• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEUNTUNGAN USAHA PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

DI JAWA TIMUR

6 ANALISIS KEUNTUNGAN USAHA PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

Komponen Biaya dalam Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong di Jawa Timur

Biaya dalam usaha perkembangbiakan ternak sapi potong meliputi biaya variabel (biaya langsung) yaitu biaya pakan, biaya obat-obatan termasuk vitamin, biaya Inseminasi Buatan (IB), biaya peralatan dan biaya tetap (biaya tidak langsung) yang meliputi biaya penyusutan induk, dan biaya penyusutan kandang. Selain faktor genetik, pertumbuhan sapi sangat tergantung dari manajemen pakan dan pemeliharaan sehari-hari. Pakan adalah faktor yang dominan untuk pertumbuhan dan reproduksi ternak. Bahan pakan untuk ternak sapi di wilayah penelitian terdiri dari beberapa macam, diantaranya hijauan (rumput dan leguminosa), limbah pertanian (jerami padi, jagung dan tebu), serta pakan lainnya seperti dedak, ampas tahu dan garam. Jones (2000) menemukan bahwa pakan merupakan salah satu biaya input terbesar selain biaya tenaga kerja, yaitu sebesar 70 persen. Besarnya biaya pakan dalam penelitian ini bisa mencapai lebih besar dari temuan Jones, yaitu lebih dari 90 persen baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Namun semua peternak di wilayah penelitian tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Semua tenaga kerja yang digunakan untuk usaha perkembangbiakan sapi potong di lokasi penelitian berasal dari dalam rumahtangga petani peternak. Biaya rumput diproksi berdasarkan alokasi waktu kerja dan harga tenaga kerja yang berlaku untuk sektor pertanian di lokasi penelitian. Tenaga kerja digunakan untuk mencari rumput dan hijauan, memberikan makan dan minum untuk ternak sapi, membersihkan kandang dan sebagian untuk meramu jamu-jamuan bagi ternak sebagai obat ataupun vitamin. Kuswaryan et al. (2004) menjelaskan bahwa penghasilan peternak hanya merupakan tabungan dari curahan kerja harian yang dikeluarkannya, sehingga usaha perkembangbiakan sapi potong akan menjadi hal yang sulit diimplementasikan bila peternak harus membeli seluruh kebutuhan faktor input produksinya.

Sebagian besar peternak responden mengeluarkan biaya untuk pengadaan jerami sebagai input dalam produksi usaha peternakan sapi potongnya. Rata-rata biaya jerami di dataran tinggi lebih kecil (Rp 485 340) dibandingkan dengan rata- rata biaya yang dikeluarkan peternak di dataran rendah (Rp 588 939). Keadaan ini disebabkan karena ketersediaan jerami tebu yang melimpah di dataran tinggi, yang bisa diperoleh peternak secara gratis dari perkebunan tebunya dan juga dari perkebunan orang lain dimana peternak bekerja sebagai buruh tani. Meskipun ada beberapa peternak yang mengeluarkan biaya bensin untuk pengangkutan jerami bagi yang memiliki sepeda motor. Pada saat tertentu, peternak secara berkelompok mencari jerami padi di daerah yang banyak terdapat usahatani padi, dan hanya mengeluarkan biaya untuk sewa truk.

Peternak di dataran rendah sering memberikan jerami padi untuk ternak sapi potongnya dari hasil panen padi. Selanjutnya peternak yang tidak memiliki lahan memberikan jerami padi bagi ternaknya dari hasil pencarian sisa-sisa di

lahan orang lain, dengan menjadi buruh panen dari sawah yang satu ke sawah yang lain. Umumnya jerami padi dibeli jika tidak ada lagi yang panen atau pada saat kemarau panjang. Ironisnya, beberapa peternak yang produksi padinya banyak yang seharusnya memiliki banyak stok jerami sebagai pakan ternak hanya mengumpulkan sedikit karena tidak mempunyai gudang sebagai tempat penyimpanan, sehingga pada saat kekurangan pakan, peternak terpaksa membeli jerami padi.

