• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji

Dalam dokumen Limbah Serbuk Gergaji (Halaman 76-87)

lIMBAH SeRBUK geRgAJIbab iV

C. Evaluasi Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji

3. Analisis Kelayakan Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji

analisis kelayakan pengembangan teknologi menggunakan acuan respon penduduk terhadap pemanfaatan teknologi didekati dengan beberapa parameter seperti teknis, ekonomi, sosial, manajemen dan lingkungan.

a. analisis Teknis

Analisis teknis terdiri dari ketersediaan serbuk gergaji, pemanfaatan, peralatan dan sarana, cara aplikasi, alih teknologi, dan tanggapan dari Pemda setempat.

Dari sisi ketersediaan, semua responden (100 %) mengatakan bahwa sebetan dan serbuk gergaji tersedia di desanya masing-masing dan mencukupi untuk dibuat wood pellet. Dengan pembuatan pellet, semua bagian dari limbah serbuk gergaji termanfaatkan dengan baik dan tidak ada yang menjadi sampah.

. . . . 63

Gambar 4.6. Ketersediaan dan Pemanfaatan Serbuk Gergaji

Selanjutnya, sebanyak 80 % responden mengatakan bahwa serbuk gergaji yang ada di desanya sudah dimanfaatkan. Umumnya serbuk dimanfaatkan untuk bahan bakar pembuatan batu bata, bahan bakar pembuatan tahu, sebagai media jamur (baglog) dan untuk litter pemeliharaan ayam. Sedangkan sebanyak 20 % responden menganggap serbuk gergaji tidak dimanfaatkan dan hanya sebagai limbah yang keberadaannya telah mencemari lingkungan. Contohnya seperti serbuk yang terbawa angin dan menjadi sarang jamur/sumber penyakit (apabila dalam keadaan basah) dan keberadaan serbuk tersebut rentan terbakar dikala kemarau.

Dari sisi kesesuaian serbuk gergaji sebagai bahan untuk membuat wood pellet, 76,7 % responden mengatakan sesuai untuk dibuat pellet. Sedangkan 23,3

% tidak sesuai untuk dibuat pellet. responden yang mengatakan tidak sesuai ini berasal dari Desa Soropadan dan Nguwet. Jenis serbuk gergaji dari kayu sengon di

64 . . . .

2 desa tersebut umumnya relatif lebih halus sehingga sulit untuk dipress dan dijadikan pellet. “Istilahnya masuk serbuk, keluar serbuk”. Untuk itu perlu dicampur dengan serbuk gergaji yang relatif kasar dan ditambah bahan perekat seperti tepung kanji atau arang halus.

Gambar 4.7. Kesesuaian dan Ketersediaan Sarana alat Pembuatan Wood Pellet

Untuk membuat wood pellet diperlukan sarana dan prasarana yang telah tersedia di desanya masing-masing. Terkait penggunaan alat mesin tersebut, 80 % responden mengatakan mudah karena sudah mendapat pelatihan dan bimtek. Hanya dalam penggunaan kompor gasifikasi, responden mengalami kesulitan terutama dalam start awal dan memerlukan pemantik api agar pellet dapat terbakar. Sedangkan 20 % lainnya menyatakan sulit karena butuh ketrampilan yang cukup dalam mengkondisikan serbuk gergaji dan tambahan perekat agar menjadi pellet.

Persepsi responden dalam mendapatkan sparepart alat mesin apabila rusak mengatakan bahwa 57 % mudah mendapatkan. Sedangkan 43 % mengatakan

. . . . 65

tidak mudah. Saat ini sparepart alat mesin belum menjadi kendala karena masih ada garansi dari pabrik dan toko.

Dari sisi kemudahan memperoleh alat pembuatan pellet, persepsi responden yang terjaring mengatakan mudah. Pemikiran ini tidaklah salah karena setelah dilakukan bimtek tiap desa diberi alat mesin dan mesin masih garansi pabrik dan memperoleh bantuan modal usaha. Persepsi ini perlu ditanyakan lagi setelah berjalan satu tahun apakah alat mesin masih digunakan dan masyarakat menanggung sendiri biaya oerasionalnya.

