dan jumlah yang diinginkan untuk dibeli tersebut mempunyai hubungan yang negatif, artinya jika harga komoditi tersebut naik, maka jumlah yang ingin dibeli oleh konsumen akan menurun, ceteris paribus.

Permintaan akan suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, selera, tingkat pendapatan, harapan harga yang akan datang, dan jumlah penduduk. Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tetap (ceteris paribus) kecuali harga komoditas itu sendiri dan pasar merupakan pasar persaingan sempurna maka apabila harga komoditas itu sendiri berubah, dapat menyebabkan perubahan jumlah komoditas yang diminta atau ingin dibeli oleh konsumen sehingga terjadi pergerakan sepanjang kurva permintaan. Di sisi lain, pergeseran kurva permintaan merupakan akibat dari perubahan faktor-faktor di luar harga komoditi tersebut.

(35)

ditawarkan semakin banyak, ceteris paribus. Menurut Limbong dan Panggabean (1985), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi penawaran, yaitu tujuan perusahaan, harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, harga faktor-faktor produksi, dan teknologi yang digunakan. Penawaran pasar dari suatu komoditas merupakan fungsi dari harga komoditas itu sendiri dengan koefisien arah (slope) positif. Jika harga komoditas tersebut naik, maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan naik. Sebaliknya jika harga komoditas tersebut turun maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan turun. Sedangkan pengaruh dari perubahan tujuan perusahaan, harga faktor produksi dan teknologi yang digunakan adalah faktor-faktor yang akan menggeser fungsi penawaran suatu komoditi.

3.1.2 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional merupakan teori yang dapat digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ini. Selain itu teori perdagangan internasional pun dapat digunakan untuk membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antar beberapa negara serta bagaimana efeknya terhadap perekonomian suatu negara. Teori perdagangan internasional juga merupakan aspek mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diberlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditas.

(36)

domestik di negara 1 (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan harga domestik di negara 2 (Gambar 4).

Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi keseimbangan dan harga berada pada P1. Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari negara 1.

Ketika harga berada pada posisi P2, ceteris paribus, struktur harga yang relatif

lebih tinggi ini menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 yaitu sebesar QA’QA’’. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif

berlimpah, dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.

Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi

kekurangan suplai karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sebesar QB’QB’’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada

keadaan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas kakao dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah.

Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan negara 2 maka akan terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut. Suplai di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar dari pada P1,

sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara 1 akan

(37)

QA QPI

Px/Py Pasar di negara 1 Panel A untuk komoditi X

Panel PI Hubungan perdagangan internasional komoditi X

Px/Py Px/Py

Gambar 4. Kurva Perdagangan Internasional

Sumber: Salvatore, 1994

Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia.

3.1.3 Pajak Ekspor

Piermartini (2004) menjelaskan bahwa pajak ekspor banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam dan produk kulit.

(38)

perdagangan, dan distribusi pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negera yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nasional. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.

Sementara itu Helpman dan Krugman dalam Rifin (2005) memaparkan bahwa penerapan pajak ekspor akan mengurangi harga domestik, sementara itu harga ekspor akan meningkat. Gambar 5 menggambarkan efek pajak ekspor sebesar t. Harga domestik akan turun menjadi Pt, mengurangi surplus konsumen

dan surplus produsen oleh area PfDCPt. Bagaimanapun, pendapatan hasil pajak

sepadan dengan volume setelah pajak dikalikan dengan tarif pajak atau area P*tACPt. Hilangnya pajak sama dengan area BCD, sementara itu keuntungan

perdagangan sepadan dengan area P*tABPf .

C

B D

S

D A

Harga

P*t = Pt +t

Pf

Pt

Gambar 5. Pembebanan Pajak Ekspor

Xt Xf Kuantitas Ekspor

Sumber :Helpman dan Krugman dalam Rifin, 2005

(39)

pungutan ekspor terhadap harga, permintaan dan penawaran domestik dibandingkan dengan jika tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 6.

