• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (Studi Komparatif Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2102 Dengan Fatwa Syaikh Sholih Al- Munajjid No 170594 Dalam Kitab fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (Studi Komparatif Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2102 Dengan Fatwa Syaikh Sholih Al- Munajjid No 170594 Dalam Kitab fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh: Ida Handayani NIM 11100043100024

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Fatwa Al-Slam As-Sual Wa Al-Jawab)

Kerjasama dalam aktifitas perekonomian sangat beragam bentuknya, salah satunya yaitu sistem Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) atau biasa disebut dengan Multi Level Marketing (MLM) sistem penjualan seperti ini bertujuan untuk mempercepat jalur pemasaran sehingga dapat mengurangi pengeluaran biaya untuk promosi ataupun iklan. Perkembangan bisnis MLM kini diramaikan pula dengan hadirnya MLM yang berbasis syariah.

Bagi kalangan muslim, mereka akan lebih cenderung memilih untuk melakukan kegiatan bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah Islam. Apalagi di tengah masih merebaknya kontroversi tentang bisnis ini. Oleh karena itu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan juga seorang ulama bernama Syaikh Shalih al-Munajjid menetapkan sebuah fatwa tentang penjualan langsung berjenjang yang berbasiskan syariah, terdapat perbedaan dalam cara menetapkan fatwa diantara keduanya.

Untuk itu, penulis mengangkat penelitian mengenai sistem penjualan langsung berjenjang syariah. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dan analisis yang digunakan adalah analisis data komparatif dengan cara membandingkan kedua fatwa terkait permasalahan ini. Dengan rumusan masalah untuk mengetahui konsep dan akad yang terdapat dalam sistem penjualan langsung berjenjang syariah serta mencari persamaan dan perbedaan antara kedua fatwa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang menggunakan teknik studi kepustakaan (library research).

Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan beberapa temuan, diantaranya adalah mengetahui bahwa dalam sisitem penjualan langsung berjenjang syariah terdapat dua pendapat, yang pertama DSN-MUI menyetarakan Penjualan langsung berjenjang dengan akad tijarah, sedangkan menurut Syaikh Shalih al-Munajjid menyetarakan dengan akad wakalah serta beberapa ketentuan di dalamnya.

Kata Kunci : Penjualan Langsung Berjenjang, PLBS, MLM, MLM Syariah.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA.

(6)

v

Mu, dan cinta perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada cinta-Mu”

(Do‟a Rasulullah)

Puji dan syukur tiada hentinya penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang

telah memberikan nikmat dan petunjuknya, juga memberikan kesabaran kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat

serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.

Alhamdulillahirabbil „âlamîn berkat rahmat dan karunia Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini, dan tentunya juga tidak

terlepas dari bantuan dan dukungan oleh banyak pihak. Tiada kata yang dapat

penulis ungkapkan kecuali ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. selaku ketua prodi PMH dan Ibu

Siti Hanna selaku Sektetaris Prodi PMH.

3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag. yang telah memberikan arahan

(7)

vi

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang telah

memebrikan ilmu yang sangant bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,

semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT.

6. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan utama dan staf karyawan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya

dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan materi skripsi dan

kelancaran administrasi.

7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Didi Supriyadi dan Umi

Nurjannah yang tiada hentinya untuk selalu mencurahkan doa serta

nasihatnya pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Serta adik-adik tercinta Indra, Indri dan Hafidz yang telah mendoakan dan

menjadi motivasi bagi penulis.

8. Kepada pengurus dan sahabat Bidik Misi 2010, terima kasih telah menjadi

bagian dari cerita penulis. Kebersamaan dan perjuangan kita adalah

pengalaman yang sangat berharga dan takkan pernah terlupakan.

9. Sahabat dan rekan PMH angkatan 2010, yang selalu memberikan

semangat dan dukungan kepada penulis. Semoga kesuksesan selalu

menyertai kita semua.

10.Rekan Qur’an Learning Center Bintaro dan seluruh pihak yang terkait

(8)

vii

Dengan selesainya karya tulis ini, besar harapan penulis semoga skripsi ini

dapat menambah pengetahuan dan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi para

pembaca umumnya.

Jakarta, 04 Juli 2015

(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR.. ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Pembatasan dan perumusan masalah ... 5

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 6

D. Studi review (kajian terdahulu) ... 7

E. Metode penelitian ... 8

F. Teknik penulisan skripsi ... 9

G. Sistematika penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM AKAD JUAL BELI DAN WAKALAH SERTA SISTEM PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH ... 11

A. Jual Beli ... 11

1) Pengertian Jual Beli... 11

2) Dasar Hukum Jual Beli ... 12

3) Syarat Dan Rukun Jual Beli ... 14

(10)

ix

3) Rukun dan syarat wakalah ... 20

C. Sistem penjualan langsung berjenjang 1) Pemasaran ... 22

2) Sistem penjualan langsung berjenjang ... 24

3) Konsep penjualan langsung berjenjnag ... 25

4) Kriteria penjualan langsung berjenjang syariah ... 26

5) Prinsip dan orientasi penjualan langsung berjenjang syariah ... 30

BAB III ISI FATWA DAN KEDUDUKAN FATWA ... 34

A. Isi fatwa ... 34

1) Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 ... 34

2) Fatwa Syaikkh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa al-Jawab ... 37

B. Kedudukan fatwa ... 43

1) Fatwa kolektif... 46

2) Fatwa individu ... 47

(11)

x

AS-SUAL WA AL-JAWAB ... 52

A. Perbandingan Antara Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab………. 52

B. Analisis Komparatif Fatwa No 83 DSN/MUI/VI/2012 dan Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 Dalam Kitab Fatwa Al-Islam As-Sual Wa Al-Jawab ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(12)