Rincian rata-rata biaya penggunaan input oleh peternak responden dalam usaha perkembangbiakan ternak sapi potong berdasarkan lokasi diuraikan dalam Tabel 19. Peternak di dataran rendah rata-rata mengeluarkan biaya untuk pakan suplemen (garam, dedak dan ampas tahu) yang lebih besar daripada peternak di dataran tinggi yaitu sebesar Rp 301 240setiap tahunnya atau sebesar 13.72 persen. Sementara di dataran tinggi, rata-rata biaya pakan suplemen hanya sebesar Rp 89 222 atau 4.27 persen dari total biaya variabel yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan karena biaya pakan suplemen untuk ternak sapi di dataran tinggi hanya untuk pembelian pakan sumber mineral yaitu garam, sehingga rata-rata biayanya tidak sebesar pengeluaran pakan suplemen oleh peternak di dataran rendah. Proporsi biaya pakan yang lebih besar ini menunjukkan bahwa usaha sapi potong di dataran rendah sudah intensif. Pentingnya biaya pakan di lokasi penelitian ini konsisten dengan temuan Featherstone et al. (1997) yang mengemukakan bahwa biaya pakan sangat penting dalam menjelaskan efisiensi teknik daripada biaya pengobatan dan biaya peralatan. Sasangka (1999) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pemberian suplementasi pakan pada sapi potong PO terhadap kenaikan bobot dan dampak peningkatan ekonomi petani peternak menyimpulkan bahwa usaha penggemukan ternak yang memperoleh suplemen memiliki kenaikan bobot badan yang lebih tinggi, dan pemberian suplemen pada sapi PO dapat meningkatkan pendapatan ekonomi peternak. Rata- rata biaya terkecil yang dikeluarkan peternak di dataran tinggi dan dataran rendah yaitu masing-masing untuk membeli obat-obatan dan vitamin, dan biaya peralatan.

Umumnya peternak di dataran tinggi kesulitan melakukan kawin alam karena tidak adanya pejantan, dan karena harga jual yang tinggi untuk ternak hasil persilangan, maka peternak memilih untuk melakukan IB dalam meningkatkan pendapatannya. Penggunaan pejantan di dataran tinggi tidak membutuhkan biaya, dalam hal ini peternak tidak wajib memberikan imbalan ke pemilik ternak jantan. Sementara di dataran rendah, peternak yang akan menggunakan pejantan peternak yang lain wajib mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan pejantan. Sebagian besar peternak di dataran tinggi mengetahui bahwa IB itu dilakukan kalau menginginkan keturunan sapi impor. Semua responden dalam penelitian ini mengembangbiakan induk sapinya melalui teknologi IB.

Obat-obatan dan vitamin di dataran tinggi umumnya berasal dari tanaman tradisional yang dimiliki peternak dan beberapa diantaranya menambahkan telur. Sementara peternak di dataran rendah banyak yang menggunakan paket jamu- jamuan yang sudah diracik oleh perusahaan tertentu, dan dijual bebas untuk membantu peternak dalam memperoleh obat-obatan dan vitamin bagi ternak yang membutuhkan. Rata-rata setiap peternak di dataran rendah mengeluarkan biaya yang lebih besar (Rp 94 164) dibandingkan dengan dataran tinggi (Rp 39 798).

Kebanyakan peternak di dataran tinggi memberikan obat-obatan bagi ternaknya berasal dari ramuan bahan-bahan tradisional seperti kunyit, temu lawak, kunir dan telur. Pengobatan atau pemberian ramuan biasanya dilakukan bagi induk pasca melahirkan dan pemberian obat cacing bagi pedet.

Perhitungan biaya penyusutan induk ternak sapi berbeda untuk induk milik sendiri dan induk gaduhan. Biaya penyusutan ternak sapi dihitung dari selisih antara nilai induk produktif dengan nilai afkir dan dibagi dengan rata-rata umur produktif induk sapi. Oleh karena hasil pedet dari induk gaduhan harus bergulir kepemilikannya, maka biaya penyusutan induk untuk ternak gaduhan dihitung sebagai biaya sewa induk. Pemilik induk sewaktu-waktu akan mengambil-alih induk sapinya dari penggaduh, sehingga biaya sewa induk dihitung berdasarkan prediksi nilai pedet dibagi dua, dengan asumsi setiap tahun induknya menghasilkan satu ekor pedet. Biaya penyusutan induk ternak sapi ini merupakan komponen biaya terbesar dari semua biaya tetap yang dikeluarkan peternak responden, yaitu masing-masing 80 persen di dataran rendah dan 85 persen di dataran tinggi.

