• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3 Tahapan Perlakuan .1 Hewan Percobaan

3.3.6 Analisis Kandungan SOD Hati Tikus

Analisis kandungan enzim superoksida dismutase (SOD) dilakukan dengan metode imunohistokimia. Pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD dilakukan untuk mendeteksi sel-sel penghasil Cu,Zn-SOD yang dapat menunjukkan jumlah sel penghasil serta kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa obyektif 20x.

Pengamatan Cu,Zn-SOD secara kualitatif dilakukan pada sitoplasma dan inti sel hati dengan melihat intensitas warna coklat dan distribusinya pada seluruh bagian setiap preparat yang diamati. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya pada perbesaran objektif 10x. Semakin tua dan semakin merata warna coklatnya berarti mengandung semakin banyak Cu,Zn-SOD. Penilaian dilakukan dengan memberikan tanda (+). Semakin banyak tanda (+) berarti kandungan enzim Cu,Zn-SOD semakin banyak dan merata di seluruh bagian jaringan hati.

Pengamatan secara kuantitatif dilakukan pada inti sel hati berdasarkan berbagai tingkatan kandungan warna coklat yang terbentuk tiap lapang pandang pada perbesaran objektif 20x. Keberadaan enzim Cu,Zn-SOD ditunjukkan oleh tanda (+), semakin banyak tanda (+) berarti semakin tinggi kandungan enzim tersebut. Ada empat tingkatan hasil reaksi, yaitu positif kuat (+++, inti sel hati berwarna coklat tua), positif sedang (++, inti sel hati berwarna coklat sedang), positif lemah (+, inti sel hati berwarna coklat muda campur biru), dan reaksi negatif (-, inti sel hati berwarna biru). Perhitungan dilakukan pada enam lapang pandang yang berbeda yang dipilih secara acak pada setiap preparat jaringan. Hasil pengamatan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan hati secara

kuantitatif ini dianalisis dengan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan yang nyata akan dilakukan uji Lanjutan Duncan (Wresdiyati et al. 2010).

Pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD dilakukan untuk melihat kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus pada setiap kelompok perlakuan. Enzim Cu,Zn-SOD merupakan enzim antioksidan endogen yang mempunyai peranan penting dalam melindungi sel dari serangan radikal bebas dan secara tidak langsung dapat menjaga keseimbangan oksigen yang bersifat toksik (Wresdiyati et al. 2002). Enzim Cu,Zn-SOD mengkatalis dismutasi radikal bebas anion superoksida (O2-) menjadi radikal yang lebih lemah yaitu hidrogen peroksida (H2O2) dan selanjutnya akan diubah menjadi oksigen (O2) yang lebih stabil dan air (H2O) oleh glutation peroksidase dan katalase (Finkel dan Holbrook 2000).

Reaksi positif dari pewarnaan imunohistokimia terhadap enzim Cu,Zn-SOD divisualisasikan berupa produk reaksi warna coklat di jaringan hati. Intensitas dan distribusi warna coklat menujukkan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan hati. Semakin tua dan merata warna coklat yang terbentuk berarti kandungan enzim Cu,Zn-SOD semakin banyak/tinggi. Sel yang bereaksi negatif atau tidak mengandung enzim Cu,Zn-SOD ditunjukkan dengan warna biru.

Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan secara kualitatif dilakukan dengan melihat intensitas warna coklat pada seluruh bagian jaringan hati. Sedangkan pengamatan secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung inti sel hati yang dibedakan pada beberapa tingkatan warna coklat, yakni positif kuat (+++, coklat tua), positif sedang (++, coklat sedang), positif lemah (+, coklat muda campur biru), dan reaksi negatif (-, biru).

Pengamatan secara kualitatif terhadap jaringan hati pada terminasi hari ke-8 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD antar kelompok perlakuan (Tabel 3). Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus kelompok perlakuan bakteri asam laktat (BAL) L. plantarum, L. fermentum,

L. plantarum + EPEC, dan L. fermentum + EPEC relatif sama dengan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif (Gambar 7). Hal ini berarti L. plantarum dan

L. fermentum belum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus pada minggu pertama pemberian kedua jenis bakteri asam

laktat tersebut. Selain itu, tidak adanya perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan lain dapat terjadi karena kelompok kontrol positif belum dicekok EPEC pada minggu pertama.

