• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA

PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG

RAKYAT DI PROVINSI JAWA TIMUR

LIDYA SIULCE KALANGI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

RINGKASAN

LIDYA SIULCE KALANGI. Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT, SRI UTAMI KUNTJORO, dan ATIEN PRIYANTI.

Pengembangan sapi potong salah satunya melalui peningkatan populasi merupakan upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung program swasembada daging sapi dengan memperkecil kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi daging sapi yaitu meningkatkan efisiensi usaha sapi potong di dalam negeri secara berkesinambungan. Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi sapi potong, sebagai lumbung pertanian yang berpotensi dalam mendukung pengembangan ternak sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk (1) membandingkan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari usaha perkembangbiakan ternak sapi potong yang ada di dataran rendah dan dataran tinggi di Jawa Timur, (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis dan penyebab terjadinya inefisiensi dalam usaha perkembangbiakan ternak sapi potong, dan (3) menganalisis pengaruh biaya input produksi terhadap keuntungan dan tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usaha perkembangbiakan sapi potong.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Probolinggo dan Malang, Jawa Timur pada bulan Februari - Maret 2013. Survey dilakukan terhadap 89 peternak responden di dataran rendah (Probolinggo) dan 97 peternak responden di dataran tinggi (Malang). Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis usaha peternakan sapi potong yaitu dengan menggunakan fungsi produksi stokastik frontier. Parameter fungsi produksi stokastik frontier diestimasi dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Estimations (MLE) dan menggunakan Program frontier 4.1 (Coelli 1996). Estimasi efisiensi ekonomi dilakukan berdasarkan fungsi biaya dual yang diturunkan dari fungsi produksi, dan efisiensi alokatif dihitung dari ratio antara nilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis.

Hasil analisis menunjukkkan bahwa rata-rata efisiensi teknis di dataran rendah lebih tinggi (80%) dibandingkan dengan tingkat efisiensi teknis di dataran tinggi (66%). Sementara, tingkat efisiensi alokatif dan ekonomi di dataran tinggi lebih besar daripada di dataran rendah. Jumlah rumput dan hijauan, jerami, pakan suplemen, stok ternak sapi, dosis inseminasi buatan (IB), dan lokasi signifikan dan positif berpengaruh terhadap produksi ternak sapi potong. Faktor-faktor yang signifikan dapat menurunkan inefisiensi teknis yaitu angkatan kerja dalam keluarga, tingkat pendidikan, share pendapatan usaha ternak sapi terhadap total pendapatan rumahtangga, penjualan sapi muda, pemeriksaan kesehatan ternak, status kepemilikan induk sapi, dan peran gender. Rata-rata keuntungan di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah. Biaya IB mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap keuntungan, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokatif.

(4)

untuk mengadakan sapi dengan bunga bersubsidi, sehingga peternak dapat memelihara induk milik sendiri. Diperlukan adanya kelembagaan yang dapat memfasilitasi jual-beli sarana input (terutama pakan) seperti pembentukan kelompok petani peternak atau mendirikan koperasi untuk menjaga kontinuitas ketersediaan pakan bagi ternak.

(5)

SUMMARY

LIDYA SIULCE KALANGI. Economic Efficiency Analysis of Beef Cattle Farming in East Java Province. Supervised by YUSMAN SYAUKAT, SRI UTAMI KUNTJORO, and ATIEN PRIYANTI.

The development of beef cattle farming through increasing number of population is an effort that should be done to support the beef meat self-sufficiency program by reducing the gap between production and consumption. Beef cattle farming is commonly practices by farmers for cow-calf production under a small scale operation. One solution that can be conducted to increase beef production is to continuously increase efficiency of beef cattle business in the country. East Java is one of beef cattle production centers, a potential province for the development of beef cattle population. In addition, these local resources are supported by the abundant availability of biomass from agricultural by-products. Objectives of this research are (1) to compare technical, allocative, and economic efficiency of beef cattle farming operating in lowland and upland areas of East Java, (2) to identify and analyze factors affecting the technical efficiency as well as inefficiency of cattle farming, and (3) analyze the effect of variable input cost on profits and the level of technical, allocative and economic efficiency of beef cattle farming.

A survey has been conducted to 89 and 97 farmers respectively, in the lowland and upland areas in the Districts of Probolinggo and Malang during the period of February-March 2013. The stochastic production frontier function was used to estimate the level of technical efficiency of beef cattle farming, followed by Maximum Likelihood Estimations (MLE) method using the program frontier 4.1 (Coelli 1996). Estimation of economic efficiency is based on the dual cost function derived from the production function, and allocative efficiency is calculated from the ratio between the value of economic efficiency and technical efficiency.

Results showed that the average technical efficiency in lowland area is higher (80%) compared to that of upland area (66%). Meanwhile, the level of allocative and economy efficiency in the upland are greater than in the lowlands. The results indicate that beef cattle production is highly significant and positively influenced by total of grasses and forages, rice straw, feed suplements, stock of cattle, labor time allocation and service per conception. In addition, lowland and upland areas are significant factor that could increase the efficiency. Some factors that could significantly reduce the technical inefficiency of beef cattle farming are: number of labor force in the family, level of education, proportion of beef cattle income to total household income, age of cattle sold, cattle health examination, ownership status of the cattle, and the role of gender. Results showed that average profit gained by farmers in the upland area was higher than that gained by farmers in the lowland area. The cost of artificial insemination has a positive sign and significant effect on profits, economic and allocative efficiency.

(6)

program. This is also allowed to support institution building for input production (priority in feed) to maintain the availability of feed all year round sustainability.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA

PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG RAKYAT

DI PROVINSI JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof (R) Dr Ir I. Wayan Rusastra, APU Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

(10)

Judul Disertasi : Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur Nama Mahasiswa : Lidya Siulce Kalangi

NIM : H363090121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc Ketua

Prof Dr Ir Sri Utami Kuntjoro, MS Anggota

Dr Ir Atien Priyanti, MSc Anggota

Diketahui oleh Koordinator Mayor

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Tanggal Ujian: 15 Juli 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya berkat dan penyertaanNya, sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong Rakyat di Provinsi Jawa Timur” dapat diselesaikan pada waktunya, setelah melalui proses perbaikan dalam berbagai tahapan penulisan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa dukungan komisi pembimbing, para penguji, staf sekretariat, dan keluarga. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Komisi pembimbing, Dr.Ir. Yusman Syaukat, MEc, Prof. Dr. Ir. Sri Utami Kuntjoro, MS dan Dr. Ir. Atien Priyanti, MSc atas kontribusi yang besar dan sangat berharga selama proses penyusunan disertasi ini.

2. Para penguji pada ujian tertutup, Prof (R). Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, APU dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, Msi, atas kritik dan masukan yang konstruktif untuk memperbaiki disertasi ini.

3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS atas arahan dan masukan yang sangat berharga selama proses penyusunan disertasi mulai ujian kualifikasi sampai ujian tertutup.

4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan di IPB.

5. Seluruh staf sekretariat EPN yang telah membantu menyelesaikan permasalahan non-teknis sehingga proses penyusunan dan ujian disertasi dapat berjalan lancar. 6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas tugas belajar yang diberikan kepada

penulis serta dukungan pembiayaan sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dengan lancar.

7. Kepala Desa beserta pegawai kantor desa Curahtulis dan Desa Srigonco, para petugas lapangan (mantri hewan) dari Dinas Peternakan wilayah setempat, serta staf Loka Penelitian Sapi Potong Grati atas bantuan akomodasi, penginapan dan informasi sehingga penelitian bisa dilaksanakan dengan lancar sesuai rencana. 8. Rekan-rekan sesama mahasiswa mayor EPN IPB khususnya angkatan 2009 dan

2010 serta rekan-rekan mahasiswa IPB asal Sulut atas kerjasama yang baik dan dukungan semangat selama kuliah dan proses penyusunan disertasi ini.

9. Kedua orang tua, suami, anak-anak, mertua dan semua keluarga atas doa, dukungan, pengertian dan kasih sayang, yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan disertasi ini.

