• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.3. Analisis kelembagaan 1. Konsep kelembagaan

Menurut Pakpahan (1989) pada prinsipnya terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan sebagai aturan main (rule of the games) dan kelembagaan sebagai organisasi. Kelembagaan sebagai suatu organisasi dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih mereka ke arah pencapaian tujuan. Kelembagaan

sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank dan sebagainya. Kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid (1972) dalam acuan Pakpahan (1990), adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilege, dan tanggung jawab. Berdasarkan hal tersebut, pengertian kelembagaan terdiri atas aturan main dan organisasi. Organisasi menyangkut hierarki kedudukan, status posisi dalam ruang lingkup serta wewenang yang sesuai dengan posisinya,

sedangkan aturan main menyangkut pembatasan (constraint) kepada pelaksanaan

tugas kegiatan atau aktifitas.

Suatu kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid dalam acuan Pakpahan (1990) dapat dilihat dari tiga hal utama, yaitu 1) Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas jurisdiksi atau batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Dalam suatu organisasi, batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut. Batas kewenangan tersebut ditentukan a)

sense of community, b) ekternalitas, c) homogenitas dan d) skala ekonomi. 2) Hak dan kewajiban (property right). Konsep property right selalu mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Konsep property right atau hak kepemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua lapisan peserta, yang didefinisikan atau diatur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat mengatakan hak milik atau hak penguasaan jika tanpa pengesahan masyarakat sekitarnya dimana dia berada. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian atau bonus sebagai kelas jasa, pengaturan administrasi seperti subsidi pemerintah terhadap sekelompok masyarakat. 3) Aturan representasi (rule of representation). Aturan representation mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh besarnya

uang rupiah yang dibagikan, melainkan ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat anggota yang terlibat.

2.3.2. Spatial autocorrelation

Spatial autocorrelation adalah suatu metode analisis statistika spasial yang digunakan untuk mengetahui pengaruh hubungan hasil produksi berdasarkan pola sebaran spasial lahan dalam suatu kawasan. Menurut John Odland (1988), deskripsi dari hasil perhitungan analisis autocorrelation tersebut dibagi dalam 3 (tiga) kemungkinan, yaitu apabila 1) I > I (random) disebut auto correlation

positif, yaitu suatu hubungan yang mencerminkan pola sebaran searah, 2) I = Random, yaitu suatu hubungan yang tidak mencerminkan suatu pola sebaran tertentu (acak), 3) I < I (random) disebut auto correlation negatif, yaitu hubungan yang mencerminkan pola sebaran dengan pengaruh yang saling berkebalikan.

2.3.3. Konsep kemitraan

Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan bisnisnya. Kemitraan adalah suatu set kelembagaan dan rencana-rencana organisasi yang menentukan bagaimana pihak-pihak yang terlibat (stake holder) bekerjasama. Sebuah rencana kemitraan bukanlah struktur hukum tentang hak-hak dan peraturan-peraturan yang statis, tetapi ia merupakan proses yang dinamis untuk menciptakan struktur-struktur kelembagaan baru. Dengan demikian kelembagaan kemitraan dapat didisain sebagai kelembagaan yang sama sekali baru atau yang berdasarkan pada struktur kelembagaan yang telah ada.

Di Indonesia, kemitraan diartikan sebagai hubungan bapak-anak angkat

(foster father partnerships). Pola kemitraan semacam ini dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu 1) Pola Perkebunan Inti rakyat (PIR), di mana bapak angkat sebagai inti sedangkan petani kecil sebagai plasma, 2) Pola dagang, di mana bapak angkat bertindak sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh mitra usahanya, 3) Pola vendor, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat tidak

memiliki hubungan kaitan ke depan maupun ke belakang dengan produk yang dihasilkan oleh bapak angkatnya, 4) Pola subkontrak, di mana produk yang dihasilkan oleh anak angkat merupakan bagian dari proses produksi usaha yang dilakukan oleh bapak angkat, selain itu terdapat interaksi antara anak dan bapak angkat dalam bentuk keterkaitan teknis, keuangan dan atau informasi.