1

Bisnis secara literal dapat diartikan sebagai suatu lembaga yang

menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain.1 Secara

etimologis, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk

melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.2 Bisnis biasanya berkaitan

erat dengan kegiatan marketing pada perdagangan. Dalam hal perdagangan, para

ekonomi barat berpendapat bahwa prinsip ekonomi perdagangan adalah

pengorbanan sekecil-kecilnya dengan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Istilah bisnis sudah sangat familiar dalam masyarakat kita. Keidupan

manusia seakan tidak pernah lepas dari kata bisnis. Secara semantik kata ini

memiliki beberapa konotasi makna seperti usaha, perdagangan, perusahaan, tugas,

urusan, usaha dagang dan sebagainya. Secara teknis bisnis bisa dimaknai sebagai

semua aktifitas yang dilakukan seseorang dan organisasi yang memproduksi

barang dan jasa dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia

dengan mendapat imbalan pembayaran yang disebut dengan harga sering disebut

dengan bisnis.3

Berbicara bisnis dalam era globalisasi yang ditandai dengan persaingan

yang amat ketat, sangat relevan jika diingat nilai-nilai moral dan etika yang sering

kali diabaikan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat juga menjadi semakin

menyadari betapa pentingnya sektor bisnis bagi kemajuan ekonomi dan

perkembangan bangsa. Tetapi masyarakat juga semakin peka dan tanggap akan

1

Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami, (Bandung: CV. Alfabeta, 2003), h. 90.

2

Wikipedia, Bisnis. http://id.wikipedia.org/wiki/bisnis. diunduh pada 23 Desember 2014 pada 22.15 WIB

3

(13)

tidak etis. Sikap ini menarik, karena menunjukan bahwa masyarakat

mengharapkan suatu kegiatan bisnis yang semakin maju tetapi tetap etis, paling

tidak dengan mengindahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan

mengindahkan kepentingan dan kesejahteraan semua pihak. Para pelaku bisnis

juga semakin menyadari bahwa dalam persaingan bisnis yang semakin ramai serta

bangkitnya kesadaran masyarakat akan kegiatan bisnis yang baik, langkah kearah

sukses bisnis yang baik semakin ditentukan oleh berbagai faktor yang non

ekonomis menejerial. Salah satu faktor tersebut adalah aspek manusiawi, aspek

etis.4

Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan.

Disamping itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah, Islam tidak

menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi.

Namun demikian, Islam juga tidak menghendaki pemeluknya menjadi mesin

ekonomi yang melahirkan budaya materialisme. Untuk memenuhi kebutuhan

hidup yang beragam manusia tidak mungkin sendirian, ia harus bekerja sama

dengan orang lain, antara individu dengan individu lain dan antara produsen

dengan konsumen. Salah satu bentuk kerjasama yang dikembangkan dewasa ini

adalah sistem penjualan langsung berjenjang atau sering disebut Multi Level

Marketing (MLM).

Salah satu langkah yang ditempuh untuk meraih sukses di bidang bisnis

yaitu melalui sistem Multi Level Markeing (MLM) atau sistem penjualan langsung

brjenjang. Multi Level Markeing merupakan salah satu strategi atau cara

pemasaran dalam bisnis di era modern dengan melalui jaringan distribusi yang

4

(14)

sekaligus sebagai tenaga pemasaran, oleh karena itu Multi Level Marketing adalah

salah satu konsep penyaluran barang (produk dan jasa) yang memberi kesempatan

kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh

keuntungan dalam garis kemitraannya.5 Dengan kata lain, MLM merupakan

metode pemasaran barang atau jasa dengan sistem penjulan langsung melalui

program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha

mendapatkan komisi dan bonus dari hasil penjualan barang atau jasa yang

dilakukan sendiri dan anggota jaringan dalam kelompoknya.6 Sistem duplikasi

pada sistem pemasaran MLM inilah yang menjadikan perkembangan pada bisnis

tersebut.

Sistem pemasaran dan penjualan dengan Multi Level Marketing semakin

marak. Banyak produk yang dipasarkan dengan sistem ini, bahkan sebagian

produk bisa diperoleh dengan harga yang lebih murah dengan menjadi member

pada lembaga yang menerapkan sistem ini sehingga masyarakat yang

membutuhkan suatu produk tersebut tertarik untuk menjadi anggotanya atau

dalam beberapa prakteknya, banyak point dan bonus yang dijanjikan bagi para

anggota sehingga mereka bersemangat memasarkan produk tersebut untuk

mengejar poin dan bonus tersebut dan terkadang ada yang berniat gabung demi

mendapatkan bonus, bukan karena butuh kepada produk yang dijual.7

Akhir-akhir ini, perkembangan bisnis MLM diramaikan pula dengan

hadirnya MLM berbasis syariah. Keberadaan MLM syariah di tanah air menjadi

5

Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah. h. 7.

6

Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah, (Tangerang: Amal Actual, 2005), h.17.

7

(15)

muslim. Bagi kalangan muslim puritan, mereka akan lebih cenderung memilih

untuk melakukan kegiatan bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah

Islam. Apalagi di tengah masih merebaknya kontroversi tentang bisnis ini.8

Beberapa perusahaan MLM bahkan telah memberikan perusahaannya

dengan label syariah. Oleh karena banyaknya perusahaan MLM yang berkembang,

maka Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan

fatwa terkait MLM tersebut, yang tertera dalam fatwa No 75/DSN MUI/VI/2009

tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dan dijelaskan

secara khusus dalam fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan

Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) jasa perjalanan umrah. Selain dari fatwa

DSN MUI tersebut, terdapat pula fatwa yang menjelaskan tentang MLM yang

berbasis syariah yaitu terdapat dalam fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab

(Tanya Jawab Soal Islam) No 170594 yang dijelaskan oleh Syaikh Sholih Al

Munajjid9. Kedua fatwa tersebut sama-sama memberikan penjelasan tentang

kriteria MLM yang berbasis syariah. Namun, yang membedakan isi kedua fatwa

tersebut yaitu pada persyaratan anggota MLM. Fatwa DSN-MUI mensyaratkan

harus membayar sejumlah uang atau membayar objek akad untuk menjadi

anggota MLM, hal ini tertera dalam ketentuan khusus (bagi musta’jir) fatwa terkait yang terdapat pada poin 1.b, sub poin c “anggota wajib membayar harga

(ujrah) objek akad”. Sedangkan dalam fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab No

170594 yang dijelaskan oleh Syaikh Sholih Al Munajjid, tidak disyaratkan untuk

membayar sejumlah uang maupun membayar objek akad untuk menjadi anggota.