P

Se1 P

Q1 Q5 Q3

Q Industri CPO

Sd

D P0

P2 P1

Q4Q6 Q2

Se2 Se

De Pe1

Pe2

Q Ekspor CPO

Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap Industri CPO

Sumber : Puteri et al., 2006

Pada saat tidak dikenakan pungutan ekspor maka harga ekspor akan sama dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO

domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan

domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya yang diekspor sebesar Q1Q2. dengan

pengenaan tarif pungutan eskpor sebesar tiga persen maka kurva penawaran akan bergeser (Se) ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1,

tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya

jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh

perusahaan domestik sebesar Q1. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor

berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2).

(40)

produsen menurun akan mengakibatkan harga pembelian bahan baku CPO (dalam hal ini tandan buah segar) juga akan menurun, dan selanjutnya pendapatan petani sawit diduga juga menurun.

Tarif pungutan ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini terhadap harga CPO, jumlah ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 6. Penurunan tarif pungutan ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2. Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga

ekspor turun dari Pe1 menjadi Pe2 dan harga yang diterima produsen CPO

(eksportir) meningkat dari P1 menjadi P2. Akibatnya jumlah CPO domestik yang

ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang

diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Disamping itu kenaikan harga CPO

yang diterima produsen CPO diduga akan berdampak pada kenaikan harga tandan buah segar yang diterima produsen sawit dan selanjutnya diduga akan meningkatkan pendapatan petani sawit.

3.1.4 Integrasi Pasar

Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan yang positif antara harga di wilayah pasar yang berbeda. Jika perdagangan terjadi pada dua wilayah yang berbeda dan harga di daerah yang mengimpor sebanding dengan harga di daerah yang mengekspor ditambah dengan biaya yang diperlukan, maka kedua pasar tersebut dapat dikatakan telah terintegrasi (Ravallion, 1986).

(41)

penawaran dan permintaan yang berbeda. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pembentukan harga pada suatu pasar dengan pasar lainnya, apakah suatu sistem pasar telah efisien atau belum maka dapat dilakukan analisis integrasi pasar. Selain itu, pengukuran integrasi pasar pun dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah sistem pasar bekerja.

Haytens (1986) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor:

• Segmentasi pasar

Pasar dikatakan tersegmentasi apabila harga yang terjadi di suatu pasar tidak dipengaruhi oleh perubahan harga di pasar acuan. Diharapkan dengan terintegrasinya suatu pasar, maka harga yang terjadi di pasar tersebut dipengaruhi oleh perubahan harga yang ada di pasar acuan.

• Integrasi jangka pendek

Pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek apabila perubahan harga yang terjadi di pasar acuan secara langsung dan utuh diteruskan ke dalam suatu pasar. Dengan demikian dalam sebuah pasar yang terintegrasi, perubahan tersebut akan langsung ditransmisikan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

(42)

Harga kakao dunia yang sering berfluktuasi menyebabkan turut berfluktuasinya harga kakao di dalam negeri. Hubungan harga antara kedua pasar tersebut (pasar dalam negeri dan dunia) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat integrasi antara keduanya. Jika antara pasar kakao dalam negeri dan dunia sudah saling terintegrasi, maka perubahan harga yang terjadi di dunia akan ditransmisikan secara sempurna ke pasar dalam negeri. Hal ini berarti harga yang diterima oleh petani, selaku pelaku utama agribisnis kakao dalam negeri, telah sesuai dengan harga yang terjadi di dunia. Namun apabila belum terintegrasi, maka pasar kakao di dalam negeri masih belum efisien.

Adanya rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan ekspor atas kakao tentu saja akan mempengaruhi integrasi pasar kakao Indonesia serta berimplikasi kepada para stakeholder yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap rencana pemerintah ini sebagai langkah antisipatif sebelum kebijakan ini jadi diterapkan.

(43)

Pungutan ekspor

Dampak pungutan ekspor terhadap integrasi pasar

Harga kakao

Harga kakao dalam negeri

Integrasi pasar (Apakah terintegrasi

atau tidak)

Implikasi pungutan ekspor

Petani Pedagang Pemerintah Industri

Rekomendasi:

Jadi atau tidak menerapkan kebijakan

(44)

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan membahas dampak penerapan rencana kebijakan

pungutan ekspor kakao dan integrasi antara pasar kakao di dalam negeri dan pasar

dunia. Dalam penelitian kali ini pun akan dibahas integrasi antara pasar kakao di

beberapa sentra produksi kakao di Indonesia (Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara).

