• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Air (AOAC 2006)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : Kadar air (%bb) =

Kadar air (%bk)

Dimana: bb = basis basah bk = basis kering

Kadar Abu (AOAC 2006)

Cawan porselen yang dipersiapkan untuk pengabuan dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalm cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar abu (%bb) = Kadar abu (%bk) =

Kadar Lemak(AOAC 2006)

Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam kertas saring. Kertas saring berisi contoh tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga kering.Kertas saring yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong tersebut kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu

16 lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

% 100 W W2 - W1 (%bb) Lemak Kadar  x Keterangan:

W : Bobot sampel (gram) W1: Bobot labu+ lemak (gram) W2: Bobot labu (gram)

Kadar Protein (AOAC 2006)

Sebanyak 0,1-0.25 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh didihkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi.

Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan persamaan :

% 100 contoh mg 14.007 x HCl N x blanko) HCl V - contoh HCl (V (%bb) N Kadar  x Fk x N % bb) % ( protein Kadar  Keterangan :

Fk : Faktor konversi (6.25 untuk tepung dan mi)

Kadar Karbohidrat (by difference)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan : Kadar karbohidrat = 100% - (% air + %abu + %protein + % lemak)

Serat Pangan Metode Multienzim (Asp et al. 1983)

Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat pH 6 dan diaduk hingga terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer yang berisi sampel. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100oC selama 15 menit sambil diaduk sesekali.

Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diturunkan sampai 1.5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya ditambahkan enzim pepsin sebanyak 100 mg ke

17 dalam sampel, lalu ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 40oC selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6.8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100mg ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup, diinkubasikan pada suhu 40oC selama 1 jam. Selanjutnya pH diatur sampai 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel tersebut kemudian disaring menggunakan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan dua kali pencucian dengan masing-masing 10 ml air destilata.

Residu (Serat pangan tidak larut)

Hasil yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton lalu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Selanjutnya didinginkan dalam desikator, lalu timabang. Setelah itu diabukan dalam tanur 500oC selama minimal 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya.

Filtrat (serat pangan larut)

Volume filtrate diatur dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60oC) dan diendapkan selam 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering, dicuci lagi dengan 2x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 %, dan 2 x 10 ml aseton, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya. Selanjutnya diabukan dalam tanur suhu 550oC selama 5 jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.

Blanko

Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara seperti pada prosedur untuk sampel, tetapi tanpa penambahan sampel.

Setelah mendapatkan berat sampel sebelum dan sesudah diabukan serta berat blanko, persamaan untuk menghitung sebagai berikut :

% Serat tak Larut (IDF) =

% Serat Larut (SDF) =

% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%) Keterangan :

D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (g)

Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997)

Pembuatan Larutan Luff Schoorl

Sebanyak 12.5 g CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 50 ml air destilata (larutan A). sebanyak 25 g asam sitrat dilarutkan dalam 25 ml air destilata (larutan B). Larutan C dibuat dengan melarutkan 194 g Na2CO3.10H2O dalam 150-200ml air mendidih. Larutan B kemudian dituang ke dalam

18 larutan C dan diaduk. Selanjutnya larutan A ditambahkan ke dalam campuran larutan B dan C. Setelah dingin, ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml.

Standarisasi larutan Na2S2O3 0.01 N

Larutan Na2S2O3 0.1 N dibuat dengan mencampurkan 12.5 g Na2S2O3.5H2O dan 0.15 g Na2CO3, kemudian ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml. standardisasi larutan Na2S2O3 0.1 N dilakukan dengan menimbang 140-150 mg KIO3 ke dalam Erlenmeyer 300 ml. kemudian larut kan dengan air destilata secukupnya dan tambahkan ± 2 mg KI. Tambahkan 10 ml HCl 2 N ke dalam larutan (titrasi harus segera dilakukan setelah penambahan HCl). Titrasi dilakukan dengan Na2S2O3 0.1 N yang akan distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Selanjutnya tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N dapat dihitung dengan persamaan :

Normalitas Na2S2O3=

Pengukuran Sampel

Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25 % dimasukkan ke dalam gelas piala pendingan balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan NaOH 45 %. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Selanjutnya tambakan 15 ml KI 20 % dan 25 ml H2SO4 26.5 %. Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata.

Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Volume Na2S2O3 yang digunakan = –

Kadar Gula (%) =

Kadar Pati (%) = Kadar gula x 0.9

Keterangan :

Vb = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel FP = Faktor pengenceran

Analisis Kadar Amilosa ( Apriyanto et al. 1989)

Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml., ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke

19 dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetan 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian tambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

Pengukuran Sampel

Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan air destilata hingga tanda tera dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. tambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar Amilosa (%)

20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

4.1.1 Penepungan Sorgum

Biji sorgum utuh pada awalnya disosoh menggunakan Satake Grain Testing Mill untuk menghilangkan kulit ari dari bijinya. Proses penyosohan dilakukan selama satu menit dengan feed sebanyak 100 gram (Marissa 2012). Proses penyosohan juga bertujuan untuk memisahkan kulit biji sorgum. Selain itu, Proses penyosohan sorgum juga dapat menurunkan kadar tanin sorgum. Kandungan tanin pada biji sorgum menurun setelah proses penyosohan. Begitu pula dengan protein yang ikut terbawa karena bagian endosperm yang dekat dengan aleuron juga ikut terkikis (Suarni 2004). Sorgum yang mempunyai testa atau kulit biji berwarna gelap (coklat) mengandung senyawa antigizi yaitu tanin. Tanin merupakan senyawa polifenolik, dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga menurunkan mutu dan daya cerna protein. Senyawa polifenolik juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan, terutama amilase dan tripsin (Despandhe dan Salunkhe 1982), Keberadaan tanin juga dapat menyebabkan rasa pahit pada produk olahan sorgum.

Biji sorgum sosoh kemudian digiling menjadi tepung sorgum mengunakan pin disc mill dengan ayakan 40 mesh. Sebelum proses penggilingan menjadi tepung sorgum, biji sorgum sosoh mengalami pengkondisian dengan menambahkan air pada biji sorgum. Pada tahap ini biji sorgum sosoh ditambahkan air sebanyak 10 %, 15 %, 20 %, dan 25 % dari berat sorgum. Air yang ditambahkan harus diaduk agar terdistribusi secara merata pada seluruh biji sorgum. Selanjutnya biji sorgum disimpan dalam kemasan alumunium selama 12 jam agar terjadi kesetimbangan kadar air pada biji sorgum.

Gambar 3. Grafik pengaruh jumlah air (%) terhadap rendemen tepung sorgum (%) Air yang ditambahkan pada biji sorgum dapat meningkatkan rendemen tepung sorgum secara signifikan (p<0.05). Hasil pengukuran pada Gambar 3 menunjukkan bahwa penambahan air sebanyak 25 % menghasilkan rendemen yang paling besar (79.60%). Rendemen pada tepung sorgum ini lebih tinggi jika dibandingkan rendemen maksimum pada tepung gandum (71.48%) yang telah mengalami pengkondisian dengan kadar air 12% selama 3 hari (Kweon et al. 2009). Air yag ditambahkan dapat melunakan endosperm biji sehingga pada saat digiling mudah hancur dan menghasilkan tepung yang lebih halus. Apabila air yang ditambahkan melebihi 25% maka air tidak akan meresap ke dalam biji sorgum dan menyebabkan kesulitan dalam proses penepungan.

28,65a 44,20b 54,60c 73,20d 79,60e 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0% 10% 15% 20% 25% R e n d e m e n 60 m e sh (% ) Penambahan Air

21

4.1.2 Karakterisasi Tepung Sorgum

4.1.2.1 Kadar Amilosa dan Amilopektin

Tabel 8. Kandungan amilosa dan amilopektin tepung sorgum

Sorgum Amilosa (%) Amilopektin (%)

Pahat 29.01 70.99

B100 35.00 65.00

Numbu 28.14 71.84

Genjah 21.18 78.82

Tabel 5. Menunjukkan perbandingan amilosa dan amilopektin pada tepung sorgum varietas Pahat, B100, Numbu, dan Genjah. Sorgum B100 memiliki kandungan amilosa yang paling tinggi (35.00%). Sementara sorgum Genjah yang merupakan satu-satunya sorgum cokelat dalam penelitian ini memiliki kandungan amilosa yang paling rendah (21.19%). Berdasarkan penelitian Boudries et al. (2009) sorgum putih memiliki kadar amilosa (27.10%) yang lebih tinggi dari sorgum merah (24.80%). Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pati sorgum Genjah memiliki kandungan amilosa (18.62%) yang lebih rendah dibandingkan pati sorgum Numbu (22.48%) (Marissa 2012). Kandungan amilosa dan amilopektin berpengaruh pada tekstur beras setelah ditanak. Beras yang mengandung amilosa yang tinggi akan menghasilkan nasi pera dan tekstur keras setelah dingin, sedangkan beras yang mengandung amilopektin yang tinggi akan menghasilkan nasi yang pulen dan tekstur yang lunak (Yusof et al. 2005).