8

Kuswara, Mengenal MLM Syari’ah,h. 19.

9

(16)

tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul Sistem Penjualan Langsung

Berjenjang Syariah (Studi Komparatif Fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 Dengan

Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual

Wa Al-Jawab).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas, agar pembahasan lebih terfokus

sesuai dengan judul skripsi yang penulis kemukakan maka penulis memberikan

batasan masalah mengenai Pejualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) atau

MLM syariah terkait dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI) dan fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab No 170594 yang

dikemukakan oleh Syaikh Sholih Al-Munajjid. Hal ini diharapkan agar

identifikasi masalah tidak menyimpang dari pokok bahasan.

Adapun perumusan yang dimaksud oleh penulis dalam skripsi adalah :

1. Bagaimana konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)

menurut fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dan dalam fatwa Syaikh Shalih

Al-Munajjid ?

2. Bagaimana pandangan lembaga fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis

ulama Indonesia dan fatwa Syaikh Shalih al-Munajjid No 170594 dalam

kitab fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab terhadap akad dalam sistem

Penjualan Langsung Berjenjang Syariah?

3. Bagaimana perbandingan antara fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012 dengan

(17)

1. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,

maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk menjelaskan konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah

(PLBS) yang terdapat dalam fatwa No 83DSN/MUI/VI/2012 dan

fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid.

b. Untuk menjelaskan pandangan lembaga fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Syaikh Shalih al-Munajjid No

170594 dalam kitab fatwa Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab

terhadap akad dalam sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.

c. Untuk membandingkan sisi persamaan dan perbedaan antara fatwa No

83DSN/MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penulisan skripsi ini secara akademis dan secara praktis

adalah:

a. Secara Akademis

Manfaat penulisan skripsi ini secara akademis yaitu untuk memberikan

kontribusi akademis serta menambah khasanah keilmuan khususnya di

bidang penjualan langsung berjenjang syariah.

b. Secara Praktis

Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis yaitu untuk memberikan

rujukan dalam perumusan produk ekonomi syariah khususnya dibidang

(18)

1. Sistem Pemasaran Haji dan Umrah PT. Arminareka Perdana, ditulis oleh

Handy Indra Dermawan mahsiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FDK,

Menejemen Dakwah tahun 2013. Dalam pembahasan skripsinya Handy

Indra Dermawan menyimpulkan bahwa Sistem pemasaran perusahaan ini

berdasarkan tahapan-tahapan pemasaran yakni pada bagian segmentasi

pasar hanya menggunakan 2 variabel saja, yaitu berdasarkan jenis kelamin

dan penyebaran kantor perwakilan di berbagai daerah di Indonesia, lalu

berdasarkan unsur-unsur pemasaran dimana pada bagian promosi,

perusahaan ini menngunakan sistem referensi mudharabah yang lain dari

travel-travel yang ada di Indonesia

2. Analisis Pemasaran Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Pada PT.

Arminareka Perdana, ditulis oleh Ibnu Rijal Silmi mahsiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, FDK, Menejemen Dakwah tahun 2013. Dalam

penelitiannya Ibnu Rijal Silmi menyimpulkan bahwa adanya kesesuaian

pemasaran yang dilakukan perusahaan sesuai ketentuan dalam fatwa

DSN-MUI No 83/DSN-DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang

Syariah jasa perjalanan umrah yang ditandai dengan akad yang dilakukan

yakni jual beli jasa, adanya ujrah bagi jamaah yang berhasil merekrut

jamaah lainnya dan juga tidak memberikan iming-iming imbalan yang

besar bila jamaah tidak menjalankan hak usaha kemitraannya. Selain itu,

juga adanya ketidak sesuaian operasional yang dibuktikan dengan adanya

beberapa agen yang tidak memberikan informasi adanya solusi bagi

jamaah yang kurang mampu dan hanya mementingkan sisi perekrutannya

(19)

diatas mereka lebih menitikberatkan penelitiannya pada sisitem pemasaran

dalam rangka meningkatkan jumlah jamaah. Sedangkan dalam skripsi ini

penulis berusaha menguraikan serta menjelaskan akad-akad yang terkandung

dalam konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) yang

dikeluarkan oleh Dewan Syaiah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Syaikh

Shalih Al-Munajjid.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis untuk sampai pada rumusan yang

tepat dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif10. Metode

penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah

meted atau cara yang dipergunkan di dalam penelitian hukum yang dilakukan.

2. Sumber data

a. Sumber data primer, yakni fatwa DSN-MUI No 83/DSN-MUI/VII/2012

dan fatwa Syaikh Sholih Al-Munajjid dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual

wa Al-Jawab No 170594.

b. Data Sekunder, yakni buku-buku terkait dengan penulisan skripsi ini

disertai wawancara dengan pakar terkait pembahasan skripsi.

c. Data Tersier, yakni berupa artikel, koran, jurnal, kamus dan ensiklopedia

yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(20)

Dalam teknik pengumpulan data penulisan akan menggunakan teknik studi

kepustakaan/studi dokumen (documentary study), yakni menelusuri buku-buku

dan literatur yang terkait dengan permasalahan, baik yang berkaitan dengan

peraturan dalam konteks keislaman maupun pandangan para pakar hukum

Islam.

