• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Hak dan Rezim Kepemilikan

Salah satu unsur penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kaitannya terhadap kelembagaan adalah masalah hak dan rezim kepemilikan. Hal ini didasarkan pada kondisi dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai barang publik, dimana hal kepemilikan tidak terdefinisi dengan jelas. Kondisi tersebut akan menimbulkan masalah kelembagaan pada unsur hak kepemilikan dan biaya transaksi.

Definisi akses yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada (Peluso, 1996) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam

definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (a bundle of rights). Sehingga bila dalam makalah properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam makalah tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk dalam hal ini, namun tidak terbatas pada relasi properti.

Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk

“bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan

21 dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu.

Individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Peluso, 1996). Hak dan rezim kepemilikian (property rights), menurut (Fauzi, 2006), adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dhasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikin dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Olewiler, 1998). Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996).

Selanjutnya (Fauzi, 2010) mengatakan bahwa perlu juga dicermati bahwa meski hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan hak ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat melakukannya. Ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforcement. Misalnya untuk kasus kehutanan, jika hutan ditebang ilegal, hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan melakukan penegakan hukum atas tindakan ilegal tersebut.

Lebih jauh lagi Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep hak kepemilikan terkait erat dengan biaya transaksi yang dikemukakan oleh Coase. Biaya transaksi sendiri diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, mentransfer dan melindungi hak, jika biaya transaksi nol, hak kepemilikan terlengkapi, namun biaya transaksi tinggi, sangatlah sulit untuk menetapkan hak pemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Dengan kata lain hak kepemilikan akan terkukuhkan jika kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik memiliki aset), memiliki pengetahuan penuh atas nilai dari aset tersebut.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa didalam sumberdaya alam sebagaimana dijelaskan oleh (Fauzi, 2006), antar sumberdaya (resource) dan rezim kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas, satu sumberdaya bisa saja mempunyai hak kepemilikan. Hak kepemilikan sumberdaya alam tersebut pada umumnya terdiri dari: state property dimana klaim kepemilikan berada ditangan pemerintah. Private property dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Lebih lanjut lagi suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan, sumberdaya seperti ini dikatakan open access (Grimma dan Barkers, 1989).

Dengan pemahaman diatas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas. Dengan mengambil contoh dua tipe akses yang berbeda (open access) dan akses terbatas (limited access) maka secara umum ada beberapa kemungkinan kombinasi. Tipe pertama adalah tipe dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatannya yang berlebihan bisa dihindari. Tipe ketiga adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis.

Pendapat para ahli diatas dapat diformulasi dalam suatu grand teori (state of the arth) yang diawali oleh Peluso (1996) menyatakan bahwa ada keterbatasan antara hak kepemilikan dan akses. Keterbatasan ini digambarkan dalam konsep keterpaduan antara pendapat Long (1996) melalui pendeketan aktor, Peluso (1996) pendekatan akses analisis dan Fauzi (2006) dengan pendekatan properti right. Konsep keterpaduan ini akan dilengkapi oleh dua unsur yaitu kebijakan konservasi yang membingkai ketiga keterpaduan konsep dan unsur

23 pengembangan ekonomi adalah mencerminkan penerapan konsep. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9 terkait dengan keterpaduan konsep tersebut.

Gambar 9. Skema Keterpaduan Konsep

Sering kali pada sumberdaya yang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang atau kelompok yang sama. Hal ini yang kemudian menyebabkan konsep tenurial ini sering dijelaskan dengan prinsip bundle of rights (sebundel hak-hak). Ostrom dan Schlager (1996) mengatakan bahwa hak-hak ini dapat diuraikan menjadi:

1) Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu;

2) Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya; 3) Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola

pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi;

4) Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau lembaga/kelompok lain); dan

5) Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Adapun hubungan antara penguasaan sumberdaya terhadap posisi aktor disajikan pada tabel berikut.

Actor Approach (Long, 1996)

Access Analysis (Peluso, 1996)

Property Right Regimes ( Fauzi, 2006) Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) membentuk “bundel kuasaan” ( ) dan “jaring kekuasaan” ( Economy Growth (commodity chains) Policy of Conservation

Tabel 3. Kumpulan Hak dan Posisi Aktor

Owner Proprietor Outorized Claimant Outorized User Outorized Entrant Acces X X X X X Withdrawal X X X X Management X X X Exlusion X X Alienation X

Selanjutnya Long (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan aktor, interaksi antar aktor kelembagaan, hak kepemilikan, proses dan kebijakan dapat dijelaskan melalui matriks antar komponen yang saling mempengaruhi sebagaimana terdapat pada (Gambar 10) berikut ini.

Sumber : Long (2002)

Gambar 10. Pendekatan Aktor

2.3. Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan

Dokumen terkait