• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komparasi Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid Tentang Sistem Penjualan Langsung Berjenjag

FATWA AL-ISLAM AS-SUAL WA AL-JAWAB TENTANG PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH

2. Analisis Komparasi Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid Tentang Sistem Penjualan Langsung Berjenjag

Syariah

Segala bentuk dalam aktifitas perekonomian pada dasarnya adalah dibolehkan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah fiqih:

“hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan akan keharamannya”.1

Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dengan syarat anggota wajib membayar ujrah objek akad yang dijelaskakn dalam fatwa No 83DSN/MUI/VI/2012 dapat dikategorikan sebagai akad jual beli, sehingga dalam prakteknya anggota diwajibkan membayar objek akad. Penyetaraan aktifitas penjualan langsung berjenjang syariah tersebut dapat diaktakan sesuai dengan

1

Ahmad ibn Syaikh Muhammad Ar-Razaq, Syarah Al-Qawa’id Al-fiqhiyyah, (Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H/ 1989 M), h. 381. Juz 1.

prinsip syariat apabila semua syarat-syarat dalam muamalat itu terpenuhi, tidak adanya unsur maisir, gharar maupun riba.2

Selain fatwa tersebut di atas, fatwa dari Syaikh Shalih Al-Munajjid tentang persyaratan dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dijelaskan bahwa anggota tidak disyaratkan membeli objek akad maupun memberikan sejumlah uang untuk menjadi anggota, karena dalam hal ini Syaikh Shalih Al-Munajjid meyetarakan aktifitas dalam sistem penjualan langsung berjenjang ke dalam akad wakalah (perwakilan yang dilakukan dalam aktifitas jual beli), sehingga tidak ada pembayaran apapun untuk mensahkan keanggotaan. Karena konsep penjualan berjenjang yang ditandai dengan banyaknya anggota penyalur atau distributor dalam suatu jaringannya, maka apabila diberlakukan iuran keanggotaan dapat dikatakan bahwa perkara tersebut adalah satu pelanggaran dalam prisip ekonomi Islam khususnya dalam prinsip wakalah, karena kedudukan anggota yaitu sebagai wakil bukan sebagai pembeli.

Pendapat pertama yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al-Munajjid yang juga mengutip pendapat Syaikh Islam Ibn Taimiyah menyatakan bahwa tidak ada perwakilan atas perwakilan3 ( ), artinya seorang wakil tidak

dapat mewakilkan kepada yang lain dalam satu pekerjaan yang sama. Selain mengutip pendapat tersebut, Syaikh Shalih Al-Munajjid juga mengutip pendapat Shalih Al-Athrom yang menjelaskan bahwa diperbolehkannya perwakilan atas

2

Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB.

3

Al-Imam Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim ibn Taimiyah, Al-Fatawa Al-Kubra, (Damaskus: Daar Al-Kitab), Juz, 61408 H/ 1987M, h. 404. Lihat, Maktabah Syamilah V.2.

lain.

Dapat disimpulkan bahwa Syaikh Shalih Al-Munajjid lebih cenderung menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah berdasarkan pendapat yang kedua yang dijelaskan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom.

Isi fatwa yang dikeuarkan oleh Syaik Shalih al-Munajjid dinilai kaku dan terkesan mempersempit ruang gerak berpikir logis. Karena pemberdayaan akal dibatasi dan difungsikan hanya sekedar mengikuti, maka produk pemikiran yang dihasilkan cenderung mengikat.

Sementara lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, dinilai terlalu berani dan bahkan dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut lembaga tersebut kegiatan penjualan langsung berjenjang termasuk kedalam kategori jual beli dengan menggunakan akad ijarah maushufah fi dzimmah4 dalam hal anggota memperoleh objek akad, dan akad ju’alah dalam rangka penjualan langsung berjenjang. Akad ini tepat digunakan untuk penjualan berupa jasa (perjalanan haji dan umrah) termasuk aset tidak berwujud namun manfaatnya bisa digunakan atau dirasakan. Hal ini sesuai dengan esensi dari Akad Ijarah itu sendiri, yaitu Ba'i Al-Manaafi'/Jual Beli Manfaat. Kemudian manfaat barang yang akan digunakan atau dirasakan pun tidak ada pada saat akad ijarah dilaksanakan,

4

ljarah Maushufah fi al-Dzimmah adalah ijarah atas jasa (mu 'jar) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat, kuantitas dan kualitasnya; lihat Fatwa No

keberangkatan perjalanan umroh atau Maushufah fi al-Dzimmah).