Tabel 19. Rata-rata Biaya, Penerimaan dan Keuntungan per Responden Peternak Sapi Potong berdasarkan Lokasi Dataran di Jawa Timur

Uraian Dataran Rendah Dataran Tinggi rata-rata % rata-rata % Penerimaan per responden (Rp/thn) 5 126 966 6 274 227

Biaya Variabel (Biaya langsung)

Biaya rumput *) 1 143 952 52.09 1 373 533 65.72 Biaya jerami (Rp/thn) **) 588 939 26.82 485 340 23.22 Biaya pakan suplemen (Rp/thn) 301 240 13.72 89 222 4.27 Biaya obat-obatan dan

vitamin (Rp/thn) 94 164 4.29 39 798 1.90 Biaya IB (Rp/thn) 91 531 4.17 87 423 4.18 Biaya peralatan (Rp/thn) 65 281 2.97 62 320 2.98 Total Biaya Variabel 2 196 193 100 2 089 951 100 Biaya Tetap (Biaya tidak langsung)

Penyusutan induk/sewa induk

(Rp/thn) 742 135 80.00 652 577 84.94

Biaya penyusutan kandang

(Rp/thn) 185 586 20.00 115 676 15.06

Total Biaya Tetap 927 721 768 254

Total Biaya (Rp/thn) 3 123 915 2 858 204

Keuntungan (Rp/thn) 2 003 052 3 416 022

Keterangan : *) biaya diperhitungkan; **) total biaya (tunai + diperhitungkan)

Biaya penyusutan kandang dihitung berdasarkan total pengeluaran untuk pembuatan kandang dibagi dengan masa habis pakai kandang tersebut. Bahan pembuatan kandang seperti kayu di dataran tinggi umumnya berasal dari tanaman kayu peternak, sehingga biaya pembuatan kandang dikeluarkan untuk membayar jasa tukang dan membeli peralatan lain. Jarak kandang dengan rumah tinggal di dataran tinggi sekitar 3-50 meter, sementara di

dataran rendah jarak kandang lebih dekat dari rumah tinggal yaitu sekitar 3-5 meter, bahkan beberapa diantaranya ada yang memelihara ternak sapi dalam dapur rumahnya dan ada juga yang berbatasan langsung dengan dapur. Biaya peralatan terdiri atas biaya pembelian tali, ember, arit dan pacul.

Perbedaan Keuntungan Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan (Sarma dan Ahmed 2011, Beattie dan Taylor 1994, Jones 2000, Teegerstrom dan Tronstad 2000, Prasetyo et al. 2012). Penerimaan peternak responden yang dihitung dalam penelitian ini berasal dari penjualan pedet atau ternak sapi muda hasil perkawinan induk Peranakan Ongole (PO) dengan sapi lokal ataupun impor selama setahun terakhir saat survey. Rata-rata penerimaan peternak di dataran tinggi lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penerimaan peternak di dataran rendah. Penerimaan yang lebih besar ini disebabkan oleh sebagian besar peternak di dataran tinggi menjual anak sapinya pada saat ternak tersebut berumur lebih dari satu tahun. Peternak cenderung tidak menjual pedetnya karena masih mempunyai sumber penerimaan lain yang lebih menguntungkan. Sebaliknya, perilaku peternak di dataran rendah yang sering menyapih pedetnya dengan cara dijual menjadi salah satu penyebab rendahnya rata-rata penerimaan yang diperoleh rumahtangga peternak. Hal ini umumnya disebabkan oleh kebutuhan mendesak peternak yang harus dibiayai seperti untuk memenuhi keperluan pokok rumah tangga seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Rata-rata biaya variabel yang terbesar dikeluarkan oleh peternak baik di dataran rendah maupun dataran tinggi yaitu pengadaan input rumput dan hijauan. Rata-rata biaya variabel maupun biaya tetap per tahun oleh responden di dataran

rendah lebih besar sehingga keuntungan responden di dataran rendah (Rp 2 003 052) menjadi lebih kecil daripada keuntungan responden di dataran

tinggi (Rp 3 416 022). Temuan ini sependapat dengan Dhuyvetter dan Langemeier (2010) yang menemukan bahwa biaya yang lebih besar menyebabkan keuntungan yang lebih kecil. Selanjutnya dikemukakan bahwa ketika produksi (bobot ternak) dan harga berpengaruh terhadap keuntungan, kedua hal tersebut menjadi sangat penting dalam menjelaskan perbedaan keuntungan dibandingkan dengan biaya. Jones (1997) menyatakan bahwa faktor yang diidentifikasi mempengaruhi keuntungan usaha perkembangbiakan ternak sapi potong yaitu antara lain biaya produksi dan harga yang diterima dari penjualan anak sapi.