Segala kekurangan disertasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, saran berharga sangat diharapkan agar disertasi ini lebih bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Produksi dan Efisiensi 9

Efisiensi Ekonomi : Konsep dan Pengertian 11

Metode Pengukuran Efisiensi 12

Usaha Peternakan Sapi Potong dan Faktor-faktor yang Berpengaruh 15

Studi Empiris Terdahulu 17

Kebaruan (Novelty) Penelitian 23

Kerangka Pemikiran 24

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Jenis dan Sumber Data

31 31

Metode Penentuan Sampel 31

Metode Analisis

Definisi dan Pengukuran Variabel

32 38

4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETERNAK SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

Penyebaran Sapi Potong di Indonesia 41

Keadaan Umum Wilayah Penelitian 42

Gambaran Umum Rumahtangga Peternak Sapi Potong 43

5 ANALISIS EFISIENSI USAHA PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG RAKYAT DI JAWA TIMUR

Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Perkembangbiakan

Sapi Potong di Jawa Timur 51

Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomi Peternak Sapi Potong di

Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa Timur 52

Efisiensi Teknis dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Inefisiensi

(13)

Ekonomi 60

6 ANALISIS KEUNTUNGAN USAHA PERKEMBANGBIAKAN TERNAK SAPI POTONG DI JAWA TIMUR

Komponen Biaya dalam Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi

Potong 62

Perbedaan Keuntungan Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi di

Dataran Rendah dan Dataran Tinggi 65

Pengaruh Biaya Input Variabel terhadap Keuntungan, Efisiensi

Teknis, Alokatif dan Ekonomi 65

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 69

Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 71

(14)

1 Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong, Pemotongan Sapi, dan Jumlah Produksi Daging Sapi Domestik dan Impor, Tahun

2006-2011 2

2 Perbandingan Antara Metode Parametrik dan Non Parametrik

dalam Penghitungan Efisiensi 14

3 4

Beberapa Studi Empiris tentang Pengukuran Efisiensi dan Inefisiensi pada Usaha Peternakan Sapi Potong

Deskripsi Kecamatan Tongas dan Kecamatan Bantur

19 43 5 Jumlah Peternak Sapi Potong (Responden) berdasarkan Umur,

Pendidikan dan Pengalaman usaha ternak Sapi Potong di

Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 44

6 7

Jumlah dan rata-rata Penguasaan Lahan Sawah, Tegalan dan Pekarangan oleh Responden Petani Peternak Sapi Potong

Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Potong Peternak Responden Tahun 2013

45 45 8 Alasan Penjualan Sapi Potong oleh Peternak Responden di Jawa

Timur 46

9 10 11 12

Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan

Struktur Pendapatan Rumahtangga Peternak Sapi Potong di Jawa Timur

Jumlah Petani Peternak yang Menggunakan Input Produksi pada Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong

Rata-rata Penggunaan Input dan Harga Rata-rata Input Produksi oleh Peternak Sapi Potong

47 47 48 49 13 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier pada

Usaha Ternak Sapi Potong dengan Menggunakan Metode MLE

di Provinsi Jawa Timur 51

14 Distribusi Frekuensi Efisiensi Teknis Peternak Sapi Potong di

Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa Timur 53 15 Distribusi Frekuensi Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Peternak

Sapi Potong di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Jawa

Timur   54

16 Hasil Pendugaan Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stochastic Frontier Peternak Sapi Potong di Jawa Timur 56 17 Faktor-faktor Penduga Inefisiensi Alokatif Peternak Sapi Potong 59 18 Faktor-faktor Penduga Inefisiensi Ekonomi Peternak Sapi Potong 61 19 Rata-rata Biaya, Penerimaan dan Keuntungan per Peternak Sapi

Potong berdasarkan Lokasi di Jawa Timur 64

20 Hasil Regresi Biaya Tunai Input Variabel terhadap Keuntungan,

Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi 66

21 Hasil Korelasi dari Hubungan antara Keuntungan per Peternak

(15)

1 Efisiensi Teknik dan Alokatif berorientasi Input 11

2 Fungsi Produksi StochasticFrontier 25

3 Bagan Kerangka Pemikiran 29

4 Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi

pada Responden Dataran rendah 53

5 Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi

pada Responden Dataran rendah 54

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Statistik Perbandingan Penggunaan Input dalam Model

Produksi StochasticFrontier 79

2 3

Uji Statistik Perbandingan Variabel Penduga Inefisiensi dalam Model Stochastic Frontier

Uji Statistik Perbandingan Biaya Input dalam Usaha Perkembangbiakan Sapi Potong

81 83 4

5 6 7 8 9 10 11 12

Fungsi Produksi dengan Metode MLE

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Ekonomi Pengaruh Biaya Input terhadap Keuntungan

Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Teknis Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Ekonomi Pengaruh Biaya Input terhadap Efisiensi Alokatif Pengaruh Efisiensi terhadap Keuntungan

Korelasi antara Keuntungan dan Efisiensi

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan sumber protein hewani yang tidak tergantikan dan sangat diperlukan bagi perkembangan tubuh manusia. Program swasembada daging, khususnya daging sapi merupakan program pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan daging sapi. Ditjennak (2010) menyatakan bahwa Program Swasembada Daging Sapi (yang diperbarui dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau = PSDSK) akan tercapai jika minimal 90 persen kebutuhan konsumsi daging sapi dapat dipasok dari produksi di dalam negeri. Saat ini, Indonesia masih mengimpor sekitar 17.5 persen guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional (Kementan 2012).

Kementerian Pertanian (2012) mengungkapkan bahwa persediaan daging sapi tahun 2012 sebesar 484 ribu ton, yang terdiri dari 399 ribu ton produksi lokal dan 85 ribu ton berasal dari impor (17.5 persen). Tabel 1 menunjukkan bahwa persediaan daging sapi tersebut untuk memenuhi kebutuhan 241 juta jiwa penduduk Indonesia, sehingga menurut Nampa (2012) konsumsi daging sapi di Indonesia adalah salah satu yang terendah di Asia Tenggara, hanya sekitar 2 kg/kapita/tahun. Apabila jumlah penduduk meningkat dengan pertumbuhan sebesar 1.49 persen setiap tahun, dan konsumsi daging sapi per kapita pada tahun 2014 menjadi 2.4 kg, maka harus tersedia daging sapi sejumlah 604.64 ribu ton atau setara dengan 3.36 juta ekor sapi siap potong. Besarnya permintaan daging sapi yang terus meningkat belum diimbangi dengan ketersediaan dari dalam negeri. Di sisi lain, untuk mewujudkan program swasembada sapi, maka maksimal impor sapi bakalan dan daging sapi hanya sekitar 10 persen atau setara dengan 60.5 ribu ton.

Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi tidak diantisipasi dengan peningkatan produksi di dalam negeri, maka akan menyebabkan Indonesia selalu bergantung pada impor. Program swasembada daging sapi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor terhadap bakalan dan daging sapi. Ditjennak (2010) menyatakan bahwa program swasembada ini tidak semata-mata ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor, tetapi lebih diarahkan pada konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, kesinambungan usaha peternak sapi untuk meningkatkan daya saing produksi. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap pengurangan ketergantungan impor.

(17)

Tabel 1. Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong, Pemotongan Sapi, dan Jumlah Produksi Daging Sapi Domestik dan Impor, Tahun 2006-2011

2007 2008 2009 2010 2011 2012 Populasi ternak sapi

potong (ribu ekor) 11 515 12 257 12 760 13 582 14 824 15 981 Pemotongan sapi

(ribu ekor) 1 886 1 154 1 286 1 324 1 519 1 421 Produksi (ton) 339 479 392 509 404 515 417 040 449 310 484 000 a. Asal domestik 298 479 266 809 196 727 195 810 292 460 399 000 b. Asal impor 41 000 125 700 207 788 221 230 156 850 85 000

Sumber : Ditjennak (2008, 2009, 2010), Kementan (2012) (diolah)

Kebijakan pengendalian impor, khususnya untuk daging sapi sangat diperlukan. Kenyataan bahwa harga daging dan sapi bakalan impor relatif lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, menjadikan tantangan tersendiri bagi usaha tersebut di dalam negeri. Hal ini sangat erat terkait dengan tingkat efisiensi usaha sapi potong di dalam negeri. Pada umumnya usaha ini berorientasi sebagai tabungan atau usaha sambilan, belum menjadi usaha pokok yang berorientasi pada tingkat produksi.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap peningkatan produksi daging sapi adalah meningkatkan efisiensi usaha sapi potong di dalam negeri secara berkesinambungan. Efisiensi produksi ini terkait dengan penggunaan input produksi mulai dari ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan pemerintah dapat dijadikan peluang dalam pengembangan usaha ternak sapi domestik.

Besarnya potensi sumber daya lokal seperti limbah pertanian sebagai sumber pakan, serta tingginya angka pengangguran, dapat menjadi faktor keunggulan bagi pengembangan peternakan sapi potong. Dalam rangka membangun peternakan sapi potong di dalam negeri, beberapa faktor yang harus menjadi perhatian adalah : (a) produk peternakan sapi potong (daging sapi) harus mampu dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga terjangkau, (b) peternak sapi potong secara finansial harus meraih keuntungan untuk perbaikan kehidupannya, sekaligus untuk peningkatan produksi yang berkesinambungan, (c) pada struktur perekonomian nasional, usaha ternak sapi potong rakyat harus memberikan kontribusi, artinya proses produksi secara ekonomi harus efisien dan bukan merupakan usaha produksi yang memboroskan sumberdaya nasional, (d) pemanfaatan sumberdaya lokal yang cukup berlimpah, sehingga kesinambungan usahanya dapat dipertahankan (Kuswaryan et al. 2004).