Pola kemitraan dalam bentuk kontrak produksi umumnya dapat dibentuk dengan pola semacam Perikanan Inti Rakyat (PIR), yaitu bentuk kemitraan antara perusahaan inti dan plasma, dimana perusahaan inti berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi serta mengusahakan permodalan. Pola kemitraan kegiatan produksi perikanan yang dapat dilakukan adalah; 1) Pola kemitraan dengan kesepakatan jaminan sarana produksi dan pemasaran hasil, kontrak harga sarana produksi dan harga output, jaminan pendapatan pada plasma, sistem bonus kenaikan harga output dan sistem bonus/pinalti jika terdapat mortalitas, 2) Pola kemitraan dengan kesepakatan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output, kontrak harga, jaminan pendapatan plasma dan sistem bonus kenaikan harga output, 3) Pola kemitraan dengan kesepakatan jaminan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output dan kontrak harga, 4) Pola kemitraan yang hanya memiliki kesepakatan jaminan penyediaan produksi dan pemasaran output.

Menurut Siregar et all (2004), kelembagaan dalam usaha budidaya udang berkembang secara alami karena bertemunya kepentingan yang saling melengkapi antara petani pemilik tambak dan pedagang/pengusaha lokal. Selanjutnya disebutkan bahwa, bentuk organisasi pertambakan udang secara garis besar dibagi menjadi 3 jenis yakni; usaha tani tambak, perusahaan tambak, pola hubungan perusahaan dan petani. Pada pola hubungan perusahaan dan petani terdapat pola bapak angkat langsung, pola bapak angkat tidak langsung dan pola tambak inti rakyat (TIR). Pola bapak angkat dapat berlangsung secara alamiah karena pertimbangan keuntungan teknis dan ekonomis yang saling mengisi antara petani dan pengusaha. Sementara pola tambak inti rakyat (TIR) muncul belakangan berdasarkan kebijakan pemerintah. Ketiga pola ini terjadi karena latar belakang yang sama, yakni minimnya kemampuan keuangan dan keahlian petani dalam hal budidaya maupun akses pasar.

Secara teoritis, suatu kemitraan akan terjadi dan berjalan langgeng bila memenuhi dua syarat, yaitu; 1) Syarat keharusan (necessary condition) yaitu ada peluang saling menguntungkan atau win-win situation melalui pelaksanaan kemitraan. Artinya, melalui kemitraan ada manfaat ekonomi yang dapat dinikmati bersama melalui aksi bersama (collective action), dimana manfaat tersebut tidak dapat dinikmati bila bertindak secara individu (individual action), 2) Syarat kecukupan (sufficient condition) yaitu kebersamaan (cohesiveness). Artinya, suatu kemitraan akan berjalan langgeng dan berhasil meraih posisi yang paling menguntungkan bila pihak-pihak yang bermitra bersedia dan disiplin untuk melakukan aksi bersama dalam upaya pencapaian kondisi yang saling menguntungkan.

Suatu kemitraan akan berjalan langgeng bila memenuhi kedua syarat tersebut. Kemitraan yang tidak menghasilkan kondisi yang saling menguntungkan meskipun ada aksi bersama (kebersamaan) sulit bertahan dalam jangka panjang. Demikian juga kemitraan yang saling menguntungkan tanpa didasari oleh kebersamaan juga akan diragukan kelanggengannya, karena kemitraan akan dirongrong oleh free rider. Bila kedua syarat tersebut dipenuhi maka kemitraan akan secara otomatis terlaksana dan kelanggengannya juga dapat terjamin tanpa campur tangan dari pihak lain. Bila kedua syarat tersebut dipenuhi maka kemitraan akan secara otomatis terlaksana dan kelanggengannya juga dapat terjamin tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan demikian, pola kemitraan yang memenuhi kedua syarat tersebut merupakan kemitraan the first best.