Indonesia dipilih sebagai fokus penelitian karena pertumbuhan produksi di

negara ini menempati posisi terbesar di dunia (30 persen) setelah Ghana dan

Pantai Gading. Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi

Tenggara dipilih karena keempat daerah tersebut mempunyai luas lahan dan

produksi kakao terbesar di Indonesia (sebagai sentra kakao utama). Pemilihan ini

dilakukan secara purposive (sengaja). Adapun penelitian ini dilakukan pada bulan

Desember-Januari 2007.

4.2 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari data hasil

survei, penelitian, maupun data statistik yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga

terkait. Selain itu dikumpulkan pula pendapat dan informasi tentang rencana

dikeluarkannya kebijakan pungutan ekspor kakao dari beberapa pakar kakao,

sebagai sumber data primer. Data yang digunakan untuk analisis integrasi pasar

adalah : (1) harga kakao bulanan di pasar dalam negeri dari tahun 1999-2004, (2)

(45)

pasar Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi

Tenggara tahun 2000-2005.

Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, seperti Badan Pusat Statistik

Indonesia, Departemen Pertanian, International Cocoa Organization serta

lembaga terkait lainnya. Selain itu, informasi mengenai seluk beluk terjadinya

ekspor kakao dan kemungkinan dampak pengenaan pungutan ekspor diperoleh

dari hasil wawancara dengan pihak Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO).

4.3 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode

kuantitatif dan metode kualitatif (deskriptif). Metode kuantitatif digunakan untuk

menganalisis integrasi pasar dengan menggunakan pendekatan Model

Autoregresive Distributed Lag. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan

menggunakan software Microsoft Excell dan Minitab 14.

4.3.1 Analisis Deskriptif

Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan besaran/koefisien yang

diperoleh dari hasil analisis integrasi pasar. Selanjutnya pendeskripsian tersebut

disajikan dalam tabulasi data. Selain itu diharapkan dengan menggunakan metode

ini, dengan bantuan gambar tertentu, mampu menggambarkan implikasi

penerapan kebijakan pungutan ekspor apabila jadi diterapkan di Indonesia.

4.3.2 Analisis Integrasi Pasar

Tingkat integrasi pasar kakao diukur antara pasar dalam negeri (domestik)

(46)

secara efisien akan terjadi korelasi (hubungan) yang positif di antara lokasi pasar

yang berbeda sepanjang waktu. Koefisien korelasi tersebut secara langsung

mengukur seberapa dekat harga dari suatu komoditas bergerak bersama-sama

dalam lokasi pasar yang berbeda. Demikian pula halnya pada pasar kakao.

Analisis integrasi pasar ini dilakukan secara statistik melalui pendekatan

Model Autoregressive Distributed Lag (Heytens, 1986), yang dikemukakan oleh

Ravallion, yang menghubungkan antara harga suatu komoditas di pasar

lokal/domestik dan harga di pasar acuan. Analisis menggunakan metode ordinary

least square (OLS). Secara spesifik model tersebut adalah sebagai berikut:

it

X vektor dari musiman dan variabel yang relefan lainnya di pasar

i pada waktu t

yang didefinisikan sebagai:

(47)

Persamaan (1) tidak mempunyai variabel dependen untuk estimasi secara

ekonometrik sehingga harus dispesifikasi ulang. Persamaan (1) akan ditulis ulang

dengan melakukan first difference terhadap harga domestik sebagai variabel

dependen. Akan sangat berguna untuk mendefinisikan ∆ sebagai operator

time-differencing (misal: Pit =PitPit1) dan ∆i sebagai spatial price differencial

(contohnya, it t

i

dimana 1αio = . Namun, persamaan (2) ini tidak begitu intuitif. Akhirnya upaya

mempermudah perhitungan dilakukan dengan mengurangi persamaan tersebut

satu lag untuk setiap price differences baik pada pasar domestik maupun pasar

acuan (n=m=1).

Dengan mengubah ∆, persamaan (3) menjadi:

1

Model pada persamaan (4) menggambarkan bahwa perubahan harga di

pasar domestik merupakan fungsi dari perubahan harga di pasar acuan pada

periode yang sama, margin harga spasial (perbedaan antara harga di pasar

domestik periode t dengan harga di pasar acuan) periode lalu, harga periode lalu

di pasar acuan dan karakteristik pasar domestik. Dalam persamaan (4) βio

(48)

petani) mengetahui kondisi di pasar acuan sehingga harga di pasar domestik dapat

terpengaruh dengan cukup cepat pada periode yang sama.

