• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALIS SPASIAL DAN LAND TENURE

5.1 Analisis Land Tenure

Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam model deskriptif antara lain: 5.1.1 Aspek Yuridis

Isu-Isu yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango sangat erat kaitannyan dengan perubahan sebagian Taman Nasional (TN) menjadi HPT dan dapat menimbulkan preseden bagi TN yang lain serta dikawatirkan dapat berkembang menjadi isu internasional, dapat dijelaskan bahwa dalam kawasan

102

konsesi kontrak karya saat ini telah diturunkan statusnya dari hutan produksi terbatas (HPT) dan sebelumnya status kwasan ini yaitu bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) terdapat lahan tumpang tindih dengan kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia seluas 14,000 hektar. PT. Tropic Endeavour Indonesia memperoleh kontrak karya pertambangan pada tahun 1971 (sekarang beralih kepada PT. Gorontalo Minerals). Pada 1974 Kennecott mulai bermitra dengan Endeavour Res, Penyelidikan Lanjut dan pengeboran awal di Tapadaa dan Cabang Kiri. Pada saat yang sama pemerintah meningkatkan status beberapa kawasan di daerah tersebut menjadi kawasan lindung yaitu:

(1) Suaka Margasatwa (SM) Dumoga seluas 93,500 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 476/Kpts/UM/8/1979,

(2) Cagar Alam (CA) Bulawa seluas 75,200 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 764/Kpts/UM/12/1979, dan

(3) SM Bone seluas 110,000 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 438/Kpts/UM/6/1980.

Meskipun kawasan ini telah ditetapkan menjadi suaka margasatwa namun kegiatan penelitian eksplorasi oleh perusahaan pemegang konsesi tetap berjalan, terbukti pada tahun 1980 Utah Int. (Divisi Pertambangan dari General Electric ) mengambil alih saham Endeavour Res di PT Tropic Endeavour Indonesia (TEI), dan melakukan kegiatan pengeboran untuk menentukan sumberdaya di Cabang Kiri East dan Sungai Mak dan pengeboran awal di Cabang Kanan dan Kayubulan. Pada saat yang sama pada tahun 1982 pemerintah melalui Departemen Pertanian menetapkan Calon Taman Nasional Dumoga-Bone.

Pada tahun 1983 PT BHP mengambil alih saham Utah Int. dari General Electric, dan melakukan Evaluasi Potensi Au/Emas di Motomboto, termasuk pengeboran awal di Main and East Motomboto, kemudian pada tahun 1986 Pengakhiran KK Gen II, TEI dan Permohonon (KP) Konsesi Pertambangan oleh PT. Aneka Tambang ( ANTAM ) dan pada tahun 1988 pemerintah memberikan izin KP Penyelidikan Umum / PU ke PT Aneka Tambang (ANTAM) dan bermitra dengan BHP untuk melakukan percontohan geokimia di daerah Pantai Selatan dan pengeboran di West Motomboto dan Tulabolo.

Pada tahun 1991 Peningkatan ke KP Eksplorasi, namun disaat yang sama semua kegiatan perusahaan diberhentikan karena kawasan tersebut telah ditetapkan menjadi taman nasional berdasarkan SK Mentan No. 731/Kpts-II/1991. Ketiga kawasan di atas ditetapkan sebagai Taman Nasional Dumoga Bone dengan luas 287,115 hektar. Pada tahun 1992 TN Dumoga Bone berubah nama menjadi TN Bogani Nani Wartabone berdasarkan SK Menhut No. 1127/Kpts-II/1992. Perubahan status telah memberikan ruang pemanfaatan bagi penambang tanpa izin (PETI) memulai kegiatannya. Awal mulanya adalah karena ada informasi potensi cadangan emas dari beberapa mantan pegawai perusahaan pertambangan yang dilibatkan dalam kegiatan penelitian eksplorasi terutama di daerah Mohutango dan daerah Motomboto. Selanjutnya pada tahun 1992 BHP Copper mengambil alih pembiayaan evaluasi endapan cu/tembaga dan berusaha mendapatkan izin memasuki kawasn hutan. Pada tahun 1996 perusahaan ini telah melakukan survei geofisika dari udara dan pengeboran di Gunung Lintah dengan izin secara terbatas untuk eksplorasi dikeluarkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1998 penandatanganan kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan pertambangan yang dikenal kontrak karya (KK) generasi VII ke PT. Gorontalo Minerals dengan posisi kepemilikan saham yaitu PT Gorontalo Minerals 80 persen, kemudian PT BHP dan PT Aneka Tambang 20 persen. Pada tahun 1999, PT Normandy mulai bermitra dengan PT BHP untuk melakukan kegiatan penyelidikan lanjutan di daerah Mamungaa, Pantai Selatan dan saat ini yang melakukan kegiatan di daerah ini yaitu penambang tanpa izin (PETI). Pada tahun 2002 PT Newmont mengambil alih saham PT Normandy dengan melakukan kegiatan evaluasi di kantor perusahaan di jalan Sawah Besar Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo dan kunjungan singkat ke lapangan , namun pada tahun 2003 PT Newmont menyampaikan surat mundur kepada pemerintah dan mulai bermitra dengan PT BHP di PT. Gorontalo Minerals di wilayah konsesi kontrak karya tersebut.