Suatu kemitraan dapat juga terjadi bila dikondisikan atau ada peraturan yang memaksa (law enforcement). Dengan asumsi pelaku bisnis adalah rasional, dimana keuntungan merupakan insentif bagi kegiatan bisnis, maka karena win-loose situation, secara otomatis kebersamaan juga sulit dicapai. Kelanggengan kemitraan yang bersifat win-loose situation ini ditentukan oleh pengawasan yang ketat dan pelaksanaan sangsi pelanggaran. Karena itu, kemitraan yang demikian cenderung menciptakan distorsi ekonomi (high cost economics) dan cenderung mengarah pada konflik yang berkepanjangan. Meskipun demikian, kemitraan yang dipaksakan ini masih dapat bertahan sebagai kemitraan second best bila disertai dengan kebijaksanaan kompensasi, yaitu mengkompensasi pihak yang

worse off, sehingga paling sedikit tidak ada pihak yang dirugikan untuk membuat pihak lain better off.

2.3.4. Konsep tambak inti rakyat (TIR)

- Tambak Inti Rakyat (TIR), adalah proyek / pembangunan transmigrasi yang pelaksanaannya dikaitkan dengan pembangunan perikanan usaha tambak.

- Transmigran Plasma, adalah transmigran petani tambak peserta TIR.

- Perusahaan Inti, adalah Perusahaan Perikanan baik berupa Badan Usaha Milik

Negara (BUMN), Perusahaan Swasta atau Koperasi yang telah mempunyai Badan Hukum dan memenuhi persyaratan bermitra dengan transmigran sebagai Plasma yang selanjutnya ditetapkan sebagai pelaksana TIR.

- Kemitraan, adalah kerjasama usaha antara Plasma dengan Perusahaan Inti melalui pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan serta berkesinambungan.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tahun 2004, konsep Inti Plasma dalam pertambakan atau disebut juga Tambak Inti Rakyat di Indonesia mulai diperkenalkan pada awal tahun 90-an. SK Menteri Pertanian No. 509/ Tahun 1995 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan mensyaratkan pertambakan yang melebihi 100 hektar di luar Pulau Jawa dijalankan dalam bentuk hubungan Inti – Plasma. Pada Konsep Inti Plasma, yaitu petani plasma menyepakati bekerjasama dengan perusahaan inti dalam hal pemasaran hasil panen. Perusahaan mendapat jaminan penjualan hasil panen dari plasma dan sebagai imbalannya perusahaan inti berperan memberikan bimbingan teknis operasional dan dukungan finansial.

Petani mulai bergabung sebagai plasma setelah menandatangani perjanjian terlebih dahulu, yakni kesepakatan kredit dan hubungan kemitraan. Kesepakatan kredit menyebutkan Plasma mengajukan kredit kepada Bank Pelaksana melalui Perusahaan Inti dalam wadah Koperasi. Perusahaan Inti disini bertindak sebagai Penjamin kepada Bank untuk mendapatkan kredit. Kredit yang diajukan adalah berupa kredit Investasi dan kredit Modal Kerja. Kredit Investasi berupa petak tambak yang sebelumnya telah dibangun oleh Perusahaan Inti berikut komponen peralatan tambak. Sedangkan kredit Modal Kerja adalah komponen sarana

produksi tambak seperti benur, pakan, obat-obatan, biaya hidup dan lain-lain. Perjanjian kredit menyebutkan bahwa plasma membayar cicilan kredit setelah musim panen udang. Plasma dapat memiliki petak tambak tersebut apabila dalam beberapa musim tanam telah berhasil melunasi cicilan kreditnya.

Kredit dapat dipergunakan antara lain untuk memungkinkan terjadinya investasi modal. Sedangkan menurut Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997), kredit yang dipergunakan untuk membeli input pada waktu yang dibutuhkan disebut sebagi modal kerja. Menurut Sinungan (1989) dalam acuan Yulianto (1997) menyebutkan bahwa unsur-unsur kredit meliputi 1) kepercayaan yaitu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi (uang, jasa atau barang) yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu yang akan datang, 2) waktu yaitu bahwa antara pemberian dan pengembaliannya dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu, 3) degree of risk yaitu pemberian kredit menimbulkan suatu tingkat resiko. Resiko timbul bagi pemberi kredit karena uang / barang / jasa yang berupa prestasi telah lepas kepada orang lain, 4) prestasi yaitu yang diberikan adalah suatu prestasi yang dapat berupa uang, barang atau jasa. Dalam perkembangan perkreditan masa modern yang dimaksudkan dengan prestasi dalam pemberian kredit adalah uang.

