• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP IKLAN DI MEDIA TELEVISI YANG TIDAK MENGHENTIKAN LANGGANAN REGISTRASI (UNREG) ATAS PERMINTAAN PELANGGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP IKLAN DI MEDIA TELEVISI YANG TIDAK MENGHENTIKAN LANGGANAN REGISTRASI (UNREG) ATAS PERMINTAAN PELANGGAN"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP IKLAN DI MEDIA TELEVISI YANG TIDAK MENGHENTIKAN LANGGANAN REGISTRASI

(UNREG) ATAS PERMINTAAN PELANGGAN

Oleh

ELMI KHOLIYAH

Semakin banyak penggunaan handphone oleh masyarakat memunculkan modus operandi kejahatan yang dilakukan oleh segelintir orang untuk mencapai kepentingan pribadi, salah satunya adalah kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan metode Short Message Service (SMS). Pemakai jasa layanan tidak bisa menghentikan SMS walaupun sudah diketik sesuai dengan petunjuk. Adapun permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan serta bagaimana kualifikasi delik kejahatan atas fenomena iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana.

Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan. Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, kemudian hasil analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpuln secara deduktif.

(2)

Elmi Kholiyah registrasi merupakan kelalaian dari pihak perusahaan dan telkom sebagai penyedia jasa. Sehingga yang bertanggung jawab adalah perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa. Proses pembuktiannya akan mengalami kesulitan karena saksi ahli dari kejadian tersebut adalah pihak telkom. Pelaku usaha dapat dikenai sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 62, dan Pasal 63 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam kasus ini maka SMS dapat dijadikan alat bukti petunjuk untuk memperkuat keakuratan ahli agar hakim dalam pengambilan putusannya secara arif dan bijaksana. Kualifikasi kejahatan dalam kasus ini bukan termasuk dalam penipuan maupun pencurian. Hal itu didasarkan pada perumusan delik terhadap dua tindak pidana tersebut yang tidak sesuai. Perumusan delik yang sesuai adalah dirumuskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e yang menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang: memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai jasa; tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian jasa; mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pidana adalah keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang: perbuatan yang dilarang, orang yang melanggar peraturan tersebut pidana. Tindak pidana ialah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 1987: 56).

(4)

2

Kemajuan teknologi yang dihasilkan handphone atau telepon seluler yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan HP, kini berkembang sangat hebat. Setiap orang yang menggunakan Handphone bisa melakukan komunikasi secara langsung dengan orang lain dimana saja dan kapan saja. Keunggulan dalam ponsel yang sering dikenal yaitu adanya aplikasi short messege service (SMS) yang diakui sangat populer di dunia. Short messege service (SMS) adalah layanan untuk mengirim dan menerima pesan tertulis (teks) dari manapun kepada perangkat bergerak (mobile device) yang tersusun dari huruf, angka atau karakter alfa numerik serta dikemas dalam satu paket/ frame yang berkapasitas maksimum 160 byte yang dapat di represikan berupa 160 karakter huruf latin atau 70 karakter alfabet arab atau cina. (Pertumbuhan SMS Didunia,2006. www.gsm.com,Januari)

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 Ayat (1) UURI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. (Pasal 1 Ayat (2) UURI Noomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).

(5)

3

menerima pesan pada waktu yang mereka kehendaki. Dampak dari kemajuan teknologi tidak hanya semata-mata berdampak positif, namun juga berdampak negatif. Semakin banyak penggunaan handphone oleh masyarakat banyak memunculkan modus operandi kejahatan yang dilakukan oleh segelintir orang untuk mencapai kepentingan pribadi, salah satunya adalah kejahatan penipuan yang dilakukan dengan menggunakan metode Short Message Service (SMS) yang ada pada handphone.

Kejahatan penipuan tergolong kejahatan Crime as business karena perbuatan yang dilakukan secara terorganisir dan melibatkan berbagai pihak, serta melanggar KUHP Pasal 378 Bab XXV Buku II KUHP tentang penipuan dalam bentuk pokok yang aslinya disebut perbuatan curang. Modus operandi yang dilakukan biasanya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut seorang tertarik dengan layanan seperti ramalan, jodoh, game, zodiak, musik dan sebagainya. Untuk mendapatkan layanan tersebut orang yang tertarik akan mengetik reg ramalan, reg jodoh, reg game, reg zodiak, reg musik dan sebagainya kemudian dikirim ke nomor yang dituju, biasanya harga satu SMS adalah Rp 1000 per SMS dan di bawah iklan tersebut ditulis jika salah maka penerima layanan dapat mengetik UNREG. Seperti yang terjadi pada kejadian yang disadur dalam artikel sebagai berikut:

(6)

4

Permasalahan yang terjadi bila dilihat dari kenyataan di atas adalah pemakai jasa layanan tersebut tidak bisa menghentikan SMS walaupun sudah mengikuti sesuai prosedur/petunjuk, namun jawaban yang diterima adalah maaf, kata yang anda masukkan salah silahkan kirim kembali. Kerugian terjadi pada penerima layanan tersebut, selain pulsa yang terpotong karena setiap mengirim SMS dikenai biaya Rp.1000,00/SMS yang dipotong langsung oleh providernya juga penerima layanan terus mendapat layanan yang sudah tidak ia inginkan.

Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin maju menjadikan eksistensi iklan dan hiburan mulai mempopulerkan diri hingga mempengaruhi khalayak serta makin diakui banyak kalangan. Media massa pun makin memperluas public sphere (ruang publik) terhadap berbagai kalangan. Sebab di era kebebasan ini, mereka berupaya untuk secara maksimal menjadi kancah sekaligus mata serta telinga masyarakat. Selain itu, media massa tentu membaca peluang serta berharap memperoleh keuntungan ekonomis demi perkembangan serta masa depan lembaganya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “Kajian Hukum Pidana

(7)

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah:

a. Bagaimanakah kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan? b. Bagaimanakah kualifikasi kejahatan atas fenomena iklan di media televisi

yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana?