Setelah melalui proses kepemilikan konsesi kontrak karya yang panjang, maka pada tahun 2005 telah dilakukan pengambil alihan saham PT BHP di PT.Gorontalo Minerals oleh PT International Minerals Corp (IMC) yang dimiliki PT.Bumi Resources Tbk dan pada tahun 2006 PT Gorontalo Minerals memulai

104

kegiatan penelitian eksplorasi lanjut di daerah Kaidundu, Pantai Selatan di luar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang masih menjadi bagian dari wilayah konsesi kontrak karya.

Wilayah konsesi semakin ramai dengan kegiatan penambang tanpa izin sekitar 2.000 sampai 6.000 orang melakukan aktivitas PETI dalam kawasan TNBNW. Faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan dan Pemda setempat. Berbagai tindakan operasi penertiban dan penegakan hukum telah dilakukan oleh TNBNW dan pemerintah setempat, namun pengaruhnya hanya sesaat dan tidak mampu menghentikan kegiatan PETI dan bahkan mulai muncul isu-isu klaim kepemilikan lahan oleh pemilik lubang PETI dan Tromol. Pembiaran terhadap situasi di atas (status quo) tanpa ada terobosan solusi, akan mengakibatkan kondisi lingkungan semakin buruk, karena kegiatan PETI tidak menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, bersifat ekspansif dan mengancam kemantapan kawasan taman nasional lainnya yang masih utuh.

Kawasan tumpang tindih dengan kontrak karya pertambangan telah mengalami kerusakan berat akibat kegiatan PETI yang berlarut-larut sejak tahun 1978, tanpa dapat dikontrol/dikendalikan, baik oleh pihak TNBNW maupun Pemerintah Daerah. Berbagai kajian telah dilakukan untuk memetakan persoalan konflik PETI, dampak biofisik dan sosial ekonomi budaya serta resolusinya agar dapat diperoleh optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam dan kaitannya dengan pemantapan kawasan TNBNW. Penelitian dilakukan pada periode tahun 2007 sampai 2008 oleh Universitas Negeri Gorontalo (UNG) dengan didukung oleh para pakar dari UNHAS, ITB, IPB, UNPAD dan UI.

Oleh karena itu, daerah mengusulkan perubahan fungsi kawasan tumpang tindih tersebut dari Taman Nasional/Hutan Konservasi menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) atau Hutan Produksi Tetap (HP), dan berdasarkan hasil kajian Timdu direkomendasikan seluas + 14.000 hektar tersebut menjadi HPT. Perubahan tersebut untuk tujuan mengatasi konflik tata ruang dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan mempertimbangkan aspek biofisik/ ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta hukum dan kelembagaan. Tahun 2010 kawasan ini diturunkan statusnya dari TN menjadi HPT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 324 dan No 325.

Setelah adanya penurunan status kawasan, maka PT Gorontalo Minerals yang menjadi pemilik kuasa pertambangan kontrak karya pada tahun 2011, mengajukan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Pemerintah daerah dan diusulkan kepada Kementerian Kehutanan karena wilayah ini masih berstatus hutan produksi terbatas. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.456/Menhut-II/2011 sampai 2013 izin pinjam pakai di peroleh. Selanjutnya PT Gorontalo Minerals mengajukan surat izin perpanjangan penelitian eksplorasi kepada pemerintah derah dan diusulkan kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Minerals. Akhirnya pada tahun 2011 keluarlah surat keputusan perpanjangan tahap ke tiga berdasarkan Studi Kelayakan SK Menteri ESDM No.1279.K/30/DJB/2011 sampai 2012.

