• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian, kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berfikir yang di dasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian di simpulkan secara khusus, yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah responden. Adapun responden tersebut terdiri dari Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bandar Lampung, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu & patner.

Adapun keempat responden tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nama : Cahyono Priyo Santoso

Umur : 29 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Jabatan : Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung

2. Nama : Ganefli

Umur : 46 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

36

3. Nama : Hirda S.H

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

4. Nama : Sumarsih , S.H.

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu di Bandar Lampung

Pemilihan responden di atas dengan pertimbangan bahwa responden tersebut memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penelitian ini memperoleh sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

B. Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang tidak menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan.

Globalisasi telekomunikasi dan informasi sedang melanda di dunia yang ditandai dengan perkembangan bisnis media massa yang begitu pesatnya, sehingga telah ikut mendorong tumbuhnya bisnis reklame, iklan, dan promosi secara signifikan. Bentuk dan jenis promosi semakin atraktif, media yang digunakan beragam, promosi bisnis dapat dikemas dan dimuat dalam surat kabar dan majalah atau melalui radio, televisi, dan internet.

37 Gejala ini menunjukkan adanya tingkat persaingan yang ketat di antara pelaku usaha dalam arti luas. Sementara itu bisnis media cetak dan elektronik hingga saat ini masih mengandalkan sumber pemasukan keuangan dari iklan. Oleh karena itu setiap tampilan yang ada pada halaman cetak maupun program acara televisi dipenuhi oleh iklan yang menyita ruang dan durasi yang lama.

Di satu pihak pelaku usaha gencar melakukan promosi dan iklan karena merupakan bagian dari proses pemasaran atas produk yang dihasilkan. Di lain pihak, konsumen memerlukan produk untuk dikonsumsi. Arti pentingnya promosi dan iklan dalam era globalisasi ini adalah meningkatnya persaingan karena salah satu motivasi dari globalisasi adalah perluasan pasar, sehingga pasar domestik menjadi terbuka.

Propaganda tidak hanya berdampak terhadap konsumen saja, tetapi juga pelaku usaha. Dampaknya, dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif dari iklan adalah memberikan pesan dan informasi kepada siapa pun yang melihat, membaca, dan mendengarnya; sedangkan dampak negatif bagi konsumen adalah jika propaganda bisnis tersebut tidak sesuai dengan produk atau dalam pengungkapannya melanggar nilai dan norma etika, moral, dan sopan santun, salah satu contohnya adalah kasus tidak bisa dihentikannya layanan registrasi atas iklan yang ada di media televisi.

Para konsumen yang membaca iklan di media televisi dapat terpengaruh, namun tingkat pendidikan dan pemahaman atas isi dan bentuk peragaan iklan tersebut sangat beragam, sehingga dikhawatirkan para konsumen dapat terkecoh atau tertipu atas iklan tersebut. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan

38 Konsumen mengatur tentang promosi dan iklan yang layak ditampilkan dalam media massa. Ada tujuh pasal yang secara khusus mengatur tentang hal itu, yaitu Pasal 10, 12, 13, 15, 16, d an 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 10

“Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a.harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c.kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Pasal 12

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan”.

Pasal 13 Ayat (1)

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya”.

Pasal 15

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”.

39 Pasal 16

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b.tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi”.

Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e

Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

a.Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; b.Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Menurut responden Cahyono Priyo Santoso di Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung belum pernah menerima laporan atau pengaduan mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan. Namun beliau mengatakan meskipun belum pernah, pihak kepolisian tetap bisa menerima laporan pengaduan tersebut. Proses pelaporan dari kasus tersebut prosedurnya sama dengan pelaporan kasus yang lainnya. Dalam hal terjadinya kasus ini, polisi sebagai penyidik tunggal dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dijadikan saksi ahli di kepolisian. Apabila ada konsumen yang mengalami kejadian tersebut maka bisa saja konsumen yang menjadi korban dari iklan itu langsung melaporkan ke pihak kepolisian. Namun bila masih bisa diselesaikan melalui lembaga YLKI maka sebaiknya diselesaikan dan dicari solusi terbaik dari permasalahan yang terjadi. YLKI dapat melakukan tugas tersebut karena YLKI merupakan tempat antara konsumen yang menjadi korban (atau yang merasa dirugikan) dengan perusahaan sebagai penyedia jasa untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi. YLKI dapat dijadikan sebagai tempat mediasi antara konsumen dan perusahaan.

