• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dan Tantangan di Aceh

C. Ekspor/Impor

3.1. Permasalahan dan Tantangan di Aceh

Konteks kekinian dari Provinsi tidak terlepas dari dua peristiwa besar yaitu konflik dan bencana gempa bumi dan tsunami, kedua peristiwa ini mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Aceh. Berbagai indikator pembangunan menunjukkan kecenderungan memburuk akibat dari kedua peristiwa tersebut. Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang terus-menerus mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik, ekonomi dan sosial pada skala masif.

Tahun 2005 merupakan babak baru kehidupan masyarakat Aceh yang ditandai dengan berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi dan kesepakatan damai melalui penandatanganan MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Namun, proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang didukung oleh berbagai lembaga nasional dan internasional hanya bersifat sementara (2005-2009). Demikian juga dengan perdamaian di Aceh masih sangat muda sehingga berbagai struktur sosial ekonomi yang rusak akibat konflik belum sepenuhnya pulih, hal ini dapat menjadi permasalahan dan tantangan pembangunan Aceh ke depan.

Sejak tahun 2001, Aceh telah mendeklarasikan pelaksanaan Syariat Islam. Namun, Nilai-nilai Islami belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Syariat, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap Syariat Islam masih belum sempurna. Demikian juga dengan adat istiadat dan budaya telah mengalami pergeseran. Hal ini menjadi tantangan masyarakat Aceh untuk dapat mempertahankan jati diri sebagai masyarakat

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 108

yang islami. Ketahanan dan kecerdasan ini perlu ditingkatkan dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Aceh memasuki masa transisi ekonomi dimana kegiatan ekonomi sekunder mulai mengalami peningkatan. Proses transisi ini memberikan dampak pada alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman, perkantoran, pertokoan dan pusat-pusat komersial lainnya. Demikian juga halnya dengan fungsi lahan hutan yang mengalami perubahan menjadi lahan perkebunan dan penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan RTRW Aceh.

Meningkatnya kegiatan eksploitasi sumberdaya alam seperti kegiatan penambangan liar dan alih fungsi lahan hutan menyebabkan degradasi lingkungan yang dicirikan semakin luasnya lahan kritis dan lahan terlantar. Hal ini juga dipicu dengan adanya kebijakan dan implementasinya yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Selanjutnya, Aceh juga merupakan salah satu daerah rawan bencana terutama gempa bumi dan tsunami, banjir dan longsor karena terletak pada lintasan pertemuan lempeng Indo-Australia dan Euro Asia serta dipengaruhi oleh iklim tropis dan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan aturan.

Kualitas sumberdaya manusia (SDM) Aceh mengalami kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Namun jika dikomparasikan dengan pencapaian rata-rata nasional, kualitas SDM Aceh yang direpresentasikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih lebih rendah dari IPM nasional. Selanjutnya, kualitas SDM sangat menentukan untuk dapat bersaing dalam era globalisasi. Daya saing SDM Aceh masih tergolong rendah yang dicirikan dengan masih terbatasnya jumlah lulusan SDM kejuruan yang memiliki keterampilan (skill), jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi masih rendah dan rasio ketergantungan penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk masih tinggi.

Berdasarkan angka rata-rata nasional, penduduk miskin Aceh masih tergolong tinggi. Demikian juga halnya dengan ketimpangan antar wilayah masih tergolong tinggi dan daerah tertinggal di Aceh masih banyak, termasuk didalamnya daerah-daerah perbatasan dengan provinsi dan negara tetangga. Usia harapan hidup masyarakat Aceh berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab kematian utama di Aceh dikarenakan oleh penyakit non infeksi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 109

seperti stroke, hipertensi dan diabetes mellitus. Selain itu daerah Aceh dikenal sebagai daerah endemik penyakit menular seperti DBD, malaria dan diare.

Aceh memasuki fase transisi kependudukan dimana terdapat peningkatan rasio ketergantungan hidup yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraan akibat beban tanggungan hidup yang meningkat. Hal ini juga menyebabkan penurunan tabungan dan investasi yang dimiliki masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan menjadi terbatas.

