• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari kasus Megaupload atau yang disebut mega conspiracy yang diputus oleh pengadilan Virginia Timur pada tanggal 5 Januari 2012 dengan Nomor Kriminal: 1:12CR3 dan kemudian perampasan seluruh asset dan property terdakwa termasuk penutupan situs Megaupload.com dilakukan pada tanggal 19 Januari 2012 bila dilihat dari tatanan sistem hukum Pancasila akan berbeda jauh terutama dasar hukum penuntutan kepada terdakwa dan tanggung jawab pihak penyelenggara

cloud computing.

Dalam sistem hukum Pancasila atau hukum Indonesia mengenai tindakan yang dilakukan oleh Megaupload erat katitanya dengan hukum telematika mengingat ranah permasalahan memiliki unsur-unsur data, informasi, file-file dan sesuatu yang bersifat elektronik yang melibatkan perangkat elektronik. Maka dasar hukum yang dipakai oleh jaksa untuk menuntut megaupload jika menggunakan sistem hukum Indonesia adalah hukum telematika Undang-Undang ITE Tahun No.11 Tahun 2008 j.o. undang-undang No. 19 Tahun 2016.

Selain hal telematika, dalam kasus Megaupload ini juga menceritakan perihal lain yang melibatkan pihak-pihak luar yang tidak terikat secara langsung kepentingannya, dengan asas Ius Quasitum Tertio (hak pihak ketiga) yaitu pemegang hak atas file, data, dan informasi seperti film, musik, video game, dokumen rahasia, dan lain-lain. Keterkaitan pihak ketiga tersebut erat kaitanya

dengan hak cipta sehingga hukum kekayaan intelektual dengan Undang-Undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014 menjadi bagian hukum yang mengatur hak pihak ketiga yang dirugikan kepentinganya.

Dalam pembahasan kasus Megaupload dengan hukum telematika dengan undang informasi dan transaksi elektronik No.11 Tahun 2008 j.o. undang-undang No. 19 Tahun 2016 ini dimulai dengan dasar tujuan yang menjadi landasan dalam beroperasi menggunakan perangkat elektronik yaitu Pasal 3. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Asas pada Pasal 3 ini menjadi hal utama untuk menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Megaupload tersebut salah.

Megaupload sendiri dalam perspektif undang-undang ITE dianggap sebagai

penyelenggara sistem elektronik. Dimana pada Pasal 1 ayat 6 pihak penyelenggara adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat yang mengoprasikan layanan elektroniknya.

Megaupload sendiri merupakan badan usaha dengan nama Megaupload Ltd yang

masuk kriteria penyelenggara sistem elektronik.

Tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara elektronik yang melibatkan komputer dan/atau media elektronik dengan interaksi antara pihak penyelenggara dan satu atau dua orang lebih disebut transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2. Megaupload disini menjalankan bisnis badan usahanya dengan memberikan jasa file sharing dengan sistem upload and download yang masuk kriteria sebagai tindakan transaksi elektronik.

Pasal 15 ayat 1 dan 2 menjadi dasar tanggung jawab pihak penyelenggara elektronik yang berbunyi: (1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya. (2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.

Bentuk tanggung jawab yang dimiliki oleh penyelenggara sistem elektronik bersifat tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based fault) di dalam kitab undang-undang hukum perdata khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367. Prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Selain tanggung jawab berdasarkan kesalahan penyelenggara sistem elektronik juga memiliki tanggung jawab mutlak (strict liability) dimana tanggung jawab yang muncul atas penyelenggara tidak dapat dihindari dan harus dilakukan

Selain pihak penyelenggara yang miliki tanggung jawab dalam Pasal 21 undang-undang ITE juga mengatur pertanggung jawaban untuk pengguna transaksi elektronik dan juga orang yang diberikuasa untuk bertindak mewakili pengguna. Pasal 21 mengatakan : (1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. (2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; b. jika

dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik. Dalam kasus

Megaupload ini si pengguna transaksi elektronik ini di gambarkan sebagai user atau

pengguna layanan Megaupload dapat disebut penunggah.

Undang-undang ITE juga mengatur tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh para penyelenggara elektronik yang melakukan transaksi elektronik di dalam Pasal Bab VII Pasal 27-37 tentang perbuatan yang dilarang. Dalam kasus

Megaupload tindakan-tindakan yang telah dilanggar sesuai dengan Pasal 27-37

adalah Pasal 27 ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan (Megaupload dalam perkara ini di dalam putusan yang diputus pengadilan amerika virginia bagian timur dikatakan telah membuka situs porno dengan domain Megaporn.com). Pasal 27 ayat 4 (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman (Dikatakan bahwa salah satu domain milik Megaupload digunakan sebagai pengunggahan video terorrisme dan pengancaman namun megaupload tidak bertindak menghapusnya).

Namun, untuk penyebarluasan konten atau data dan informasi yang memiliki perlindungan hak cipta tidak diatur dengan begitu mendalam didalam

undang-undang ITE ini. Dalam Pasal 25 hanya berbunyi: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Disini seharusnya undang-undang ITE mengatur tentang penyebarluasan yang melanggar hak cipta dalam ranah telematika dimana penyebarluasan tersebut dilakukan dengan menggunakan komputer atau media elektronik mengingat perkembangan zaman yang pesat memungkinkan penyebarluasan dilakukan dengan mudah. Pembuatan peraturan mengenai penyebarluasan di dunia cyber sebaiknya juga memperhatikan penghapusan data atau pemusnahan data sampai ke akarnya (server atau lokasi pusat data) sehingga data salinan dan data asli tidak lagi ada dan dimungkinkan untuk disebar.