4. Teknik Analisis Data

Analisis yang dilakukan adalah analisis data komparatif.11 Analisis

komparatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara kedua fatwa

yang mengkaji tentang permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, dalam hal

ini yaitu DSN-MUI No 83/DSN-MUI/VI/2012 dan fatwa Syaikh Sholih

Al-Munajjid No 170594 dalam kitab Fatwa Al-Islam As-Sual wa Al-Jawab.

F. Teknik Penulisan Skripsi

Pada setiap tulisan atau karangan ilmiah, terdapat suatu hal yang penting

sebagai pedoman atau sistem rujukan dalam dasar tulisan ilmiah. Metode

penulisan penelitian (teknik penulisan) ini mengacu kepada Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas

Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2012. Adapun terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an merujuk kepada Al

-Qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departement Agama Republik

Indonesia Tahun 2009, dengan pengecualian sebagai berikut:

11

Penelitian komparatif dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum yang bersifat deskriptif dan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan

hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu. Lihat, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian

(21)

hal ini untuk menghormati bahwa ayat Al-Qur’an adalah kitab suci umat

Islam yang harus dimuliakan.

2. Terjemahan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist diketik dalam satu spasi,

baik yang kurang maupun yang lebih dari enam baris, serta disebutkan surat

dan nomor ayatnya pada akhir ayat dengan mencantumkan footnote.

G. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,

dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk

memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam

penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh.

Lebih jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai

berikut:

Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan tinjauan teoritis mengenai akad jual beli dan wakalah

serta sistem penjualan langsung berjenjang.

Bab III membahas tentang isi fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 dan fatwa

Syaikh Shalih Al Munajjid No 170594 serta kedudukan fatwa.

Bab IV membahas sisi persamaan dan peredaan kedua fatwa serta analisis

komparasi fatwa No 83/DSN-MUI/VI/2012 dengan fatwa Syaikh Shalih Al

Munajjid No 170594.

Bab V penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan

(22)

11

SISTEM PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG

A. Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam istilah fiqih secara etimologi bisa disebut dengan al-bai‟, al-Tijarah dan al-Mubadalah1 yang berarti menjual, mengganti, dan menukar

sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba‟ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira‟ (beli).2 Dengan demikian, kata al-bai‟ (jual) dan asy-syira‟ (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama.3

Secara terminologi yang dimaksud dengan jual beli yaitu menukar barang

dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan dengan jalan

melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling

merelakan.4

Dapat dipahami bahwa dalam transaksi jual beli ada dua belah pihak

yang terlibat, transaksi terjadi pada benda atau harta yang membawa pada

kemaslahatan bagi kedua belah pihak, harta yang diperjualbelikan itu halal, dan

kedua belah pihak mempunyai hak atas kepemilikannya untuk selamanya. Selain

itu, inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang

1

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 67.

2

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 111.

3

Supian dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 123.

4

(23)

mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak. Pihak yang satu

menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian

atau ketentuan yang telah dibenarkan dan disepakati secara syara‟ sesuai dengan ketetapan hukum. Maksudnya ialah memenuhi persyaratan, rukun-rukun, dan

hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli, sehingga bila syarat-syarat dan

rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.5

Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedagkan sifat benda

tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat

dibenarkan penggunanya menurut syara‟. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat

dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada

perumpamaannya (mitsli) dan tidak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang

lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang

syara‟.6

2. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia

mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang jual beli, salah satunya

dalam surat Al-Baqarah ayat 275:













































































5 Sohari Sahrani dan Su’fah Abdullah,

Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit Ghalia

Indonesia, 2011), h. 66.

6

(24)























































Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba7 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.8 Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu9 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Dalam sebuah Hadits:

Artinya : “Dari sahabat Rafi‟ bin Khadij ia menuturkan: dikatakan (kepada

Rasulullah SAW), “Wahai Rasulullah! Penghasilan apakah yang paling

baik?” Beliau menjawab, “hasil pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim, dan di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Kaidah Fiqih

“hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan akan keharamannya”.11

7

Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

8

Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

9

Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

10

Ahmad No 16814, At-Thabrani No 4411, dan Al-Hakim No 2158. Lihat, Maktabah Syamilah, Versi 2.

11

Ahmad ibn Syaikh Muhammad Ar-Razaq, Syarah Al-Qawa‟id Al-fiqhiyyah,

(25)

Para ulama juga telah menyepakati bahwa perniagaan adalah pekerjaan yang

dibolehkan dan kesepakatan ini telah menjadi suatu bagian dari syari’at Islam

yang telah diketahui oleh setiap orang. Sebagai salah satu buktinya, setiap ulama

yang menuliskan kitab fiqih atau kitab hadits, mereka senantiasa mengkhususkan

satu bab untuk membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan perniagaan.

Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama menyatakan bahwa hukum asal

setiap perniagaan adalah boleh, selama tidak menyelisihi syari’at. Walau

demikian, syari’at Islam menggariskan beberapa prinsip dasar yang bertujuan

mengarahkan hubungan mereka tersebut, agar hubungan mereka berlangsung di

atas prinsip-prinsip yang luhur nan suci dan agar tidak terjadi ketimpangan serta

hanyut oleh bisikan hawa nafsu, sifat tamak, ambisi untuk menguasai dan bisikan

setan. Dan agar setiap pemilik hak mendapatkan haknya secara utuh tanpa

dikurangi sedikitpun.12

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual

beli itu dapat dikataan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli

terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual

beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari

pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang

menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha / tarâdhi) kedua belah

pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu

12

Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi, (Bogor: Darul Ilmi Publishing:

(26)

merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka

diperlukan indikasi yang menunjukan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi

yang menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual

menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melaui cara saling

memberikan barang dan harga barang (ta‟a¯thi).13

Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat,

yaitu:

a. Muta‟aqidain (dua orang yang berakad) b. Sighat (lafal ijab dan qabul)

c. Ada barang yang dibeli

d. Ada nilai tukar pengganti barang

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai

tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang

dikemukakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:

1. Syarat orang yang berakad

a. Berakal.

b. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang

tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual

sekaligus pembeli.