Sesuai dengan RTRW Nasional dan RTRW Aceh, beberapa Kabupaten/Kota telah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan strategis. Namun, pengembangan wilayah ini masih belum terlaksana seperti yang diharapkan. Sehingga masih terlihat ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten/Kota. Demikian juga dengan posisi strategis Aceh yang berbatasan langsung dengan beberapa Negara tetangga dan didukung dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan aturan Pelaksanaannya dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga/Badan di Luar Negeri pada hakikatnya menjadi peluang untuk melakukan kerjasama dalam berbagai bidang yang mendukung pembangunan Aceh. Namun peluang ini masih belum dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Pembiayaan pembangunan Aceh juga masih tertumpu pada pendanaan yang bersumber dari Pemerintah sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan dalam jumlah besar seperti infrastruktur tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Dalam konteks ini, peran dunia usaha untuk mendukung pendanaan pembangunan masih belum memungkinkan karena belum adanya regulasi yang mengatur peran dunia usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh mendapatkan bantuan dana Otsus selama 20 tahun terhitung sejak tahun 2008-2027 yang setara dengan 2 persen dari DAU nasional untuk jangka waktu 15 tahun pertama dan 1 persen untuk 5 tahun terakhir. Mengingat waktu pengelolaan dana yang terbatas maka perlu dikelola dengan lebih optimal dan profesional.

Kondisi saat ini produksi migas Aceh semakin menurun dan diperkirakan akan berakhir pada tahun 2014 sehingga mempengaruhi sumber pendanaan pembangunan dari sektor migas. Permasalahan ini akan

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 110

berdampak pada pertumbuhan ekonomi Aceh. Seiring dengan menurunnya cadangan migas Aceh, maka sektor pertanian menjadi andalan yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh dan penyerapan tenaga kerja. Namun sektor pertanian ini belum didukung dengan peningkatan nilai tambah komoditi andalan masing-masing wilayah melalui perbaikan mutu dan pengolahan komoditas untuk mendorong peningkatan nilai tambah daerah. Demikian juga halnya terhadap sektor kelautan dan perikanan masih belum mampu untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan karena sebagian besar nelayan Aceh merupakan nelayan tradisional.

Infrastruktur dasar yang dibutuhkan untuk mempercepat pergerakan penumpang dan barang dari satu lokasi ke lokasi lain masih sangat minim, demikian juga dengan pengelolaan sumber daya air (pengairan dan air minum) yang belum optimal. Demikian juga dibidang kelistrikan mengalami defisit energi yang sangat besar, yang selama ini kebutuhan itu masih dipasok dari Sumatera Utara sehingga mengalami kehilangan arus dalam proses pendistribusiannya. Sehingga kebutuhan energi untuk daerah-daerah terpencil masih belum terjangkau.

Disamping itu, permasalahan defisit energi karena belum dimanfaatkannya sumber energi alternatif seperti energi panas bumi, energi air, tenaga angin serta sumber energi alternatif lainnya. Pemanfaatan sumberdaya mineral untuk mendukung pembangunan Aceh masih belum optimal, karena potensi ini masih belum dapat dimanfaatkan oleh investor akibat kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi.

Pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development

Goals) merupakan permasalahan dan tantangan global yang harus dituntaskan

oleh Pemerintah Aceh. Tujuan pembangunan Milenium memiliki 8 (delapan) indikator yaitu: (1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) Mewujudkan pendidikan dasar, (3) Meningkatkan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) Mengurangi angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, (7) Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan (8) Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.

Kesepakatan kerja sama IMT-GT di tandatangani pada tahun 1993 dan kerjasama China-AFTA (ASEAN Free Trade Area) akan dimulai oleh masyarakat ekonomi ASEAN dengan China pada tahun 2011. Hal ini menuntut perlunya

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2005-2025 111

kerjasama yang semakin efektif di tingkat regional sebagai basis penting dalam mendukung peningkatan ketahanan nasional. Selain itu juga menjadi peluang pasar bagi produk unggulan daerah untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan pembangunan ekonomi regional.

Untuk mendukung ekspor/impor Indonesia wilayah barat, Sabang ditetapkan sebagai pelabuhan bebas, namun sampai saat ini pelabuhan bebas Sabang belum berkembang secara optimal.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat penting untuk dapat bersaing di era globalisasi dan mendukung pembangunan Aceh. Dalam konteks ini, Aceh masih memiliki beberapa permasalahan antara lain: terbatasnya penguasaan IPTEK, rendahnya pemanfaatan hasil IPTEK oleh masyarakat dan dunia usaha dan belum terjalinnya kolaborasi riset antara universitas dengan dunia usaha yang didukung oleh pemerintah.

Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan masih merupakan permasalahan yang harus dihadapi karena berdampak pada lingkungan dan kehidupan masyarakat. Belum adanya upaya-upaya pencegahan dan adaptasi yang dilakukan secara optimal sehingga menyebabkan semakin menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak terhadap berbagai sendi kehidupan.

Dokumen terkait