Tabel 3 Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus percobaan

Kelompok perlakuan Kandungan Cu,Zn-SOD

Terminasi hari ke-8, sebelum pemberian EPEC (T1)

T1A ++ T1B ++ T1C ++ T1D ++ T1E ++ T1F ++

Terminasi hari ke-15, satu minggu setelah pemberian EPEC (T2)

T2A ++ T2B ++ T2C +++ T2D ++ T2E ++++ T2F +/-

Terminasi hari ke-22, satu minggu setelah pemberian EPEC dari luar dihentikan (T3)

T3A ++ T3B ++ T3C +++ T3D + T3E ++++ T3F +/-

Ket: Tanda (+) menunjukkan adanya kandungan enzim Cu,Zn-SOD. Semakin banyak tanda (+) berarti semakin tinggi kandungan enzim tersebut. A = kelompok kontrol

negatif (perlakuan ransum standar); B = kelompok perlakuan L. plantarum;

C = kelompok perlakuan L. fermentum; D = kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; E = kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; F = kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC).

Kemudian pada terminasi hari ke-15, terdapat perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada setiap kelompok perlakuan (Gambar 8). Secara kualitatif kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling tinggi, terlihat dari intensitas warna coklat yang terbentuk pada kelompok perlakuan ini lebih kuat dibandingkan kelompok lain. Hal ini berarti

L. fermentum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok yang diberi paparan EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14. Kelompok perlakuan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD tertinggi kedua setelah kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC. Ini berarti bahwa perlakuan

L. fermentum selama 2 minggu dapat meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus.

Selanjutnya, dari pengamatan secara kualitatif terlihat bahwa kelompok perlakuan L. plantarum kandungan enzim Cu,Zn-SOD-nya sama dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti perlakuan L. plantarum selama 2 minggu hanya mampu mempertahankan dan tidak meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus. Kandungan enzim Cu,Zn-Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC juga sama dengan kelompok kontrol negatif, berarti pemberian L. plantarum pada tikus yang memperoleh paparan EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14 dapat mempertahankan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus. Kelompok yang memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling rendah adalah kelompok dengan perlakuan EPEC atau kontrol positif. Hal ini dapat terjadi karena enzim antioksidan yang ada di jaringan hati telah digunakan untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk, selain itu juga karena kelompok kontrol positif tidak diberi BAL.

Pada terminasi hari ke-22, pengamatan secara kualitatif menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling tinggi dibandingkan kelompok lain (Gambar 9). Hal ini berarti pemberian L. fermentum masih mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD setelah paparan EPEC sebelumnya pada hari ke-8 sampai hari ke-14. Kelompok perlakuan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD tertinggi kedua. Hal ini menunjukkan bahwa L. fermentum memiliki kemampuan meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD.

Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. plantarum

sama dengan kelompok kontrol negatif, berarti pemberian L. plantarum mampu mempertahankan dan belum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati hingga minggu ketiga pemberian L. plantarum. Sedangkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok L. plantarum yang dalam

Keterangan:

+++ = positif kuat (inti sel hati berwarna coklat tua)

++ = positif sedang (inti sel hari berwarna coklat sedang)

+ = positif lemah (inti sel hati berwarna coklat bercampur biru) - = negatif (inti sel hati berwarna biru)

sejarahnya pernah dipapar EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14 lebih rendah dari pada kelompok kontrol negatif, namun kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok ini tetap lebih baik dari pada pada kelompok yang hanya dipapar EPEC. Kelompok kontrol positif memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD paling rendah dibandingkan kelompok lain. Hal ini terjadi karena enzim antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan hati hampir habis terpakai untuk melawan radikal bebas yang terbentuk. Selain itu, rendahnya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati juga disebabkan karena kelompok tersebut tidak diberi BAL.

Untuk memperjelas pengamatan kualitatif di atas, dilakukan pengamatan secara kuantitatif terhadap inti sel hati. Pengamatan secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah inti sel hati pada setiap tingkatan warna coklat yang terbentuk. Perbedaan tingkatan warna coklat pada jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil perhitungan terhadap inti sel hati setiap tingkatan warna coklat yang terbentuk disajikan pada Tabel 4. Hasil perhitungan tersebut dianalisis dengan uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan yang dapat dilihat pada Lampiran 3-14.

Gambar 6 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD yang menunjukkan perbedaan tingkatan warna coklat yang terbentuk pada inti sel hati. Skala 50 µm.