2. Syarat yang terkait dengan ijab qabul

a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

13

(27)

b. Qabul sesuai dengan ijab.

c. Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.

3. Syarat barang yang diperjualbelikan

a. Barang itu ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan

kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.

b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat utnuk manusia.

c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh

di jualbelikan.

d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati

bersama ketika transaksi berlangsug.

4. Syarat-syarat nilai tukar

a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti

pembayaran dengan cek dan atau kartu kredit.

c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang

(al-muqâyadhah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang

diharamkan syara’, seperti babi dan khamr, karena kedua jenis ini tidak

bernilai dalam syara’.

4. Bentuk-Bentuk Jual Beli

a. Jual beli yang shahih

Suatu jual beli dikaakan jual beli yang shahih apabila jual beli itu

(28)

orang lain, tidak tergantung pada khiyar lagi. Jual beli seperti ini dikatakan

sebagai jual beli yang shahih.

b. Jual beli yang bathil

Jual beli daikatakan bathil apabila salah satu atau seluruh rukunnya

tidak teerpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak

disyari’atkan, seperti jual beli barang yang diharamkan syara’.

Jenis-jenis jual beli yang bathil diantaranya:

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada.

2) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti

menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang

di udara.

3) Jual beli yang mengandug unsur penipuan.

4) Jual beli benda-benda najis, seperti babi, khamr, bangkai dan darah,

karena semuanya itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak

mengandung makna harta.

5) Jual beli al-„arbun yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjajian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang

diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan

setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang

dikembalikan, maka uang yang telah diberikan kepada penjual menjadi

hibah bagi penjual.

6) Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut. Karena merupakan hak

(29)

c. Jual beli yang fasid

1) Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.

2) Menjual barang yang ghaib dan tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli

berlangsung.

3) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya

untuk dipanen.

B. Wakalah

1. Pengertian Wakalah

Wakalah secara etimologi yang berarti al-hifdh pemeliharaan, al-Tafwidh

penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.14 Sedangkan secara

terminologi wakalah adalah pemberi kewenangan/kuasa kepada pihak lain tentang

apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi

pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.15 Perwakilan sah

dilakukan pada permasalahan jual beli, perkawinan, thalaq, memberi, dan

menggadai suatu barang yang berhubungan dengan muamalah.16

Definisi wakalah menurut beberapa pendapat, diantaranya: menurut Hashbi

Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa wakalah adalah “akad penyerahan kekuasaan,

yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam

bertindak (bertasharruf).”17 Sayyid Sabiq mengatakan bahwa wakalah adalah

14

Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

182.

15

Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 171. 16

Idris, Fiqh Menurut Madzhab Syafi‟i, (Jakarta: Widjaya, 1969), cet. I, h. 67.

17

(30)

pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh

diwakilkan.18

Para ulama memberikan definisi wakalah yang beragam, diantaranya yaitu:

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah, seseorang menempati diri

orang lain dalam tasharruf (pengelolaan). Sedangkan Ulama Malikiyah,

Syafi’iyah dan Hanabilah mendifinisikan bahwa wakalah adalah seseorang

menyerahkan sesuatu kepada orang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.19

2. Dasar Hukum wakalah

Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 19:













 













































































Artinya : dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. (QS. Al-Kahfi: 19)

18

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, (Beirut :Daar Al-Fikr, 1984), h. 72. 19

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga

(31)

Hadits Nabi

Artinya : Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq." (HR. Abu Dawud)20

3. Rukun dan Syarat Wakalah

Adapun rukun dan syarat-syarat berwakil menurut madzhab Syafi’i dalam

buku muamalat karya Helmi Karim dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Muwakil, orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang

diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya, disyaratkan:

1) Harus seorang pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuai yang ia

wakilkan.

2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni

dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, seperti mewakilkan untuk

menerima hibah, menerima sedekah dan lain sebagainya.

b. Wakil, disyaratkan bahwa wakil sah melakukan apa yang diwakilkan

kepadanya, tak ubahnya orang yang berwakil pula, disyaratkan:

1) Cakap hukum

2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya

3) Wakil adalah orang yang diberi amanat

20Abu Daud Sulaiman ibn As’ats As

(32)

c. Muwakil fiih, sesuatu yang diwakilkan, disyaratkan:

1) Menerima penggantian, artinya boleh diwakilkan kepada orang lain dalam

pengerjaannya.

2) Dimiliki oleh orang yang berwakil itu

3) Diketahui dengan jelas

d. Sighat, berarti lafal wakil yaitu ucapan dari orang yang berwakil yang

menyatakan bahwa ia rela berwakil.21

Dapat penulis simpulkan bahwa wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi,

tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang

menyebabkan wakalah itu batal dan berakhir. Pertama, ketika salah satu pihak

yang berwakalah itu wafat atau gila. Kedua, apabila maksud yang terkandung

dalam wakalah itu sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari

pekerjaan tersebut. Ketiga, diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak

yang menerima kuasa dan berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak

pemberi kuasa atas sesuatu obyek yang dikuasakan.22

Adapun berakhirnya akad wakalah yaitu karena adanya pelanggaran aturan

dalam berwakalah, dalam berwakalah contohnya dalam hal agen penjual sebagai

wakil penjual merangkap sebagai pembeli dalam transaksi yang sama/ dalam

waktu yang bersamaan, kedudukan agen sebagai wakil gugur, selanjutnya agen

berkedudukan sebagai pembeli.23

21

Helmi Karim, , Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1993), h. 445. 22

Helmi Karim, , Fiqh Muamalah, h. 20.