Pengaruh Biaya Input terhadap Keuntungan, Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi dalam Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong

Hasil analisis dengan model persamaan (3.31) dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 memperlihatkan bahwa input biaya jerami dan biaya pakan suplemen diestimasi berpengaruh negatif terhadap keuntungan, tetapi secara statistik hanya variabel pakan suplemen yang signifikan menurunkan keuntungan,

mengindikasikan bahwa keuntungan dapat ditingkatkan dengan mengontrol biaya pakan suplemen. Biaya pakan rumput signifikan meningkatkan keuntungan. Hal ini berhubungan dengan waktu yang dialokasikan untuk mengarit rumput dan jumlah induk sapi yang dipelihara, dimana semakin banyak ternak yang dipelihara, semakin banyak kebutuhan akan pakan rumput, sehingga waktu untuk mengarit rumput akan semakin meningkat. Biaya rumput menjadi meningkat karena alokasi waktu bekerja mencari rumput semakin besar untuk memenuhi kebutuhan sejumlah ternak yang dipelihara. Oleh karena rumput ini sangat dominan pengaruhnya dalam fungsi produksi, maka jika kebutuhan ternak akan pakan rumput ini terpenuhi, produksi dan reproduksinya akan meningkat, yang kemudian akan meningkatkan keuntungan. Temuan bahwa biaya pakan sangat mempengaruhi besarnya keuntungan sejalan dengan yang dikemukakan oleh Priyanti et al. (2012).

Biaya Inseminasi Buatan (IB) berhubungan positif dan signifikan terhadap keuntungan. Hal ini kemungkinan disebabkan dengan bertambahnya induk sapi akan menyebabkan terjadinya peningkatan biaya IB--jumlah induk yang di-IB meningkat, sehingga jumlah induk yang bunting meningkat akan diikuti dengan meningkatnya jumlah pedet yang dilahirkan, jumlah ternak sapi yang dipelihara dan kemungkinan jumlah penjualan sapi meningkat. Hal ini menyebabkan penerimaan peternak meningkat dan keuntungan yang diperoleh peternak juga akan lebih besar.

Tabel 20. Hasil Regresi Biaya Input dalam Fungsi Produksi terhadap Keuntungan, Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi

Variabel Keuntungan ET EE EA Intersep 902889 (624745) 0.6004 (0.8491) -6.6239 (1.1836) -7.2243 (1.1182) Biaya rumput 0.7201a (0.2364) -0.1124a (0.0413) 0.2554a (0.0576) 0.3678a (0.0544) Biaya jerami -0.2942 (0.8080) -0.0059 (0.0136) 0.0252d (0.0190) 0.0312c (0.0179) Biaya pakan suplemen -2.1644c

(1.2723) 0.0018 (0.0025) -0.0014 (0.0035) -0.0032 (0.0033) Biaya IB 12.7433a (3.7399) -0.0376 (0.0426) 0.1105c (0.0593) 0.1481a (0.0561) Biaya penyusutan induk 0.5807

(0.5285) 0.0812d (0.0512) 0.0098 (0.0714) -0.0714 (0.0675) Keterangan : a, c dan d signifikan pada α=0.01, α= 0.10 dan α= 0.20; (*) standar eror

Pentingnya pengeluaran biaya untuk setiap input pada fungsi produksi dalam menjelaskan efisiensi dapat dilihat pada Tabel 20. Semua biaya input setiap responden yang dilogaritma-naturalkan dan diregresikan terhadap logaritma natural dari faktor efisiensi. Semua biaya baik tunai maupun yang diperhitungkan (opportunity cost) responden diduga berhubungan dengan efisiensi yaitu biaya rumput, biaya jerami, biaya pakan suplemen, biaya IB, serta biaya penyusutan induk. Oleh karena variabel biaya-biaya tersebut dalam bentuk logaritma natural, maka pengaruh relatif dari variabel bebas dalam menjelaskan efisiensi dapat

ditentukan oleh nilai koefisiennya (Featherstone et al. 1997). Dengan demikian, faktor yang paling penting mempengaruhi efisiensi ekonomi dan alokatif yaitu biaya rumput dan biaya inseminasi buatan (IB).

Faktor biaya rumput dan biaya penyusutan induk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi teknis. Biaya rumput berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis. Biaya rumput semakin meningkat karena alokasi waktu yang lebih banyak dalam mengarit rumput jika tidak diikuti dengan peningkatan jumlahnya menunjukkan bahwa rumput sudah semakin sulit diperoleh atau terjadi kelangkaan rumput. Mengusahakan sumber pakan dari lahan sendiri seperti menanam rumput di pekarangan atau di pematang sawah dan di lahan perkebunan menjadi penting untuk dilakukan dalam upaya menurunkan biaya rumput untuk meningkatkan efisiensi teknis. Selain itu, meskipun pakan rumput mempunyai peran yang penting dalam produksi, ternak juga membutuhkan sumber pakan yang lain untuk reproduksi dan produksi yang lebih baik. Tanda negatif pada biaya rumput menunjukkan bahwa biaya rumput perlu dikurangi dan menggantinya dengan biaya penyusutan induk. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan induk harus ditingkatkan jumlahnya diikuti dengan peningkatan jumlah pakan rumput untuk dapat meningkatkan efisiensi teknis.