Tabel 4 Rataan jumlah sel hati pada berbagai tingkatan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus pada terminasi hari ke-8, hari ke-15, dan hari ke-22

Kelompok perlakuan

Rataan jumlah inti sel hati tikus pada berbagai tingkatan kandungan Cu,Zn-SOD per lapang pandang pada perbesaran 20x

+++ ++ + -

Terminasi hari ke-8, sebelum pemberian EPEC (T1)

T1A 43.83 ± 2.14a 61.17 ± 2.86a 2.67 ± 0.82b 1.50 ± 0.84a.b T1B 44.67 ± 1.03a 62.50 ±1.52a 2.50 ± 1.64b 1.50 ± 0.84a.b T1C 43.33 ± 1.75a 61.00 ±1.55a 2.67 ± 1.21b 2.17 ± 0.75b T1D 43.17 ± 1.33a 61.33 ±1.63a 1.50 ± 0.55a.b 0.67 ± 0.52a T1E 43.33 ± 1.75a 60.33 ±1.37a 1.00 ± 1.09a 1.17 ± 0.75a T1F 43.17 ± 2.48a 60.83 ±1.72a 0.83 ± 0.41a 0.67 ± 0.52a Terminasi hari ke-15, satu minggu setelah pemberian EPEC (T2)

T2A 39.83 ± 1.83b 66.33 ± 1.86c 0.33 ± 0.52a 0.50 ± 0.55a T2B 38.00 ± 2.10b 66.83 ± 1.47c 2.83 ± 2.23b.c 0.67 ± 0.52a T2C 75.50 ± 3.33c 35.67 ± 2.25b 1.50 ± 0.84a.b 0.83 ± 0.75a T2D 37.17 ± 1.47b 73.83 ± 2.79d 1.33 ± 1.21a.b 1.33 ± 1.37a T2E 97.33 ± 2.16d 15.00 ± 2.60a 0.67 ± 0.82a 0.83 ± 0.98a T2F 12.83 ± 1.72a 94.83± 1.47e 3.50 ± 1.64c 3.00 ± 0.63b Terminasi hari ke-22, satu minggu setelah pemberian EPEC dari luar dihentikan (T3)

T3A 41.33 ± 2.87c 66.50 ± 4.50c 2.83 ± 0.75b 1.33 ± 1.21a T3B 38.00 ± 2.76c 74.83 ± 1.60d 2.17 ± 0.75a.b 1.50 ± 1.38a T3C 54.50 ± 2.74d 51.17 ± 2.48b 2.83 ± 0.98b 1.50 ± 1.05a T3D 26.00 ± 1.67b 81.67 ± 2.25e 5.00 ± 1.09c 2.00 ± 0.63a T3E 93.67 ± 5.71e 18.67 ± 1.37a 1.33 ± 0.82a 1.67 ± 1.97a T3F 7.17 ± 0.75a 88.83 ± 1.17f 10.67 ± 1.21d 7.00 ± 2.19b Keterangan: Uji statistika (Anova dan Duncan) dilakukan pada setiap tingkatan warna setiap

waktu terminasi yang sama. Notasi yang berbeda pada kolom yang sama

menunjukkan nilai yang berbeda nyata. +++ = positif kuat; ++ = positif sedang; + = positif lemah; - = negatif. A=kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum

standar); B = kelompok perlakuan L. plantarum; C = kelompok perlakuan

L. fermentum; D = kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; E = kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; F = kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC).

Pada terminasi hari ke-8, secara statistika kelompok kontrol negatif, L. plantarum, L. fermentum, L. plantarum + EPEC, L. fermentum + EPEC, dan kontrol positif menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan (Gambar 7). Hal ini terlihat dari jumlah inti sel hati yang bereaksi positif kuat (+++) dan positif sedang (++) pada setiap kelompok

Gambar 7 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-8. Skala = 50 µ m. T1A =

kontrol negatif; T1B = perlakuan L. plantarum; T1C = perlakuan

L. fermentum; T1D = perlakuan L. plantarum + EPEC; T1E = perlakuan L. fermentum + EPEC; T1F = kontrol positif. Terlihat kandungan Cu,Zn-SOD relatif sama antar kelompok perlakuan.

perlakuan tidak berbeda nyata secara statistika. Tikus kelompok perlakuan bakteri

asam laktat (BAL) L. plantarum, L. fermentum, L. plantarum + EPEC, dan

L. fermentum + EPEC menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan tikus kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Hal ini berarti kedua Lactobacillus tersebut belum mampu meningkatkan

kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus selama 1 minggu pemberian probiotik. Selain itu, kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan kontrol positif tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini karena kelompok kontrol positif tersebut belum diberi EPEC sebelum terminasi hari ke-8, sehingga kelompok kontrol negatif dan kontrol positif mendapat perlakuan yang sama pada hari ke-1 sampai hari ke-7, yakni ransum standar.