23

(33)

C. Pemasaran dan Sistem Sistem Penjualan Langsung Berjenjang 1. Pemasaran

Menurut Indriyo, pemasaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang

mengusahakan produk yang dipasarkan itu dapat diterima dan disenangi oleh

pasar.24 Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Philip Kolter yang menyatakan

bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan

kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan

menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang

bernilai dengan pihak lain.25

Menurut American Marketing Association dalam Bukhari Alma,

pemasaran diartikan sebagai proses merencanakan konsepsi, harga, promosi

dan distribusi ide, menciptakan peluang yang memuaskan individu dan sesuai

dengan tujuan organisasi.26 Pengertian ini hampir sama dengan kegiatan

distribusi, sehingga belum menunjukan asas-asas pemasaran, terutama dalam

menentukan barang atau jasa yang akan dihasilkan.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran baik

dari pengertian sempit maupun luas secara keseluruhan memiliki tujuan yang

sama yaitu membuat pasar/konsumen tetap loyal terhadap produk perusahaan

24

Indriyo Gitosudarmo, Manajemen Pemasaran (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1995),

h.1.

25

Philip Kolter, Manajemen Pemasaran, Edisi millenium I, (Jakarta: Pehallindo, 2002), h. 9.

26

(34)

dalam jangka waktu panjang agar tercipta suatu siklus hubungan yang kontinyu

dan harmonis antara perusahaan dan pansa pasarnya.27

2. Sistem Penjualan Langsung Berjenjang/Multi Level Marketing

Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) atau sering disebut Multi Level

Marketing (MLM) adalah salah satu cabang dari Direct Selling28 (DS).

Penjualan langsung berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui

jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada

sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.29

Secara bahasa (etimologi), Multi Level Marketing berasal dari bahasa

Inggris yang merupakan penggalan dari kata “multilevel” dan “marketing”. Dalam kamus Inggris-Indonesia yang disusun oleh John M.Echols, multilevel

berati bersusun-susun atau bertingkat-tingkat30 dan marketing berarti

pemasaran, perdagangan atau belanja.31

Secara istilah (terminologi) menurut Peter J. Cholthier Multi Level

Marketing adalah suatu cara atau metode menjual barang secara langsung

kepada pelanggan melalui jaringan yang dikembangkan oleh para distributor

lepas yang memperkenalkan para distributor berikutnya, pendapatan dihasilkan

27

Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, (Tangerang Selatan: Sedaun

Publishing, 2013), h. 57

28

Penjualan produk atau jasa tanpa menggunakan kios atau toko eceran, distributor, jasa pialang, pemborong atau setiap bentuk perantara dagang lain. Lihat Norman A Hart, Dkk. Terj. Anthony Than dan Agustinus Subekti, Kamus Marketing, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h. 68.

29

Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Bandung: PT

Mizan Pustaka2006), h.139.

30

John M. Echols danHasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia

Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), Cet- 4.h. 33.

31

John M. Echols Dan HasanSadily, Kamus Inggris Indonesia: An Englis Indonesia

(35)

terdiri dari laba eceran dan laba grosir ditambah pembayaran-pembayaran

berdasarkan penjualan total kelompok yang dibentuk oleh sebuah distributor.32

David Roller mendefinisikan Multi Level Marketing adalah sistem

melalui mana sebuah induk perusahaan mendistribusikan barang atau jasanya

lewat suatu jaringan orang-orang bisnis yang independen, dan orang-orang

tersebut kemudian mensponsori orang lain lagi untuk membantu

mendistribusikan barang atau jasanya.33

Berbeda dengan bentuk penjualan lainnya, pada Multi Level Marketing

seorang distributor tidak hanya berusaha memasarkan dan menjual produk

kepada konsumen secara eceran, tapi juga mencari distributor untuk

memasarkan barang atau jasa tertentu kepada oran lain. Distributor pada Multi

Level Marketing melatih distributor dibawahnya untuk mencari dan melatih

orang lain. Mereka tidak hanya mendapatkan komisi penjualan, tetapi juga

mendapat bonus ketika distributor dalam kelompok penjualannya berhasil

menjual.34

Sistem ini memiiki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sistem

pemasaran lain, diantara ciri-ciri khusus terssebut adalah terdapatnya banyak

jenjang atau level, melakukan perekrutan anggota baru, penjualan produk,

terdapat sistem pelatihan, serta adanya komisi/bonus untuk tiap jenjangnya.

Dalam sistem ini, calon distributor semacam membeli hak untuk merekrut

32

Peter J. Cholthier, Multi Level Marketing A Practical Guide To Succesfulnetwork

Selling, MeraihUangDenganMulti Level Marketing, PedomanPraktisMenuju Network Selling Yang Sukses, terjemahan T. Hermaya, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet-4, h. 33.

33

David Roller, How To Make Big Money InMulti Level Marketing, Menjadi Kaya

DenganMulti Level Marketing, terjemahan waskito, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet-2, h. 3.

34

(36)

anggota baru, menjual produk dan mendapatkan kompensasi dari hasil

penjualan mereka sendiri maupun dari hasil penjualan anggota yang direkrut

(downline) di dalam organisasi jaringannya.35

3. Konsep Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)

Penjualan Langsung Berjenjang syariah (syariah direct selling, al-taswiq

al-syabaki, al-taswiq al-harami, al-taswiq al-thabaqi, atau atl-taswiq al-tijari)

atau dikenal dengan MLM syariah yaitu metode penjualan barang atau jasa

tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh anggota (mitra

usaha) yang bekerja atas dasar imbalan (komisi dan/atau bonus) berdasarkan

hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap, metode penjualan

barang atau jasa tesebut dijalankan berdasarkan akad dan prinsip syariah.36

Dengan demikian, sistem bisnis konvensional yang berkembang saat ini dicuci,

dimodifikasi, dan disesuaikan dengan syariah. Aspek-aspek haram dan syubhat

dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syariah yang berlandaskan

tauhid, akhlak dan hukum muamalah.37

Tidak mengherankan jika visi misi MLM konvensional akan berbeda total

dengan MLM syariah. Visi misi MLM syariah tentu saja tidak hanya fokus pada

keuntungan materi semata, tapi keuntungan dunia dan akhirat orang-orang

yang terlibat di dalamnya. Pelaku MLM syariah juga berbeda dalam hal

35

Kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, (Tangerang: Amal Actual, 2005), h.18.