2. Ruang Lingkup.

(8)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian adalah: a. Untuk mengetahui kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang

tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan. b. Untuk mengetahui kualifikasi kejahatan atas fenomena iklan di media televisi

yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan itu ke dalam hukum pidana.

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini di maksudkan untuk:

a. Secara teoretis adalah agar dapat digunakan sebagai kajian bagi kalangan hukum dalam rangka pengembangan ilmu hukum.

b. Secara praktis adalah dari hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi pembaca dan masyarakat untuk memperluas dan mengembangkan ilmu hukum khususnya mengenai kajian hukum pidana terhadap iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual.

1. Kerangka Teoretis

(9)

7

mengadakan identifikasi terhadap dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1984: 124).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan Pasal 1 Ayat (1):

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen".

Hukum pidana adalah keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang: perbuatan yang dilarang, orang yang melanggar peraturan tersebut pidana. Tindak pidana ialah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 1987: 56).

Tindak pidana ialah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Bambang Poernomo, 1981: 86). Dalam memberikan definisi mengenai pengertian tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam dua pandangan/ aliran yang saling bertolak belakang, yaitu:

a. Pandangan/aliran monistis, yaitu: pandangan/alirann yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

(10)

8

Menurut aliran monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut aliran dualistik belum tentu karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu dapat dipidana atau tidak. Aliran dualistik dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Moeljatno merumuskan unsur-unsur tindak pidana/perbuatan pidana sebagai berikut:

a. perbuatan (manusia)

b. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil). c. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti arti yang berkaitan dengan istilah yang hendak diteliti. (Soerjono Soekanto, 1986: 132).

Untuk itu penulis akan mencoba menganalisis pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini, sekaligus memberikan batasan-batasan pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi, adapun pengertian dari istilah tersebut adalah sebagai berikut:

(11)

9

b. Hukum pidana ialah aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat tindak pidana. ( Sudarto: 1990)

c. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997:185).

d. Registrasi ialah mendaftar kembali/ulang. (Kamus Pintar Bahasa Indonesia, 1995: 129).

e. Pelanggan atau konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan. (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen)

(12)

10

E. Sistematika Penulisan

Agar dapat memudahkan pemahaman terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan maka penulis menerapkan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, Perumusan masalah dan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, sistematika penulisan dan metode penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian penayangan, iklan supranatural, media Televisi, etika pariwara, kajian pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan penguraian metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang di gunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample, cara pengumpulan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(13)

11

V. PENUTUP

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana ialah keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuh penerapan pidana (Moeljatno, 1987: 1). Keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut Mezger (Sudarto: 1990), Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu maksudnya untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tertentu itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(15)

14

Pidana merupakan suatu hal yang mutlak diperlakukan dalam hukum pidana. Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana. Pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Berdasarkan pengertian pidana tersebut, maka pengertian hukum pidana dapat dirumuskan sebagai keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang:

a. perbuatan yang dilarang;

b. orang yang melanggar larangan tersebut; c. pidana.

Stelsel pidana menurut hukum positif ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda, pidana tutupan. Pidana Tambahan terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil.

a. Hukum Pidana Materiil adalah hukum pidana yang memuat:

1) Aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana;

(16)

15

b. Hukum Pidana Formil adalah hukum pidana yang mengatur kewenangan Negara (melalui aparat penegak hukum) melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana. Contohnya: KUHAP

Selain itu juga dapat dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. hukum pidana umum (algemene strafrecht) memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku pada setiap orang. (KUHP, UULLAJ); hukum Pidana Khusus (bijzondere strafrecht) memuat aturan-aturan hukun pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum yang menyangkut:

1) Golongan atau orang tertentu, Misalnya: Golongan Militer diatur dalam KUHPM;

2) Berkaitan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu. Misalnya: Perbuatan Korupsi ditur dalam UU Korupsi.

B. Pengertian Tindak Pidana

(17)

16

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yang normatif). Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987: 54). Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Bambang Poernomo, 1981: 56).

Menurut Pompe, pengertian tindak pidana dibedakan menjadi dua definisi, yaitu: a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/felt yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Bambang Poernomo, 1981: 86).

(18)

17

suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana terdiri dari: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil) (Sudarto, 1990: 43).

Untuk dapat dipidana, orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas) harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Jadi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana ini melekat pada orangnya atau pelaku tindak pidana.

Menurut Moeljatno, (dikutip Sudarto, 1990: 44), unsur-unsur pertanggungjawaban pidana terdiri dari:

a. Kesalahan;

b. Kemampuan bertanggungjawab.

Jenis-Jenis Tindak Pidana terdiri dari:

1. Kejahatan dan Pelanggaran. Berkaitan dengan pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran, maka ada dua pendapat mengenai pembedaan tersebut, yaitu:

a. Perbedaan secara Kualitatif.

(19)

18

dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misalny: pembunuhan, pencurian. Delik semacam ini disebut kejahatan. (mala per se); 2) Pelanggaran adalah wetsdelict (en), artinya perbuatan yang disadari oleh

masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran. (mala quia prohibita)

b. Perbedaan secara Kuantitatif

Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan.

2. Delik Formil dan Delik materiil

Delik formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang dikehendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misalnya: Pasal 187 KUHP, Pasal 338 KUHP dan Pasal 378 KUHP.

3. Delik Commissionis, Delik Ommissionis, dan Delik Commissionis per Ommissionis Commissa.

(20)

19

ommissionis commissa yaitu delik berupa pelanggaran larangan, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat, misalnya: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak menyusuinya (Pasal 340 KUHP).