40 Kasus tidak dihentikannya registrasi menurut YLKI menyebutkan bahwa pihak pengusaha telah melanggar hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajibannya yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dilanggar meliputi:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini memiliki cakupan yang luas. Konsumen sebagai pemilik atau pengguna barang dan/atau jasa tidak boleh diganggu dalam menikmati haknya. Arti terganggu mencakup dari tuntutan hak pihak lain; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat mendidik konsumen untuk waspada atas informasi yang diungkapkan pada kemasan atau label;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak ini dapat dianggap sebagai realisasi atau turunan dari hak untuk menyampaikan pendapat dalam hak asasi manusia;

d. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak ini merupakan risiko yang dipikul pelaku usaha.

Dalam hubungan hukum dua arah dan timbal balik, maka hak konsumen dapat menjadi kewajiban pelaku usaha. Dalam transaksi pembelian barang, hak konsumen memperoleh barang dan sekaligus kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang. Kewajiban pelaku usaha meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan konsumen.

41 Adapun kewajiban pelaku usaha yang dilanggar berdasarkan kasus di atas yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban pelaku usaha ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ketentuan tegas tentang prinsip nondiskriminatif dalam perlakuan terhadap konsumen. Larangan bagi pelaku usaha untuk membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan dan dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen;

d. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kewajiban ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen; e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Ketidaksesuaian barang yang diterima oleh konsumen dengan yang diperjanjikan terjadi, jika pelaku usaha dan konsumen tidak bisa bertemu secara langsung, misal pembelian barang melalui internet. Selain itu juga transaksi konsumen yang tidak sekaligus dengan penyerahan barang, misal pembelian barang dengan cara pesanan (by order).

42 Kedudukan hukum yang setara atau sederajat antara konsumen dan pelaku usaha merupakan posisi yang ideal menurut hukum. Karena hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat secara timbal-balik. Tetapi tidak semua transaksi konsumen bersifat timbal balik. Oleh karena itu, Undang-Undang perlindungan konsumen menambahkan adanya perbuatan yang dilarang (prohibited) bagi pelaku usaha dan tanggungjawab (liability) yang dapat diajukan kepada pelaku usaha. Pada kasus mengenai tidak dihentikannya langganan registrasi atas permintaan pelanggan, pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 huruf a, c, d, h dan e. Kewajiban pelaku usaha yang dilanggar terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, f dan g.

Membahas norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar dua pertimbangan. Pertama, kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha pengiklan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), dan media periklanan. Disamping itu, juga melibatkan konsumen selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan dan pemerintah, dalam hal ini departemen penerangan. Kedua, tempat periklanan sendiri dalam pembidangan hukum di Indonesia lebih banyak dikelompokkan dalam bidang hukum admiistrasi Negara, khususnya kelompok hukum pers.

Seperti yang dikemukakan Oemar Sono Adji, dalam kata tanggung jawab terkandung dua aspek yaitu, aspek etik dan aspek hukum. Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Jadi, sistem tanggung jawab dapat

43 diartikan sebagai metode atau prosedur agar seseorang/badan hukum tidak dapat mengelakkan diri dari akibat perilaku/perbuatannya (Yusuf Shofie, 2009:179).

Masalah tanggung jawab iklan muncul dalam hal:

a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;

b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan seperti yang telah dikemukakan (Yusuf Shofie, 2009:82).

Kasus tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi maka masalah tanggung jawab iklan itu lebih berpusat pada poin a (informasi produk), dimana pelanggaran pada poin a yang bertanggung jawab ialah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual, sepanjang unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya yang menonjol.

Sebaliknya, dalam poin b (kreativitas), yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Dua yang terakhir ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih: kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab perusahaan pengiklan. Analog dengan ajaran penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak, tetapi juga ada pelaku lainnya.

44 Di dalam mendesain iklan, praktisi periklanan hendaknya memperhatikan juga asas-asas umum kode etik periklanan sebagai berikut:

a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;

b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan;

c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat (Yusuf Shofie, 2009:177).