Koefisien αi1 mengukur tingkat sampai sejauh mana perbedaan harga

spasial periode lalu direfleksikan terhadap perubahan harga di pasar domestik

periode saat ini. Pada akhirnya tingkat harga di pasar acuan dapat mempengaruhi

perubahan harga di pasar domestik. Hal ini umumnya terjadi pada lingkungan

yang mengalami inflasi yang kuat atau ketika biaya bunga merupakan komponen

yang besar dari biaya pemasaran.

Persamaan (4) di atas, dapat diubah dengan membuat αi −1=b1, βio =b2,

kemudian dengan mengubah susunan variabel, persamaan tersebut menjadi

persamaan di bawah ini.

X

4.3.3 Pengujian Hipotesis Integrasi Pasar 4.3.3.1 Segmentasi Pasar

Analisis dari segmentasi pasar domestik menyatakan bahwa perubahan

harga di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh, baik cepat atau lambat terhadap

harga di pasar domestik. Suatu pasar i dikatakan tersegmentasi apabila :

0

2 =

b

(dari persamaan (6))

yang dapat ditentukan dengan melakukan uji T terhadap koefisien regresi dugaan

(49)

0

Untuk mendapatkan t-hitung digunakan rumus:

)

Se adalah standard error koefisien regresi dugaan . Apabila t-hitung <

atau P-value > α, maka terima hipotesis nol. Hal ini berarti pasar domestik

tersegmentasi dengan pasar dunia.

2

Analisis ini mensyaratkan bahwa perubahan harga di pasar acuan

direfleksikan secara langsung dan penuh terhadap harga di pasar domestik. Hal ini

berarti:

1

2 =

b

Hipotesis yang akan diuji melalui uji T adalah sebagai berikut:

1

Untuk mendapatkan t-hitung digunakan rumus:

)

Se adalah standard error koefisien regresi dugaan . Apabila t-hitung <

atau P-value > α, maka terima hipotesis nol.

Analisis ini juga mensyaratkan bahwa tidak ada efek lag pada harga

(50)

1

1 =−

b , sehingga (1+b1)=0

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

0

Se + adalah standard error koefisien regresi dugaan . Apabila

t-hitung < atau P-value > α, maka terima hipotesis nol.

Jika kedua hipotesis tersebut diterima maka pasar i terintegrasi dengan

pasar acuan dalam satu periode. Diterimanya hipotesis tersebut mengindikasikan

bahwa perubahan harga di pasar acuan periode ini dan harga di pasar acuan

periode lalu direfleksikan secara penuh pada harga di pasar lokal saat ini. Faktor

karakteristik lokal dapat dianggap tidak ada ( =0

i

γ ) apabila pola harga di pasar

acuan dan pasar lokal sama.

Indikator terakhir yang dapat menggambarkan integrasi pasar adalah nilai

yang mendekati satu (sebelumnya adalah

2

b β10) namun persyaratan (1+b1)=0

tidak terpenuhi. Dalam kasus tersebut kondisi integrasi jangka pendek tidak dapat

diterima, namun kekuatan ekonomi yang ada menyebabkan perubahan harga di

pasar acuan secara umum direfleksikan pada harga di pasar domestik. Dengan

demikian, integrasi pasar tetap terjadi meskipun antara pasar acuan dan pasar

lokal tidak terhubung dalam jangka pendek (perubahan margin spasial tidak

diteruskan secara penuh).

Diasumsikan pasar acuan berada dalam keseimbangan jangka panjang

(51)

hanya akan dipengaruhi oleh harga di pasar domestik dan pasar acuan periode

sebelumnya. Sehingga untuk menangkap efek kedua variabel tersebut

digunakanlah Index of Market Connection (IMC) yang dibangun oleh Timmer.