(18)

Ketersediaan pakan rumput saat ini semakin terbatas, akibat semakin luasnya lahan yang dikonversi untuk penggunaan lain, ketidakpastian pemilikan lahan, dan terjadinya degradasi kualitas lahan padang rumput. Daya dukung pakan yang rendah sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan populasi ternak sapi secara nasional. Keterbatasan pakan juga memicu timbulnya berbagai jenis penyakit dan mendorong peningkatan angka kematian ternak. Pemanfaatan pakan alternatif berupa by-product tanaman pangan dan tanaman pakan lainnya masih belum optimal dilakukan, sementara ketersediaan sumber daya pakan tersebut sangat berpotensi untuk peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi (Soekardono 2009).

Usaha peternakan di Jawa Timur merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan sektor pertanian. Kegiatan ekonomi yang berbasis peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek ke depan. Jawa Timur mempunyai potensi pengembangan usaha ternak sapi cukup tinggi jika ditinjau dari potensi sumberdaya alam seperti ketersediaan sumberdaya lahan, pakan, sumberdaya ternak, sumberdaya manusia serta permintaan. Potensi permintaan baik untuk konsumsi daging lokal maupun antarpulau.

Jawa Timur memiliki lahan sawah irigasi, dimana sebagian besar ditanami padi dua kali dalam setahun bahkan ada yang dapat ditanami tiga kali setahun. Disamping penggunaan lahan irigasi, wilayah Jawa Timur juga terdapat lahan kering yang potensial untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong. Tersedianya lahan kering yang relatif luas, sangat potensial bagi ketersediaan limbah pertanian, dengan kata lain bahwa Provinsi Jawa Timur disamping merupakan lumbung pertanian juga merupakan lumbung ternak secara nasional. Hal ini berdampak positif sehingga pengembangan ternak sapi potong di masyarakat berkembang pesat. Usaha ini ini juga mampu memberikan peluang usaha dan pendapatan sebagian masyarakat pedesaan, dimana dalam upaya mendukung swasembada daging sapi, efisiensi produksi usaha peternakan sapi potong sangat diperlukan. Sebagian besar ternak sapi di Indonesia diusahakan oleh peternak tradisional di pedesaan. Masalah utama yang menghambat peningkatan produktivitas sapi adalah kondisi sosial ekonomi peternak yang pada umumnya berpendidikan rendah dengan modal terbatas. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pola pemeliharaan sapi yang dimiliki.

Sapi lokal yang sudah berkembang di Indonesia mempunyai banyak keunggulan antara lain adalah : (a) reproduktivitas tinggi karena mampu menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, (b) masa produktif yang panjang karena dapat beranak lebih dari sepuluh kali sepanjang hidupnya bila dipelihara dengan baik, (c) kualitas karkas dan daging yang baik, serta (d) dapat dipelihara secara intensif maupun ekstensif. Namun sapi lokal mempunyai beberapa kekurangan yaitu kurang responsif bila memperoleh pakan prima, dan bobot potongnya relatif kecil dibanding sapi impor atau sapi silangan hasil IB. Keunggulan dan kekurangan tersebut dapat merupakan potensi apabila usaha CCO sapi lokal diusahakan melalui pola Crops Livestock System (CLS) dengan memanfaatkan limbah pertanian atau perkebunan.

(19)

Ditinjau dari efisiensi pemanfaatan pakan, sapi PO juga tidak kalah bila dibandingkan dengan sapi Peranakan Limousin (Rianto dan Purbowati 2011). Selanjutnya, dari beberapa laporan hasil kajian Ditjennak (2010) menunjukkan bahwa sapi Brahman Cross (BX) yang diimpor dari Australia yang diusahakan dengan pola terintegrasi ternyata tidak mampu bereproduksi sebaik sapi lokal. Sapi impor tersebut memerlukan pakan yang lebih banyak dan berkualitas untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan yang sangat besar.

Inseminasi buatan (IB) telah dilaksanakan pada ternak sapi di seluruh dunia baik pada negara yang sedang berkembang maupun negara maju untuk meningkatkan kualitas ternak. Pelaksanaan IB pada program pengembangbiakan sapi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas ternak sehingga menghasilkan keturunan yang superior (Feradis 2009). Namun menurut Diwyanto et al. (2009), secara komprehensif laporan perihal keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada. IB tidak dapat meningkatkan persentase kelahiran bila dibandingkan dengan kawin alam, akan tetapi IB dapat dipergunakan untuk mengatasi kelangkaan pejantan yang saat ini sulit dijumpai di lapang.

Program persilangan melalui IB yang tidak tepat justru berpotensi mengurangi produktivitas, meningkatkan kematian, dan memperpanjang jarak beranak. Kegiatan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Hal ini antara lain dikarenakan langkanya pejantan di beberapa kawasan sentra produksi sapi (Jawa). Di beberapa negara maju, seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong relatif sangat terbatas pada kelompok elite untuk tujuan menghasilkan bibit (pembibitan/pemuliaan), bukan untuk kegiatan CCO seperti di Indonesia (Diwyanto et al. 2009).

Oleh karena itu, analisis efisiensi ekonomi pada usaha perkembangbiakan (CCO) ternak sapi potong khususnya sapi lokal dalam hal ini sapi jenis Peranakan Ongole (PO) menjadi faktor penting untuk dikaji dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi potong.

Rumusan Masalah

Usaha perkembangbiakan ternak sapi potong baik untuk skala kecil maupun skala besar akan memerlukan inovasi teknologi. Meski inovasi teknologi untuk skala manapun sama, tetapi kalau alokasi penggunaan input dan manajemen pemeliharaannya (penanganan yang baik) berbeda, hasilnya juga pasti berbeda. Efisien tidaknya usaha peternakan tergantung pada input yang digunakan dan pengembangan teknologi, berupa teknologi IB. Krasachat (2007) mengemukakan bahwa beberapa faktor seperti ukuran usaha, variasi dari bibit sapi dan perbedaan dalam penggunaan pakan telah mempengaruhi inefisiensi ekonomi dari usaha ternak.

(20)

tradisional, sebagai usaha sambilan dan belum memperhatikan efisiensi penggunaan input produksi.

Pola usaha ternak sapi potong di Indonesia sebagian besar adalah pembibitan/perkembangbiakan, dan hanya sebagian kecil peternak yang mengkhususkan usahanya pada usaha penggemukan karena usaha ini merupakan usaha padat modal (Yusdja et al. 2003). Upaya peningkatan produksi sapi melalui peningkatan populasi ternak saat ini dilakukan dengan cara mengawin-silangkan ternak lokal dengan ternak impor, tanpa diikuti oleh seleksi genetis yang baik. Akibatnya perbaikan mutu genetis yang diharapkan tidak dapat tercapai dengan baik. Di Pulau Jawa, praktek persilangan telah banyak dilakukan dengan cara IB. Jawa Timur merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong dengan populasi sebesar 4.7 juta ekor. Secara geografis wilayah Provinsi Jawa Timur merupakan wilayah dataran dan pegunungan yang memiliki potensi lahan pertanian yang besar, dan sangat berpotensi dalam menghasilkan limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak. Dengan demikian dapat memberikan peluang usaha pengembangan ternak sapi dan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi peternak.

Penggunaan jenis IB di Jawa Timur oleh peternak yang berhasil akan mempengaruhi perilaku peternak yang lain dalam memilih jenis IB yang dianggap lebih baik dalam meningkatkan produksi dan pendapatan. Usaha budidaya ternak sapi potong di Jawa Timur terkonsentrasi pada ternak sapi impor (Limousin, Simental, dan Brahman), dan hanya sebagian kecil yang mengawin-silangkan dengan sapi lokal (Sapi PO, sapi Bali, sapi Madura). Yusran (2001) dan Kuswaryan et al. (2004) menyatakan bahwa aplikasi program IB dengan semen sapi impor pada sapi PO memberi dampak positif terhadap nilai ekonomi / harga ternak. Hal tersebut karena sapi-sapi hasil IB selalu mempunyai performa yang lebih baik dengan harga jualnya lebih tinggi dibanding sapi hasil perkawinan alam dengan sapi pejantan lokal murni pada semua tingkatan umur.