4.1.2.2 Profil Gelatinisasi Pati

Viskositas puncak merupakan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Hasil pengukuran pada Tabel 6 menunjukkan bahwa tepung sorgum Genjah memiliki viskositas puncak yang lebih tinggi (3670.50 cP) dari tepung sorgum varietas lainnya. Sorgum Genjah merupakan biji sorgum berpigmen cokelat. Dalam penelitian Boudries et al. (2009), dilaporkan bahwa pati sorgum yang berpigmen menghasilkan viskositas puncak yang lebih tinggi. Selain itu, kandungan amilopektin juga berpengaruh terhadap viskositas puncak. Menurut Ratnayake et al. (2002), amilopektin merupakan komponen pati yang bertanggung jawab terhadap proses pengembangan granula sehingga pati dengan kadar amilopektin yang tinggi akan menghasilkan viskositas puncak yang tinggi pula. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa sorgum B100 yang memiliki kandungan amilopektin yang rendah (65.00%) menghasilkan viskositas puncak yang rendah (1437.50 cP). Sementara sorgum Genjah yang memiliki amilopektin yang tinggi (78.82%) menghasilkan viskositas puncak yang tinggi pula (3670.50 cP).

Viskositas breakdown menunjukkan stabilitas granula pati selama pemanasan dan pengadukan. Viskositas breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Tabel 10 menunjukkan viskositas breakdown pati sorgum varietas genjah lebih tinggi dari varietas lainnya. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pati sorgum Genjah memiliki viskositas breakdown yang lebih tinggi dari varietas Numbu (Marissa 2012). Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah

22 proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Viskositas akhir pati sorgum varietas Pahat lebih rendah dari varietas lainnya.

Viskositas setback adalah parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Winarno 2008). Sorgum genjah memilki viskositas setback yang paling tinggi dibandingkan sorgum varietas lainnya. Hal ini menunjukkan proses retrogadasi semakin kuat. Profil gelatinisasi pada tepung sorgum ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa viskositas setback lebih tinggi dibandingkan viskositas puncak pada sorgum Numbu (Marissa 2012). Namun, pati dari serealia lain seperti jagung dan umbi pada umumnya memiliki karakteristik sebaliknya. Pati garut memiliki viskositas setback (806 cP) yang jauh lebih rendah dibandingkan viskositas maksimumnya (2715 cP) (Faridah 2011).

Tabel 9. Profil gelatinisasi pada tepung sorgum

Pahat B100 Numbu Genjah

Viskositas puncak (cP) 1380.00 1437.50 2277.00 3670.50

Viskositas trough (cP) 1235.50 1329.50 1943.50 2038.00

Viskositas breakdown (cP) 144.50 105.00 333.50 1630.50

Viskositas akhir (cP) 2665.50 2933.50 3793.00 3966.50

Viskositas setback (cP) 1430.00 1604.00 1849.50 1928.50

Waktu puncak (menit) 10.84 10.96 10.10 8.13

Suhu gelatinisasi (°C) 86.58 88.58 85.70 75.48

Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana mulai terdeteksi adanya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati. Suhu gelatinisasi tepung sorgum dari empat varietas di atas berkisar antara 75-90°C. Kandungan amilosa dapat meningkatkan suhu puncak gelatinisasi. Sorgum B100 yang memiliki kandungan amilosa tinggi (35.00%) menyebabkan suhu gelatinisasinya tinggi (88.58°C). Sementara Kandungan amilosa yang rendah pada sorgum Genjah (21.19%) menyebabkana suhu gelatinisasinya juga rendah (75.48°C). Amilosa mampu mengadakan ikatan dengan sesama amilosa maupun dengan amilopektin membentuk konfigurasi yang sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan didalam granula sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar (Jane et al., 1999).