IMC didefinisikan sebagai rasio dari koefisien lag harga di pasar domestik

terhadap koefisien lag harga di pasar acuan:

1 3

1

1 b b

b IMC

− + =

Apabila pasar berada dalam kondisi terintegrasi jangka pendek, dengan

nilai b1 =−1 (sebelumnya adalah αi −1) maka nilai IMC=0. Ketika pasar

tersegmentasi, dimana b1 sama dengan b3 maka nilai IMC=∞. Umumnya nilai

indeks tersebut bernilai positif dan nilai b1 berada diantara 0 dan -1. Secara umum

dapat dikatakan bahwa apabila nilai indeks tersebut semakin mendekati nol maka

derajat integrasi pasar akan semakin kuat. Sedangkan apabila nilai tersebut

kurang dari satu, maka dapat disimpulkan bahwa derajat integrasi pasar jangka

pendek pasar tersebut kuat.

4.4 Definisi Operasional

Untuk menyamakan pengertian mengenai istilah-istilah yang digunakan,

maka berikut ini akan didefinisikan sejumlah istilah:

1. Harga kakao bulanan di sentra-sentra produksi kakao, seperti Sumatera Utara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, pada waktu t

adalah harga produsen yaitu harga transaksi antara petani (penghasil) dan

(52)

mencerminkan harga yang diterima oleh petani. Peubah ini diukur dalam

satuan rupiah per kilogram.

2. Harga kakao bulanan di pasar dalam negeri pada waktu t merupakan harga

kakao yang berlaku secara nasional. Peubah ini diukur dalam satuan rupiah

per kilogram.

3. Harga kakao bulanan di dunia merupakan harga kakao yang dihitung

menggunakan rata-rata dari harga bursa di London Cocoa Terminal Market

dan New York Board of Trade. Harga kakao bulanan yang digunakan merujuk

pada kedua tempat ini karena ekspor kakao Indonesia yang terbesar adalah ke

Amerika Serikat dan Eropa. Satuan yang digunakan untuk harga kakao

bulanan di dunia ini adalah SDR/ton. Nilai SDR (Special Drawing Rights)

ekuivalen dengan nilai harian US$ atau nilai SDR yang dikeluarkan oleh

International Monetary Fund (ICCO, 2006).

4. Pasar dunia bertindak sebagai pasar acuan.

5. Istilah kakao yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada biji kakao.

Sedangkan untuk produk yang siap pakai atau telah diolah, digunakan istilah

(53)

5.1Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Meskipun hama penggerek buah kakao (PBK) terus mengancam, tetapi budidaya kakao tetap menarik perhatian petani. Membaiknya harga kakao dunia sejak awal tahun 1970-an telah membangkitkan kembali semangat petani untuk mengembangkan perkebunan kakao secara besar-besaran. Hanya dalam waktu 20 tahun, perkebunan kakao Indonesia berkembang pesat lebih dari 24 kali lipat dari 37 ribu hektar tahun 1980 menjadi 914 ribu hektar pada tahun 2002 dan produksi meningkat lebih dari 57 kali lipat dari 10 ribu ton tahun 1980 menjadi 571 ribu ton pada tahun 2002 (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005). Bahkan Dirjen Perkebunan (2006) menyebutkan bahwa kegiatan pengembangan kakao tersebut hingga tahun 2010 akan mencakup luasan 245 ribu ha.

(54)

5.2 Perkembangan Ekspor-Impor

Produksi kakao Indonesia sebagian besar diekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Produk yang diekspor sebagian besar (78,5 persen) dalam bentuk biji kering (produk primer) dan hanya sebagian kecil (21,5 persen) dalam bentuk hasil olahan. Tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Amerika Serikat, Malaysia, Brazil dan Singapura. Disisi lain, Indonesia juga mengimpor biji kakao yang akan digunakan untuk campuran bahan baku industri pengolahan dalam negeri. Negara asal impor biji kakao Indonesia antara lain: Pantai Gading, Ghana dan Papua New Guinea (Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, 2005).

Ekspor kakao Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun 1950-an, akan tetapi hingga tahun 1970-an volumenya masih relatif kecil. Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa pada periode 1969-1980 volume ekspor rata-rata sekitar 2.614 ton dengan nilai 5,319 US$. Sedangkan pada periode 1981-1991 rata-rata volume ekspor meningkat menjadi 52.547 ton dengan nilai sekitar 75,693 juta US$. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa volume ekspor tahun 2004 mencapai 366.855 ton dengan nilai 546,60 juta US$. Peningkatan volume dan nilai ekspor yang sangat cepat itu disebabkan oleh trend perkembangan produksi yang meningkat.