Hadi dan Ilham (2002) mengemukakan bahwa usaha pembibitan sapi potong secara ekonomi menguntungkan jika peternak menggunakan semen Simmental atau sederajat dan induk PFH (Peranakan Friesian Holstein), tetapi kurang prospektif dengan menggunakan induk PO jika untuk tujuan komersial. Namun pembibitan dengan menggunakan induk PO dengan cara tradisional serta tidak untuk usaha komersial sampai saat ini masih mampu bertahan dan sangat dominan.

Dalam suatu usaha peternakan, lokasi pemeliharaan merupakan salah satu hal utama yang harus dipertimbangkan agar usaha tersebut dapat beroperasi secara

efektif dan efisien. Dataran rendah pada umumnya merupakan daerah yang

(21)

Adanya perbedaan pendapat antara keduanya memberikan peluang untuk melakukan penelitian ini dengan membagi wilayah penelitian berdasarkan lokasi dataran.

Usaha perkembangbiakan atau usaha untuk menyediakan sapi bakalan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan rumput dan hijauan relatif kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Daerah Probolinggo dan Pasuruan merupakan dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang akan tetapi biomasa pertaniannya relatif melimpah terutama pada waktu panen, sedangkan daerah Malang merupakan dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Namun untuk menghasilkan pedet dengan bobot badan normal dan tumbuh sehat, induk sapi selama masa kebuntingan memerlukan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai (Hadi dan Ilham 2002). Lokasi dengan sumber pakan yang mendukung bagi produksi dan reproduksi ternak akan memberikan manfaat bagi usaha perkembangbiakan sapi dan juga pendapatan bagi keluarga peternak.

Pengembangan usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi. Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak.

Beberapa hasil penelitian tentang efisiensi pada usaha tani sudah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun studi tentang efisiensi pada usaha peternakan rakyat khususnya pembibitan/perkembangbiakan ternak sapi potong di Indonesia masih jarang dilakukan. Hasil penelitian antara lain yang dilakukan Araji (1976) mengemukakan bahwa efisiensi produksi dipengaruhi oleh ukuran usaha dan penggunaan sumberdaya, sedangkan efisiensi teknik dipengaruhi oleh penggunaan input, modal dan stok lahan.

Beberapa penelitian sebelumnya mengukur efisiensi dengan menggunakan metode parametrik dan non parametrik. Metode parametrik umumnya dengan pendekatan analisis stochastic produksi frontier, sementara metode non parametrik dengan pendekatan analisis data envelopment. Sebagian besar hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pakan, bibit, manajemen kesehatan seperti kontrol terhadap kesehatan hewan, umur dan pengalaman, pendidikan, keikutsertaan dalam kelompok, mempengaruhi tingkat efisiensi dan inefisiensi produksi usaha peternakan pada sapi potong (Featherstone et al. 1997, Paul et al. 2000, Trestini 2006, Krasachat 2007, Rakipova et al. 2003, Fleming et al. 2010).

Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan pengembangan usaha sapi potong yaitu sebagai berikut :

1. Di daerah manakah yang lebih baik secara ekonomi untuk mengembangkan ternak sapi potong khususnya jenis sapi Peranakan Ongole (PO), apakah di daerah dataran rendah atau dataran tinggi ?

(22)

3. Bagaimana pengaruh penggunaan teknologi IB terhadap efisiensi produksi dan keuntungan peternak?

Tujuan Penelitian

1. Membandingkan tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi dari usaha perkembangbiakan ternak sapi potong yang ada di dataran rendah dan dataran tinggi di Jawa Timur.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis, alokatif dan ekonomi serta penyebab terjadinya inefisiensi dalam usaha perkembangbiakan sapi potong di Jawa Timur.

3. Menganalisis pengaruh penggunaan IB dan biaya input produksi terhadap keuntungan dan tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usaha perkembangbiakan ternak sapi potong.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini pada batas-batas tertentu diharapkan dapat memberikan bahan informasi terhadap upaya pemerintah khususnya di Jawa Timur dalam pengembangan usaha ternak sapi potong dengan menggunakan teknologi yang berdampak terhadap peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan. Selain itu, diharapkan bermanfaat dalam hal :

1. Memberi masukan dan informasi bagi pihak pengambil kebijakan khususnya pemerintah daerah dalam merumuskan langkah kebijakan yang berhubungan dengan produksi dan pendapatan rumahtangga peternak sapi potong.

2. Sebagai pembanding untuk daerah yang lain dalam memilih jenis sapi yang akan dikembangkan sesuai dengan lokasi peternakan.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembanding untuk studi – studi dengan isu yang lebih relevan bagi penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(23)

Sampel dalam penelitian yaitu peternak yang memelihara induk sapi potong lokal yaitu Peranakan Ongole (PO), yang dibudidayakan melalui IB dengan semen yang berasal dari ternak sapi impor maupun lokal, yang tujuan pemeliharaannya sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga. Oleh karena dalam satu kandang terdiri dari satu ekor atau lebih, sehingga sulit untuk menghitung ketepatan konsumsi pakan per ekor ternak sapi, maka perhitungan efisiensi dan keuntungan dihitung per responden peternak.

(24)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Produksi dan Efisiensi

Konsep Fungsi Produksi dan Fungsi Produksi Frontier

Fungsi produksi merupakan konsep utama dalam penelaahan ekonomi produksi. Produksi adalah proses penggabungan masukan dan mengubahnya menjadi keluaran. Sejumlah masukan diperlukan untuk memproduksi sejumlah output. Meskipun ukuran produsen bervariasi, tetapi semuanya menggunakan masukan dan mengubahnya menjadi segala sesuatu yang berguna yang disebut keluaran (produk). Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara sejumlah input (faktor produksi) yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam proses produksi (Doll dan Orazem 1984, Debertin 1986).

Beattie dan Taylor (1994) mendefinisikan fungsi produksi sebagai output maksimum yang dapat dicapai dari penggunaan sejumlah input dan teknologi tertentu. Beberapa asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi adalah: (Doll dan Orazem 1984, Beattie dan Taylor 1994).

1. Proses produksi merupakan proses monoperiodik, artinya bahwa aktivitas produksi dalam satu periode waktu benar-benar terpisah atau independent terhadap periode rangkaiannya.

2. Seluruh input dan output dalam proses produksi adalah homogen, artinya tidak ada perbedaan kualitas input maupun output dalam berbagai tingkatan.

3. Fungsi produksi merupakan fungsi yang “twice continuously differentiable” 4. Hubungan fungsi produksi dengan produk dan input dianggap pasti.

5. Akses dan ketersediaan input tidak terbatas, hal ini menunjukkan bahwa anggaran yang tersedia untuk pembelian input tidak terbatas.

6. Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan.

Analis ekonomi memberi batasan efisiensi sebagai ‘alat ukur’ untuk menilai pilihan-pilihan yang dilakukan produsen. Konsep efisiensi merupakan suatu ukuran relatif dari input yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu. Suatu metode produksi dikatakan efisien secara teknis, jika untuk menghasilkan jumlah produk tertentu digunakan input minimum atau untuk menghasilkan jumlah output maksimum digunakan input yang jumlahnya tertentu. Untuk mencapai efisiensi ekonomi harus dipenuhi dua syarat, yaitu (1) syarat keharusan (necessary condition) dan (2) syarat kecukupan (sufficient condition). Dalam proses produksi, syarat keharusan akan terpenuhi bila (Doll and Orazem 1984): (1) dengan faktor produksi yang sama, produsen tidak mempunyai kemungkinan lagi untuk menghasilkan jumlah produk yang lebih tinggi dan (2) dengan faktor produksi yang lebih kecil, produsen tidak mungkin menghasilkan jumlah produk yang sama. Syarat kecukupan (sufficient condition) merupakan indikator pilihan (choice indicator) berupa rasio harga input dengan harga output.

(25)

akan menggeser kurva fungsi produksi frontier ke atas, sehingga dengan penggunaan input (x) yang sama akan menghasilkan output (y) yang lebih besar.

Farrel (1957) menyatakan bahwa produksi frontier sebagai best practice frontier. Fungsi produksi frontier telah banyak diaplikasikan dalam studi empiris bidang pertanian. Salah satu keunggulan fungsi produksi frontier dengan fungsi produksi lainnya adalah kemampuannya untuk menganalisis keefisienan dan ketidakefisienan teknik suatu proses produksi. Hal ini bisa terjadi karena kedalam model dimasukkan suatu kesalahan baku yang mempresentasikan efisiensi teknik ke dalam suatu model yang telah ada kesalahan bakunya.