36

Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah

37

(37)

motivasi dan niat, orientasi, produk, sistem pengolahan, pengawasan, dan

sebagainya.38

Dalam MLM syariah, misalnya ada yang disebut Dewan Pengawas

Syariah, sebuah lembaga yang memungkinkan untuk mengawasi pengelolaan

suatu usaha syariah. Lembaga ini secara tidak langsung berfungsi sebagai

internal audit and surveillance system untuk memfilter bila ada hal-hal yang

tidak sesuai dengan aturan agama Islam pada suatu usaha syariah.39

4. Kriteria MLM syariah

Pada prinsipnya, apakah suatu usaha MLM halal atau haram, tidak bisa

dipukul rata. Tidak ditentukan oleh masuk tidaknya perusahaan dengan konsep

penjualan langsung dalam keanggotaan APLI,40 juga tidak dimonopoli oleh

pengakuan sepihak sebagai perusahaan MLM syariah atau konvensional.

Melainkan tergantung sejauh mana usaha ini mempraktikan bisnisnya di

lapangan, lalu dikaji sesuai syariah atau tidak. Berikut ini adalah beberapa poin

panduan yang dapat kita gunakan untuk menilai apakah sebuah usaha MLM

sesuai syariah atau tidak, halal atau tidak.41

a. Business Plan

- Tidak menjanjikan kaya mendadak, atau menjanjikan untuk mendapatkan

uang dengan cepat dan mudah.

38

Kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, h. 86.

39

Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, h. 66.

40

Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), saat ini APLI adalah satu-satunya organisasi yang menaungi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri penjualan

langsung di indonesia, tergabung dalam World Federation of Direct Selling Association

(WFSDA). Lihat, kuswara, Mengenal MLM Syari‟ah, h. 87

41

(38)

- Tidak mengarahkan distributornya pada materialisme, atau gaya hidup

yang mendorong pada kemubadziran.

- Tidak ada unsur skema piramida42, dimana hanya yang berada pada

level-level puncak saja yang diuntungkan, sedangkan pada level-level-level-level bawah

mengalami kerugian.

- Biaya pendaftaran tidak terlalu tinggi, biaya pendaftaran dapat

diumpamakan sebagai ganti biaya starterkit atau kartu anggota yang

harganya relatif tidak terlalu mahal.

- Adanya transaparansi sistem, yaitu semua sistem yang berkaitan dapat

diketahui secara transparan dalam batas-batas tertntu. Berapa bonus dan

komisi yang didapat dijelaskan darimana diperolehnya sesuai aturan yang

ada.

- Bonus jelas nisbahnya sejak awal, bentuknya bisa berupa perjanjian

mengenai tata cara pembagian dan mekanisme penerimaan bonus setiap

distributor.

b. Produk

- Ada transaksi riil (delivery of good of services) atas barang atau jasa yang

diperjual belikan.

- Barang dan jasa diupayakan kebutuhan pokok, bukan barang mewah yang

mendorong pada konsumerisme dan pemborosan.

42

(39)

- Terdapat produk yang dijual, baik berupa jasa atau barang kebutuhan

pokok.

- Barang dan jasa yang diperjual belikan jelas kehalalannya, lebih baik lagi

jika dibuktikan dengan hasil penelitian dari pihak yang berwenng.

- Tidak ada excesive mark up (kenaikan biaya yang belebihan) atas harga

produk yang diperjual belikan di atas covering biaya promosi dan

marketing konvensional.

- Memiliki jaminan dikembalikan (buy back guarante), sebagai bagian dari

layanan kepada konsumen, sehingga konsumen dapat mengembalikan jika

barang yang terlanjur dibeli ternyata tidak berkualitas atau rusak.

- Lebih afdhal jika barang atau jasa yang dijual diproduksi oleh saudara

yang seiman.

c. Perusahaan

- Perusahaannya memiliki track record yang baik, bukan perusahaan

misterius yang menimbulkan kontroversi, atau punya hubungan dengan

misi agama non muslim.

- Sistem keuangannya bersinergi dalam sistem keuangan syariah. Mulai dari

permodalan, transaksi maupun kegiatan keuangan lainnya.

d. Support system

- Mengajarkan kejujuran dalam bisnis, tidak mengajarkan kebohongan atau

menutupi cela produk pada prospek atau mengelabuinya agar mengikuti

(40)

- Harus ada pergeseran paradigma tentang orientasi dan image sukses.

Sukses tidak diukur lewat dimilikinya sejumlah materi, tetapi ada yang

lebih dariitu, yaitu kesuksesan dalam hal intelektual, emosional, dan

spiritual.

e. Sistem pengawasan

- Adanya dewan pengawas syariah yang melakukan monitoring dan

pengawasan secara terus menerus baik atas kehalalan produk, adilnya

sistem pembagian bonus dan sistem, Islami-nya corporate culture yang

dibangun, dan orientasi sukses yang ditumbuhkan

- Dilakukannya finansial audit tahunan oleh pihak luar (akuntan publik)

yang dengannya diharapkan pengurus MLM syariah akan tertib laporan

dan anggota (member) bisa melihat jalannya perusahaan tepatnya

bergabung secara transaparan dari waktu ke waktu.

f. Bagian dari agent of development

- Diutamakan ada pengambilan barang dan jasa produksi pengusaha

menengah kecil dan koperasi sebagai wujud kepedulian pemberdayaan

usaha kecil.

- Semaksimal mungkin diutamakan produksi dari saudara seiman.