Terkait dalil yang digunakan dalam kedua fatwa tersebut, lembaga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memang cukup luas, mulai dari

Al-Qur’an, Sunnah dan juga Qaul Ulama. Dalam hal isi fatwa DSN MUI mewajibkan

musta’jir untuk membayar ujrah akad karena DSN MUI menyamakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad jual beli, oleh karena itu tidak ada salahnya anggota diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaannya, sedangkan Syaikh Shalih al-Munajjid melarang adanya pembayaran atau penyerahan sejumlah uang untuk mensahkan keanggotaan, karena Syaik Shalih al-Munajjid lebih cenderung menyetarakan aktifitas penjualan langsung berjenjang dengan akad wakalah. Sebagaimana dalam fatwanya Syaik Shalih al-Munajjid memberikan dua pendapat terkait akad wakalah yang aplikasikan dalam sistem penjualan langsung berjenjang, pendapat pertama yaitu pendapat dari ibnu taimiyah yang melarang adanya perwakilan atas perwakilan, sedangkan menurut pendapat kedua yang dikemukakan oleh Abdurrahman bin Shalih Al-Athrom yang membolehkan perwakilan atas perwakilan dengan syarat mereka saling menegetahui satu sama lain antara orang-orang yang berakad dan mengetahui bentuk pekerjaan serta perusahaannya, apabila salah satu anggota tidak mengetahui anggota yang lain maka hukumnya dilarang perwakilan atas perwakilan tersebut.

Merujuk pada apa yang ditulis oleh DR. Ahmad Sudirman Abbas MA, Mengenai salah satu kaedah dalam penyelesaian Masail Fiqhiyah tentang

kontekstualis. Dalam hal ini isi fatwa dari Syaikh Sholih al-Munajjid cenderung berada dalam kelompok tekstualis yakni lebih bersandar pada ketentuan nash seusai dengan bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut di luar teks ayat tersebut, sehingga faktor-faktor lain tidak dijadikan perhatian oleh mufti ini.

Sedangkan lembaga fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) termasuk dalam kelompok kontekstualis yakni lebih berani dalam menginterpretasikan produk hukum nash, dalam hal ayat-ayat yang bersifat umum, dan cenderung mempertimbangkan kondisi kemanusiaan yang dijadikan sebagai subjek perhatian utama dalam rangka mencari jawaban dalam persoalan yang timbul.

Perbedaan sudut pandang kedua isi fatwa tersebut melahirkan penilaian yang kontroversi. Dalam hal cara penetapan fatwa yang dilakukan oeh individu dan kelompok menurut penulis, jika melihat produk ekonomi dan keuangan yang terus berkembang secara cepat ini, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam berfatwa. Pertama, dari sisi persyaratan bagi orang yang akan berfatwa dibidang ekonomi, tentunya pengetahuan tentang ilmu ekonomi menjadi salah satu persyaratannya. Kedua, secara teknis, demi mencapai idealisme dalam berfatwa, maka fatwa kolektif merupakan cara atau formulasi yang cukup efektif dalam perkembangan masalah-masalah kontemporer. Dengan alasan, permasalahan kotemporer yang cukup variatif dan komplikatif disebabkan oleh perkembangan gaya hidup manusia, sehingga hal tersebut termasuk kategori permasalahan kontemporer yang tidak cukup untuk dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Namun tidak menutup kemungkinan

komptensi dalam hal yang dijadikan permasalahan.

Mengambil pendapat dari Ma’ruf Amin bahwa tidak semua aktifitas

perekonomian yang didasarkan pada prinsip saling rela secara otomatis dianggap sah oleh ajaran islam. Prinsip saling rela ini harus sesuai dengan kaidah ajaran islam. Sehingga tetap dianggap tidak sah aktifitas pererkonomian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menyatakan saling rela terhadap yang dilarang oleh ajaran islam. Sebab saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (al-ridha maknun

li al-„aqdi wa laisa sababan li al-billi). Dalam hal ini, acuan dalam menentukan

halal dan haram dalam aktifitas perekonomian adalah dalil-dalil keagamaan (nushush syar’iyyah), bukan adanya saling rela. Bagaimanapun sikap saling rela tidak bisa menjadi alasan dibolehkannya katifitas perekonomian yang asalnya dilarang oleh syari’at.

Kontroversi dua pendapat yang memiliki argumen dan saling mengklaim kebenaran masing-masing, hendaknya dihadapi dengan sikap bijaksana tanpa menampakkan kecenderungan salah satu pihak. Kebijaksanaan itu akan tampak wujudnya apabila dalil ‘maslahat’ dari sisi ukhrawi dan atau duniawi

diseimbangkan.5

5

Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Bayu Kencana, 2003), h. 129.