Terminasi hari ke-15 menunjukkan perbedaan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang sangat nyata (p<0.01) di jaringan hati tikus antar kelompok perlakuan (Gambar 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan kelompok perlakuan L. fermentum +

EPEC memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang paling tinggi secara sangat nyata (p<0.01) di jaringan hati tikus dibandingkan kelompok perlakuan lain. Hal ini berarti, pemberian L. fermentum selama 2 minggu mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati pada kelompok yang diberi paparan EPEC.

Mikelsaar et al. (2008) pernah menguji kemampuan L. fermentum ME-3 dalam meningkatkan aktivitas antioksidatif tubuh yang diinfeksi Helycobacter pylori dan menunjukkan aktivitas antioksidatif yang tinggi. Mikelsaar dan Zilmer (2009) juga melaporkan bahwa L. fermentum memiliki kemampuan ganda, yakni sebagai antimikrobial dan antioksidatif. Inilah yang membuat L. fermentum unik diantara strain Lactobacillus lainnya. Kemampuan antimikrobial yang dimiliki

L. fermentum dapat melawan patogen di saluran pencernaan, dan kemampuan antioksidatif-nya bermanfaat mempertahankan dan meningkatkan status antioksidan tubuh bagi organisme yang mengonsumsinya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tingginya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati pada tikus yang diberi L. fermentum dan diinfeksi EPEC.

Kehadiran EPEC dalam usus halus akan memicu proses fagositosis oleh sel radang. Salah satu sel radang yang berperan dalam fagositosis di jaringan adalah makrofag (Nishikawa et al. 2000; Forman dan Martine 2001). Makrofag mengeluarkan radikal bebas dalam peristiwa fagositosis (Roitt 2002). Radikal bebas yang terbentuk ini terakumulasi dan saat antioksidan tidak mampu menetralisir, maka terjadilah kondisi stres oksidatif. Paparan mikroorganisme

yang menyebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan peningkatan produksi sistem pertahanan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk (Halliwell dan Gutteridge 1999). Dengan adanya paparan EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14 pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC akan menggertak pertahanan antioksidan tubuh, ditambah lagi aktivitas antioksidatif yang dimiliki oleh L. fermentum, maka hal seperti di atas dapat menjelaskan mengapa status enzim antioksidan Cu,Zn-SOD sangat tinggi pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC pada terminasi hari ke-15.

Selanjutnya, kelompok perlakuan yang memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD tertinggi kedua setelah kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC adalah kelompok perlakuan L. fermentum. Hal ini berarti pemberian L. fermentum selama 2 minggu mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus. Wang et al. (2009) menyebutkan bahwa L. fermentum memiliki aktivitas antioksidatif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa L. fermentum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus.

Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus kelompok perlakuan

L. fermentum tidak setinggi kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC. Tingginya kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus kelompok

perlakuan L. fermentum + EPEC dapat dijelaskan sebagai berikut, selain

L. fermentum memang memiliki aktivitas antioksidatif seperti yang dijelaskan Mikelsaar dan Zilmer (2009) dan Wang et al. (2009) diatas, keberadaan EPEC juga dapat menggertak sistem pertahanan antioksidan tubuh, sehingga antioksidan dihasilkan lebih banyak. Inilah yang menyebabkan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan L. fermentum yang tidak diberi paparan EPEC tidak setinggi kelompok perlakuan L. fermentum yang diberi paparan EPEC.

Berbeda dengan kelompok perlakuan L. fermentum, kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. plantarum pada terminasi hari ke-15 tidak berbeda nyata secara statistika dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini terlihat dari reaksi positif kuat (+++) kelompok perlakuan L. plantarum tidak berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Ini berarti perlakuan L. plantarum selama 2 minggu belum mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus.