- Diupayakan mengutamakan produk buatan anak bangsa agar hemat devisa

(41)

5. PrinsipdanOrientasiMLM Syariah

a. Prinsip MLM Syariah

Seperti halnya unsur niat menjadi titik awal pelaksanaan bisnis yang

terdiri dari beberapa poin sebagaimana disebutkan di atas, MLM Islami juga

berpegang teguh pada prinsip-prinsip muamalah Islamiyah. Terdapat tiga

prinsip umum yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282.

(42)

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu‟amalahmu itu), kecuali jika

mu‟amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara

kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala

sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 282)

1) Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban merupakan konsep yang tidak asing

lagi di kalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu

berkaitan dengan konsep amanah. Bagi masyarakat muslim, persoalan

amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang khaliq mulai

dari alam kandungan. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di

(43)

fungsi kekhalifahannya. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau

menunaikan amanah.

2) Prinsip keadilan

Jika ditafsirkan lebih lanjut dari ayat 282 surat Al-Baqarah

tersebutmengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi.

Prinsip keadilan ini tidak saja meupakan nilai yang sangat penting

dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai

yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Hal ini bertarti

bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energi untuk

berbuat adil dalam setiap aspek kehidupan.

3) Prinsip kebenaran

Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan

prinsip keadilan.

b. Orientasi MLM Syariah

Dalam MLM syariah, orientasi bisnis yang dilakukan tidak

semata-mata bersifat duniawi atau hanya mendapatkan keuntungan yang bersifat

materi semata, tapi ada yang jauh lebih besar dari hal tersebut, yaitu

orientasi akhirat. Perusahaan MLM syariah adalah bisnis yang harus

berorientasi pada pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat bagi para

pelakunya.43

Selain berorientasi pada profit sebagaimana usaha bisnis MLM

lainnya, MLM Islami juga memiliki tujuan non materi yang berorientasi

43

(44)

memberikan kontribusi dalam mengangkat perekonomian masyarakat,

khususnya dalam hal memperluas jaringan lapangan kerja serta membantu

menghimpun produk-produk berkualitas milik anak bangsa dan membangun

wirausaha dikalangan generasi muda putus sekolah dengan

pelatihan-pelatihan yang diberikan MLM Islami untuk berwirausaha sehingga mereka

dapat menciptakan/membangun lapangan kerja bagi dirinya dan orang lain.

MLM Islami tidak melupakan tujuan ukhrowi sehingga faktor zakat dan

benefit lainnya non-materi seperti pertumbuhan, keberlangsungan dan

keberkahan juga menjadi ciri khas MLM Islami.44

44

Cecep Castrawijaya, Etika Bisnis MLM Syariah, (Tangerang Selatan: Sedaun

(45)

34

BAB III

ISI DAN KEDUDUKAN FATWA A. Isi Fatwa

1. Fatwa No 83/DSN/MUI/VI/2012

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan No

83/DSN/MUI/VI/2012 yang ditetapkan pada tanggal 06 Juni 2012/ 16 Rajab 1433

H, tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) –dalam hal ini objek

akad adalah jasa perjalanan umrah–. Alasan penulis memiliih fatwa ini karena isi

fatwa ini telah dikhususkan dari persyaratan akad hingga persyaratan bagi pelaku

akad. Latar belakang munculnya fatwa ini dikarenakan adanya persoalan di

masyarakat, banyak masyarakat kita yang menjadi korban praktik money game,

praktek MLM yang tidak sehat, praktek MLM yang berorientasi pada transaksi

illegal, transaksi yang tidak rill, tidak fair, dan di dalamnya ada unsur penipuan,

kebohongan, serta investasi palsu. Artinya, ada suatu keresahan di masyarakat.

Di sisi lain, keluarnya fatwa ini, dikarenakan secara kelembagaan memang ada

lembaga yang meminta fatwa tersebut. Karena fatwa itu sendiri artinya jawaban

atas pertanyaan dari perorangan, pemerintah maupun masyarakan pada

umumnya.1 Mereka meminta DSN MUI untuk bagaimana membangun suatu

sistem MLM yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.2

1

Wawancara pribadi dengan Prof. Hasanuddin AF, MA. Pada Kamis, 16 Oktober 2015, 08:21 WIB.

2

http://mysharing.co/cermat-memilih-mlm-syariah . diakses pada 02 Juni 2015 pada

(46)

Isi dari fatwa tersebut yaiu tentang ketentuan akad dalam sistem Penjualan

Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dengan mengatur seluruh bagian baik dari

segi akad maupun syarat bagi pelaku akad. Dalam hal ini penulis lebih menyoroti

isi fatwa tentang ketentuan khusus mengenai anggota yang tercantum dalam poin

C fatwa terkait yang berbunyi “anggota wajib membayar harga (ujrah) objek

akad”.

Berdasarkan firman Allah SWT. dalam kitab-Nya:















Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu3 Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)



Artinya: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk b

Referensi

Dokumen terkait

Dalam ketentuan hukum fatwa DSN MUI tersebut dijelaskan bahwa tidak boleh adanya komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara regular tanpa melakukan pembinaan

7) Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk jasa

Penjual dan pembeli ( aqidain ) Yang dimaksud dengan aqidain adalah orang yang mengadakan akad (transaksi) di sini dapat berperan sebagai penjual dan pembeli..

Praktik yang sesuai dengan fatwa DSN-MUI No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily yaitu biaya penyimpanan dan pemeliharaan marhun dapat ditentukan berdasarkan

64 www.google.co.id/amp/s/m.republika.co.id/amp/p6qks5377.. Apabila melakukan pengajuan maka nominal yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah kelompok. Selain itu pembiayaan qard{

b). Syarat manajemen yaitu mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership, visioner, mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial

1) Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus jelas dan terukur spesifikasinya. Barang yang akan disewakan harus memiliki wujud yang pasti bisa dilihat bukan

7 Pro dan kontra akad Wakᾱlah Bi Al-Ujrah terdapat dalam penelitian terdahulu berupa jurnal yang berjudul : Analisis Yuridis Fatwa Dewan Syariah Nasional No 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang