• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Ekspor/Impor

3.2. Analisis Isu-Isu Strategis

Kondisi Aceh yang baru lepas dari bencana tsunami dan konflik memberikan sebuah peluang sekaligus tantangan yang sangat besar bagi pembangunan Aceh.

3.2.1. Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi melalui komitmen pendanaan yang sangat besar dari Pemerintah Indonesia dan Lembaga Donor Internasional diharapkan dapat membangun kembali Aceh secara lebih baik. Kucuran dana dan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan pergerakan ekonomi yang lebih baik. Namun kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dibatasi oleh pendanaan dan waktu yang terbatas (2005-2009) sehingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dituntaskan dan memfungsionalkan hasil-hasil yang telah dicapai.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 112

3.2.2. Kerentanan Perdamaian

Perdamaian di Aceh memberikan ruang ideal bagi tumbuhnya kesejahteraan. Proses reintegrasi pihak-pihak yang bertikai harus berjalan secara hati-hati dan sempurna. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang baru selesai dari konflik kembali terjebak kepada kekerasan karena proses reintegrasi berjalan timpang, sektoral dan tidak adil. Pelestarian perdamaian yang merupakan prasyarat bagi efektifitas pembangunan di Aceh harus dipastikan dengan program pembangunan yang terpadu dan menyentuh segala lapisan dan golongan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

3.2.3. Pemantapan Syariat Islam dan Ketahanan Budaya

Nilai-nilai Islami belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Syariat, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap Syariat Islam masih belum sempurna. Makin terbukanya Aceh pasca tsunami dan konflik serta derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi merupakan faktor eksternal. Hal ini menjadi tantangan masyarakat Aceh untuk dapat mempertahankan jati diri sebagai masyarakat yang islami. Selama ini pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi cenderung merusak jati diri Aceh. Karenanya perlu dilakukan pemantapan akidah dan pemahaman Syariat untuk meningkatkan ketahanan (Resilience) budaya dan kecerdasan masyarakat Aceh terhadap infiltrasi budaya asing yang dapat merusak akidah. Ketahanan dan kecerdasan ini perlu ditingkatkan dalam menghadapi tantangan globalisasi.

3.2.4. Integrasi Dana Pembangunan Belum Optimal

Sumber pendanaan untuk pembangunan Aceh yang berasal dari Pendapatan Asli Aceh (PAA dan PAK), Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus yang sesuai dengan UUPA, dan lain-lain pendapatan yang sah selama ini belum terintegrasi secara strategis dan optimal.

3.2.5. Penurunan Sumber Penerimaan Daerah Dari Migas

Era hidro-karbon Aceh terus menurun yang ditandai dengan terus berkurangnya produksi minyak dan gas. Sedangkan sumber-sumber minyak dan gas baru belum ditemukan. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 113

kontribusi sektor minyak dan gas tidak lagi dominan terhadap perekonomian Aceh dan telah diganti oleh sektor pertanian. Kondisi ini mengharuskan perubahan fokus pemerintah untuk mengoptimalkan sumber penerimaan Aceh dari non migas.

3.2.6. Alih Fungsi Lahan Semakin Meluas

Alih fungsi lahan yang dapat menyebabkan kecendrungan perubahan fungsi suatu lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya semakin meluas di Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya revitalisasi kebijakan, sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

3.2.7. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

IPM Aceh masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Nasional. Demikian juga dengan disparitas IPM antar kabupaten/kota masih tinggi, dimana IPM di perkotaan pada umumnya lebih tinggi dari perdesaan. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja pembangunan ekonomi dan pelayanan dasar yang masih rendah sehingga harus ditingkatkan.

3.2.8. Pemanasan Global dan Tingkat Pencemaran Lingkungan

Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan berdampak terhadap aktivitas dan kehidupan manusia. Perubahan pola hujan, sirkulasi angin, kenaikan muka air laut, rusaknya terumbu karang merupakan wujud daripada perubahan iklim. Demikian juga dengan tingkat pencemaran lingkungan yang harus diwaspadai. Karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan dan adaptasi dari pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan ini sehingga kualitas lingkungan hidup tetap terpelihara.

3.2.9. Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Tanggap Bencana

Pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam secara tidak terkendali dapat menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari eksploitasi sumberdaya alam seperti hutan secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi atau pemulihan fungsi hutan secara proporsional dan kegiatan penambangan yang tidak terkendali sehingga berdampak pada penurunan kualitas lingkungan yang dapat menimbulkan bencana. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara terkendali dan meningkatkan nilai tambah produk sumberdaya alam. Disamping itu, pemanfaatan sumberdaya alam harus berorientasi kepada

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 114

pemanfaatan sumberdaya alam terbaharukan dan jasa lingkungan seperti wisata lingkungan, perdagangan karbon dan pemanfaatan sumberdaya hutan non kayu.