Biaya penyusutan induk memiliki tanda positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis. Biaya penyusutan induk yang meningkat disebabkan karena jumlah kepemilikan induk yang lebih banyak akan menghasilkan pedet yang lebih banyak juga, sehingga produksi akan meningkat dan selanjutnya meningkatkan efisiensi teknis.

Biaya rumput, biaya jerami dan biaya IB berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi ekonomi maupun alokatif. Hal ini dimungkinkan karena biaya rumput hanya diperhitungkan berdasarkan alokasi penggunaan waktu kerja dalam mencari rumput. Demikian halnya dengan biaya jerami, meskipun beberapa peternak harus mengeluarkan biaya tunai untuk mendapatkan jerami serta biaya transportasi untuk mengangkut jerami, namun biaya tersebut tidak menurunkan efisiensi ekonomi maupun alokatif karena harga masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan jumlah yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Pentingnya biaya pakan rumput dan biaya jerami ini sependapat dengan Jones (2000) yang menjelaskan bahwa efisiensi ekonomi sangat dipengaruhi oleh biaya pakan. Biaya IB yang meningkat akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan alokatif, dimungkinkan karena dengan bertambahnya induk sapi akan meningkatkan permintaan penggunaan IB. Meningkatnya penggunaan IB memerlukan biaya IB yang lebih besar untuk meningkatkan produksi dalam usaha perkembangbiakan ternak sapi potong. Biaya IB yang lebih besar karena induk yang lebih banyak memungkinkan induk yang bunting meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya jumlah pedet yang dilahirkan, jumlah ternak sapi yang dipelihara dan produksi sapi meningkat. Peningkatan jumlah ternak yang dipelihara akan meningkatkan permintaan jumlah rumput dan jerami. Dengan demikian, peningkatan biaya IB bersama-sama dengan biaya rumput dan jerami akan meningkatkan efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Hal ini didukung dengan pendapat Kuswaryan et al. (2004) yang menyatakan bahwa aplikasi IB akan meningkatkan nilai ekonomi usaha pembibitan di skala peternakan sapi potong rakyat.

Tanda negatif meskipun tidak signifikan dari pengaruh biaya penyusutan induk terhadap efisiensi alokatif menunjukkan bahwa peningkatan biaya penyusutan induk apabila peternak mengusahakan induk milik orang lain akan menurunkan efisiensi alokatif. Kondisi ini disebabkan karena pedet yang dihasilkan akan digulirkan kepemilikannya oleh pemilik induk dan peternak penggaduh.

Efisiensi dan Keuntungan

Pentingnya pengukuran efisiensi dalam menjelaskan keuntungan dapat diuji dengan menggunakan koefisien korelasi. Gow dan Langemeier (1999) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara efisiensi, biaya dan keuntungan di sektor hulu-hilir. Hasil korelasi menunjukkan bahwa keuntungan per peternak mempunyai korelasi positif dan signifikan pada P<.0001 dengan efisiensi ekonomi (0.63), efisiensi teknis (0.45) dan efisiensi alokatif (0.24) (Tabel 21). Hal ini mengindikasikan bahwa efisiensi ekonomi relatif lebih penting dalam menjelaskan keuntungan dibandingkan dengan efisiensi teknis atau efisiensi alokatif.

Tabel 21. Hasil Korelasi antara Keuntungan per Responden dan Efisiensi

EE ET EA

Profit Pearson Correlation 0.62757a 0.45405a 0.24006a

Sig. (2-tailed) <.0001 <.0001 0.0010

a

signifikan pada α=0.01

Efisiensi ekonomi menjadi penting dalam menjelaskan keuntungan karena sudah berkaitan dengan aspek nilai faktor input produksi yang digunakan dan nilai output yang dihasilkan. Selanjutnya, efisiensi teknis hanya menyangkut faktor input dan output produksi dalam aspek jumlah fisiknya saja dan belum memperhatikan aspek harga yang dapat mempengaruhi nilai input dan juga output. Hal ini yang menjadikan pentingnya efisiensi ekonomi dalam menerangkan keuntungan.

Dokumen terkait