4. Delik Dolus (kesengajaan), misalnya Pasal 197, dan delik culpa (kealpaan), misalnya Pasal 195 KUHP dan Pasal 359 KUHP;

5. Delik tunggal (dilakukan satu kali) dan delik ganda (dilakukan beberapa kali), misalnya: Pasal 481 KUHP (penadahan);

6. Delik yang berlangsung terus, misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) dan delik yang tidak berlangsung terus;

7. Delik Aduan (klacht delicten) dan bukan delik aduan (niet klacht delicten). Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misalnya: penghinaan (Pasal 1310 jo Pasal 319 KUHP), perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerasan (Pasal 335 KUHP).

Delik aduan dibedakan menjadi:

a. Delik aduan absolut: yaitu delik yang hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan (memang benar-benar delik aduan). Contoh: Pasal 284 KUHP (perzinaan); Pasal 310 (pencemaran nama baik);

(21)

20

Tindak pidana dalam KUHP mempunyai subjek berupa manusia. Adapun badan hukum, perkumpulan, atau korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana bila secara khusus ditentukan dalam suatu Undang-undang (diluar KUHP) sedangkan mayat, hewan atau benda mati dipandang tidak dapat melakukan tindak pidana, sehingga secara otomatis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Tindak pidana penipuan diatur pada KUHP Pasal 378 yaitu:

“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan maksud melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal atau tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat untung atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” (R. Soesilo, 1996: 261)

Berdasarkan Pasal tersebut terdapat beberapa unsur penipuan antara lain yaitu: a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau

menghapuskan piutang;

b. Maksud pembujukan itu adalah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

c. Membujuk itu dengan memakai: a) Nama palsu atau keadaan palsu, b) Akal cerdik (tipu muslihat), dan c) Karangan perkataan bohong.

(22)

21

a. Pengetian membujuk berarti:

Melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat sedemikian itu.

b. Sesuatu barang ialah:

Segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya: uang, baju, kalung, dan sebagainya. Dalam pengertian barang masuk pula daya listrik, meskipun tidak berwujud. Barang juaga tidak perlu mempunyai harga ekonomis.

c. Memberikan barang:

Barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri, sedangkan yang menyerahkan itu pun tidak perlu harus orang yang membujuk itu sendiri, bisa dilakukan oleh orang lain.

d. Keadaan palsu misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, atau pegawai kota praja, yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

e. Akal cerdik atau tipu muslihat berarti sesuatu tipu yang demikian liciknya, sehingga seseorang yang berpikiran normal dapat ditipu.

f. Karangan perkataan bohong ialah:

(23)

22

g. Tipu muslihat adalah:

Perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atau kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Jadi tidak terdiri dari ucapan atau tindakan saja sudah dikatakan palsu, memperlihatkan barang-barang yang palsu adalah tipu muslihat.

C. Pengertian Iklan

Saat ini iklan tentang ramalan, jodoh, game, zodiak, musik dan lain sebagainya sering ditanyangkan di media televisi dimana dalam iklan disebutkan jika ada yang berminat untuk berlangganan maka orang tersebut harus memulainya dengan cara melakukan registrasi (reg ramalan, reg jodoh, reg game, reg zodiak, reg musik dan sebagainya) terlebih dahulu tujuannya agar mereka terdaftar sebagai pelanggan dalam iklan tersebut. Iklan merupakan setiap bentuk pembayaran terhadap suatu proses penyampaian dan perkenalan ide-ade, gagasan layanan yang bersifat nonpersonal atas tanggungan sponsor tertentu ( dikutip dari The American Marketing Association, Liliweri, 1989: 21 ).

Di Indonesia, masyarakat periklanan indonesia mengartikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk atau jasa yang disampaikan lewat suatu media dan ditunjukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sementara istilah periklanan diartikan sebagai keseluruhan proses yang meliputi persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyampaian iklan (Riyanto, 2001).

(24)

23

kesamaan. Kesamaan tersebut dapat dirangkum dalam bentuk prinsip pengertian iklan, dimana dalam iklan mengandung enam prinsip dasar yaitu:

1. Adanya pesan tertentu

Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Tanpa pesan, iklan tidak akan terwujud. Bila di media cetak, ia hanya ruang kosong tanpa tulisan, gambar atau bentuk apapun; bila di media radio, tidak akan terdengar suara apapun; bila di media televisi tidak akan terlihat gambar dan suara apapun; maka itu tidak dapat disebut iklan karena tidak terdapat pesan. Pesan yang disampaikan oleh sebuah iklan, dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan pesan nonverbal.

2. Dilakukan oleh komunikator.

Pesan iklan ada karena dibuat oleh komunikator. Sebaliknya, bila tidak ada komunikator, maka tidak akan ada pesan iklan. Dengan demikian, ciri sebuah iklan, adalah bahwa pesan tersebut dibuat disampaikan oleh komunikator atau sponsor tertentu secara jelas. Komunikator dalam iklan dapat datang dari perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara. 3. Dilakukan dengan cara non personal.

Iklan merupakan penyampaian pesan yang dilakukan secara non personal. Non personal artinya tidak dalam bentuk tatap muka. Penyampaian pesan dapat disebut iklan bila dilakukan melalui media (yang kemudian disebut dengan media periklanan).

4. Disampaikan untuk khalayak tertentu.

(25)

24

kelompok target audience tertentu. Sasaran khalayak yang dipilih tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa pada dasarnya pada setiap kelompok khusus audience memiliki kesukaan, kebutuhan, keinginan, karakteristik, dan keyakinan yang khusus.

