• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR LAMPIRAN

5.2 Pasar Kadipaten

6.6.2 Analisis Keterpaduan Pasar Antara PTR dengan Pasar Cigasong

Berdasarkan hasil pengolahan data untuk keterpaduan pasar pengecer Cigasong dengan PTR diperoleh hasil sebagai berikut :

Pit = 0,768 Pit-1 + 0,444 (Pjt – Pjt-1) + 0,322 Pjt-1

Nilai koefisien b1 = 0,768 menjelaskan bahwa kenaikan harga daging domba pada minggu sebelumnya di tingkat pedagang pengecer Cigasong berpengaruh dalam menentukan harga daging domba pada minggu sekarang di di tingkat pedagang pengecer Cigasong dengan asumsi faktor penentu harga cateris paribus. Hal ini berarti kenaikan harga daging domba sebesar Rp. 100,- per

69

kilogram akan meningkatkan harga daging domba di pedagang pengecer pasar Cigasong pada minggu sekarang sebesar Rp. 76,8 per kilogram.

Nilai keofisien b2 = 0,444 menunjukkan tidak terpadunya pasar antara pedagang pengecer di pasar Cigasong dengan PTR dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka panjang menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b2 =1) ditolak secara statistik pada taraf nyata 0,05. Persentase perubahan harga yang terjadi di PTR tidak dialihkan kepada pedagang pengecer di pasar Cigasong, rambatan harga berdasarkan waktu tidak dialihkan sempurna untuk kedua pasar.

Nilai IMC yang diperoleh sebesar 2,387 menunjukkan tidak terpadunya pasar dalam jangka pendek antara PTR dengan pasar Cigasong. Hal ini berarti perubahan harga daging domba belum dapat disampaikan secara transparan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka pendek menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b1=0) ditolak secara statistik pada taraf nyata 0,05.

Nilai b3 lebih kecil dari nilai b1 menunjukkan kondisi harga yang terjadi pada waktu sebelumnya di tingkat pedagang pengecer pada minggu sebelumnya lebih berpengaruh dibanding tingkat harga pada minggu sebelumnya di PTR terhadap pembentukan harga yang terjadi pada minggu sekarang di tingkat pedagang pengecer pasar Cigasong.

Hasil uji t menunjukkan bahwa masing-masing peubah bebas yang terdapat dalam model berpengaruh terhadap harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel pada taraf uji 0,05. Demikian pula hasil pengujian dengan menggunakan f hitung,

menunjukkan bahwa semua peubah bebas dalam model secara bersama -sama dapat menjelaskan pembentukan harga di tingkat pedagang pengecer. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji f hitung yang lebih besar dari nilai f tabel pada taraf uji 0,05.

Rincian hasil analisis keterpaduan pasar antara PTR dengan pasar Cigasong dapat di lihat pada Tabel 15 di bawah ini :

Tabel 15. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar PTR dengan Pasar Cigasong

Uraian Nilai t - hitung

b1 b2 b3 IMC f – hitung Nilai DW 0,768 0,444 0,322 2,378 9660,77 1,811 8,28 1,04 2,48

Secara relatif, pasar pengecer Kadipaten lebih mendekati efisien dan terpadu dibandingkan dengan pasar pengecer Cigasong. Hal ini dapat dilihat dari nilai IMC pasar Kadipaten dengan PTR yang jauh lebih mendekati nilai nol, yaitu 0,869 dibandingkan dengan pasar Cigasong dengan PTR yaitu sebesar 2,378.

Menurut Heytens (1986), dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Semakin cepat laju penyaluran, semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama (proporsional).

71

Dari hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa antara pasar pemasok dan pasar pengecer pada saluran I terpadu pada jangka panjang tetapi tidak dalam jangka pendek, sedangkan pada saluran II hasil analisis menunjukkan tidak terdapat keterpaduan pasar baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan tingkat perubahan harga daging domba di tingkat pedagang pemasok pada saluran I lebih bisa ditransfer lebih cepat dan tepat kepada tingkat pedagang pengecer dibandingkan dengan pada saluran II dengan tingkat perubahan harga yang relatif sama. Sedangkan pada saluran II, fluktuasi perubahan harga daging domba yang terjadi hampir tidak mengikuti besarnya tingkat perubahan di pasar pemasok sehingga hasil analisis menunjukkan tidak terjadi keterpaduan pasar.

Apabila melihat kondisi di lapangan, hal ini berhubungan dengan jarak antara pasar pemasok (PTR) dengan pasar pengecer pada saluran I (pasar Kadipaten) lebih dekat, yaitu berjarak sekitar 3,5 km. Sedangkan pasar pemasok dengan pasar pengecer di Saluran II (pasar Cigasong) jaraknya lebih jauh, yaitu berjarak lebih dari 15 km. Sehingga perubahan harga lebih bisa ditransformasikan secara lebih baik pada saluran I.

Dengan diketahuinya tingkat keterpaduan pasar antara dua pasar pemasok dan pengecer pada penelitian ini, diharapkan dapat berguna sebagai informasi awal dan masukan guna meningkatkan ketersediaan informasi pasar (terutama harga). Maka untuk langkah tersebut perlu melibatkan para pelaku pasar agar lebih bekerjasama dan berkomunikasi mengenai informasi pasar dimaksud. Selain itu juga perlu melibatkan pemerintah, misalnya dengan mengaktifkan fungsi- fungsi fasilitas masing-masing pasar.

7.1. Kesimpulan

Proses penyaluran tataniaga daging domba di daerah konsumen pasar Kadipaten dan pasar Cigasong melibatkan tiga lembaga tataniaga utama, yaitu pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Pasar Ternak Regional sebagai pedagang pemasok yang menjual domba kepada pedagang besar yang memotong domba kemudian sebagian menjual daging domba kepada pedagang pengecer di pasar lokal untuk dijual kepada konsumen akhir. Saluran pemasaran yang dianalisis di lokasi penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu saluran I : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Kadipaten – Pedagang Pengecer Kadipaten – Konsumen Akhir. Saluran II : Pedagang Pemasok – Pedagang Besar Cigasong – Pedagang Pengecer Cigasong – Konsumen Akhir. Dalam proses penyaluran ini dilakukan fungsi-fungsi tataniaga, diantaranya fungsi penjualan dan pembelian, fungsi fisik dan fungsi fasilitas.

Analisis struktur pasar menunjukkan struktur pasar di PTR yang dialami oleh pedagang pemasok cenderung oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terlalu banyak penjual, produk yang homogen dan kekuatan tawar-menawar yang relatif lebih dikuasia oleh pemasok dari PTR. Sedangkan analisis struktur pasar di pasar pengecer menunjukkan strutur pasar di tingkat pedagang besar cenderung oligopsoni. Hal ini ditunjukkan dalam perilaku pasar, dimana penentuan harga lebih ditentukan oleh pedagang pemasok yang mempunyai kekuatan tawar lebih tinggi dibanding pedagang besar. Sedangkan struktur pasar di tingkat pedagang pengecer cenderung bersaing sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan cukup banyak

73

penjual, kemudahan memasuki pasar dan produk yang homogen serta pengecer bertindak sebagai penerima harga.

Berdasarkan analisis sebaran marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Rasio keuntungan dengan biaya tataniaga tidak merata diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga. Pemasok memperoleh rasio keuntungan yang sangat besar dengan perbedaan yang cukup signifikan dengan pedagang besar dan pengecer, meskipun pedagang pemasok paling sedikit mengeluarkan biaya tataniaga dan sedikit melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Hal ini menunjukkan tataniaga daging domba belum efisien.

Akan tetapi secara operasional, tataniaga daging domba dari PTR ke pasar kadipaten lebih efisien daripada ke pasar Cigasong. Hal ini ditunjukkan dengan lebih kecilnya total rata-rata biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 3.272,38/kg daging domba dibanding dengan dari PTR ke pasar Cigasong sebesar Rp. 3.413,02/kg. Hal ini juga dapat dilihat dari total marjin tataniaga yang lebih kecil, masing-masing sebesar Rp. 9.012,50/kg (23,95 persen dari harga jual konsumen pasar Kadipaten) dan Rp. 12.700,00 (30,74 persen dari harga jual konsumen pasar Cigasong).

Nilai koefisian b2 = 1,10 pada pasar Kadipaten menunjukka n terjadinya keterpaduan pasar antara pedagang pengecer di Kadipaten dengan PTR dalam jangka panjang. Hal ini didukung oleh hasil uji hipotesis (t-hitung) untuk melihat keterpaduan pasar jangka panjang menunjukkan hipotesis nol (nilai koefisien b2 = 1) diterima secara statistik pada taraf nyata 0,05. Hasil analisis keterpaduan pasar di pasar Cigasong diperoleh nilai b2 sebesar 0,444 yang menunjukkan bahwa perubahan harga di PTR tidak diteruskan secara proposional terhadap pasar

pengecer. Keadaan ini menunjukkan integrasi pasar jangka panjang tingkat pedagang pengecer dari PTR belum sempurna. Sedangkan integrasi pasar jangka pendek antara pasar Kadipaten dengan PTR secara relatif lebih mendekati efisien dan terpadu dibanding dengan pasar Cigasong dengan PTR. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC pasar Kadipaten dengan PTR lebih mendekati nol (0,869) dibandingkan dengan pasar pengecer Cigasong dengan PTR sebesar 2,378.