Beberapa konsep yang sering digunakan dalam penelaahan ekonomi produksi antara lain elastisitas input, elastisitas produksi, dan skala usaha. Elastisitas produksi (Ep) didefinisikan sebagai persentase perubahan output yang

disebabkan oleh persentase perubahan masukan (input) yang digunakan. Elastisitas input (ei) mengambarkan perubahan output yang disebabkan oleh

perubahan input ke-i. Elastisitas produksi merupakan penjumlahan semua elatisitas input ( Σ ei) dan menggambarkan skala usaha (return to scale).

Fungsi produksi frontier (frontier production function) memiliki definisi yang hampir sama dengan fungsi produksi klasik dalam menjelaskan konsep efisiensi. Fungsi produksi frontier dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi yang sebenarnya terhadap posisi frontiernya. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Doll dan Orazem (1984) menjelaskan fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi maksimal yang dapat diperoleh dari sejumlah kombinasi faktor produksi pada tingkat teknologi tertentu. Dengan demikian fungsi produksi frontier menggambarkan hubungan fisik antara faktor produksi dengan output yang posisinya terletak pada isoquant. Jika suatu kegiatan usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Apabila fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya.

Konsep Produktivitas dan Efisiensi

Produktivitas dan efisiensi merupakan konsep yang sering digunakan namun berbeda arti. Produktivitas merupakan konsep absolut yang diukur dari rasio output dengan input, sementara efisiensi merupakan perbandingan relatif antara output (hasil dalam ukuran fisik atau rupiah) dengan input (faktor biaya yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut) terhadap rasio output dengan input pada kondisi optimal. Produktivitas mengukur produk dalam jumlah fisik dan merupakan kemampuan faktor produksi dalam menghasilkan output. Jadi produktivitas adalah rasio antara output (nilai tambah, penerimaan) dengan input yang digunakan. Jika hanya satu input yang digunakan disebut dengan produktivitas parsial, dan bila seluruh input digunakan, disebut dengan produktivitas total (total factor productivity). Produktivitas sama dengan jumlah output total dibagi dengan jumlah input yang digunakan.

(26)

penggunaan sejumlah input tertentu. Produksi potensial maksimal (juga dikenal dengan best practice frontier) didifinisikan oleh produksi frontier. Pengukuran efisiensi menyangkut pengukuran jarak dari titik data yang diobservasi terhadap frontiernya. Selanjutnya dikemukakan beberapa alasan pentingnya pengukuran efisiensi : (a) masalah pengukuran efisiensi produksi suatu industri adalah penting untuk ahli teori ekonomi maupun pengambil kebijakan ekonomi, (b) jika alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual, (c) jika perencanaan ekonomi sangat terkait dengan industri tertentu adalah penting untuk meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya tambahan atau meningkatkan efisiensinya.

Efisiensi Ekonomi : Konsep dan Pengertian

Efisiensi merupakan konsep penting dalam mengukur kinerja ekonomi suatu proses produksi. Efisiensi dalam produksi disebut dengan efisiensi ekonomi atau efisiensi produktif. Hal ini menggambarkan keberhasilan dalam produksi mencapai output maksimum dari penggunaan sejumlah input tertentu. Efisiensi dalam usahatani terdiri atas efisiensi teknik dan alokatif.

Sumber : Coelli et al, 1998

Gambar 1. Efisiensi Teknik dan Alokatif berorientasi Input

Efisiensi Teknis (TE)

Efisiensi teknik (TE) menyangkut kemampuan perusahaan untuk mencapai output tertentu dengan penggunaan input minimal atau kemampuan perusahaan untuk mencapai output maksimal dengan penggunaan sejumlah input tertentu. Apabila suatu usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui

.

R

Q’ S

.

.

P

Q

x1/y

A’

S’

0 A

x2/y

.

.

.

(27)

maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya. Titik Q pada Gambar 1 merupakan titik yang paling efisien secara teknis.

Efisiensi Alokatif (AE)

Konsep efisiensi alokatif agak berbeda dengan konsep efisiensi teknis meskipun menggunakan pendekatan fungsi produksi. Efisiensi alokatif atau efisiensi harga merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga faktor dan teknologi produksi tertentu yang tetap atau kemampuan suatu perusahaan untuk memilih tingkat input minimum dimana harga-harga input dan teknologi tetap. Efisiensi alokatif sudah memperhitungkan faktor harga input. Seorang petani dikatakan efisien secara alokatif apabila petani mencapai keuntungan maksimum pada saat nilai produk marginal setiap faktor produksi sama dengan biaya marginalnya atau kemampuan petani dalam menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi ratio biaya input. Pada Gambar 1 titik yang efisien secara alokatif berada pada titik Q’.

Efisiensi ekonomi (EE)

Gabungan kedua efisiensi teknis dan alokatif disebut efisiensi ekonomi, artinya bahwa produk yang dihasilkan baik secara teknik maupun alokatif efisien. Efisiensi ekonomi dapat juga dikatakan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh petani dalam berproduksi untuk menghasilkan sejumlah output yang telah ditentukan sebelumnya. Titik Q’ seperti dalam Gambar 1 selain efisien secara alokatif juga efisien secara ekonomis. Secara ekonomi efisien bahwa kombinasi input-output akan berada pada fungsi produksi frontier dan jalur pengembangan usaha. Efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum profit (profit maximization) yaitu apabila biaya yang tersedia sudah tertentu jumlahnya maka menggunakan input optimal untuk memperoleh output maksimal dan kriteria biaya minimum (cost minimization) yaitu jika output yang akan dicapai sudah tertentu besarnya maka optimasi dapat diperoleh dengan meminimumkan biaya.

Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan yang digunakan untuk mengukur efisiensi dengan menggunakan fungsi Stochastic Production Frontier (SPF) yang dikembangkan oleh Aigner, Lovell dan Schmidt (1977) serta oleh Meeusen dan Broek (1977).

Metode Pengukuran Efisiensi

(28)

ekonomi produksi untuk mengukur efisiensi alokatif. Namun Lau and Yotopoulus (1971) menyatakan bahwa pendekatan fungsi produksi rata-rata mempunyai masalah persamaan simultan yang bias dan mudah terjadi multikolinier.

Pendekatan fungsi produksi frontier dilakukan untuk mengestimasi frontier dan bukan fungsi produksi rata-rata. Metodologi frontier pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957) dan telah berkembang secara luas digunakan dalam aplikasi analisis produksi.

Secara konseptual, pengukuran efisiensi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengukuran berorientasi input (input-orientated measures) dan pengukuran berorientasi output (output-orientated measures). Untuk mengilustrasikan konsep efisiensi, Coelli et al (1998) menggunakan contoh sederhana dimana peternak menggunakan dua input (x1 dan x2) untuk menghasilkan output tunggal (y),

dengan asumsi CRS (constant returns to scale). Asumsi CRS memungkinkan teknologi untuk dipresentasikan dengan menggunakan unit isoquan.

Gambar 1 menunjukkan pengukuran berorientasi input yang diwakili oleh SS’ merupakan kondisi yang efisien penuh atau unit isoquan yang efisien. Unit isoquan yang efisien menunjukkan kombinasi x1 dan x2 yang efisien secara teknis

yang digunakan untuk memproduksi satu unit output (y). Titik P dan Q mewakili dua peternak berbeda yang menggunakan kombinasi input x1 dan x2 dengan proporsi yang sama. Keduanya terletak pada garis yang sama dari titik asal (0) untuk memproduksi satu unit y. Titik P terletak di atas isoquan, sedangkan titik Q mewakili peternak yang secara teknis efisien karena ada pada frontier. Titik Q menunjukkan bahwa peternak tersebut menghasilkan output yang sama seperti P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Efisiensi teknik (ET) dari suatu peternak biasanya diukur oleh rasio 0Q/0P (1-QP/0P). Nilai ET bervariasi antara 0 dan 1. Titik Q menunjukkan peternak secara teknis efisien penuh (TE = 1).

Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif bisa dihitung. Garis isocost, AA’, bersinggungan dengan isoquan pada titik Q’, dan berpotongan dengan garis 0P pada titik R. Titik Q’ menunjukkan rasio input/output optimal yang meminimalkan biaya produksi pada output tertentu karena slope isoquan dan garis isocost sama. Titik Q adalah efisien secara teknis tetapi secara alokatif tidak efisien, karena produsen atau peternak Q memproduksi dengan biaya lebih tinggi dibanding peternak Q’. Efisiensi alokatif (AE) untuk peternak yang beroperasi pada titik P didefinisikan menjadi rasio 0R/0Q, karena jarak RQ mewakili pengurangan dalam biaya produksi yang akan terjadi jika produksi berada pada titik Q’ yang efisien secara alokatif (dan teknis), dan bukan pada titik Q yang efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara alokatif.