5. Dalam penyampaian pesan tersebut, dilakukan dengan cara membayar.

Dalam kegiatan periklanan harus dimaknai secara luas. Sebab, kata membayar tidak saja dilakukan dengan alat tukar uang, melainkan dengan cara barter berupa ruang, waktu dan kesempatan.

6. Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu.

Semua iklan yang dibuat oleh pengiklan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah khalayak.

Iklan memiliki banyak fungsi sesuai dengan yang dikehendaki oleh pengiklan diantaranya yaitu:

1. Fungsi pemasaran;

Adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk membantu pemasaran atau menjual produk. Artinya iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi produk.

2. Fungsi komunikasi;

(26)

25

3. Fungsi pendidikan;

Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui, dan mampu melakukan sesuatu.

4. Fungsi ekonomi;

Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Bahkan dengan iklan, ekonomi dapat berkembang dan ekspansi.

5. fungsi sosial.

Dalam fungsi ini, iklan telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat, misalnya munculnya budaya konsumerisme, menciptakan status sosial baru, dan sebagainya.

D. Pengertian Langganan Registrasi

(27)

26

atau cara berhenti dari layanan berlangganan tersebut. Langganan adalah mereka yang membeli secara tetap atau membayar secara tetap. Dibawah ini disebutkan hal yang merupakan suatu tips untuk berlangganan sms premium, yaitu:

1. Jangan mudah tergiur oleh iklan-iklan yang mengajak untuk berlangganan SMS premium. Ingat, SMS jenis ini harganya berlipat-lipat dibanding harga SMS normal.

2. Pelajari dulu jenis content SMS yang akan ada langgan. Apakah Anda benar-benar membutuhkan SMS itu atau tidak.

3. Pelajari juga harga tiap SMS dan frekwensi pengirimannya per hari. Ini berhubungan dengan jumlah pulsa Anda yang tersedot atau jumlah uang yang harus Anda bayar jika Anda pengguna layanan pascabayar.

4. Pelajari cara melakukan unsubscribing atau tidak berlangganan. Biasanya iklan-iklan SMS premium mencantumkan cara melakukan unsubscribing dan juga nomor telepon content provider. Jika brosur dan iklan tidak menjelaskan caranya, teleponlah content provider premium SMS itu. Jika iklan itu tidak mencantumkan cara unsubscribing dan tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi, lupakan content provider itu.

5. Hentikan berlangganan SMS premium segera setelah Anda merasa tidak

membutuhkan content yang mereka kirimkan.

(http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

(28)

27

Pasal 4

Hak Konsumen adalah:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkosumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(29)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhamad, 2004 : 112).

Penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif di lakukan dengan cara mempelajari perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi literatur.

Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan cara mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan baik berupa data, informasi, dan pendapat yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum, yang didapat melalui wawancara dengan akademisi yang berkompeten yang terkait dengan masalah yang ditulis dalam penulisan.

B. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data

(30)

30

Sedangkan jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil studi lapangan atau masyarakat, sedangkan data sekunder adalah data yang diperolah dari studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum.

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian lapangan, diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dari narasumber yang berhubungan dengan objek permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, makalah-makalah, media cetak maupun media elektronik dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Kemudian data tersebut dipelajari dan dianalisis yang kemudian disebut sebagai bahan hukum. Bahan hukum tersebut dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang Hukum Pidana di luar KUHP, misalnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Telekomunikasi.

(31)

31

hubungannya dengan bahan hukum primer seperti: hasil penelitian, petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan.

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari: kamus, ensiklopedia, literatur-literatur dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Ronny Hanitjo Soemitro, 1998: 14). Populasi dalam penelitian ini yaitu Penyidik Kepolisian, Jaksa, Advokat, Lembaga Perlindungan Konsumen.

Sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987:152). Dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode pengambilan sampel Porposive Sampling yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu.

Berdasarkan metode pengambilan sampel, maka sampel yang dijadikan responden adalah:

1. Penyidik pada Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung : 1 orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 3. Advokat pada Kantor Advokat LBH Nasional : 1 orang 4. Lembaga Perlindungan Konsumen Bandar Lampung : 1 orang +

(32)

32

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha untuk mendapatkan data-data primer dan dalam hal penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang ada dalam skripsi. Pertanyaan telah disiapkan dan diajukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk memperoleh data, tanggapan dan jawaban dari responden dan untuk melengkapi skripsi ini penulis juga melakukan observasi untuk mendapatkan data-data dan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang maupun dari bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur maupun pendapat para sarjana maupun ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.

2. Pengolahan Data

(33)

33

a. Seleksi data yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapannya, kejelasan, kebenaran sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan;

b. Klasifikasi data yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan sesuai dengan pokok bahasan;

c. Sistematika data yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sesuai dengan tujuan penulisan.

E. Analisis Data

(34)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah responden. Adapun responden tersebut terdiri dari Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung, staf Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Bandar Lampung, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu & patner.

Adapun keempat responden tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nama : Cahyono Priyo Santoso

Umur : 29 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Jabatan : Anggota Unit III Tipiter Satreskrim Poltabes Bandar Lampung

2. Nama : Ganefli

Umur : 46 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

(35)

36

3. Nama : Hirda S.H

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

4. Nama : Sumarsih , S.H.

Umur : 41Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jabatan : Advokat pada LBH Nasional Sopian Sitepu di Bandar Lampung

Pemilihan responden di atas dengan pertimbangan bahwa responden tersebut memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penelitian ini memperoleh sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

B. Kajian Hukum Pidana terhadap Iklan di Media Televisi yang tidak menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan.

