4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia
Mengingat begitu banyaknya komoditas pertanian, maka pada penelitian ini analisis akan difokuskan kepada 10 komoditas pertanian yang merupakan bagian dari Special Product yang diajukan oleh Indonesia, yakni beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. Komoditas pertanian yang masuk kedalam Special Product haruslah memenuhi beberapa indikator, yakni: proporsi dalam nutrisi/kalori; proporsi produksi terhadap konsumsi dalam negeri; persentase konsumsi dalam negeri terhadap total ekspor; proporsi lahan yang digunakan untuk memproduksi produk; proporsi dalam total tenaga kerja pertanian; proporsi petani berpendapatan rendah dan miskin; proporsi dalam produksi atau pendapatan; besarnya nilai tambah yang diperoleh produk yang bersangkutan; proporsi dalam penerimaan tariff bea masuk pertanian; proporsi dalam total pengeluaran pangan; ada tidaknya subsidi AMS atau Blue Box dari negara eksportir; dan produktivitas per orang atau per hektar.
Secara umum, tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Hanya 3 dari 10 komoditas pertanian yang dianalisis memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah dan teh. Sementara itu, komoditas pertanian yang cukup vital seperti beras, tebu (termasuk gula) dan kedele memiliki tingkat impor yang sangat besar, dan sempat meningkat sangat drastis pada tahun 2007. Pada tahun tersebut, defisit neraca perdagangan beras meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya dari 437 ribu ton menjadi 1,4 juta ton. Hal tersebut terjadi karena dibukanya keran impor beras oleh pemerintah guna menekan gejolak harga beras yang semakin meningkat dan untuk menjaga stok beras nasional yang kosong seiring dengan pelaksanaan operasi pasar dan program RASKIN3.
Komoditi tebu dan kedele juga memiliki masalah yang serupa. Sepanjang tahun, defisit neraca perdagangan tebu (gula) dan kedele Indonesia masing-masing tidak pernah kurang dari 1 juta ton guna menutupi kebutuhan konsumsi nasional. Pemerintah memperkirakan konsumsi gula dan kedele nasional masing-masing mencapai 2,7 juta ton4 dan 2,4 juta ton per tahun5. Hal tersebut menandakan bahwa hampir 40 persen dari kebutuhan tebu (gula) nasional dan lebih
3
http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=1&id=1441 4 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/16/brk,20100816-271605,id.html 5 Simatupang et al (2005)
35
dari 50 persen kebutuhan kedele nasional dipenuhi dari impor. Ketergantungan yang cukup besar terhadap produk pangan impor juga terjadi pada komoditas lainnya, yakni pada jeruk, susu dan tepung terigu. Meskipun tidak sebesar beras, defisit neraca perdagangan jagung juga perlu mendapatkan perhatian serius. Terkait masalah fluktuasi impor, impor komoditas jagung sempat meningkat sangat signifikan pada tahun 2006 dengan pertumbuhan lebih dari 12 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan kesulitan pengusaha mencari jagung pipilan di pasaran lokal untuk pakan ternak. Pada musim tanam 2005/2006, para petani lebih memilih untuk menanam padi dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi6.
Tabel 8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih (USD)
Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu
6 Pernyataan Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Soetarto Ali Moesa pada lokakarya nasional di Pontianak tahun 2006 dan dimuat di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10-114-0009-001-03-0899.pdf
2005 2006 2007 2008 2009 Ekspor 42,286,072 959,459 1,613,492 876,502 2,454,798 Impor 189,616,605 438,108,531 1,406,847,570 289,689,411 250,473,149 Nett (147,330,533) (437,149,072) (1,405,234,078) (288,812,909) (248,018,351) Ekspor 1,173,489 1,480,011 479,352 1,692,683 927,180 Impor 1,996,367,719 1,511,001,382 2,972,786,783 1,018,594,437 1,393,226,616 Nett (1,995,194,230) (1,509,521,371) (2,972,307,431) (1,016,901,754) (1,392,299,436) Ekspor 54,008,742 28,073,845 101,739,895 107,001,294 62,575,222 Impor 185,597,289 1,775,320,810 701,953,110 275,603,211 338,797,674 Nett (131,588,547) (1,747,246,965) (600,213,215) (168,601,917) (276,222,452) Ekspor 838,566 458,195 703,374 916,549 538,584 Impor 84,356,502 96,211,140 114,231,957 138,711,997 209,615,233 Nett (83,517,936) (95,752,945) (113,528,583) (137,795,448) (209,076,649) Ekspor 875,574 1,732,370 1,871,649 1,024,898 446,001 Impor 1,086,178,239 1,132,143,509 1,411,588,709 1,169,015,597 1,314,619,698 Nett (1,085,302,665) (1,130,411,139) (1,409,717,060) (1,167,990,699) (1,314,173,697) Ekspor 445,929,794 414,105,384 321,404,023 468,749,533 510,898,385 Impor 3,195,160 6,599,917 49,992,886 7,581,126 14,399,633 Nett 442,734,634 407,505,467 271,411,137 461,168,407 496,498,752 Ekspor 11,779,666 8,921,876 7,684,734 14,670,214 13,098,954 Impor 1,289,785 1,975,962 1,448,754 709,994 1,153,439 Nett 10,489,881 6,945,914 6,235,980 13,960,220 11,945,515 Ekspor 37,798,721 27,354,669 21,965,851 44,226,283 30,348,519 Impor 172,842,482 187,176,494 197,228,336 174,026,950 170,002,893 Nett (135,043,761) (159,821,825) (175,262,485) (129,800,667) (139,654,374) Ekspor 102,293,988 95,338,934 83,658,624 96,209,628 92,304,141 Impor 5,477,713 5,293,541 8,694,629 6,625,264 7,168,678 Nett 96,816,275 90,045,393 74,963,995 89,584,364 85,135,463 Ekspor 63,751,853 47,954,212 48,265,428 15,776,965 20,363,167 Impor 483,138,356 542,308,511 587,289,109 534,877,133 651,764,794 Nett (419,386,503) (494,354,299) (539,023,681) (519,100,168) (631,401,627) Beras Tebu Jagung Jeruk Kedele Kopi Rempah-rempah Susu Tea Tepung Terigu
36
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, 3 komoditi memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah, dan teh. Jika dilihat secara lebih detail (HS yang lebih detail), jenis komoditi kopi yang paling banyak diimpor dan diekspor berada pada HS yang sama, yakni kopi robusta dan arabika yang belum diolah. Kondisi ini sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia yang menyukai kopi impor yang biasanya dikonsumsi langsung di restoran kopi seperti Star Bucks dan Gloria Jeans. Hal yang serupa juga terjadi pada komoditas teh, dimana teh hijau merupakan komoditi teh yang paling banyak diekspor dan juga diimpor. Sementara itu, untuk rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling banyak diimpor, sedangkan jenis komoditi yang paling banyak diekspor adalah other spices.
Struktur ekspor dan impor pada komoditas kopi dan teh merupakan kondisi yang sangat menarik mengingat jenis komoditas yang sama baik untuk ekspor dan impor. Karakter konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk impor dibandingkan dengan produk lokal merupakan hal yang umum terjadi tidak hanya pada komoditas kopi dan teh. Pilihan konsumsi yang bias pada produk impor umumnya terjadi untuk masyarakat yang berpendapatan menengah dan tinggi dan bukan atas dasar perbedaan kualitas melainkan lebih kepada faktor gengsi. Oleh karena itu, khusus untuk dua komoditas tersebut, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada sisi suplainya saja melainkan juga pada sisi demandnya. Maksudnya disini adalah bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan promosi dan pengembangan produk lebih lanjut dari produk kopi dan teh lokal agar mampu bersaing dengan produk impor.
4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia
Berdasarkan pemaparan sebelumnya telah dipaparkan bahwa ada kalanya impor produk pangan merupakan hal yang tidak terelakkan lagi. Oleh karena itu menjadi hal yang cukup penting untuk mengetahui apakah impor 10 komoditas pangan Indonesia dipengaruhi oleh faktor trend atau seasonal atau bahkan keduanya. Guna menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan parametrik dan non parametrik yang merupakan bagian dari prosedur X12 ARIMA untuk melakukan seasonality test. Selain itu juga akan dilakukan moving seasonality test guna melihat variasi komponen seasonal dari tahun ke tahun. Data yang digunakan adalah data nilai impor bulanan untuk 10 komoditas pertanian yang telah dikoreksi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Impor. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh harga terhadap fluktuasi impor.
Tabel 9menunjukkan bahwa kesepuluh komoditas pertanian memiliki faktor seasonal khususnya moving seasonality. Hal tersebut mengartikan bahwa ada periode (bulan) tertentu
37
dimana impor cenderung besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya selama beberapa tahun yang dianalisis. Hal ini semakin memperkuat indikasi adanya kebutuhan akan impor produk pertanian yang tak terelakkan pada periode-periode tertentu. Untuk itu penting untuk dipertimbangkan akan analisa lebih lanjut, khususnya yang terkait dengan identifikasi periode yang memiliki tren peningkatan impor yang tinggi dan faktor-faktor yang menjadi menimbulkan hal tersebut sebagai salah satu tindakan antisipatif terhadap serbuan impor di masa yang akan datang.