Total efisiensi ekonomi (EE) dapat didefinisikan menjadi rasio 0R/0P. Dapat disimpulkan bahwa total efisiensi ekonomi adalah sama dengan perkalian efisiensi teknis dengan efisiensi alokatif, atau EE = ET x EA = (0Q/0P) x (0R/0Q) = (0R/0P).

(29)

stochastic frontier dan pendekatan non parametrik yaitu metode Data Envelopment Analysis (DEA). Avenzora (2008) membandingkan metode parametrik dan non parametrik seperti pada Tabel 2. Model deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh inefisiensi sementara dalam model stochastic, error disebabkan oleh gangguan statistik yang berasal dari gangguan diluar kontrol produksi dan berasal dari efek inefisiensi. Karenanya masalah utama dalam model deterministik dan stochastic adalah dalam pengukuran error (Greene 1993).

Tabel 2. Perbandingan Antara Metode Parametrik dan Non Parametrik dalam Penghitungan Efisiensi

Parametrik Non Parametrik

Pendekatan Ekonometrik - ln (yi) = f (xi, ) - µi

(Aigner dan Chu (1968) - ln (yit) = f (xit, t, ) + (vit- µi)

(Aigner, Lovell dan Schmidt (1977) serta Meeusen dan Broeck (1977))

Pendekatan Non ekonometrik - Data Envelopment Analysis

yang penyelesaiannya menggunakan Linier Programming - Angka Indeks

Perlu asumsi-asumsi statistik Tidak diperlukan adanya asumsi statistik

Perlu informasi yang akurat untuk harga input dan variabel exogen lain.

Tidak perlu

Diperlukan ukuran sampel yang cukup untuk menghasilkan kesimpulan secara statistik.

Tidak perlu

Perlu pengetahuan bentuk fungsi yang tepat dari frontier

Tidak perlu

Memasukkan random error, sehingga dapat memperhitungkan faktor-faktor lainnya di luar model.

Tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor lain di luar model.

Sumber : Avenzora & Moeis (2008)

(30)

(error) yang muncul dari usahatani) dan inefisiensi teknis yang disebabkan oleh variasi faktor manajemen di bawah kontrol petani. Pendekatan stochastic frontier menggunakan model ekonometrika.

Aigner and Chu (1968) adalah orang pertama yang mengestimasi fungsi produksi deterministik frontier menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas. Argumentasi yang dikemukakan adalah pada industri tertentu, perusahaan akan berbeda dengan perusahaan lain dalam hal proses produksi, disebabkan oleh parameter teknik dalam industri, perbedaan skala operasi, dan struktur organisasi. Bravo-Ureta and Pinheiro (1997) menunjukkan bahwa dasar untuk pengukuran tingkat efisiensi usahatani adalah dengan teknik maximum likelihood yang digunakan untuk mengestimasi frontier produksi Cobb-Douglas, dan frontier biaya dual. Daryanto (2000) mengemukakan ada dua alternatif pendekatan untuk menguji faktor-faktor penentu efisiensi teknis dan juga inefisiensi teknis. Metode pertama terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu estimasi nilai efisiensi atau efek efisiensi untuk usahatani individu setelah estimasi fungsi produksi frontier. Tahap kedua adalah estimasi model regresi dimana nilai efisiensi diekspresikan sebagai suatu fungsi dari variabel-variabel sosial ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi inefisiensi. Metode kedua adalah prosedur satu tahap (simultan) dimana efek-efek inefisiensi di dalam stochastic frontier dimodelkan di dalam variabel-variabel yang relevan di dalam menjelaskan inefisiensi produksi.

Usaha Peternakan Sapi Potong dan Faktor-faktor yang Berpengaruh

Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan rakyat. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang dilakukan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Dalam suatu usaha ternak, faktor produksi mempunyai peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak tersebut seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja dan modal dalam menghasilkan produk peternakan. Usaha ternak sapi potong akan berhasil jika memperhatikan tiga unsur yaitu bibit (breeding), pakan (feeding) dan pengelolaan (management). Unsur pengelolaan (management) mencakup pengelolaan breeding, feeding, perkandangan, kesehatan ternak. Pengelolaan juga mencakup penanganan hasil ternak, pemasaran dan pengaturan tenaga kerja.

(31)

diperoleh sangat baik, maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga.

Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya pembibitan sapi potong masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah pemberian konsentrat, jumlah pemberian hijauan dan bangsa sapi yang dipelihara. Disamping itu penggunaan faktor produksi pada perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien.

Indrayani (2011) mengemukakan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur bakalan, dan penguasaan ternak. Variabel jumlah penggunaan tenaga kerja dan obat-obatan walaupun tidak nyata namun menunjukkan tanda sesuai dengan yang diharapkan. Variabel konsentrat dan umur bakalan berpengaruh positif dan sangat nyata, sehingga peternak perlu menambah penggunaan konsentrat dan memperhatikan umur sapi bakalan yang digunakan untuk mencapai produksi yang optimal. Selanjutnya pada penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dan input produksi yang menentukan dalam produksi adalah pakan dan obat-obatan. Menurut Suwandi (2005), penerapan usahatani padi sawah-sapi potong pola CLS (Crop-Livestock System) meningkatkan produksi padi sebesar 23.6% dan keuntungan sebesar 14.7% lebih tinggi dibandingkan dengan non-CLS.

Petani peternak memilih cabang usaha ternak dengan tujuan untuk peningkatan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarganya. Fungsi ternak bagi rumahtangga petani adalah sebagai sumber pendapatan, sumber protein hewani, sumber tenaga kerja dan sebagai penghasil pupuk. Fungsi lain dari ternak adalah sebagai ternak bibit dan tabungan rumahtangga (Santoso 2008). Nefri (2000) dalam penelitiannya mempelajari perusahaan peternakan sapi potong dengan menggunakan analisis Goal Programming. Perusahaan tersebut berlokasi di Sukabumi, dulunya merupakan perusahaan industri rumahtangga sekarang menjadi perusahaan ternak sapi berskala besar. Pemeliharaannya bukan lagi secara ektensif tetapi sudah secara intensif dengan orientasi bisnis. Dengan menggunakan bibit lokal perusahaan mendapatkan keuntungan Rp. 3 589 640,- per hari. Hal ini mengindikasikan walaupun peternak menggunakan bibit lokal tapi pemeliharaannya secara intensif memberikan keuntungan memadai bagi rumahtangga.

(32)

(Pambudy 1999). Faktor pendidikan anggota rumahtangga petani peternak dapat mempengaruhi keputusan produksi. Mohapatra (2009) menganalisis peran pendidikan dalam efisiensi teknis dan dalam efisiensi alokatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel inefisiensi memiliki implikasi penting. Rata-rata pendidikan menunjukkan efek positif walaupun tidak signifikan. Artinya bahwa keluarga yang lebih berpendidikan memberikan sedikit pengetahuannya ke usahatani sekedar hanya memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pengalaman dan lamanya pendidikan kepala keluarga efektif negatif dan signifikan pengaruhnya terhadap efisiensi biaya. Artinya bahwa pengalaman dan lamanya pendidikan kepala keluarga memungkinkan petani untuk memanfaatkan teknologi baru yang tersedia yang membantu dalam mengurangi biaya produksi.

Penggunaan bibit ternak sapi dapat mempengaruhi produktivitas usaha ternak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kondisi ternak sapi lokal saat ini (Wijono et al. 2003) telah mengalami degradasi produksi dan ditemukan bentuk tubuhnya yang kecil. Hal ini diakibatkan mutu genetik sapi lokal yang semakin menurun. Semakin baik bibit ternak sapi walaupun bibit lokal tetapi merupakan bibit hasil seleksi maka produksi dapat ditingkatkan sehingga pendapatan dapat meningkat. Demikian halnya dengan pakan yang diberikan, semakin baik pakan maka produktivitas ternak sapi semakin meningkat. Pakan merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi ternak karena berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan.

Studi Empiris Terdahulu

Trestini (2006) dalam penelitiannya tentang efisiensi teknik dari produksi sapi potong di Italia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi usaha peternakan sapi potong, dengan mengidentifikasi pengaruh yang paling dominan terhadap tingkat efisiensi teknik dan peranannya dalam menentukan strategi bagi petani dan pengambil kebijakan untuk meningkatkan daya saing. Model frontier diestimasi dengan metode Maximum Likelihood dan menggunakan program Limdep (versi 8). Faktor-faktor seperti ukuran usaha, jenis ternak, dan pakan penting untuk menjelaskan inefisiensi ekonomi. Umur, pendidikan dan pengalaman, jumlah perkunjungan dan keterlibatan peternak dalam kelompok tidak signifikan berdampak terhadap efisiensi ekonomi. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha ternak adalah 76.8 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan tenaga kerja per LSU. Kesimpulannya yaitu biaya pakan mempunyai pengaruh yang paling tinggi terhadap produksi frontier, sehingga untuk meningkatkan daya saing, strategi kunci untuk meningkatkan efisiensi teknik adalah meningkatkan ukuran padang penggembalaan dan regulasi yang berorientasi pada pasar input.