Kasus Megaupload bila dilihat secara keseluruhan dengan kacamata sistem hukum pancasila sebagian sudah dicakup dalam beberapa undang-undang namun sebatas dalam skala umum dan tidak mendalam. Mengingat begitu banyak perkembangan zaman yang telah terjadi. Kasus Megaupload sendiri menjadi cerminan yang perlu diperhatikan oleh para legislator untuk menciptakan suatu peraturan yang dapat mencakup cloud computing dengan lebih mendalam. Di dalam negeri sendiri terdapat juga layanan file sharing. Layanan itu sama konsepnya dengan cloud computing yang telah saya lihat, amati dan periksa. Konsep mereka sama dengan apa yang Megaupload lakukan dengan memberikan konsep searchbar di halaman utama situs tersebut. Hal tersebut sejatinya sama dengan penyebarluasan dan pembocoran rahasia pribadi mengingat tanpa izin si pengunggah orang lain atau

orang luar dapat mengakses data dan informasi yang mereka simpan di dalam cloud

server dan hal tersebut sendiri telah melanggar banyak peraturan yang ada di dalam

ranah hukum Indonesia. Permasalahan yang muncul sendiri perlu diperhatikan dengan seksama oleh para pembuat undang-undang kita saat ini.

Dari hal di atas dan kasus Megaupload sendiri Indonesia perlu suatu Pasal pencegahan dalam cloud computing terutama feature dan bentuk layanan yang diberikan oleh si penyelenggara elektronik dengan kemandirian personal user dan juga pengawasan dari pihak penyelenggara. Peraturan-peraturan yang perlu dibuat di Indonesia dalam kasus Megaupload sendiri dengan mengikatkan tanggung jawab yang jelas agar menjadi dasar hukum yang kuat dan tak dapat di hindari adalah bentuk atau model layanan cloud computing yang harus disediakan oleh penyelenggara elektronik dalam melakukan transaksi elektronik. Bentuk yang tepat menurut saya adalah model layanan Cloud platform as a service dengan konsep layanan yang menyediakan computing platform. Biasanya sudah terdapat sistem operasi, database, web server dan framework aplikasi agar dapat menjalankan aplikasi yang telah dibuat. Perusahaan yang menyediakan layanan tersebut yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan computing platform ini Tidak berhenti sampai disitu perlu juga dilihat tanggung jawab si pengguna layanan tersebut, maka hal yang perlu dimasukan di dalam peraturan adalah layanan identity as a service. Layanan tersebut di dasarkan pada identitas pengguna dalam mengakses dan menyimpan data. Dalam penerapan layanan tersebut dilakukan dengan dua ranah yaitu penggunan pribadi atau private yang dibuat untuk individual dan penggunaan

Mengingat bukan hanya layanan cloud computing dalam negeri saja tapi perlu juga diperhatikan layanan dari luar negeri ketika pihak dari luar juga membuka layanannya di Indonesia mereka juga perlu diatur sesuai dengan ketentuan yang ada di Indonesia. Pasal 2 UU ITE sendiri menjadi landasan berlakunya hukum telematika terhadap pihak luar dan layanan dari luar negeri. Ketentuan pasal 2 UU ITE yang menentukan berlakunya hukum ITE dalam UU ITE baik terhadap orang yang melakukan perbuatan hukum di luar maupun di dalam wilayah Indonesia adalah orang yang melakukan perbuatan hukum di luar maupun di dalam wilayah Indonesia adalah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum dengan melibatkan sistem elektronik yang berada di wilayah Indonesia.

Dari sisi hukum sendiri dengan Pasal 37 Undang-Undang ITE No.11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang No.19 Tahun 2016 yang mengatur tindak pidana ITE di luar yuridiksi Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di Indonesia. Hal tersebut memberikan dasar hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara elektronik di luar negeri. Pasal 37 merumuskan : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang tersebut dalam Pasal 27 sampai 30 di luar wilayah Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di wilayah yuridiksi Indonesia. Ketentuan Pasal 37 ini sebagai dasar hukum pidana ITE dengan asas nasional pasif. Kepentingan hukum yang dilindungi ini bukan didasarkan pada kepentingan hukum pribadi, melainkan pada kepentingan hukum negara dan bangsa, suatu kepentingan hukum nasional24. Agar asas hukum nasional pasif berlaku bagi

hukum pidana ITE dalam pasal 27 sampai dengan pasal 36 diperlukan dua syarat, ialah25:

1. Obyek tindak pidananya-sistem elektronik berada di wilayah hukum Indonesia

2. Pelanggaran tersebut menimbulakn akibat hukum di wilayah Indonesia yang merugikan kepentingan hukum Indonesia baik di luar maupun di dalam negeri.

Namun yang perlu Indonesia usahakan disini tidak hanya isi dari hukumnya saja melainkan juga penerapan dan penegakannya mengingat dalam kasus

Dokumen terkait