(36)

37 Gejala ini menunjukkan adanya tingkat persaingan yang ketat di antara pelaku usaha dalam arti luas. Sementara itu bisnis media cetak dan elektronik hingga saat ini masih mengandalkan sumber pemasukan keuangan dari iklan. Oleh karena itu setiap tampilan yang ada pada halaman cetak maupun program acara televisi dipenuhi oleh iklan yang menyita ruang dan durasi yang lama.

Di satu pihak pelaku usaha gencar melakukan promosi dan iklan karena merupakan bagian dari proses pemasaran atas produk yang dihasilkan. Di lain pihak, konsumen memerlukan produk untuk dikonsumsi. Arti pentingnya promosi dan iklan dalam era globalisasi ini adalah meningkatnya persaingan karena salah satu motivasi dari globalisasi adalah perluasan pasar, sehingga pasar domestik menjadi terbuka.

Propaganda tidak hanya berdampak terhadap konsumen saja, tetapi juga pelaku usaha. Dampaknya, dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif dari iklan adalah memberikan pesan dan informasi kepada siapa pun yang melihat, membaca, dan mendengarnya; sedangkan dampak negatif bagi konsumen adalah jika propaganda bisnis tersebut tidak sesuai dengan produk atau dalam pengungkapannya melanggar nilai dan norma etika, moral, dan sopan santun, salah satu contohnya adalah kasus tidak bisa dihentikannya layanan registrasi atas iklan yang ada di media televisi.

(37)

38 Konsumen mengatur tentang promosi dan iklan yang layak ditampilkan dalam media massa. Ada tujuh pasal yang secara khusus mengatur tentang hal itu, yaitu Pasal 10, 12, 13, 15, 16, d an 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 10

“Pelaku usaha dalam menawarkan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a.harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c.kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”.

Pasal 12

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan”.

Pasal 13 Ayat (1)

“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan

suatu jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya”.

Pasal 15

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan

(38)

39 Pasal 16

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b.tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi”.

Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e

Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

a.Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; b.Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

(39)

40 Kasus tidak dihentikannya registrasi menurut YLKI menyebutkan bahwa pihak pengusaha telah melanggar hak dan kewajiban konsumen, serta hak dan kewajibannya yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dilanggar meliputi:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini memiliki cakupan yang luas. Konsumen sebagai pemilik atau pengguna barang dan/atau jasa tidak boleh diganggu dalam menikmati haknya. Arti terganggu mencakup dari tuntutan hak pihak lain; b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat mendidik konsumen untuk waspada atas informasi yang diungkapkan pada kemasan atau label;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak ini dapat dianggap sebagai realisasi atau turunan dari hak untuk menyampaikan pendapat dalam hak asasi manusia;

d. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak ini merupakan risiko yang dipikul pelaku usaha.

(40)

41 Adapun kewajiban pelaku usaha yang dilanggar berdasarkan kasus di atas yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban pelaku usaha ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan ketentuan tegas tentang prinsip nondiskriminatif dalam perlakuan terhadap konsumen. Larangan bagi pelaku usaha untuk membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan dan dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen;

d. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kewajiban ini merupakan timbal-balik dari hak konsumen; e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

(41)

42 Kedudukan hukum yang setara atau sederajat antara konsumen dan pelaku usaha merupakan posisi yang ideal menurut hukum. Karena hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat secara timbal-balik. Tetapi tidak semua transaksi konsumen bersifat timbal balik. Oleh karena itu, Undang-Undang perlindungan konsumen menambahkan adanya perbuatan yang dilarang (prohibited) bagi pelaku usaha dan tanggungjawab (liability) yang dapat diajukan kepada pelaku usaha. Pada kasus mengenai tidak dihentikannya langganan registrasi atas permintaan pelanggan, pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 huruf a, c, d, h dan e. Kewajiban pelaku usaha yang dilanggar terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, f dan g.

Membahas norma etik, hukum dan tanggung jawab dalam periklanan, bukanlah hal yang mudah dengan dasar dua pertimbangan. Pertama, kegiatan periklanan melibatkan banyak pelaku ekonomi, dalam hal ini pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), pengusaha pengiklan, organisasi profesi periklanan (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), dan media periklanan. Disamping itu, juga melibatkan konsumen selaku penerima informasi yang disajikan melalui iklan dan pemerintah, dalam hal ini departemen penerangan. Kedua, tempat periklanan sendiri dalam pembidangan hukum di Indonesia lebih banyak dikelompokkan dalam bidang hukum admiistrasi Negara, khususnya kelompok hukum pers.

(42)

43 diartikan sebagai metode atau prosedur agar seseorang/badan hukum tidak dapat mengelakkan diri dari akibat perilaku/perbuatannya (Yusuf Shofie, 2009:179).

Masalah tanggung jawab iklan muncul dalam hal:

a. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;

b. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan seperti yang telah dikemukakan (Yusuf Shofie, 2009:82).

Kasus tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi maka masalah tanggung jawab iklan itu lebih berpusat pada poin a (informasi produk), dimana pelanggaran pada poin a yang bertanggung jawab ialah pengusaha/perusahaan pengiklan karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual, sepanjang unsur-unsur perbuatan melawan hukumnya yang menonjol.

(43)

44 Di dalam mendesain iklan, praktisi periklanan hendaknya memperhatikan juga asas-asas umum kode etik periklanan sebagai berikut:

a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku;

b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan;

c. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat (Yusuf Shofie, 2009:177).

Self-regulation ini memang kewenangan masyarakat profesi periklanan sendiri untuk melakukan tindakan atas berbagai praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik. Tidak dihentikannya registrasi melangggar asas-asas umum kode etik periklanan pada poin a. Kenyataan pelanggaran praktik periklanan yang bertentangan dengan kode etik mendorong campur tangannya instrumen hukum berupa kejelasan kaidah/norma hukum di bidang periklanan, yaitu melarang penggunaan iklan yang disampaikan dengan cara (Yusuf Shofie, 2009:180): a. Mengemukakan hal-hal yang tidak benar (false statement);

b. Mengemukakan hal-hal yang menyesatkan atau tidak proporsional (mislead statement);

c. Menggunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery).