Tabel 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih
KOMODITAS Test for the presence of
seasonality assuming stability
Nonparametric Test for the Presence of Seasonality
Assuming Stability
Moving Seasonality Test
Beras No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
Seasonality present at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Tebu Seasonality present at the 0.1 per
cent level
Seasonality present at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Jagung Seasonality present at the 0.1 per
cent level
Seasonality present at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Jeruk Seasonality present at the 0.1 per
cent level
Seasonality present at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Kedele No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
No evidence of seasonality at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Kopi No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
No evidence of seasonality at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Rempah-rempah No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
No evidence of seasonality at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Susu No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
No evidence of seasonality at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Teh No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
No evidence of seasonality at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Tepung terigu No evidence of stable seasonality at
the 0.1 per cent level
Seasonality present at the one percent level
Moving seasonality present at the one percent level
Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu
Selanjutnya, terkait dengan trend maka pendekatan yang digunakan adalah Mann-Kendall trend test. Pendekatan ini dipilih karena sebaran dari sepuluh komoditi yang dianalisa tidak mengikuti sebaran normal. Berdasarkan Onoz (2002), Mann-Kendall trend test merupakan metode yang relatif lebih baik dibandingkan dengan t-test untuk data yang tidak memiliki sebaran normal. Hasil analisa menunjukkan bahwa faktor trend hanya terjadi pada beberapa
38
komoditi, yakni: tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk. Sementara itu, khusus untuk produk beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah, hasil menunjukkan tidak adanya faktor trend. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa penerapan SSM khusus untuk komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk harus sangat hati-hati mengingat selain faktor seasonal, trend juga menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan. Atau dengan kata lain, impor komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk cenderung memiliki tren yang cenderung meningkat dan terdapat periode tertentu dimana tingkat impornya cenderung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode lainnya.
Tabel 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih
Komoditi Kendall's tau p-value (Two-tailed)
Beras -0.046 0.306 Tebu 0.075 0.093 Jagung -0.026 0.560 Jeruk 0.266 < 0.0001 Kedele -0.274 < 0.0001 Kopi 0.279 < 0.0001 Rempah-rempah 0.026 0.554 Susu 0.510 < 0.0001 Teh 0.363 < 0.0001 Tepung terigu 0.500 < 0.0001
Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu
4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia
Setelah kita identifikasi ada tidaknya faktor seasonal dan trend maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita jawab adalah seberapa besar lonjakan impor yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Maksud “dapat ditolerir” disini sifatnya adalah relatif tidak begitu menekan konsumen maupun produsen (yang menggunakan produk impor sebagai bahan bakunya) meskipun dampak negatifnya terhadap produk lokal tetap tidak bisa dihindarkan.
Guna menjawab pertanyaan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah metode Control Chart. Control Chart merupakan sebuah metode statistik yang umum digunakan dalam menilai atau menerapkan proses Quality Control di sebuah pabrik. Dalam produksi suatu barang, ada kemungkinan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sedikit menyimpang
39
dari yang sudah ditetapkan. Dengan Control Chart maka dapat ditentukan mana produk yang masih bisa ditolerir tidak terlalu menyimpang dari standar yang ditetapkan. Dengan konsep yang sama, maka kita juga dapat menentukan berapa besar batas toleransi peningkatan import yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Konsep Control Quality import pada dasarnya adalah menetapkan batas atas sama dengan 3 kali standar deviasi dari rata-rata importnya. Tabel 1 menampilkan lonjakan rata-rata dan batas atas dari import dengan menggunakan dua macam perhitungan, yakni dengan menggunakan semua observasi atau dengan olympic (menghilangkan data yang terbesar dan terkecil).
Tabel 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian
Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu
Secara umum dapat dilihat bahwa untuk komoditas beras, tebu, jagung, kopi, rempah-rempah, dan teh cenderung memiliki nilai upper limit yang cukup tinggi dan bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Jika kita menggunakan metode olympic, maka komoditi seperti beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah masih memiliki nilai upper limit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Hal tersebut mengartikan bahwa khusus untuk komoditas-komoditas tersebut semua pilihan konsep trigger yang mungkin ditetapkan dalam negoisasi SSM di WTO masih berada dalam batas toleransi Indonesia.