7.2. Saran

Kontrol pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Majalengka sangat dibutuhkan, terutama monitoring harga daging domba. Hal ini mengingat saat ini penetapan harga daging domba diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, sehingga pelaku pasar sangat leluasa menentukan besarnya keuntungan yang diterima yang mengakibatkan tingginya marjin dan sistem tataniaga daging domba menjadi tidak efisien.

Disarankan perlunya kerjasama yang saling membutuhkan dan menguntungkan diantara lembaga tataniaga yang terlibat, mengingat sistem tataniaga daging domba di daerah kabupaten Majalengka sangat ditentukan oleh pedagang pemasok, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kerjasama antara lembaga tataniaga tersebut disarankan lebih kepada informasi harga, dengan harapan agar sistem tataniaga daging domba di lokasi penelitian menjadi lebih terpadu.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem tataniaga daging domba di kabupaten Majalengka dengan wilayah penelitian yang lebih luas, sehingga diharapkan diperoleh hasil yang lebih mewakili seluruh kabupaten Majalengka.

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Amin. 1994. Analisis Marjin Keuntungan pada Lembaga Tataniaga Tingkat Pemasok dan Penyalur Daging Sapi di DKI Jakarta (Suatu Studi Kasus). Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian. Institur Pertanian Bogor. Bogor.

Dahl, DC and JW. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. Mc. GrawHill Book Company. NewYork.

Dillon, HS. 1998. Manajemen Distribusi Produk-Produk Agroindustri. members.tripod.com/~seminar/dillon.htm.

Fatimah, Fita S. 1999. Analisis Marjin Pemasaran dan Keterpaduan Pasar Minyak Goreng Curah di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fitriadi. 2004. Analisis Efisiensi dan Distribusi Marjin Pemasaran Jagung Muda (Studi Kasus di Kec. Payakumbuh Utara, Payakumbuh, Sumatera Barat). Sripsi Sarjana. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Herawati, Lilis. 1997. Analisi Rugi Laba dan Marjin Tataniaga Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) (Studi Kasus di Desa Sukaharja Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Heytens, PJ. 1986. Testing Marketing Integration. Food Research Institute Studies. Stanford University.

Joenis, Rachmita. 1999. Analisis Sistem Tataniaga Jeruk Siam Garut (kasus Desa Cinta Rakyat, Kec. Semarang, Kab. DATI II Garut, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu social Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Khols, P and WD. Downey. 1972. Marketing of Agricultural Products. The Macmillan Company. NewYork.

Kotler, Philip dan Amstrong, Gary. 1992. Dasar-Dasar Pemasaran. Edisi V, Jilid 2. CV Intermedia Jakarta. Jakarta.

Limbong, WH. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajemen Koperasi Unit Desa (KUD). Fakultas Politeknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mughni, Zaenal Abidin. 1996. Analisis Sistem Tataniaga Sapi potong di Kec. Sigi Biromaru, Kab. Donggola, Sulawesi Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Peternakan. Institur Pertanian Bogor. Bogor.

Muslikh. 2000. Analisis Sistem Tataniaga Cabai Rawit mErah (Capsicum frutescens) di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, Budi. 1991. Analisis Pemasaran Mangga di Kabupaten Indramayu

(Studi Kasus Kec. Jatibarang, Kab. Indramayu, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rahardjo, Yonathan. 2000. Supaya Swasembada Daging Berhasil. environment@appraiser.net

Rangkuti, Freddy. 2005. Riset Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ravallion, M. 1986. Testing Marketing Integration. Journal of Agricultural

Economics. American Agricultural Economics.

Rukmana, Rahmat. 2003. Pengembangan Agribisnis Berbasis Peternakan Kabupaten Majalengka. Sub Dinas Peternakan. Dinas Pertanian. Kabupaten Majalengka. Majalengka.

Rusfidra, Ahmad. Memajukan Agribisnis Bidang Peternakan. Pikiran Rakyat. Edisi Selasa, 1 Juni 2004. Bandung.

Sa’id, Gumbira dan Dewi Galuh C. 2003. Kinerja Agribisnis Indonesia Pasca Krisis. Agrimedia Volume 8, No. 2 – April 2003. Jakarta.

Sugeng Y. Bambang dan Sudarmono. 2005. Berternak Domba. Penebar Swadaya. Depok.

Supramono dan Haryanto, Joni O. 2005. Desain Proposal Penelitian Studi Pemasaran. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Suriayana, Nanang. 2005. Analisis Tataniaga Beras di Pasar Tradisional dan Modern di DKI Jakarta. Skripsi Sarjana. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lampiran 1. Perhitungan Rata-Rata Biaya Tataniaga Daging Domba

Dokumen terkait