Begitu pula dengan kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC, kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok ini tidak berbeda nyata (p<0.01) dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti, walaupun ada paparan EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14, L. plantarum tetap mampu mempertahankan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati tikus.

Kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada kelompok L. plantarum tidak setinggi kelompok L. fermentum. Aktivitas anti Helicobacter pylori dari metabolit yang dihasilkan dari L. plantarum yang diisolasi dari kubis putihtelah dilaporkan oleh Rokka et al. (2006). Amin et al. (2009) juga telah melaporkan potensi antimikrobial yang dimiliki oleh L. plantarum yang diisolasi dari sayur segar dalam melawan infeksi B. anthracis. Hal seperti diatas juga dapat menjelaskan potensi L. plantarum yang diisolasi dari daging sapi Ongol di pasar-pasar daerah Bogor pada penelitian ini memiliki aktivitas antibakteri terhadap EPEC. Metabolit yang dihasilkan oleh L. plantarum berperan sebagai anti-EPEC, sehingga kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus dapat dipertahankan. Namun tidak ada laporan bahwa L. plantarum memiliki aktivitas antioksidatif. Penjelasan inilah yang mungkin menyebabkan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok L. plantarum tidak setinggi kelompok L. fermentum.

Kelompok perlakuan EPEC atau kontrol positif pada terminasi hari ke-15, secara statistika menunjukkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD yang paling rendah diantara kelompok-kelompok perlakuan lain. Hal ini terlihat dari analisis statistik pada reaksi positif kuat (+++) yang menunjukkan nilai paling rendah secara sangat nyata (p<0.01) serta reaksi negatif (-) dan reaksi positif sedang (++) yang paling tinggi secara sangat nyata (p<0.01) dibandingkan kelompok lainnya.

Usus merupakan portal masuknya bakteri. Bakteri EPEC yang masuk ke saluran pencernaan akan membentuk koloni di usus. Keberadaan koloni EPEC di saluran pencernaan akan mengundang sistem pertahanan tubuh berupa sel-sel fagosit seperti makrofag untuk memfagosit bakteri EPEC tersebut. Selama proses fagositosis, sel-sel fagosit memproduksi radikal bebas berupa reactive oxygen species (ROS) maupun reactive nitrogen spesies (RNS), seperti hidrogen peroksida (H2O2), nitrit oksida (NO), dan anion superoksida (O2-) (Truusalu et al.

penggunaan enzim antioksidan superoksida dismutase untuk menetralisis radikal-radikal bebas anion superoksida yang terbentuk tersebut (Yan dan Polk 2008). Oleh karena itu, kelompok perlakuan EPEC kandungan SOD-nya rendah.

Perlekatan bakteri pada sel epitel usus inang akan membentuk lesi attaching and effacing (A/E Lesion). Salah satu faktor yang disuntikkan oleh EPEC pada sel epitel inang adalah adalah Tir (translicated intimin receptor) yang berfungsi sebagai reseptor membran plasma untuk perlekatan EPEC. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar yang disebut intimin. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal formation (Goosney et al. 2000). Secara histologi, lesio A/E merupakan tanda adanya penyakit (Songer dan Post 2005).

Setelah attaching (melekat) pada sel epitel usus inang, enteropathogenic E. coli ini melakukan effacement (penghilangan) mikrovili, menyebabkan enterosit prematur, mengelupaskan sel epitel, dan menjadikan sel menjadi bentuk abnormal. Erosi epitel dapat terjadi, sehingga terjadi kerusakan epitel usus (Black 2004). Peningkatan jumlah sel yang rusak pada kelompok yang diberi perlakuan EPEC dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel radang, karena perubahan struktur sekecil apapun yang terjadi pada sel akan dikenali oleh sel radang sebagai benda asing untuk segera dimusnahkan (difagosit) (Tizard 2000). Dengan kondisi sel epitel usus halus yang tidak normal tersebut, akan memudahkan bakteri merusak sel epitel lebih lanjut dan melakukan invasi menembus mukosa usus (Scaletsky et al. 1996). Apabila invasi tersebut sampai pada lapisan yang lebih dalam hingga ke lapisan yang terdapat pembuluh darah, maka bakteri mungkin saja bisa ikut masuk ke peredaran darah.