59 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisis, dapat penulis simpulkan bahwa:

1. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah (PLBS)/Multi Level Marketing (MLM) berbasiskan syariah yaitu sistem penjualan barang atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota (mitra usaha) yang bekerja atas dasar imbalan (komisi dan/atau bonus) berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap, yang mendasarkan sistem operasionalnya pada prinsip-prinsip syariah dengan menghilangkan aspek syubhat yang berlandaskan kepada tauhid, akhlak dan hukum muamalat. 2. Sistem penjualan langsung berjenjang syariah (PLBS) dapat dikategorikan kedalam dua bentuk akad. Pertama, menurut isi fatwa Dewan Syariah Nasional, yaitu akad jual beli (termasuk kedalam salah satu akad tijarah). Dalam hal jual beli ini, sisitem penjualan langsung berjenjang syariah dengan syarat adanya registrasi pembayaran tanda keanggotaan dianggap sah karena ini adalaha akad jual beli sehingga anggota harus melakukan pembelian terhadap objek akad. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid, yaitu akad wakalah, sehingga semua jenis pembayaran maupun pembelian produk sebagai syarat keanggotaan itu dilarang, karena dalam prakteknya dapat dikatakan sebagai praktek perwakilan atas perwakilan. 3. Terkait perbadingan kedua fatwa tersebut ditandai dengan adanya perbedaan

membayar sejumlah uang untuk mendaftar, selain itu juga terdapat bentuk ijtihad yang berbeda dari kedua fatwa diantaranya yaitu bentuk ijtihad secara kolektif dan ijtihad secara individu.

B. Saran-Saran

1. Untuk masyarakat pada umumnya diharapkan agar lebih selektif dalam menjalankan aktifitas perekonomian, tidak hanya melihat pada sisi keuntungan secara finansial saja namun hendaknya juga berhati-hati agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya maupun sistemnya.

2. Untuk para praktisi diharapkan fawa ini menjadi salah satu rujukan agar dalam mengeluarkan fatwa hendaknya disesuaikan dengan kaidah-kaidah ushul dan prinsip-prinsip syariah dan juga hendaknya memperhatikan rambu-rambu atau metodologi dalam menetapkan fatwa yang juga melihat dari berbagai aspek khususnya bagi kemaslahatan umat.

59

Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, 1969.

Alma, Buchari, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami, Bandung: CV. Alfabeta, 2003.

Amin, Maruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Elsas Jakarta, Depok: 2008.

Ar-Razaq, Ahmad ibn Syaikh Muhammad, Syarah Al-Qawa’id Al-fiqhiyyah, Damaskus: Daar Al-Qalam, 1409 H/ 1989 M, Juz 1.

Ash-Shiddeqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974

As-Sajastani, Abu Daud Sulaiman ibn As’ats, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar Al-Kitab Al-‘Arabi, tt, Juz 3.

Badri, Muhammad Arifin bin, Sifat Perniagaan Nabi, Bogor: Darul Ilmi Publishing: 2012.

Castrawijaya, Cecep, Etika Bisnis MLM Syariah, Tangerang Selatan;LPSI, 2013.

Cholthier, Peter J, Multi Level Marketing A Practical Guide To Succesfulnetwork Selling, Meraih Uang Dengan Multi Level Marketing, Pedoman Praktis

Menuju Network Selling Yang Sukses, terjemahan T. Hermaya, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Echols, John M dan Sadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia

Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Fatah, Rohadi Abdul, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Gitosudarmo, Indriyo, Manajemen Pemasaran, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995.

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Hart, Norman A, Dkk. Terj. Anthony Than dan Agustinus Subekti, Kamus

http://mysharing.co/cermat-memilih-mlm-syariah. diakses pada 02 Juni 2015 pada 10.44 WIB

http://ustadzaris.com/sekilas-tentang-syaikh-muhammad-shalih-al-munajjid. diakses pada Sabtu, 06/06/2015 pada 19.44 WIB

http://www.apli.or.id/skema-piramida/, diakses pada: Minggu, 19 April 2015, 18:46 WIB.

http://www.islamqa.info, diakses pada 28 Februari 2015, pukul 10.32 WIB

http://www.voa-islam.com/islamia/tsaqofah/2010/12/06/12129/MLM-dalam pandangan-Islam/, diakses pada Minggu, 22 Maret 2015, pukul17.38 WIB.

Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993.

Kartajaya, Hermawan dan Sula, Muhammad Syakir, Syariah Marketing, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006.

Kolter, Philip, Manajemen Pemasaran, Edisi millenium I, Jakarta: Pehallindo, 2002.

Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah, Tangerang: Amal Actual, 2005.

Lathif, Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media Group, 2008.

Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga

Keuangan Syariah, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Roller, David, How To Make Big Money InMulti Level Marketing, Menjadi Kaya

DenganMulti Level Marketing, terjemahan waskito, Jakarta: PT.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, jilid III, Beirut :Daar Al-Fikr, 1984.

Sahrani, Sohari dan Abdullah, Su’fah, Fikih Muamalah, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Cet-11. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Supian dan Karman, M, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Rosda Karya, 2004.

Taimiyah, Al-Imam Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim ibn, Fatawa

Al-Kubra, Damaskus: Daar Al-Kitab, Juz 6, 1408 H/ 1987M.

Yahya, Hanif dan Fahrudin, Amir Khamzah, Fatwa-Fatwa Terkini 2, edisi Indonesia, Darul Haq: Jakarta, 2007