(44)

45 Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang belum efektif karena masih disosialisasikan, campur tangan instrumen hukum untuk menyelesaikan praktik periklanan yang melanggar self-regulation dilakukan dengan menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/delik penipuan. Penggunaan instrumen ini belum tentu mengembalikan kerugian yang dialami konsumen, malahan konsumen justru harus keluar masuk ke kantor polisi. Belum lagi ancaman pengusaha kepada konsumen dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hukuman pidana tersebut dapat dikenakan terhadap individu sebagai pengurus suatu korporasi. Sanksi pidana dalam hukum perlindungan konsumen diharapkan dapat efektif untuk menimbulkan pengaruh atau efek pencegahan (deterrent effect) agar tidak dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan.

Deskripsi mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen itu dapat dijumpai jika pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu ditelusuri satu demi satu. Tidak dihentikannya registrasi atas iklan di media televisi melanggar 3 norma perlindungan konsumen dalam sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen);

(45)

46 Semuanya memuat jenis-jenis pidana pokok yaitu:

1. Pidana penjara maksimal 5 tahun dan 2 tahun;

2. Pidana denda maksimal Rp2 miliar dan Rp500 juta (Pasal 62 jo. Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta pidana tambahan (perampasan barang-barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; dan pencabutan izin usaha).

Dari kasus tidak dihentikannya registrasi terhadap iklan di media televisi melanggar tiga norma yang penulis uraikan sebagai berikut:

1. Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Pada kegiatan produksi ini maka melanggar norma ke-1 (Pasal 8 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen), yaitu larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Sanksi pelanggaran pasal ini berupa:

a. Sanksi administrative, yaitu kewajiban menarik dari peredaran barang dan/atau jasa (Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen); b. Sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2

miliar (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

(46)

47

Norma ke-2 (Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) bergantung pada pemahaman perkembangan teknologi informasi dalam penawaran produk barang dan/atau jasa. Normanya yaitu larangan penawaran barang dan/atau jasa melalui pesanan untuk:

a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. Tidak menepati janji atas sesuatu pelayanan dan/atau prestasi.

Sanksinya pidana penjara maksimal dua tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta (Pasal 62 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Masih menyangkut promosi produk melalui sarana iklan, norma ke-3 (Pasal 17 ayat (1) huruf c, d, dan e Undang-Undang Perlidungan Konsumen) menentukan adanya larangan memproduksi iklan yang:

a. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

b. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; c. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan.

(47)

48 berikutnya, ia mengaku mendapat SMS dari nomor yang sama dan pulsanya tersedot. Kedua orang itu komplain ke pihak operator. Tapi, nyatanya sms itu tidak berhenti dikirimkan dan pulsa terus tersedot. (http://jalansutera.com/2006/09/06/sms-penyedot-pulsa-itu/)

Sanksi pidana yang diancamkan pada norma ini, yaitu sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar atas pelanggaran pasal 17 ayat (1) butir c, d dan e (Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Menyangkut hak konsumen atas informasi dan keamanan produk, terdapat hubungan yang erat antara iklan/informasi produk dengan tingkat keamanan produk. Tampaknya, hal ini menjadi perhatian khusus pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk memberikan rumusan norma-normanya dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pengalaman di negara-negara lain dan juga di Indonesia sendiri kiranya menjadi perhatian pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen meskipun itu tak dinyatakan dalam konsideransinya. Tragedi konsumen sebagai korban tindak pidana korporasi memang tak mengenal batas-batas negara yang dikenal dalam hukum internasional.

(48)

49 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (contohnya: Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan sebagainya) (Yusuf Shofie, 2008: 256).

Di Amerika Serikat eksistensi hukum pidana (criminal law) tetap memiliki tempat dalam hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Sejumlah perilaku yang menyangkut transaksi konsumen (consumer transaction) merupakan tindak pidana dimana pelakunya diancam denda yang berat (serious fines) atau penjara. Penipuan terhadap konsumen merupakan tindak pidana yang jarang diproses, kecuali mengakibatkan kerugian yang besar. Tuntutan pidana mungkin tidak menguntungkan konsumen korban penipuan. Kadang-kadang terdakwa dipidana untuk membayar restitusi, yaitu membayar kerugian orang yang dirugikan oleh kejahatannya, tetapi sering kali baru dibayarkan lama sesudahnya.

(49)

50 Ada empat alasan mengapa kejahatan ini tidak terlihat, yaitu:

1. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terlihat kurang berat dan mengancam dibandingkan pembunuhan, perkosaan, dan perampokan;

2. Bentuk pelanggarannya sering kurang terbuka (less public) daripada kejahatan-kejahatan lainnya yang terjadi di jalanan (on the steet) karena terjadi di kantor-kantor (in office);

3. Hubungan korban (victims) dengan pelaku (offenders) bersifat tidak langsung. Dalam hal mana terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan keselamatan, pelaku tidaklah bermaksud membuat celaka atau membunuh korbannya sekiranya terjadi pada korban (eventual victims); dan

4. Bentuk pelanggarannya sering melibatkan masalah-masalah teknologi dan keuangan yang kompleks, tidak mudah di deteksi oleh korban ataupun institusi-institusi penegakan hukum (enforcement agencies) (Yusuf Shofie, 2008: 257-258).

(50)

51 pandangan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) dalam hukum pidana di Indonesia dalam wacana teoretik dan praktik penegakan hukum. Praktis dijumpai kesulitan-kesulitan untuk membuktikan kesalahan pada korporasi. Dan seandainya pun korporasi dijatuhi sanksi pidana, pengadilan masih dihadapkan pada pilihan sanksi pidana apa sajakah yang layak dan proporsional dijatuhkan pada korporasi tersebut.