Self-regulation ini memang kewenangan masyarakat profesi periklanan sendiri untuk melakukan tindakan atas berbagai praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik. Tidak dihentikannya registrasi melangggar asas-asas umum kode etik periklanan pada poin a. Kenyataan pelanggaran praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik mendorong campur tangannya instrumen hukum berupa kejelasan kaidah/norma hukum di bidang periklanan, yaitu melarang penggunaan iklan yang disampaikan dengan cara (Yusuf Shofie, 2009:180): a. Mengemukakan hal-hal yang tidak benar (false statement);

b. Mengemukakan hal-hal yang menyesatkan atau tidak proporsional (mislead statement);

c. Menggunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery).

Kaidah/norma hukum demikian diharapkan merupakan muatan atau materi Undang-Undang Periklanan yang belum pernah ada di Indonesia. Dalam teori dan praktik penegakan hukum telah sering dikemukakan bahwa untuk meminta suatu pertanggungjawaban hukum tehadap seseorang/badan hukum, harus ada kejelasan kaidah hukum/norma-norma hukum apa yang dilanggar.

45 Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang belum efektif karena masih disosialisasikan, campur tangan instrumen hukum untuk menyelesaikan praktik periklanan yang melanggar self-regulation dilakukan dengan menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/delik penipuan. Penggunaan instrumen ini belum tentu mengembalikan kerugian yang dialami konsumen, malahan konsumen justru harus keluar masuk ke kantor polisi. Belum lagi ancaman pengusaha kepada konsumen dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hukuman pidana tersebut dapat dikenakan terhadap individu sebagai pengurus suatu korporasi. Sanksi pidana dalam hukum perlindungan konsumen diharapkan dapat efektif untuk menimbulkan pengaruh atau efek pencegahan (deterrent effect) agar tidak dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan.

Deskripsi mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen itu dapat dijumpai jika pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu ditelusuri satu demi satu. Tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi melanggar 3 norma perlindungan konsumen dalam sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

46 Semuanya memuat jenis-jenis pidana pokok yaitu:

1. Pidana penjara maksimal 5 tahun dan 2 tahun;

2. Pidana denda maksimal Rp2 miliar dan Rp500 juta (Pasal 62 jo. Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; dan pencabutan izin usaha).

Dari kasus tidak dihentikannya registrasi terhadap iklan di media televisi melanggar tiga norma yang penulis uraikan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Pada kegiatan produksi ini maka melanggar norma ke-1 (Pasal 8 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen), yaitu larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Sanksi pelanggaran pasal ini berupa:

a. Sanksi administrative, yaitu kewajiban menarik dari peredaran barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen); b. Sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2

miliar (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

2. Kegiatan penawaran, promosi, dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 16; serta Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

47

Norma ke-2 (Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) bergantung pada pemahaman perkembangan teknologi informasi dalam penawaran produk barang dan/atau jasa. Normanya yaitu larangan penawaran barang dan/atau jasa melalui pesanan untuk:

a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. Tidak menepati janji atas sesuatu pelayanan dan/atau prestasi.

Sanksinya pidana penjara maksimal dua tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta (Pasal 62 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Masih menyangkut promosi produk melalui sarana iklan, norma ke-3 (Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e Undang-Undang Perlidungan Konsumen) menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang:

a. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

b. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; c. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

Seperti dalam kasus yang dialami oleh Bambang, warga Tanah Pasir, Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku bahwa pulsanya berkurang karena dia menerima sms dari 3689. Setiap sms yang diterima dari short code itu akan menyedot Rp2000. Dan Rinto, warga Kampung Kamurang, Kebon Nanas, Tangerang juga kurang lebih mengalami hal yang sama. Dia mengikuti program Quit Smoking yang ditayangkan JakTV untuk minta ringtone ke nomor 7898. Namun pada hari

48 berikutnya, ia mengaku mendapat SMS dari nomor yang sama dan pulsanya tersedot. Kedua orang itu komplain ke pihak operator. Tapi, nyatanya sms itu tidak berhenti dikirimkan dan pulsa terus tersedot. (http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

Sanksi pidana yang diancamkan pada norma ini, yaitu sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar atas pelanggaran pasal 17 ayat (1) butir c, d dan e (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Menyangkut hak konsumen atas informasi dan keamanan produk, terdapat hubungan yang erat antara iklan/informasi produk dengan tingkat keamanan produk. Tampaknya, hal ini menjadi perhatian khusus pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk memberikan rumusan norma-normanya dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pengalaman di negara-negara lain dan juga di Indonesia sendiri kiranya menjadi perhatian pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen meskipun itu tak dinyatakan dalam konsideransinya. Tragedi konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi memang tak mengenal batas-batas negara yang dikenal dalam hukum internasional.