(33)

mengemukakan bahwa : 1) pertama nilai efisiensi ekonomi dari usaha ternak yang ada di Thailand adalah jauh lebih rendah, 2) beberapa faktor seperti luas lahan, variabilitas ternak dan perbedaan pakan konsentrat yang digunakan telah mempengaruhi inefisiensi ekonomi peternakan sapi, sementara perbedaan umur peternak, pendidikan dan pengalaman, pakan kasar, jumlah kunjungan per tahun dan menjadi anggota kelompok tidak memiliki dampak yang berbeda terhadap efisiensi ekonomi dalam produksi ternak sapi potong di Thailand untuk peternakan yang berbeda.

Sarma and Ahmed (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi usaha penggemukan sapi potong dan mengukur efisiensi ekonomi dari usaha penggemukan sapi potong di distrik Rajbari, mengemukakan bahwa faktor-faktor penting yang langsung berhubungan dengan efisiensi ekonomi adalah umur, pendidikan, ukuran usaha, pengalaman usaha dan penggunaan pupuk. Implikasi kebijakan ditujukan dalam mendorong pengusaha untuk memulai usaha penggemukan sapi potong, dan untuk pengusaha yang sudah mengusahakan ternak sapi potong, sebaiknya diberikan akses kredit dalam meningkatkan capital untuk perluasan skala produksi.

Penelitian Qushim et al. (2012) yang mengukur efisiensi teknik usaha pembibitan ternak sapi di Southeastern U.S, menggunakan fungsi produksi CD dengan metode Stochastic production frontier menemukan bahwa peternak yang berpendidikan tinggi dan merupakan produsen stocker menghasilkan output yang lebih besar. Selanjutnya dikatakan bahwa masih terdapat kemungkinan besar untuk meningkatkan efisiensi produksi bagi produsen pembibitan ternak sapi.

Sidauruk et al. (2010) dalam studi kasusnya di PT Lembu Jantan Perkasa yang bertujuan antara lain untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor produksi pada pola penggemukan dan menentukan pola usaha yang paling efisien menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pokok usaha yaitu bobot badan awal sapi, pakan hijauan, pakan konsentrat, dan lama pelihara. Penggunaan input atau faktor produksi tersebut jika ditinjau dari aspek efisiensi teknis, maka pemakaian berat badan awal, penggunaan hijauan dan konsentrat telah efisien tetapi lama pelihara tidak efisien. Ditinjau dari aspek ekonomi, maka penggunaan semua input pada pola fattening dan pola trading tidak efisien sehingga ada input yang perlu dikurangi pemakaiannya agar menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Hasil penelitian Rakipova et al. (2003) menemukan bahwa padang rumput yang lebih besar, umur yang lebih tua, lebih berpendidikan, bekerja lebih banyak waktu untuk off farm dan menjadikan usaha ternak yang paling penting dalam hidupnya adalah yang lebih efisien. Peternak yang lebih tua menjadi lebih efisien secara teknik daripada yang muda. Walaupun ada juga beberapa peternak muda yang lebih efisien, kemungkinan pengaruh dari pengalaman menggunakan teknologi terkini.

(34)

ditemukan memiliki rasio kesenjangan teknologi rendah. Rata-rata Efisiensi teknis yang diestimasi untuk ketiga system pemeliharaan tersebut adalah 0.69, yang menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk meningkatkan produksi sapi di Kenya.

Penelitian Jones (2000) tentang biaya, distribusi biaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan dalam memproduksi sapi bakalan, menemukan bahwa variasi profit sangat terkait dengan biaya per unit dari variasi produksi, yang telah terbukti memiliki keterkaitan dengan efisiensi ekonomi. Selain itu, selisih biaya antara produsen pedet sapi tidak sepenuhnya ditentukan oleh skala ekonomi. Analisis regresi digunakan untuk menentukan sumber efisiensi (inefisiensi), dan untuk mengidentifikasi hubungan antara efisiensi dan profitabilitas bagi produsen sapi. 3 komponen biaya terbesar yang sangat mempengaruhi efisiensi secara keseluruhan yaitu pakan, modal dan tenaga kerja, dimana hampir 91 persen dari total biaya input rata-rata per ekor. Hasil ini mengindikasikan bahwa manajemen yang lebih baik harus fokus pada ketiga kategori biaya tersebut yang secara signifikan berpengaruh pada peningkatan efisiensi dan peningkatkan keuntungan.

[image:34.612.109.504.354.715.2]

Tabel 3. Beberapa studi empiris tentang pengukuran efisiensi dan inefisiensi pada usaha peternakan sapi potong

Penulis, Tahun Tujuan Metode analisis

Hasil

Featherstone AM et al. 1997

Memeriksa efisiensi produksi ternak sapi potong sebagai suatu contoh usaha ternak di Kansas.

Nonparametrik, LP

Biaya pakan, TK, dan modal relatif lebih penting dalam menjelaskan efisiensi secara keseluruhan daripada biaya utilities & fuel, veterinary, dan biaya lain-lain. Biaya pakan sangat penting dalam menjelaskan efisiensi teknik.

Paul CJM et al. 2000

Melihat dampak simulasi kebijakan pembaharuan pada tahun 1980 terhadap efisiensi usaha ternak di New Zealand.

Stochastic production frontier (SPF), ML

-Dampak utama dari pembaharuan menyebabkan perubahan pada komposisi output serta dapat menstimulasi TE, seperti dalam hal keuangan melalui pinjaman dengan bunga yang rendah.

-Lahan, jumlah ternak, TK, biaya pupuk & pakan, biaya keswan mrpkn faktor yg penting untuk efisiensi teknik.

Fleming E et al. 2010

Menentukan dan mengestimasi hubungan

produksi mulai dari pemasukan ternak ke suatu usaha

penggemukan sampai pada tahap pada tahap

Multi-input multi-output stochastic input

-Perkembangan ternak di daerah tropis lebih jauh dari frontier dibandingkan dengan

perkembangan di daerah sedang. -Lokasi (iklim), bibit, skala usaha

(35)

dimana daging diproduksi.

Rakipova AN

et al. 2003

Untuk mengestimasi

efisiensi teknis dari kelompok yang dipilih dari peternak sapi potong di Louisiana, dan menentukan

karakteristik dari usaha sapi potong yang paling efisien secara teknis.

DEA -Rata-rata nilai TE adalah 0.92 dan yang paling rendah yaitu 0.36. 26 peternak memiliki nilai TE adalah 1. 15 produsen mempunyai nilai antara 0.90-0.99, dan 9 produsen nilainya antara 0.80-0.89. Hanya 6 peternak yang mempunyai nilai TE < 0.80.

-Umur yang lebih tua, yang lebih berpengalaman, Pendidikan yang tinggi dan waktu yang lebih banyak untuk off farm adalah yang lebih efisien.

Krasachat W. 2007 Mengukur dan menjelaskan efisiensi ekonomi dan komponennya yang berhubungan dengan usaha ternak penggemukan sapi potong di Thailand.

DEA Skala usaha, bibit, pakan (konsentrat) mempengaruhi inefisiensi ekonomi. Umur, pendidikan dan pengalaman, hijauan, jumlah kunjungan tidak berdampak terhadap efisiensi ekonomi.

Trestini S. 2006 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing peternakan sapi potong melalui analisis efisiensi teknik. Stochastic Frontier Production (SFP), MLE

-Berdasarkan outputnya, rata-rata TE 76.8%, yang berarti bahwa usaha ternak masih dapat meningkatkan outputnya sebesar 23.2% dengan penggunaan bundle input yang sama.

-Faktor-faktor seperti ukuran usaha, jenis ternak, dan pakan penting untuk menjelaskan inefisiensi ekonomi. Umur, pendidikan dan pengalaman, jumlah perkunjungan dan keterlibatan peternak dalam kelompok tidak signifikan berdampak terhadap efisiensi ekonomi.

Qushim B

et al. 2012

Mengukur efisiensi teknik dan skala usaha dari produksi pembibitan sapi di Southeastern U.S.

Stochastic Frontier Production (SFP), MLE

-Lahan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan input lainnya.

-Pendidikan produsen signifikan dan berhubungan positif dengan produksi.