Keterbatasan ketentuan-ketentuan hukum standar keamanan produk barang dan/atau jasa di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, tampak seolah-olah bukan pelanggaran hukum pidana (criminal offences), padahal di negara-negra maju merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan keselamatan konsumen. Ada tarik menarik perlu tidaknya kriminalisasi pada satu sisi dan deskriminalisasi pada sisi lainnya.

Pertimbangan bahwa produk massal korporasi tersebar di berbagai segmen masyarakat lokal, bahkan masyarakat internasional, mendorong tampilnya hukum pidana untuk mendorong dipatuhinya standar-standar keamanan dan keselamatan produk barang dan/atau jasa. Dilanggarnya standar-standar tersebut akan membawa akibat kerugian-kerugian materiil, baik fisik maupun psikis konsumen.

(51)

52 subjek tindak pidana tidak serta merta akan dengan sendirinya diikuti proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan korporasi atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Pertama, perlu peran aktif dari masyarakat konsumen dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam mendorong kepatuhan hukum (compliance) pelaku usaha melalui penegakan hukum. Peran aktif ini masih mendapatkan hambatan dalam bentuk diskresi penyidik untuk lebih memprioritaskan penyidikan atas laporan pidana pencemaran nama baik pelaku usaha dari pada penyidikan atas laporan pelanggaran-pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen. Belum lagi jika proses penyidikan dilanjutkan pada proses penuntutan dan peradilan. Diperlukan kearifan penyidik memprioritaskan penyidikan pada pelanggaran-pelanggaran publik, seperti halnya pelanggaran norma-norma perlindungan konsumen tersebut (Tongat, 2008: 108).

Kedua, kendala sistematik yang berasal dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sendiri dengan tidak diterapkannya konsep strict lability dan masih dominannya asas kesalahan dalam hukum pidana yang tercermin pada doktrin geen straaf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

(52)

53 Menurut Andi Zainal Farid, ajaran mens rea erat sekali hubungannya dengan adagium/asas tersebut. Baik di Indonesia maupun negara-negara Barat, seperti Inggris, dan Amerika Serikat merupakan asas hukum tidak tertulis dimana substansi dari mens rea, yaitu menyangkut sikap batin pelaku yamg menyebabkan pelaku dipidana jika unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata) dan tidak adanya dasar pemaaf terbukti (Yusuf Shofie, 2008: 262-263).

Hampir tidak pernah terdengar kasus periklanan sampai masuk ke pengadilan, sebagai indikator rendahnya keluhan konsumen atas iklan. Adanya keengganan konsumen untuk memejahijaukan pengusaha jika dirugikan. Jika pendapat ini betul, hal ini merupakan peringatan dini tentang apa yang dicanangkan sebagai kesadaran hukum masyarakat, pembinaan hukum, dan yang sejenis dengan itu.

Data-data mengenai kasus periklanan sebenarnya bisa ditelusuri secara periodik melalui surat-surat pembaca berbagai media massa. Data resmi atas pengaduan konsumen tentang iklan ke YLKI selama sembilan tahun terakhir (1992-2010) tergolong rendah. Rendahnya data kuantitas pengaduan iklan dapat diasumsikan: a. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat konsumen;

b. Masih adanya kesenjangan ekonomi dikalangan masyarakat luas; c. Iklan bukanlah komoditas yang diperjualbelikan.

(53)

54 pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa tersebut dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada pasal diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.

Namun penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

(54)

55 dimaksud bisa berupa rekaman hasil kiriman atau SMS yang diterima. Rekaman dapat diminta ke pihak operator seluler yang bersangkutan. Seperti disebutkan dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Peristiwa pelaku usaha yang tidak menghentikan langganan registrasi dapat disimpulkan bahwa perbuatan tersebut merupakan kelalaian dari perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab adalah perusahaan dan pihak telkom sebagai penyedia jasa.

Dalam hal adanya laporan pengaduan mengenai tidak bisa dihentikannya langganan registrasi oleh pelanggan, proses pembuktiannya akan mengalami kesulitan karena saksi ahli dari kejadian tersebut adalah pihak telkom. Telkom hanya dijadikan sebagai saksi ahli karena telkom adalah sebagai fasilitator dalam penayangan iklan yang ditayangkan di media televisi.

(55)

56 pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen. Dalam melakukan penyidikan, PPNS memiliki wewenang untuk: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain

berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan dan hasil penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen (Wahyu Sasongko, 2007: 145);

(56)

57 dan Pasal 63 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 tersebut, Responden Cahyono menambahkan pula mengenai hukuman tambahan yang tercantum dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. Hukuman tambahan yang dapat dikenai pelaku usaha meliputi:

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.

(57)

58 Menurut Responden Cahyono Priyo Santoso proses penyidikan yang dilakukan diantaranya yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atas terjadinya peristiwa tersebut;

b. Mencari keterangan dan barang bukti.

Responden Cahyono Priyo Santoso juga menambahkan bahwa setelah pihak kepolisian menerima laporan pengaduan tentang adanya kejadian mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, maka proses penyidikan selanjutnya yaitu dengan mencari keterangan dan alat bukti, dimana alat bukti yang digunakan berupa SMS, namun keberadaan SMS dalam KUHAP bukanlah alat bukti, ia hanya dijadikan sebagai petunjuk hakim nantinya dalam proses persidangan. Hal ini disebabkan karena belum ditetapkannya rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang mengatur SMS sebagai bagian alat bukti dokumen sekarang ini.