Aceh terletak pada lintasan pertemuan lempeng Indo-Australia dan Euro

Asia serta dipengaruhi oleh iklim tropis. Kenyataan ini membuat bencana

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar.

3.2.10. Pertanian Menjadi Sektor Harapan

Kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Aceh menempati urutan pertama dari segi Pendapatan Domestik Bruto Regional (PDRB non migas). Sektor ini juga menyerap hampir setengah dari tenaga kerja. Hal ini menunjukkan pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Aceh. Namun sektor ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani dan nelayan. Hal ini diindikasikan dengan masih rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP) gabungan rata-rata yaitu sebesar 98,68 persen yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas komoditi, jumlah dan kualitas SDM di bidang pertanian masih terbatas, kurang sarana dan prasarana pendukung lainnya serta masih lemahnya jaringan pasar.

3.2.11. Peningkatan Nilai Tambah Daerah

Tingkat pertambahan nilai dari komoditas pertanian sebagai produksi utama Aceh masih rendah karena belum tersedia sarana dan prasarana pendukung dan SDM yang memadai. Sebagian besar ekspor yang dilakukan berupa bahan mentah sehingga pengolahan komoditas pertanian menjadi penting untuk memberi nilai tambah, membuka peluang tenaga kerja dan memperluas serapan pasar terhadap komoditas. Karena itu, perubahan paradigma pembangunan sektor pertanian mutlak diperlukan dengan prioritas peningkatan nilai manfaat dari produk-produk pertanian Aceh.

3.2.12. Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Belum Optimal Aceh memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang diantaranya terdiri dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Namun, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal yang berkaitan dengan ketersediaan benih, penanganan penyakit, penanganan pasca panen, infrastruktur pertambakan dan pemasaran.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 115

Perikanan tangkap masih menghadapi beberapa hambatan seperti terbatasnya armada yang berjelajah tinggi, rendahnya teknologi penangkapan, belum memadainya teknologi pengolahan, kapasitas SDM yang rendah. Sehingga nelayan Aceh kalah bersaing dengan nelayan-nelayan internasional lainnya. Sebagian besar nelayan Aceh merupakan nelayan tradisional yang memiliki sarana dan teknologi tangkap yang minim serta daya jelajah yang terbatas. Kondisi ini tidak ideal karena wilayah laut teritorital (12 mil) dan Zona Ekonomi Ekslusive (200 mil) belum termanfaatkan secara optimal.

3.2.13. Tingginya Beban Tanggungan Hidup Penduduk

Rasio ketergantungan hidup merupakan perbandingan jumlah penduduk usia produktif (15-55 tahun) berbanding jumlah penduduk usia non produktif (<15 tahun dan >55 tahun). Rasio ketergantungan hidup di Aceh cenderung meningkat sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan karena beban tanggungan hidup yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas, rendahnya kesempatan kerja dan belum terkendalinya pertumbuhan penduduk.

3.2.14. Pengembangan Wilayah Strategis

Secara geografis, Aceh memiliki peluang untuk berkembang karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan lautan Hindia. Demikian juga dengan telah ditetapkannya Sabang sebagai PKSN dalam tata ruang nasional, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Sabang Sebagai Pelabuhan Bebas demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menetapkan Pelabuhan Sabang sebagai Hubport yang berfungsi sebagai Pelabuhan Ekspor/Impor Internasional dan Pelabuhan Transit yang berpeluang untuk dikembangkan. Namun, pertumbuhan kawasan tersebut masih belum berkembang seperti yang diharapkan karana sarana dan prasarana belum memadai. Disamping itu, pengembangan wilayah Kabupaten/Kota yang belum seimbang dan terintegrasi antara wilayah barat, tengah dan wilayah timur.

3.2.15. Rendahnya Daya Saing

Daya saing sumberdaya manusia (SDM) Aceh masih tergolong rendah. Hal ini tergambar dari rasio tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dengan jumlah penduduk masih kecil dan jumlah lulusan sekolah kejuruan yang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 116

menguasai ketrampilan masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Disisi lain, kualitas SDM masih perlu ditingkatkan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang semakin berat. Demikian juga rasio ketergantungan hidup penduduk usia produktif Aceh masih tinggi, sehingga produktivitasnya terbatas. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan daya saing SDM tidak hanya terbatas pada peningkatan jumlah tetapi juga terhadap peningkatan kualitas SDM yang dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan (kurikulum, tenaga pengajar dan fasilitas), peningkatan kerjasama dengan dunia usaha serta memperluas kesempatan magang, pelatihan dan studi lanjut.