-Produsen stocker menghasilkan output yang lebih besar.

-Skala pengembalian yang menurun.

(36)

Penelitian Hermawan et al. (2006) menggunakan metode yang berbeda dalam mengukur efisiensi teknis usaha ternak yaitu mengacu pada pendekatan Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Hasilnya, untuk peternak di

Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis. Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua kabupaten masih rendah (0.23-0.51) dan peranannya sebagai sumber pendapatan petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk Temanggung).

Selain studi efisiensi pada komoditi peternakan sapi potong seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat pula beberapa studi terdahulu pada sapi perah serta komoditi palawija dan tanaman pangan seperti jagung, kentang, singkong dan beras yang umumnya menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Studi tersebut antara lain : analisis efisiensi dan produktivitas dari produksi pertanian untuk suatu peralihan ekonomi yang dilakukan oleh Luik et al. (2011) menilai tingkat efisiensi dengan metode DEA menunjukkan bahwa pada sektor persusuan terdapat perubahan yang tidak signifikan dalam efisiensi teknik pada tahun 2001-2009. Pembagian dalam efisiensi hanya terjadi perubahan yang kecil. Bagian dari produsen dengan efisiensi yang tertinggi, lebih dari 95% dari maksimum, menurun pada tahun 2004 & 2007. Nilai dari indeks produktivitas Malmquist memperlihatkan pertumbuhan tertinggi dalam TFP di tahun 2004 ketika Estonia bergabung dengan Eropa bersatu. Kebanyakan tahun telah menunjukkan perubahan teknologi tertinggi dibandingkan dengan perubahan efisiensi teknik. Oleh karena itu, perubahan efisiensi teknik hanya sedikit mempengaruhi perubahan produktivitas.

Hadiana (2007) dalam penelitiannya mengenai dampak faktor eksternal kawasan terhadap efisiensi usaha ternak sapi perah (analisis berdasarkan fungsi biaya frontier) menemukan tiga variabel yang merupakan indikator faktor fisik yang secara statistik berpengaruh menekan inefisiensi biaya usaha ternak sapi perah adalah faktor ketinggian tempat, jarak atau jangkauan ke sumber hijauan, serta dukungan sumberdaya alam. Peternak yang berada di wilayah dataran tinggi mampu menekan iefisiensi, karena diduga berkaitan dengan faktor kesesuaian lingkungan fisik agroklimat yang berdampak pada produktivitas sapi perah, serta interaksi antara kondisi wilayah dengan ketersediaan sumber pakan hijauan yang pada akhirnya berdampak terhadap efisiensi sapi perah.

(37)

bahwa semakin tua maka usahataninya semakin tidak efisien baik secara teknik maupun alokatif.

Analisis efisiensi teknis dan ekonomis petani kentang di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat yang dilakukan oleh Tanjung (2003) menggunakan analisis stochastic frontier. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah stochastic frontier dan fungsi biaya dual. Analisis fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk mengukur efisiensi teknis dari sisi output dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis sedang analisis fungsi biaya dual digunakan untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dari sisi input. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara statistic terhadap efisiensi teknis petani baik positif maupun negatif pada tingkat kepercayaan 5 persen dan 10 persen adalah umur, pengalaman, keikutsertaan petani dalam kelompok tani dan jenis benih. Petani yang masuk anggota kelompok tani secara alokatif dan ekonomis lebih efisien disbanding petani bukan anggota kelompok tani.

Ogundari dan Ojo (2006) melakukan kajian efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi pada petani singkong di Nigeria dengan menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier dan fungsi biaya. Studi ini bertujuan memberikan masukan atau dimensi baru bagi petani dan pengambil kebijakan mengenai bagaimana meningkatkan produksi singkong melalui peningkatan efisiensi usahatani singkong dengan menggunakan sumberdaya dan teknologi yang ada. Hasilnya bahwa petani gurem dalam pertanian tradisional adalah efisien dalam perilaku alokasi sumberdaya jika mempertimbangkan ukuran relatif dari efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Secara keseluruhan Efisiensi Ekonomi (EE) dari usahatani singkong dapat ditingkatkan dan efisiensi alokatif merupakan masalah yang lebih serius dibandingkan efisiensi teknis karena efisiensi teknis nampak lebih signifikan dibandingkan efisiensi alokatif sebagai sumber pencapaian efisiensi ekonomi. Oleh karena itu dalam mengkaji produktivitas usahatani, bukan hanya melihat efisiensi teknis saja tetapi juga melihat efisiensi alokatif dan ekonomis. Implikasinya mengindikasikan bahwa dengan sumberdaya produksi yang ada, petani yang kecil atau petani miskin dengan sumberdaya terbatas, cukup efisien dalam menggunakan sumberdayanya.

Estimasi tingkat efisiensi teknis usahatani padi dan palawija (jagung dan kedele) di perairan sungai Brantas dengan pendekatan stochastic production frontier yang dilakukan Wahida (2005), menunjukkan bahwa luas lahan, bibit, pupuk dan tenaga kerja yang berpengaruh nyata dari sisi teknis akan tetapi jika dibandingkan dengan harga inputnya hanya luas lahan dan pupuk nitrogen (urea) yang efisien secara alokatif untuk tanaman padi sedangkan untuk komoditi jagung hanya luas lahan yang efisien secara teknis dan alokatif. Hasilnya secara umum petani di perairan sungai Brantas telah mampu mengkombinasikan dengan baik penggunaan input produksi dan kemampuan manajerial dalam berusahatani.

(38)

benih unggul yang lebih sesuai dengan kondisi agroklimat dan mekanisasi pertanian. Faktor umur, pendidikan, pengalaman dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak berpengaruh secara nyata terhadap inefisiensi teknis.

Pengukuran efisiensi teknis usahatani kentang di Inggris oleh Wilson et al. (1998) dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontir, menunjukkan bahwa mayoritas petani kentang di Inggris belum beroperasi maksimum secara teknis atau belum efisiens secara teknis dan memiliki keterbatasan untuk meningkatkan efisiensi teknis. Petani dengan pengalaman yang lebih sedikit, lahan yang relatif luas, mempunyai irigasi, menyimpan sebagian produksi mereka dan tidak menggunakan benih kentang dari produksi mereka menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Faktor manajemen sebagai variabel penjelas tidak semua dapat dijelaskan dari hasil penelitian ini. Variabel manajemen tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap variasi efisiensi teknis produksi kentang.

Bravo-Ureta and Pinheiro (1997) menemukan bahwa karakteristik petani yang dimasukkan dalam model produksi Cobb-Douglas dengan teknik maximum likelihood adalah kemitraan, status kepemilikan lahan, skala usaha, pendidikan, umur dan ukuran rumahtangga. Hasiln

Gambar

Gambaran Umum Rumahtangga Peternak Sapi Potong
Tabel 1.    Perkembangan Populasi Ternak Sapi Potong, Pemotongan Sapi, dan Jumlah Produksi Daging Sapi Domestik dan Impor, Tahun 2006-2011
Gambar 1. Efisiensi Teknik dan Alokatif berorientasi Input
Tabel 2. Perbandingan Antara Metode Parametrik dan Non Parametrik dalam Penghitungan Efisiensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menteri Koordinator (Menko) perekonomian Darmin Nasution memperkirakan peningkatan daya beli 40% masyarakat yang tergolong tingkat kesejahteraan terbawah terdongkrak oleh

Analisis petrofisika pada formasi reservoar Baturaja dilakukan untuk perhitungan kandungan serpih ( Shale Volume ), porositas, resistivitas air, saturasi air, dan permeabilitas

Penyakit­penyakit  paro  dahulu  ditandai  oleh  infeksi.  Dengan  majunya  sesuatu  negara  dan  pemakaian  antibiotika,  maka  penyakit­penyakit  infeksi  banyak 

Salah satu tradisi tersebut adalah kebiasaan para suku bugis yang akan meminta uang panaik (uang pesta) kepada pihak pria yang ingin menikahi anak perempuan

Mengenal SPLDV dalam berbagai bentuk dan variabel Menentukan penyelesaian SPLDV dengan Grafik, substitusi dan eleminasi Membuat dan menyelesaikan model matematika dari

Syarat khusus Tanda Kehormatan berupa Satyalancana Karya Satya adalah PNS yang telah bekerja dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Sistem informasi masuk keberbagai aspek kehidupan salah satunya adalah pembelajaran, Permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran anak adalah siswa lebih

Penelitian ini membahas mengenai minat muzakki membayar zakat di Desa Karangagung yang dipengaruhi variabel keimanan, pemahaman zakat, sosialisasi, pendidikan, pendapatan,