• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Energi dan Batu Bara Nasional

5. ANALISIS KEBIJAKAN STOK BATU BARA NASIONAL

5.6 Analisis Kebijakan Energi dan Batu Bara Nasional

Permasalahan yang akan muncul bila pilihan inkind ini dilaksanakan adalah masalah legalitas dan masalah teknis. Terkait dengan masalah legalitas, maka apabila pilihan ini diambil, pemerintah harus merevisi Keppres No. 75 Tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yaitu dengan merubah penerimaan royalti batu bara dalam bentuk incash ke penerimaan dalam bentuk inkind yang memerlukan proses dan waktu cukup panjang, sementara itu pertumbuhan permintaan batu bara yang cukup tinggi, khususnya untuk PLTU terkait dengan penambahan daya sebesar 10.000 MW sudah sangat mendesak.

Adapun permasalahan teknis meliputi kesediaan dari lembaga yang akan mengelola batu bara (penerimaan inkind) untuk mempersiapkan moda transportasi, tempat penimbunan, dan fasilitas blending batu bara. Lembaga pengelola harus mempersiapkan sarana transportasi untuk mengangkut batu bara bagian pemerintah dari wilayah tambang batu bara ke tempat penimbunan (stockpile) yang memadai. Selain itu fasilitas blending plant juga harus dipersiapkan, karena nilai kalori batu bara yang berasal dari berbagai produsen batu bara berbeda-beda. Pada dasarnya opsi ini merupakan buffer stock batu bara nasional yang akan menambah efisiensi penyediaan batu bara dalam meningkatkan keamanan pasokan batu bara di dalam negeri.

35 GAMBAR 5.1

36 GAMBAR 5.2

37 GAMBAR 5.3

POLA PERJALANAN PENGANGKUTAN BATU BARA

DARI BEBERAPA PERTAMBANGAN MENUJU TERMINAL PENGAPALAN

PELABUHAN SUNGAI EKSPOR

DOMESTIK TERMINAL BATU BARA LOKASI TAMBANG PENGAPALAN

Truk / Belt Conveyor PENCUCIAN Tongkang Truk Truk Truk Tongkang Tongkang Tongkang Truk

38 Hal-hal yang harus dipertimbangkan menyangkut keberadaan stok batu bara yang diperoleh dari DHPB :

 Mengingat PKP2B letaknya berpencar di berbagai lokasi, maka harus

dipertimbangkan mengenai lokasi (sentra) pengumpulan batu bara melalui studi kelayakan lokasi secara detail.

 Kualitas batu bara yang berbeda memerlukan tempat penampungan yang

cukup luas, sehingga memerlukan biaya perawatan yang lebih besar. Adanya biaya perawatan ini tentunya akan mengurangi profit margin.

 Penyimpanan stok batu bara ini memerlukan investasi yang sangat besar,

terutama sarana dan prasarana pengelolaan batu bara selama penyimpanan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala di atas adalah :

 Lokasi penimbunan dapat dititipkan di perusahaan-perusahaan PKP2B atau

membuat areal penimbunan sendiri.

 Diperlukan sentra penampungan batu bara yang benar-benar strategis secara

ekonomi dari berbagai PKP2B.

 Diperlukan tempat/lahan untuk menyimpan batu bara yang kualitasnya

berbeda-beda.

 Perlu adanya pengaturan waktu penyimpanan batu bara, untuk mengatasi

penumpukan batu bara yang akan menambah biaya perawatan.

Beberapa pertimbangan dilakukannya diversifikasi energi BBM (Bahan Bakar MInyak) ke energi lain, seperti batu bara adalah semakin menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia, keterbatasan kemampuan kilang dalam negeri, meningkatnya konsumsi dalam negeri, tingginya harga minyak di pasar internasional, masih tingginya peran BBM dalam energi mix. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menurunkan ketergantungan pasokan minyak bumi adalah melalui peningkatan peran sumberdaya bukan minyak yang salah satunya adalah batu bara.

Saat ini, pemanfaatan batu bara di dalam negeri masih terbatas, baru mencapai 18% dari total bauran energi (energy mix). Untuk meningkatkan share batu bara dalam energy mix, disamping masalah teknis, maka masalah lingkungan juga selalu menjadi isu yang mengemuka. Namun, hal ini dapat diatasi melalui pemanfaatan teknologi batu

39 bara bersih yang terus berkembang dengan pesat. Masalah lain yang juga perlu untuk segera diselesaikan oleh Pemerintah adalah Kebijakan Pemerintah yang terkait dengan jaminan keamanan pasokan batu bara dalam negeri secara berkelanjutan.