Dalam proses penyidikan alat bukti masih digunakan hingga saat ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP tentang alat bukti yang sah, alat bukti tersebut terdiri dari:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

(58)

59 Terhadap masalah mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, dalam proses penyidikan, penulis akan menggunakan teori mengenai alat bukti surat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP. Karena dengan alat bukti surat menurut hukum pidana terdapat adanya tindak pidana yang sangat mutlak sifatnya, guna pertimbangan hakim dalam pengambilan putusannya dalam setiap kasus yang harus bersifat objektif dengan menggunakan hati nurani, dan pengetahuan ilmu hukumnya.

Menurut responden Cahyono Priyo Santoso, Mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, selain diatur di Undang Nomor 8 tahun 1999 juga diatur di Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999. Dimana dasar hukum pidananya tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) jo 22 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999.

(59)

60 agung dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu.

Proses peradilan pidana yang dimaksudkan dalam pasal di atas mencakup penyidikan, penuntutan, dan penyidangan. Khusus mengenai tindak pidana tertentu, berdasarkan Pasal 42 Ayat (2) huruf a adalah Tindak pidana yang diancam pidana selama 5 tahun penjara ke atas, seumur hidup dan hukuman mati.

Melihat ketentuan-ketentuan tersebut, jelas kiranya bahwa iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan merupakan tindakan penggunaan tulisan telekomunikasi yang menimbulkan konsekuensi yang merugikan bagi penerima SMS (pelanggan/konsumen). Ini menandakan bahwa pembuktian dapat dilakukan dengan alat bukti khusus berupa hasil print-out seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 butir (1), (2), (3), dan (4) Nomor 11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik.

Alat bukti print-out hanya bisa digunakan pada hukuman pidana yang ancaman hukumannya diatas 5 tahun. Jika ancaman pidananya dibawah 5 tahun, maka yang dapat dijadikan alat bukti yang sah seperti tercantum dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP.

(60)

61 pertanggungjawaban orang/korporasi. Orang/korporasi dapat dikenai pidana dan membayar ganti rugi kepada pelanggan yang dirugikan. Menurut penulis, responden Sumarsih memakai pertanggungjawaban pidana modern dimana korporasi diakui juga sebagai subyek hukum pidana. Dalam perspektif hukum pidana Indonesia korporasi sudah diakui sebagai subyek tindak pidana dalam Pasal 15 (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan di beberapa Undang-Undang lainnya. Jadi dalam hukum pidana di Indonesia badan hukum telah diakui sebagai subyek tindak pidana sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, sementara di dalam KUHP sendiri sebagai induk hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia.

Penulis melihat dengan jelas bahwa SMS termasuk dalam alat bukti yang sah. Di dalam iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan ini, SMS dapat dijadikan petunjuk untuk memperkuat keakuratan ahli agar hakim dalam pengambilan putusannya secara arif dan bijaksana, serta objektif berdasarkan hati nuraninya.

Disebutkan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yaitu:

“Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan

(61)

62 Penggunaan alat bukti yang sah dapat digunakan dalam pemeriksaan menurut KUHAP, tetapi oleh karena SMS merupakan alat bukti langsung yang terkait dengan tindak pidana yang telah terjadi, dan tanpa keberadaan SMS sebagai alat bukti ini, peristiwa tidak bisa dihentikannya langganan registrasi adalah kasus yang tidak bisa dihentikan atau diselesaikan, disebabkan karena tulisan yang terdapat di dalam SMS merupakan objek penyidikan bagi penyidik, SMS dalam hal ini dapat dijadikan alat bukti petunjuk

C. Kualifikasi Kejahatan atas Fenomena Iklan di Media Televisi yang tidak Menghentikan Langganan Registrasi (Unreg) atas Permintaan Pelanggan ke dalam Hukum Pidana

(62)

63 perseorangan dan korporasi semestinya dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen.

Menurut Cahyono Priyo Santoso, mengenai iklan di media televisi yang tidak menghentikan langganan registrasi (Unreg) atas permintaan pelanggan, tidak bisa dikatakan sebagai penipuan karena hanya hubungan antara konsumen (pelanggan) dengan perusahaan penyedia jasa. Atau dengan kata lain pihak

Referensi

Dokumen terkait

juga ditakrifkan mengikut Perintah Perihal Dagangan (Penggunaan Perbahasaan “Halal”) 1975. 4 Begitu juga dalam Garis Panduan Makanan, Minuman Dan Barang Gunaan Orang Islam. 2.2

Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Semarang dilihat dari lima tepat yang perlu dipenuhi dalam keefektifan suatu pelaksanaan program, yaitu ketepatan kebijakan,

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis dan harga serta kualifikasi nomor : 05/43/91.04/PPBJ-I/DJB/2012 untuk pekerjaan Pengadaan Perangkat Lunak Sistem GIS

Jika dilihat dari parameter longsor yang telah dipaparkan Area A memiliki karakteristik kemiringan lereng 0 – 8 % yang merupakan tingkat kemiringan sangat

Sedangkan penggunaan FFII power booster torsi yang dihasilkan sebesar 1,448 kgf.m, pada rentang 4500 rpm sampai 6500 rpm, grafik torsi cenderung meningkat, hal ini

Pada Tabel 2 terlihat bahwa pem- berian kompos jerami 6 kg petak -1 berbeda nyata dengan tanpa pupuk bila diberi bersama-sama dengan pupuk NPK dosis 300 g petak -1 dan 600 g

( Relat ed by al- Bukhari and Muslim.. Aft er doing t his, you shall be clean sed. This will rem ove t he bad sm ell of t he m enst rual blood. 'Asm a t hen ask ed about

Dengan menggunakan Sistem Pengolahan Transaksi dapat membantu dalam melakukan pengecekan penjualan mobil, pembuatan laporan menjadi lebih akurat dan tidak memakan waktu yang