Jenis-jenis kredit dapat dibedakan menurut ada atau tidaknya jaminan dan legalitasnya. Jenis kredit menurut ada atau tidaknya jaminan dibedakan atas kredit terbuka dan kredit tertutup. Kredit terbuka adalah jenis kredit yang tidak disertai jaminan barang tertentu, sedangkan kredit tertutup adalah kredit yang harus disertai jaminan barang tertentu. Selanjutnya kredit tertutup juga dapat dibagi dua yaitu pertama kredit yang mempergunakan barang jaminan yang tak bergerak sebagai jaminan disebut hipotik, dan kedua jenis kredit yang mempergunakan barang bergerak sebagai jaminan disebut gadai. Jenis kredit menurut legalitasnya dapat digolongkan ke dalam kredit yang bersifat formal dan informal. Saluran kredit yang bersifat informal adalah mereka yang melakukan aktifitas meminjamkan uangnya biasanya didasarkan hubungan personal bagi setiap proses transaksi yang dilakukan. Lembaga perkreditan formal menyalurkan kreditnya kepada para peminjam uang yang diatur oleh undang-undang dan diatur juga oleh

peraturan pemerintah. Lembaga formal tersebut antara lain bank swasta, bank pemerintah, koperasi yang terdaftar dan lembaga keuangan lainnya.

2.3.5. Konsep bagi hasil (contract farming)

Menurut Glover dan Kusterer (1989) dalam acuan Yulianto (1997) di dalam suatu rangkaian aktifitas agribisnis melibatkan bentuk hubungan yang kompleks dan langsung antara perusahaan besar dan petani kecil dalam bentuk

contract farming. Didalam sistem ini perusahaan yang mendapatkan produk dengan membeli dari petani lokal melalui kontrak, mengkhususkan pada bebrapa kondisi penjualan dan tanggung jawab perusahaan untuk menyediakan bantuan teknik dan jasa pelayanan. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga pertimbangan dilakukannya contract farming, yaitu:

1. Kontrak mendapatkan beberapa keuntungan baik bagi perusahaan maupun

petani khususnya berkenaan dengan resiko dan ketidak pastian. Faktor harga, kuantitas, kuantitas dan standar kualitas sering tidak pasti, sehingga kontrak menyebabkan petani dapat memperoleh pasar yang pasti untuk penjualan outputnya, sedangkan bagi perusahaan menginginkan tersedianya kuantitas dan kualitas produk secara konsisten.

2. Kontrak menimbulkan pengaruh sosial yang luas dan sering berkembang ke arah kontrak yang dapat melibatkan tenaga kerja, anggota-anggota rumah tangga dan masyarakat wilayah secara umum manakala dalam proses pengoperasiannya sering memperkenalkan produk dan teknik baru yang

umumnya menyangkut system pengolahan (processing) dan system

pengepakan (packing).

3. Di dalam sistem pengoperasiannya melibatkan ukuran-ukuran substansi

perusahaan yang kadang-kadang berhubungan dengan institusi pemerintah dan agen pemberi kredit. Koalisi dari berbagai kepentingan dalam agribisnis yang banyak mengandung risiko seringkali menjadi kompleks dan sarat bila dipandang dari sudut petani dan kenyataannya terdapat celah konflik kepentingan, eksploitasi dan perundingan dengan perubahan dinamika internal yang berlangsung setiap saat.

Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997) menyatakan bahwa hubungan antara pedagang atau pengusaha agro-processing dengan para petani dapat terjalin

dalam suatu kontraktual (aturan main yang disetujui bersama) sistem agribisnis. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam keadaan dunia nyata sistem ekonomi yang berlaku mempunyai beberapa variant yang dapat dikelompokan sebagai berikut; a) bentuk integrasi vertikal, b) bentuk hubungan di luar sistem pasar seperti KUD, PIR dan c) campur tangan pemerintah sepenuhnya (central planning).