Sebetulnya kebjakan pemerintah untuk meningkatkan share batu bara dalam energi baur (energy mix) maupun jaminan pasokan dalam negeri sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007), Kebijakan Energi Nasional (KEN), dan Kebijakan Batu bara Nasional (KBN). Di dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 disebutkan bahwa untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi (pasal 5 ayat 1). Sedangkan ketentuan mengenai jenis, jumlah, waktu dan lokasi cadangan penyangga energi, diatur dalam KEN. Selain itu di dalam KEN juga mengamanatkan pentingnya ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat dijamin selama mungkin, seekonomis mungkin dan dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Demikian juga di dalam KBN yang sasarannya lebih terarah untuk komoditi batu bara, yaitu terjaminnya pemasokan batu bara dalam negeri untuk menjamin kesinambungan pasokan batu bara bagi sektor listrik, industri semen, industri kimia, industri kecil lainnya dan bahan baku briket. Peraturan lainnya yang lebih menekankan pada produsen batu bara untuk lebih mengutamakan pasokan dalam negeri tercantum dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B).

Seharusnya, Kebijakan Pemerintah maupun peraturan tersebut di atas sudah cukup menjamin keamanan pasokan batu bara di dalam negeri. Namun demikian, kenyataan menunjukan masih sering terjadinya hambatan pasokan batu bara di dalam negeri. Hambatan pasokan ini tentunya berpengaruh pada aktivitas/produktivitas industri pengguna batu bara sebagai energi utamanya.

Untuk lebih menjamin pasokan batu bara dalam negeri, saat ini Pemerintah sedang membahas salah satu kebijakan yang tertuang dalam Rencana Peraturan pemerintah, yaitu Domestik marketing Obligation (DMO). Selain DMO, pemerintah mempunyai pilihan alternatif kebijakan lain dalam rangka menjamin keamanan pasokan batu bara dalam negeri, yaitu insentif royalti batu bara yang lebih rendah, meminta royalti dalam bentuk barang (inkind) dan mempercepat pembangunan infrastruktur.

40 Insentif royalti dimaksudkan untuk pengembangan cadangan batu bara kalori rendah. Pilihan alternatif ini pernah diwacanakan oleh pemerintah, namun sampai sekarang kebijakan ini belum dilakukan.

Pilihan kedua adalah pembayaran royalti dalam bentuk batu bara (barang). Pilihan ini pernah dilakukan oleh pemerintah dalam coal contract of work (CCoW) generasi pertama yang menyebutkan bahwa royalti sebesar 13,5% dapat dibayarkan dalam bentuk tunai atau barang.

Alasan pemerintah memilih penerimaan royalti dalam bentuk tunai adalah dari segi kepraktisan dan pada saat itu kebutuhan batu bara untuk PLTU maupun industri lainnya relatif belum merupakan permasalahan dari sisi pasokan.

Permasalahan yang akan muncul bila pilihan inkind ini dilaksanakan adalah masalah legalitas dan masalah teknis. Terkait dengan masalah legalitas, maka apabila pilihan ini diambil, pemerintah harus merevisi Keppres No. 75 Tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yaitu dengan merubah penerimaan royalti batu bara dalam bentuk incash ke penerimaan dalam bentuk inkind yang memerlukan proses dan waktu cukup panjang, sementara itu pertumbuhan permintaan batu bara yang cukup tinggi, khususnya untuk PLTU terkait dengan penambahan daya sebesar 10.000 MW sudah sangat mendesak.

Adapun permasalahan teknis meliputi kesediaan dari lembaga yang akan mengelola batu bara (penerimaan inkind) untuk mempersiapkan moda transportasi, tempat penimbunan, dan fasilitas blending batu bara. Lembaga pengelola harus mempersiapkan sarana transportasi untuk mengangkut batu bara bagian pemerintah dari wilayah tambang batu bara ke tempat penimbunan (stockpile) yang memadai. Selain itu fasilitas blending plant juga harus dipersiapkan, karena nilai kalori batu bara yang berasal dari berbagai produsen batu bara berbeda-beda. Pada dasarnya opsi ini merupakan buffer stock batu bara nasional yang akan menambah efisiensi penyediaan batu bara dalam meningkatkan keamanan pasokan batu bara di dalam negeri.