Dalam skala yang lebih luas, tumbuhnya raksasa ekonomi global di masa depan, seperti Cina dan India, perlu dipertimbangkan secara cermat di dalam menyusun pengembangan perekonomian Aceh. Oleh karena itu, daya saing SDM merupakan indikator kunci agar Aceh dapat menghadapi persaingan global.

3.2.16. Rendahnya Peran Dunia Usaha Dalam Pembangunan

Pembangunan dalam rangka peningkatan ekonomi Aceh membutuhkan dukungan dari dunia usaha yang selama ini masih belum berperan seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang belum memihak kepada dunia usaha, reformasi di sektor keuangan yang masih terbatas, jumlah tenaga kerja profesional yang masih terbatas dan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung lainnya. Dengan demikian, peran asosiasi dunia usaha sangat diperlukan dalam meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan.

3.2.17. Pengembangan Sumberdaya Energi dan Mineral

Kapasitas listrik di Aceh hingga kini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, usaha, umum dan industri. Kondisi saat ini baru 60 persen yang terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga yang sebagian besar dipasok dari Sumatera Utara. Sementara itu, untuk kebutuhan energi listrik untuk mendukung dunia usaha dan industri masih belum tersedia. Diperkirakan untuk 5 tahun kedepan Aceh membutuhkan pasokan listrik sekitar 500 MW. Pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan energi listrik sebesar 7.131 MW.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 117

Untuk mengatasi kendala kebutuhan energi listrik difokuskan pada energi terbaharukan (non fosil) antara lain; energi panas bumi, energi air, tenaga angin dan tenaga surya. Beberapa sumber energi terbarukan tersebut sudah mulai dikembangkan seperti energi panas bumi Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar, energi tenaga air Krueng Peusangan dan energi tenaga angin Kluet Selatan di Aceh Selatan. Sementara itu, sumber energi terbarukan lainnya masih pada tahap pengkajian dan perlu ditindaklanjuti sebagai prioritas pembangunan jangka panjang.

Aceh memiliki sumberdaya mineral yang cukup potensial, namun belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bebarapa potensi pertambangan di wilayah Aceh mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara (minerba), minyak dan gas bumi (migas), panas bumi, dan air tanah. Potensi pertambangan yang telah teridentifikasi terdiri dari; bahan tambang strategis (golongan A), bahan tambang vital (golongan B), dan bahan tambang golongan C (bahan galian). Potensi ini masih belum dimanfaatkan oleh investor dari dalam dan luar Aceh akibat kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi.

3.2.18. Kemiskinan Daerah Tertinggal dan Ketimpangan Wilayah

Persentase penduduk miskin di Aceh masih tergolong tinggi (21,80%) yang melebihi angka rata-rata Nasional (14,20%) bahkan pada tahun 2009 tingkat kemiskinan Aceh berada pada urutan ke tujuh tertinggi di Indonesia. Penduduk miskin umumnya berada di perdesaan pada 17 Kabupaten dari 23 Kabupaten/Kota di Aceh. Hal ini mengindikasikan permasalahan kemiskinan di Aceh merupakan hal mendasar yang harus ditangani secara menyeluruh dan berkesinambungan. Demikian juga dengan indeks ketimpangan wilayah Aceh masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan nilai indeks ketimpangan rata-rata Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan pembangunan antar wilayah di Aceh perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah.

3.2.19. Beban Ganda Kesehatan

Penyebab kematian utama di Aceh adalah penyakit tidak menular seperti Stroke, Hipertensi dan Diabetes Mellitus. Sementara itu, pada saat yang sama prevalensi penyakit infeksi menular juga masih menjadi permasalahan kesehatan di Aceh seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), diare, typhus, malaria dan hepatitis. Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa Aceh menghadapi beban ganda pembiayaan kesehatan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 118

3.2.20. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Aceh masih terbatas dalam penguasaan dan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mendukung pembangunan. Hal ini tercermin dari rendahnya kontribusi Iptek di sektor produksi dan nilai tambah, belum efektifnya mekanisme intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan, belum berkembangnya budaya Iptek di masyarakat, dan terbatasnya sumber daya iptek serta hak intelektual (Paten) yang dihasilkan masih terbatas. Berbagai hasil penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi belum dapat dimanfaatkan oleh pihak industri dan masyarakat. Kolaborasi riset antara universitas dengan dunia usaha dan pemerintah masih belum sinergis.

119 TAHUN 2005 - 2025

Berdasarkan kondisi Aceh saat ini dan skenario yang dihadapi dalam 20 Tahun mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, visi pembangunan Aceh Tahun 2005-2025 adalah:

Dokumen terkait