Gambar 4.8. Kemudahan dan Biaya operasional

b. analisis ekonomi

analisis ekonomi dapat dilihat dari parameter biaya aplikasi, pengaruh terhadap pendapatan dan pemasaran hasil. Hasil wawancara dengan responden, sebanyak 60

% menyatakan bahwa operasional alat mesin mahal. Hal ini dapat dimengerti karena harga satuan alat mesin dan kompor gasifkasi relatif mahal. Sedangkan alat mesin belum memporduksi pellet untuk dijual dan masih dimanfaatkan sendiri.

66 . . . .

Berikut disajikan analisis investasi dan depresiasi alat mesin pembuat wood pellet berdasarkan harga beli, usia pemakaian dan biaya pemeliharaan sebagai berikut.

Tabel 4.4.

analisis Investasi dan Depresiasi alat mesin Serbuk Gergaji

1 Pencacah 12.500.000 4 200.000 260.417

2 Press wood

pellet 18.000.000 3 300.000 500.000

3 Pengering 16.600.000 5 100.000 276.667

4 Kompor

gasifikasi 850.000 5 14.167

Jumlah 600.000 1.051.250

Untuk menghitung analisis ekonomi, diberikan asumsi seperti operasional alat press selama 4 jam dalam sehari, dengan produksi dalam satu jam adalah 50 kg wood pellet. Sehingga produksi per hari adalah 200 kg dengan 20 hari kerja. Produksi wood pellet per bulan adalah 4.000 kg dengan harga per kg nya adalah rp.

2.000,-. Dari hasil analisis pada Tabel 4.4, keuntungan produksi wood pellet ini tipis dikisaran Rp. 488.750,-.

Tabel 4.5. analisis ekonomi Produksi Wood Pellet.

No Uraian Volume/Satuan Harga Sub Total

a Penerimaan 1 Produksi

(penjualan 100 %)

4.000 kg/bulan 2.000 8.000.000

Sub total a 8.000.000

. . . . 67

No Uraian Volume/Satuan Harga Sub Total

B

Sewa tempat usaha 1 bulan 200.000 200.000

Pemeliharaan 1 bulan 600.000 600.000

Depresiasi 1 bulan 1.051.250 1.051.250

Gaji operasional 5 orang 1.000.000 5.000.000

Sub total B 7.511.250

C Keuntungan (a-B) 488.750

responden belum yakin bahwa pellet dapat mengurangi pemakaian lPG. Dari hasil wawancara sebanyak 40 % menyatakan bahwa pellet tidak berpengaruh dalam mengurangi konsumsi lPG. agar kondisi ini dapat ditekan, maka diperlukan pendampingan dan sosialisasi bagaimana pellet dapat menjadi subsitusi dari penggunaan lPG. Bahwa memang pellet tidak dapat menggantikan LPG, tetapi dengan mengolah serbuk gergaji menjadi pellet dapat mengurangi dampak lingkungan dan mengurangi pemakaian lPG. Selama ini memang masyarakat di tiga desa telah menggunakan lPG untuk memasak, sedikit yang menggunakan kayu bakar dan minyak tanah. Persepsi responden terhadap harga lPG adalah mahal (60 %), kayu bakar murah (90

%) dan minyak tanah mahal (73 %). Dari hasil persentase persepsi tersebut, tergambar bahwa penggunaan lPG dan minyak tanah bagi masyarakat tergolong mahal.

Sedangkan penggunaan kayu bakar walaupun murah tetapi sudah ditinggalkan. Untuk itu dalam mengurangi penggunaan LPG, maka alternatif penggunaan pellet relevan untuk diperkenalkan.

68 . . . .

Gambar 4.9. Pengaruh terhadap Bahan Bakar Gas dan Budaya

e. analisis Sosial Budaya

Analisis sosial budaya terdiri dari kesesuaian terhadap budaya/kebiasaan, ketersediaan tenaga kerja, persepsi dan minat menggunakan teknologi pengelolaan limbah, dan kecenderungan membiayai sendiri penggunaan teknologi limbah.. Berdasarkan wawancara dengan responden, 73,3 % diantaranya menyatakan bahwa pemanfaatan alat mesin untuk mengolah limbah tidak bertentangan dengan kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat . Ini dapat menunjukkan bahwa alat mesin tersebut dapat diterima oleh masyarakat.