(55)

trend peningkatan, namun peningkatan tersebut masih berada di bawah peningkatan volume ekspor. Berikut adalah tabel yang dapat menunjukkan perkembangan ekspor dan impor kakao Indonesia.

Tabel 6. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Kakao Indonesia, 1969-2004

Ekspor Impor

(56)

5.3 Perkembangan Harga

Harga kakao di pasar dunia maupun di pasar domestik senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi kakao yang mengganggu keseimbangan stok kakao dunia. Arsyad (2004) mengatakan bahwa peningkatan produksi terbesar datang dari Indonesia (33 persen) kemudian Malaysia (18,9 persen), Ghana (8,16 persen) dan Pantai Gading (4,72 persen). Dampak dari peningkatan stok ini mengakibatkan harga kakao dunia melemah karena peningkatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan konsumsi (over supply).

Pergerakan harga kakao domestik selama ini mengacu pada harga di pasar internasional. Hal ini dimungkinkan karena posisi Indonesia selama ini lebih sebagai price taker dari pada sebagai price maker. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa mulai tahun 1994 harga kakao di pasar domestik mulai membaik hingga tahun 1998 akibat menguatnya harga dunia dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US$. Pada tahun 2003/2004 harga kakao domestik relatif stabil pada kisaran Rp 9.570.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun

H

a

rg

a

(

R

p/

kg

)

Harga Domestik (Rp/kg)

(57)

5.4 Perkembangan Konsumsi

Konsumsi (permintaan) kakao Indonesia masih rendah dengan pangsa hanya 1,94 persen dari total konsumsi kakao dunia. Namun demikian, tingkat konsumsi terus meningkat pesat dengan laju sekitar 15,89 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa industri hilir kako Indonesia semakin berkembang dan pentingnya untuk mempercepat teknologi industri hilir pengolahan kakao di dalam negeri (PPSEP, 1998).

Menurut Muharminto (1996), konsumsi biji kakao di dalam negeri terutama diserap oleh industri kakao olahan untuk dijadikan cokelat bubuk, mentega dan dalam bentuk makanan. Pada saat ini industri-industri cokelat amat jarang membeli kakao rakyat. Kakao rakyat ini kemungkinan dibeli oleh pabrik cokelat dalam negeri yang memproduksi cokelat makanan mutu rendah. Mungkin juga pada waktu harga kakao biji ekspor sedang baik, kakao rakyat tersebut dicampur dengan kakao biji yang bermutu lebih baik guna menambah kuantitas dan mengurangi kerugian (Roesmanto, 1991). Bahan baku tersebut oleh industri kakao olahan ataupun pabrik cokelat (chocolate manufacture) umumnya dicampur dengan biji kakao mutu baik dari PT Perkebunan atau impor. Produk yang dihasilkan sebagian besar dipasarkan di dalam negeri, sebagian lagi diekspor.

(58)

Terbatasnya data konsumsi (industri pengolahan) yang dapat menggambarkan kondisi pengolahan kakao dalam negeri menyebabkan tulisan ini tidak dapat mendeskripsikan secara lengkap mengenai perkembangan konsumsi (permintaan) kakao Indonesia, terutama kapasitas industri dan indeks konsumsi secara lengkap. Akan tetapi perkembangan konsumsi atas komoditas ini dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 7. Perkembangan Konsumsi dan Grindings Kakao Indonesia

(Ribu ton)

Tahun Konsumsi Pertumbuhan (persen/tahun)

1996/1997 12,00 -

1997/1998 12,00 0

1998/1999 9,00 -3

1999/2000 8,40 -0,6

2000/2001 9,00 0,6

2001/2002 9,50 0,5

2002/2003 11,00 1,5

2003/2004 12,00 1

Rata-Rata Pertumbuhan 0

Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006

(59)

5.5Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia

Kakao mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1970. Sampai saat ini berbagai kebijakan telah diterapkan atas komoditas ini. Kebijakan pengembangan areal dan produksi kakao melalui proyek-proyek nasional menjadi pusat perhatian pemerintah, mengingat kakao adalah komoditas perkebunan yang sangat potensial.