4.2 Penelitian Utama

4.2.1

Pembuatan Beras Analog

Proses pembuatan beras analog meliputi beberapa tahap, yaitu persiapan bahan, pencampuran, pengkondisian, ekstruksi, dan pengeringan. Persiapan bahan dilakukan dengan penimbangan semua bahan baku sesuai formula. Selanjutnya bahan kering dicampurkan dalam mixer selama 5 menit, kemudian campurkan air sedikit demi sedikit ke dalam mixer hingga 5 menit. Tahap pragelatinisasi dilakukan dengan memasukkan adonan ke dalam screw conveyor

23 pada suhu 85°C selama 1-5 menit. Hal ini bertujuan agar adonan tercampur merata dan mudah mengontrol karakteristik ekstrudat yang dihasilkan dari proses ekstruksi. Suhu dan waktu yang relatif singkat diharapkan dapat membuat pati dalam adonan mengalami gelatinisasi 30-70%. Jika pati mengalami proses pragelatinisasi <30%, maka karakteristik beras yang dihasilkan memiliki rehidrasi yang rendah. Namun jika proses pragelatinisasi pati >70%, maka sulit untuk mengontrol ukuran dan bentuk beras yang dihasilkan (Mishra et al. 2012). Tahap selanjutnya proses ekstruksi dengan memasukkan adonan ke dalam twin screw extruder pada suhu 85°C. Selama proses ekstruksi, adonan mengalami beberapa proses sekaligus, yaitu proses pengadukan, pencampuran, dan pemanasan. Penentuan suhu yang digunakan sesuai dengan suhu gelatinisasi bahan, yaitu tepung sorgum (75-90˚C), tepung jagung, pati jagung (70-73°C) (Coral et al. 2009), dan sagu aren (70-73°C) (Alam dkk.2009). Beras analog yang dihasilkan masih memiliki kadar air yang relatif tinggi. Maka dari itu dilakukan proses pengeringan untuk menurunkan kadar air beras analog sampai <14%. Kadar air yang rendah juga dapat meningkatkan umur simpan produk. Beras analog yang dihasilkan dari keempat formulasi dapat dilihat pada Gambar 4

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Beras analog F1 (a), F2 (b), F3 (c), dan F4(d)

Beras analog yang dihasilkan dari keempat formula berbentuk lonjong seperti butiran beras. Namun, beras yang dihasilkan cenderung berwarna kuning yang disebabkan pigmen beta karoten dari tepung jagung. Total beta karoten pada tepung jagung adalah 40 mg/kg (Luterotti 2010). Beras analog F4 (d) berwarna lebih gelap dibandingkan beras analog lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sorgum Genjah yang berwarna cokelat, sehingga menghasilkan beras yang cenderung berwarna lebih gelap. Beras analog F4 (d) berwarna lebih gelap dibandingkan beras analog lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sorgum Genjah yang berwarna cokelat, sehingga menghasilkan beras yang cenderung berwarna lebih gelap. Sorgum cokelat memiliki kandungan fenol, termasuk tanin sebesar 0.85 mg/100mg pada bagian biji dan 3.79mg/100mg pada bagian kulit. Selain itu, kulit sorgum cokelat mengandung 18 mg eqivalen katekin/g (Awika et al. 2000).

24

4.2.2

Penentuan Formula Terbaik

Keempat formulasi beras analog yang sudah dibuat kemudian dilakukan uji organoleptik pada 70 panelis berdasarkan kesukaan (hedonik). Produk yang diujikan kepada panelis dalam dua bentuk, yaitu beras dan nasi. Uji organoleptik yang dilakukan ialah uji rating hedonik skala kategori yang diolah dengan menggunakan Analysis of Varience (ANOVA) dan jika berpengaruh perlakuan berpengaruh nyata pada beras dan nasi analog makaakan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui beda atau tidak pada taraf signifikasi 0.05.

a. Beras (overall)

Gambar 5. Grafik pengaruh varietas sorgum terhadap kesukaan pada beras analog (overall)