5.1.2 Aspek Biofisik/Ekologi

Terdapat beberapa alasan ilmiah yang mendasari perubahan fungsi kawasan tersebut, antara lain perubahan fungsi kawasan tidak memberikan pengaruh ekologi yang signifikan terhadap keseluruhan ekosistem kawasan TNBNW (287,115 hektar). Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya tidak menyebabkan fungsi TNBNW secara keseluruhan menjadi terganggu atau tidak menyebabkan hilangnya keanekaragaman jenis tertentu (khususnya flora dan fauna khas Sulawesi). Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya bukan merupakan suatu tipe ekosistem yang khas (tersendiri di antara beberapa tipe ekosistem di TNBNW). Perubahan fungsi tidak menyebabkan hilangnya tipe ekosistem tertentu dari TNBNW. Bagian kawasan TNBNW yang diusulkan perubahannya menjadi HPT atau HP merupakan bagian kawasan yang telah kondisi biofisiknya mengalami kerusakan, akibat kegiatan PETI yang tidak dapat terkontrol dan cenderung ekspansif/meluas.

Pada aspek yuridis bahwa perubahan fungsi KSA/KPA menjadi HPT atau HP mengikuti kriteria penetapan fungsi hutan sesuai SK Mentan 837/1980 dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004, yakni skor kawasan antara 125 – 175. Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT dan HP adalah merupakan bagian kawasan DAS Bone yang telah tercemar airnya akibat limbah merkuri kegiatan PETI. Hasil Penelitian UNG yang didukung oleh tenaga ahli dari

106

ITB tahun 2008 sampai 2009 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Fe (besi), Cu (tembaga), Hg (merkuri) di Sungai Mamunggaa dan Mopuya telah melewati baku mutu kualitas air. Pencemaran Hg dipastikan berasal dari aktivitas PETI. Aspek hidrologi menyatakan bahwa perubahan fungsi sebagian kawasan TN menjadi HPT dan HP tidak akan merubah fungsi hidrologi DAS tersebut. Kemudian dari aspek zonasi kawasan memilki pertimbangan ilmiah juga yaitu bagian kawasan yang dirubah fungsinya tidak merupakan bagian kawasan zona inti dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

5.1.3 Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya

Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT atau HP merupakan kawasan yang menjadi daerah bagi ± 2.000 sampai 6.000 orang (tergantung musim) penambang tanpa ijin (PETI). Pada saat ini dan faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan dan Pemda setempat. Oleh karena itu perubahan fungsi kawasan merupakan bagian integral dari upaya mengatasi konflik penggunaan kawasan hutan oleh PETI yang berlangsung berlarut-larut sejak 1978. Hal ini memungkinkan diterapkan pemanfaatan pertambangan yang ramah lingkungan (pembukaan minimal, tanpa merkuri) untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu berpeluang untuk dikembangkannya model kelembagaan sebagai solusi alternatif penghidupan masyarakat eks PETI yang lebih baik agar disaat kegiatan pertambangan tanpa izin ini berhenti tapi eks pemilik dan buruh penambang tanpa izin telah memiliki wadah atau organisasi.

Tujuannya yaitu mereka dinaungi dalam menjalankan aktivitas lainya terutama yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas mereka yang masih mudah untuk disalurkan menjadi bagian dari tenaga kerja di PT Gorontalo Minerals. Hal yang penting juga bahwa perubahan fungsi TN menjadi HPT sekaligus menjadi bagian dari akses jalan menuju Desa Pinogu (enclave) dimana terdapat 1.000 KK yang bermukim di wilayah tersebut dan berada di tengah zona inti Taman Nasional BNW.

5.1.4 Aspek Hukum dan Kelembagaan

Perubahan fungsi kawasan hutan dijamin oleh Pasal 19 Undang Undang No. 41 tahun 1999, dan merupakan bagian dari cara mengatasi permasalahan PETI di TNBNW dan dampak ikutannya, seperti kerusakan ekosistem hutan dan pencemaran lingkungan. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW untuk mengatasi fenomena riil (de facto) ”kekosongan kelembagaan”

melalui penataan hak atas kawasan dan sumberdaya alam yang jelas. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan secara legal dilakukannya pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang ramah lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan akses dan intervensi pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan hutan, serta mengatasi problem PETI yang selama ini bersifat ekspansif, tidak terkontrol dan berlarut-larut, baik secara sosial maupun lingkungan (pencemaran).

Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan dilakukannya pengelolaan kolaboratif untuk meningkatkan kemantapan kawasan dan optimalisasi pengelolaan TNBNW yang dipertahankan. Sehingga kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT adalah merupakan bagian dari kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia yang diperoleh pada 1971 (sekarang beralih kepada PT Gorontalo Minerals) sebelum Penunjukan dan Penetapan sebagai SM Dumoga (1979), CA Bulawa (1979) dan SM Bone (1980), serta Taman Nasional tahun 1991 dan 1992.

Dokumen terkait