Perkembangan produksi dan ekspor yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir telah berhasil mengangkat posisi pangsa produksi dan ekspor Indonesia sehingga menduduki peringkat ke-tiga di dunia. Dukungan pemerintah untuk mengembangkan produksi kakao antara lain dengan mengunakan beberapa pola pengembangan, seperti: (1) Plasma, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, Swadaya Berbantuan, Swadaya Murni (dilaksanakan oleh perkebunan pakyat); (2) Program Inti dan Non Inti (dilaksanakan oleh pemerintah); (3) PBSN dan PBSA (dilaksanakan oleh perkebunan besar swasta) yang dilaksanakan hampir di tiap propinsi dengan tingkat produktivitas yang berbeda-beda (Arsyad, 2004). Departemen Pertanian pada tahun 2007 berencana memperluas areal perkebunan kakao hingga mencapai 23 ribu hektar. Hal ini dilakukan guna meningkatkan produktivitas kakao Indonesia sebagai program Revitalisasi Perkebunan2.

Selain kebijakan produksi, kakao sebagai komoditas perdagangan internasional telah mengikuti perkembangan kebijakan perkakaoan dunia. Antara lain perubahan harga dunia, automatic detention, depresiasi nilai tukar dan standar mutu. Automatic detention telah lama dijadikan kebijakan oleh negara importir

2

(60)

kakao Indonesia untuk mengenakan denda bagi kakao Indonesia sebesar US$200/ton, karena isu kualitas (Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005).

Pemerintah menerapkan pula kebijakan keringanan pajak untuk investasi kakao. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Muhammad Luthfi, pemerintah akan memberikan keringanan pajak 30 persen bagi investor Amerika Serikat yang tertarik menggarap pengolahan kakao. Insentif lain yang ditawarkan adalah dispensasi pembayaran pajak selama beberapa tahun3.

Kebijakan lainnya adalah PPN 10 persen yang dikenakan untuk seluruh hasil komoditas primer, termasuk kakao. Adanya kebijakan ini membuat pedagang lebih senang untuk menjual kakao ke luar negeri (ekspor). Lebih lanjut lagi adanya kebijakan ini membuat industri pengolahan coklat mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku untuk usahanya, sehingga tidak heran industri pengolahan cokelat dalam negeri tidak berkembang.

Akhirnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri serta menciptakan keseimbangan antara ekspor komoditas dan ketersediaan komoditas di dalam negeri sebagai bahan baku industri nasional, maka pemerintah berencana untuk menghapuskan PPN 10 persen dan sebagai gantinya pemerintah akan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao4. Sebenarnya rencana pemeritah untuk menerapkan pungutan ekspor atas komoditas kakao masih menjadi perdebatan berbagai pihak

3

Tempo. 2006. Keringanan Pajak untuk Investasi Kakao. www.tempointeraktif.com. Diakses tanggal 29 November 2006.

4

(61)

meskipun kenyataannya pada 17 Maret 2005 lalu, Mensesneg dengan surat No. B.168/M.Sesneg/03/05 meminta Menkeu untuk segera mengatur kebijakan penghapusan PPN dan penerapan pungutan ekspor atas kakao, serta melaporkan realisasinya langsung kepada Presiden (Supriyanto, 2005).

Petani, pedagang dan eksportir berada pada posisi menolak. Di pihak lain, industri pengolahan yang setuju dan memperjuangkan penerapan PE. Masing-masing mempunyai dasar pertimbangan sendiri, yang sebenarnya cukup beralasan. Petani, pedagang dan eksportir berpandangan bahwa PE akan semakin membebani petani, karena nantinya harga jual akan lebih rendah. Sementara bagi eksportir tidak akan kena efek apapun karena pihak ini hanya menyesuaikan harga jual (yang dibebankan kepada petani) dengan adanya PE.

(62)

6.1 Analisis Integrasi Pasar Dalam Negeri dan Dunia

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah harga bulanan kakao yang

terjadi di dalam negeri dan harga bulanan kakao dunia dari tahun 1999-2004.

Harga bulanan kakao tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Data diolah secara

statistik melalui pendekatan Model Autoregressive Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (OLS).