Perlakuan varietas sorgum berpengaruh nyata terhadap karakteristik beras analog secara keseluruhan (p<0.05). Beras F1 memiliki skor kesukaan tertinggi, tetapi tidak beda nyata beras F3 pada taraf signifikasi 0.05. sementara kedua beras tersebut berbeda nyata dengan beras F2 dan F4 pada taraf signifikasi 0.05. Beras analog F2 dan F4 cenderung tidak disukai konsumen. Hal ini disebabkan sorgum genjah berwarna cokelat sehingga beras analog F4 berwarna lebih gelap. Beras F2 yang berasal dari sorgum B100 kurang disukai karena memiliki kandungan amilosa yang cukup tinggi sehingga beras terasa lebih pera. Suhu ekstruder yang kurang mencapai suhu gelatinisasi tepung sorgum B100 juga dapat menyebabkan beras analog memiliki tekstur yang kurang kuat sehingga cenderung kurang disukai konsumen.

b. Nasi (overall)

Gambar 6. Grafik pengaruh varietas sorgum terhadap kesukaan pada nasi analog (overall)

Perlakuan varietas sorgum berpengaruh nyata terhadap karakteristik nasi analog secara keseluruhan (p<0.05). Gambar 6 menunjukkan nas ianalog F1, F2, dan F3 memiliki kesukaan yang

5.4571a 4.0571b 5.3143a 2.9429b 1 3 5 7 F1 F2 F3 F4 S ko r Kesu kaan Formula b 4.5143a 4.4286a 4.4571a 3.5714b 1 3 5 7 F1 F2 F3 F4 S ko r Kesu kaan Formula b

25 lebih tinggi dan ketiganya berbeda nyata dengan nasi dari beras analog F4 secara overall pada taraf signifikasi 0.05. Nasi analog berbahan baku sorgum Genjah memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah (3.5714). Hal ini disebabkan beras tersebut berwarna lebih gelap dan kandungan tanin yang lebih tinggi dari sorgum berwarna putih sehingga ada rasa sedikit pahit. Mayoritas konsumen di Indonesia menyukai nasi yang memiliki kandungan amilosa yang sedang dan tidak terlalu pera, terkecuali masyarakat di daerah Sumatra dan Sulawesi.

c. Nasi (warna)

Gambar 7. Grafik pengaruh varietas sorgum terhadap kesukaan pada nasi analog (Warna)

Varietas sorgum berpengaruh nyata terhadap warna beras analog (p<0.05). Nasi dari beras analog F1, F2, dan F3 memiliki skor kesukaan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan nasi dari beras analog F4 pada atribut warna pada taraf signifikasi 0.05. Nasi dari beras analog F4 memiliki skor kesukaan terkecil karena sorgum genjah berwarna cokelat sehingga menghasilkan nasi yang berwarna lebih gelap. Pada umumnya, konsumen lebih menyukai beras yang berwarna lebih terang.

d. Nasi (Aroma)

Varietas sorgum berpengaruh nyata terhadap aroma nasi beras analog. Semua formula nasi analog memiliki skor kesukaan 3-4, yang menunjukkan bahwa aroma keempat formula termasuk kategori agak tidak suka dan moderat. Nasi yang cenderung disukai konsumen adalah nasi yang beraroma pandan. Sementara nasi dari beras analog ini masih menghasilkan aroma tepung-tepungan dan sedikit tengik. Aroma yang tidak disukai konsumen ini berasal dari biji sorgum dan tepung lainnya yang mengandung serangga sehingga perlu adanya cara untuk menyimpan tepung dan biji-bijian yang terbebas dari serangga.

Gambar 8. Grafik pengaruh varietas sorgum terhadap kesukaan pada nasi analog (Aroma) 4.4571a 4.4a 4.4857a 2.2571b 1 3 5 7 F1 F2 F3 F4 S ko r Kesu kaan Formula 3.4714b 4.0143 a 3.5571b 3.2286b 1 3 5 7 F1 F2 F3 F4 S ko r Kesu kaan Formula

26

e. Nasi (Rasa)

Varietas sorgum berpengaruh nyata terhadap rasa nasi analog (p<0.05). Nasi dari beras analog F1 dan F3 memiliki skor kesukaan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan nasi dari beras analog F2 dan F4 pada atribut rasa pada taraf signifikasi 0.05. Beras analog F4 memiliki skor kesukaan terkecil karena kandungan tanin yang lebih tinggi dari sorgum berwarna putih. Tanin dapat menyebabkan rasa pahit pada nasi analog sehingga nasi ini kurang disukai konsumen. Nasi dari beras analog F2 kurang disukai karena memiliki kandungan amilosa yang tinggi sehingga

Dokumen terkait