Menurut Yulianto (1997), adanya kegagalan dalam mencapai target hasil produksi menyebabkan dilakukannya perubahan (penyesuaian) kelembagaan agribisnis. Kelembagaan tersebut menekankan pada hubungan principal agent

yang pada taraf operasional ditetapkan melalui system kontrak baiksecara formal dan informal. Dengan adanya kegagalan produksi tersebut secara implisit menyatakan bahwa keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya mengandung unsur resiko, baik karena resiko alam (natural risk) ataupun resiko yang bersumber dari aktifitas keputusan manusia (man-made risk). Kondisi ini menyebabkan principal mau mendistribusikan resiko danmanfaat kepada agent. Dari hal tersebut pelaku usaha membangun sistem kelembagaan (institutional building) dalam bentuk hubungan principal-agent yang mampu menampung dan memungkinkan terjadinya pertukaran secara simultan dengan maksud mereduksi risiko kegagalan. Melalui hubungan tersebut selanjutnya ditetapkan model-model kontrak yang mengatur hak dan kewajiban serta sanksi.

Untuk menilai keberhasilan kelembagaan kontrak dari suatu kerjasama akan berjalan dengan baik atau tidak, menurut Anwar (1993) dalam acuan Yulianto (1997) perlu didasarkan atas empat kriteria, yaitu 1) efficiency (efisiensi) dalam arti bahwa dibentuknya kelembagaan adalah untuk menghindari

pemborosan, 2) equity (pemerataan) yaitu kondisi yang memuaskan semua pihak

yang terlibat sesuai dengan posisi dan harkatnya, 3) sustainability (keberlanjutan) yaitu pertumbuhan usaha dapat berlangsung secara terus menerus saling menguntungkan dan 4) interactive decision making yang melibatkan berbagai pihak.

Model kontrak usaha tambak (contract farming) menurut Yulianto (1997) dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu; 1) kontrak menurut model TIR, yaitu kerjasama antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma, 2) kontrak menurut hubungan sistem bagi hasil formal yang selanjutnya disebut

sebagai kerjasama operasional (KSO) yaitu kerjasama antara petambak dengan perusahaan menurut perjanjian tertentu, dan 3) kontrak menurut hubungan tradisional yaitu kerjasama antara petambak dengan pedagang / tengkulak yang berlangsung secara informal. Selain kontrak yang telah disebutkan diatas, masih ada kontrak usaha tambak sewa lahan yaitu kerjasama yang dilakukan oleh petambak dengan jalan menyewakan lahan tambak miliknya kepada perusahaan atau perorangan.

3.1. Lokasi dan batasan penelitian

Penelitian ini berlokasi di proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai di Dusun Kalangbahu Desa Jawai Laut Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Ruang lingkup periode pengkajian proyek adalah dalam kurun waktu sejak dimulainya pembangunan fisik proyek pada tahun 1990 sampai dengan kondisi stagnasi tahun 1996. Waktu pengamatan dan inventarisasi tentang kondisi terakhir fisik tambak dilakukan pada bulan Maret 2006.

3.2. Kerangka pemikiran

Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai sejak tahun 1996 dalam keadaan stagnan dan selain itu dari segi fisik tambak mengalami abrasi yang mengakibatkan tambak di sepanjang pantai mengalami kerusakan. Dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali TIR Transmigrasi Jawai secara berkelanjutan, maka dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kelayakan bioteknis, finansial dan kelembagaan. Aspek bioteknis akan mengkaji kelayakan kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan dan dari aspek finansial akan dihitung biaya investasi yang dibutuhkan untuk merehabilitasi infrastruktur dan fisik tambak. Hasil analisis bioteknis dan finansial tersebut yang akan menentukan teknologi budidaya yang tepat untuk diterapkan pada lokasi proyek. Sedangkan dari aspek kelembagaan dan pengelolaan akan dibahas pelaksanaan pengelolaan proyek periode sebelum dan pasca pelunasan kredit tambak yang mencakup karakteristik produktifitas plasma dan organisasi tata laksana. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi contoh model pengelolaan TIR yang berkelanjutan dan menjadi rekomendasi dalam rangka untuk mengoperasikan kembali proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

3.3. Metode pengumpulan data