Persamaan (6) yang tertulis dalam metode penelitian digunakan untuk

memudahkan penentuan koefisien regresi dugaan dan interpretasi. Diasumsikan

karena selama ini posisi Indonesia dalam kancah perdagangan kakao dunia lebih

sebagai price taker dan harga kakao dalam negeri mengikuti harga kakao dunia,

maka faktor karakteristik lokal dianggap tidak ada (X =0). Intercept term

(konstanta) dimasukkan ke dalam model untuk menangkap perbedaan harga yang

disebabkan oleh perbedaan jarak. Meskipun Heytens (1986) menggunakan data

yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma natural (Ln) dalam menyusun

modelnya, namun dalam penelitian kali ini akan dibandingkan terlebih dahulu

antara model yang menggunakan data awal (sebelum diubah) dan model yang

menggunakan data yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma natural, baru

kemudian dipilih model yang paling akurat diantara keduanya. Adapun

perbandingan hasil olahan data tersebut (Lampiran 4 dan Lampiran 5) dapat

(63)

Tabel 8. Perbandingan Koefisien Regresi antara Data Sebelum dan Sesudah di Ubah ke Dalam Bentuk Logaritma Natural

Variabel Bebas

Data dalam bentuk Ln

Keterangan : Angka di dalam tanda kurung adalah nilai P-value

Berdasarkan hasil tersebut, karena kedua model sama-sama mempunyai

tiga variabel yang signifikan (P-value > α) maka pemilihan model yang lebih akurat adalah berdasarkan nilai R2 adjustednya. Karena nilai R2 adjusted model yang menggunakan data awal lebih besar (78,1 persen) maka model tersebut dapat

dikatakan relatif lebih akurat dan lebih mampu menjelaskan keadaan yang

sebenarnya. Oleh karena koefisien regresi yang dihasilkan dari model inilah yang

digunakan untuk menganalisis integrasi pasar. Hasil estimasi persamaan regresi

keterpaduan pasar kakao di dalam negeri dan dunia dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar Kakao Dalam Negeri dan Dunia

Keterangan: Angka di dalam tanda kurung adalah nilai P-value

Secara individu melalui uji T, koefisien (1+b1)berbeda secara nyata

dengan nol. Artinya variabel memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel

bebasnya dalam selang kepercayaan 99 persen. Dengan demikian dapat diartikan

bahwa harga kakao bulan lalu di pasar dalam negeri berpengaruh terhadap harga

kakao bulan ini.

1

it

Gambar

Gambar 1. Nilai Ekspor Komoditas Pertanian, 2000-2004 Sumber: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan, 2006 (Diolah)
Tabel 1.  Perkembangan Produksi dan Areal Perkebunan Kakao Indonesia
Gambar 2. Perkembangan Harga Kakao Dunia, 1995-2005
Gambar 3. Pergerakan Harga Kakao Dunia, Domestik dan Beberapa Sentra Kakao Sumber: International Cocoa Organization dan Dirjen Perkebunan Deptan, 2006 (Diolah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

setiap individu untuk belajar perilaku baru berupa peniruan, ingatan, pemahaman yang didapat oleh anggota kelompok sehingga kegiatan bimbingan kelompok menunjang

Aplikasi sistem stok barang dan keuangan dalam dunia kesehatan sangat diperlukan saat ini, terutama dalam hal pembelian maupun penjualan merupakan salah satu faktor yang

Kepada Jemaat yang baru pertama kali mengikuti ibadah dalam Persekutuan GPIB Jemaat “Immanuel” Depok dan memerlukan pelayanan khusus, dapat menghubungi Presbiter yang

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan pada Ikan cupang ( Betta splendens) dari Kabupaten Aceh Besar dan Banda Aceh yaitu Dactylogyrus sp. dan Lernea sp. Dari jumlah

Pada waktu Belanda datang dengan perilaku penjajahan, Islam sebagai agama telah memainkan peran yang sangat penting dalam memberikan panduan berpikir dan bertindak bagi

Peneliti melakukan penelitian di Pondok putri Darul Huda Mayak dengan alasan bahwa pondok tersebut masih menerapkan peraturan pada santri putri untuk menggunakan pembalut

Melihat indikasi tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah variabel budaya organisasi, lingkungan kerja, dan komunikasi secara simultan dan parsial berpengaruh

Gambar sebagai dasar kemampuan awal seorang pelaku animasi merupakan kunci kompetensi yang diakui oleh standar kompetensi nasional, juga oleh dunia industri,