Mengingat trend konsumsi batu bara yang mengalami peningkatan cukup signifikan, maka pihak-pihak yang berkepentingan harus secara serius merealisasikan proyek infrastruktur tersebut dalam mendukung kekuatan pasokan untuk pasar domestik maupun ekspor. Selain itu fasilitas infrastruktur ini akan menambah daya tarik investor untuk menamkan modalnya di sektor perbatu baraan pada khususnya. Terkait

41 dengan harga batu bara, kira-kira pada tahun 2008 harga batu bara dunia pernah mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kenaikan harga batu bara dunia ini memberikan keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar dunia. Disisi lain, Indonesia membutuhkan batu bara yang cukup besar di masa yang akan datang untuk pembangkit listrik, industri semen, tekstil, kertas dan metalurgi. Oleh karena itu harus ada kebijakan yang tepat dan dituangkan dalam aturan teknis, sehingga pasokan batu bara untuk domestik akan lebih terjamin tanpa mengurangi iklim investasi. Harga batu bara dipasaran internasional telah mengalami kenaikan sebesar 400% sejak akhir kuartal III Tahun 2003 sebesar $AS 28 per ton menjadi $AS 142 per ton pada Tahun 2008.

Penyebab tingginya kenaikan harga batu bara di pasar internasional adalah meningkatnya permintaan batu bara dari Cina dan India dan terbatasnya pasokan batu bara dari Australia dan Afrika Selatan. Selain itu permintaan batu bara yang tinggi didorong oleh kenaikan harga minyak bumi sebesar 257%, yaitu pada periode yang sama, dari posisi $AS 28 per barel ke posisi $AS 100 per barel.

Sementara itu, harga batu bara dipasaran dalam negeri juga mengalami kenaikan, sebagai contoh adalah harga jual batu bara PT. Tambang Batu bara Bukit Asam (PTBA) kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah mengalami peningkatan sebesar 98% selama periode Tahun 2004-2008, yatu dari Rp 244.200 per ton menjadi Rp 484.000 per ton. Rendahnya kenaikan harga jual batu bara di pasaran domestik (98%) bila dibandingkan dengan kenaikan harga internasional (400%) menyebabkan para produsen batu bara lebih memilih menjual ke pasar ekspor.

Data produksi batu bara Indonesia menunjukan bahwa sekitar 75% dari total produksi dijual ke luar negeri. Kondisi ini akan berlangsung di masa depan, sepanjang terjadi disparitas harga di kedua pasar tersebut, dan apabila tidak ada intervensi dari pemerintah. Kondisi tersebut di atas cukup beralasan apabila ada kekhawatiran dari pihak pemakai batu bara domestik mengenai jaminan pasokan dalam negeri yang dituangkan dalam bentuk berbagai kebijakan pemerintah tidak berjalan sesuai harapan.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, maka perkiraan permintaan batu bara domestik pada tahun 2010 adalah sebesar 72,8 juta ton, dari sekitar 51,2 juta ton pada tahun 2009. Apabila produksi batu bara Indonesia pada tahun 2010 sekitar 210,2 juta ton, dan jika 75% dari produksi tersebut diekspor, maka kemampuan pasokan dalam

42 negeri hanya sebesar 52,5 juta ton atau terjadi defisit di pasar domestik sebesar 20,3 juta ton. Apabila bagian pemerintah sebesar 13,5% (DHPB) dari produksi diterima dalam bentuk batu bara sebesar 28,3 juta ton yang merupakan stock nasional, maka defisit kebutuhan batu bara domestik tidak akan terjadi, bahkan ada surplus sebesar 20 juta ton. Apabila DHPB yang diterima dalam bentuk inkind hanya bagian pemerintah pusat (7,5%) dan 6% bagian pemerintah daerah diterima dalam bentuk incash, maka besarnya stok nasional hanya sebesar 15,7 juta ton atau defisit kebutuhan batu bara nasional turun menjadi 4,6 juta ton.

Untuk saat ini, seharusnya pasokan batu bara dalam negeri tidak ada masalah, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari produsen maupun pemakai batu bara, bahwa batu bara yang dibutuhkan industri di dalam negeri sebagian besar adalah batu bara dengan nilai kalori rendah, yaitu berkisar 4.000-5.000 kcal/kilogram. Sementara itu, batu bara yang diekspor adalah nilai kalori sedang-tinggi, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan terjadinya defisit pasokan dalam negeri.

Namun, untuk dimasa yang akan datang bila terjadi kenaikan harga batu bara internasional dan ada kecenderungan pasokan batu bara global yang semakin ketat, maka batu bara berkualitas rendah pun akan menjadi ekonomis dan tingkat kebutuhannya akan semakin tinggi.

43

Dokumen terkait