Terkait operasionalisasi alat mesin, 87 % responden menyatakan bahwa tenaga kerja yang tersedia mampu dan cukup untuk melakukannya. Sementara itu, sebanyak 70 % responden menyatakan berminat untuk menggunakan teknologi pengelolaan limbah. Hal ini didasari bahwa selama ini pemanfaatan limbah serbuk gergaji masih terbatas dan cenderung berdampak

. . . . 69

lingkungan. Dengan teknologi pembuatan pellet ini, mereka bersemangat untuk mempelajarinya dan ingin memproduksi. Hasil yang cukup mencengangkan, terlihat dari aspek membiayai sendiri pelaksanaan teknologi limbah. sebanyak 73,3 % responden mau mengeluarkan biaya sendiri dan beramai-ramai melaksanakannya agar operasional alat mesin pellet ini dapat berjalan dan menghasilkan produk ekonomis.

Gambar 4.10. Tenaga Kerja untuk operasionalisasi alat mesin

f. analisis manajemen

Parameter manajemen terdiri dari kelembagaan/

pengelolaan teknologi limbah dan akses ke sumber biaya/modal. Berdasarkan wawancara, 93,3 % responden mengetahui bahwa ada kelompok dalam kegiatan pengelolaan limbah serbuk gergaji ini. Seperti

70 . . . .

diketahui, untuk pemanfaatan limbah serbuk gergajji telah dibentuk kelompok-kelompok di 3 desa, yaitu kelompok Berkah Sampah makmur di Desa Soropadan Kecamatan Pringsurat, kelompok Bina Sejahtera mandiri di Desa Nguwet Kecamatan Kranggan dan kelompok mitra Usaha di Desa Candimulyo Kecamatan Kedu.

Setiap kelompok memiliki struktur organisasi, yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan staf teknis.

Dalam hal akses ke sumber modal, 77 persen%

responden menyatakan mudah. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitasi dari perbankan tidak menyulitkan masyarakat dalam melakukan upaya pemanfaatan limbah serbuk gergaji ini.

g. analisis lingkungan

analisis lingkungan terkait dengan dampak penggunaan teknologi dan zero waste. sSebagian besar responden (76 %) menyatakan bahwa pengelolaan mesin ini tidak berdampak terhadap lingkungan.

Sedangkan 23,3 % responden lainnya menyatakan bahwa teknologi tersebut mempunyai dampak polusi, seperti suara mesin diesel yang cukup keras dan debu serbuk yang beterbangan apabila mesin pencacah dan mesin press pellet bekerja. Untuk itu, perlu pelindung telinga dan pelindung mulut (masker) pada saat mengoprasikan mesin pembuat pellet.

Proses pembuataan pellet mengadopsi konsep zero waste, yang berarti proses tersebut tidak menghasilkan sisa bahan atau limbah yang tidak berguna, sehingga efisien dalam pengelolaan bahan yang terpakai.

. . . . 71

Kalaupun ada sisa, bisa dimanfaatkan kembali atau diolah lagi untuk proses yang lain. Sebanyak 83,3 persen%

responden memiliki persepsi bahwa serbuk gergaji terserap dalam proses produksi. Hanya 17 % responden yang menyatakan bahwa pengolahan tersebut masih meninggalkan ampas yaitu berupa serbuk yang tidak dapat dipress menjadi wood pellet. c. Peralatan dan sarana d. Cara aplikasi

e. alih teknologi

f. Tanggapan dari Pemda setempat

72 . . . .

b. akses ke sumber biaya/

modal

b. Zero waste Tidak ada dampak

Terpenuhi 76,7

83,3

. . . . 73

SIMPUlAN DAN ReKOMeNDASI

Dalam dokumen Limbah Serbuk Gergaji (Halaman 76-87)

Dokumen terkait