Bakteri di usus dapat masuk ke peredaran darah intestinal dan ikut bersama aliran darah menuju berbagai lokasi organ tubuh. Kejadian seperti ini disebut bakterimia. Beberapa strain E. coli dapat menyebar ekstraintestinal dan menyebabkan infeksi ekstraintestinal sepeti infeksi traktus urinaria dan meningitis neonatal (Wold et al. 1992). Bakterimia adalah keadaan dimana ikutnya bakteri

Gambar 8 Fotomikrograf jaringan hati tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD pada terminasi hari ke-15. Skala = 50 µ m. T2A = kontrol negatif; T2B = perlakuan L. plantarum; T2C = perlakuan L. fermentum; T2D = perlakuan L. plantarum + EPEC; T2E = perlakuan L. fermentum + EPEC; T2F = kontrol positif. Terlihat bahwa kandungan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC paling tinggi diantara kelompok lain; kelompok perlakuan L. fermentum memiliki kandungan Cu,Zn-SOD tertinggi kedua; kandungan Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan L. plantarum dan L. plantarum + EPEC sama dengan kontrol negatif; kelompok kontrol positif memiliki kandungan Cu,Zn-SOD paling rendah.

dalam peredaran darah. Setiap peredaran darah akan melewati hati (Songer dan Post 2005). Karena E. coli memiliki kecenderungan untuk tinggal di berbagai organ, bakteri yang terdapat dalam peredaran darah dapat singgah di hati. Keberadaan bakteri di hati ini akan menggertak mekanisme pertahanan inang dengan aktivasi sel-sel fagosit. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa sel fagosit tersebut akan mengeluarkan molekul-molekul toksik berupa radikal dalam proses fagositosis.

Keberadaan bakteri di jaringan akan menggertak sistem pertahanan antioksidan tubuh (Halliwell dan Gutteridge 1999). Antioksidan superoksida dismutase yang ada di hati dikerahkan untuk menetralisir radikal anion superoksida yang terbentuk. Namun, apabila infeksi EPEC tetap berlanjut dan terus menghasilkan radikal bebas dalam proses memfagositnya, maka pertahanan antioksidan di hati tidak mampu lagi menetralisir radikal bebas yang ada. Sehingga kandungan SOD di jaringan hati menjadi sedikit pada kelompok yang diinfeksi EPEC saja. Berbeda dengan kelompok yang diinfeksi EPEC namun diberi probiotik L. fermentum, gertakan sistem antioksidan jaringan oleh hadirnya radikal bebas akibat infeksi EPEC membuat kandungan enzim SOD di hati

menjadi meningkat, ditambah lagi aktivitas antioksidatif yang dimiliki oleh

L. fermentum. Oleh karena itu, kandungan SOD di jaringan hati tikus yang diinfeksi EPEC dan L. fermentum lebih tinggi dari pada kelompok yang diberi EPEC saja.

Terminasi hari ke-22 menunjukkan bahwa kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC paling tinggi secara sangat nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kelompok lain (Gambar 9). Hal ini berarti pemberian L. fermentum selama 3 minggu masih mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD di jaringan hati tikus setelah 1 (satu) minggu paparan EPEC dari luar dihentikan.

Selain itu, kelompok tikus yang diberi perlakuan L. fermentum memiliki kandungan enzim Cu,Zn-SOD lebih tinggi secara sangat nyata (p<0.01)

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti pemberian

L. fermentum secara tunggal selama 3 minggu masih mampu meningkatkan kandungan enzim Cu,Zn-SOD pada jaringan hati.

Gambar 9 Fotomikrograf jaringan hati dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD tikus pada terminasi hari ke-22. Skala = 50 µ m.

T3A = kontrol negatif; T3B = perlakuan L. plantarum; T3C = perlakuan L. fermentum; T3D = perlakuan L. plantarum +

EPEC; T3E = perlakuan L. fermentum + EPEC; T3F = kontrol positif. Terlihat kandungan Cu,Zn-SOD pada kelompok L. fermentum + EPEC paling tinggi diantara kelompok perlakuan lainnya; kelompok

perlakuan L. fermentum tertinggi kedua; kelompok perlakuan

L. plantarum sama dengan kontrol negatif; kelompok L. plantarum + EPEC lebih rendah dari pada kontrol negatif; kelompok kontrol positif memiliki kandungan Cu,Zn-SOD paling rendah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Truusalu et al. (2008) menjelaskan

Dokumen terkait