Peran hukum pidana dalam hukum perlindungan konsumen tetap penting. Nasution mengatakan bahwa aspek hukum pidana dari hukum perlindungan konsumen juga menjadi perhatian hukum perlindungan konsumen, baik berbagai ketentuan pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Pasal 202-206, 258,382 bis, 386 dan sebagainya maupun diluar Kitab

49 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan sebagainya) (Yusuf Shofie, 2008: 256).

Di Amerika Serikat eksistensi hukum pidana (criminal law) tetap memiliki tempat dalam hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Sejumlah perilaku yang menyangkut transaksi konsumen (consumer transaction) merupakan tindak pidana dimana pelakunya diancam denda yang berat (serious fines) atau penjara. Penipuan terhadap konsumen merupakan tindak pidana yang jarang diproses, kecuali mengakibatkan kerugian yang besar. Tuntutan pidana mungkin tidak menguntungkan konsumen korban penipuan. Kadang-kadang terdakwa dipidana untuk membayar restitusi, yaitu membayar kerugian orang yang dirugikan oleh kejahatannya, tetapi sering kali baru dibayarkan lama sesudahnya.

Untuk melindungi konsumen, pekerja, dan publik dari penipuan-penipuan (frauds) yang disebabkan oleh kelalaian perdagangan (a neglect trading) atau ketentuan-ketentuan keselamatan (safety regulations), yang berakibat kerugian fisik (physical harm) dimana pelakunya (the offender) adalah badan korporasi (corporate body), penegakan hukum pidana dilakukan atas pelanggaran tersebut (the breach of criminally enforced regulations). Kejahatan korporasi (corporate crime) tersebut sebagai bagian dari white collar crime tidak dapat dilihat oleh orang sebagai suatu problem kejahatan pada umumnya ( a major crime problem).

50 Ada empat alasan mengapa kejahatan ini tidak terlihat, yaitu:

1. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terlihat kurang berat dan mengancam dibandingkan pembunuhan, perkosaan, dan perampokan;

2. Bentuk pelanggarannya sering kurang terbuka (less public) daripada kejahatan-kejahatan lainnya yang terjadi di jalanan (on the steet) karena terjadi di kantor-kantor (in office);

3. Hubungan korban (victims) dengan pelaku (offenders) bersifat tidak langsung. Dalam hal mana terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan keselamatan, pelaku tidaklah bermaksud membuat celaka atau membunuh korbannya sekiranya terjadi pada korban (eventual victims); dan

4. Bentuk pelanggarannya sering melibatkan masalah-masalah teknologi dan keuangan yang kompleks, tidak mudah di deteksi oleh korban ataupun institusi-institusi penegakan hukum (enforcement agencies) (Yusuf Shofie, 2008: 257-258).

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, tidak satupun korporasi dipidana kendati sejumlah undang-undang, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Situasi kebijakan pidana (criminal policy) penegakan hukum ini memerlukan jawaban akademik dari sisi ilmu hukum serta upaya pemecahan atas hambatan-hambatan penegakannya. Penyebabnya diperkirakan beragam dan perlu dilakukan identifikasi terhadapnya. Pertama, menyangkut aplikasi teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia dari kalangan profesi hukum, baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Ketiga, masih dominannya

51 pandangan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dalam hukum pidana di Indonesia dalam wacana teoretik dan praktik penegakan hukum. Praktis dijumpai kesulitan-kesulitan untuk membuktikan kesalahan pada korporasi. Dan seandainya pun korporasi dijatuhi sanksi pidana, pengadilan masih dihadapkan

Dokumen terkait