• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Lanskap Sejarah Perkembangan Kota Bogor

Pembagian masa sejarah Kota Pusaka Bogor berdasarkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2013), dibagi berdasarkan adanya peristiwa-peristiwa sejarah penting yang membawa pengaruh penting bagi perkembangan kota, terutama secara fisik. Pembagian sejarah tersebut terbagi dalam 5 masa sebelum kemerdekaan dan 3 periode setelah kemerdekaan berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan yakni;

4.2.1 Masa Kerajaan Pakuan-Padjajaran (1482 -1579)

Wilayah Bogor diketahui sebagai Ibukota Kerajaan Padjajaran-Pakuan pada abad ke 8. Nama wilayah Bogor pada masa Kerajaan Pakuan- Padjadjaran adalah Dayeuh yang diperintah oleh seorang rajanya yang paling terkenal, yaitu Sri Baduga Maharaja atau yang diyakini pula sebagai Prabu Siliwangi yang memerintah sejak tanggal 3 Juni 1482 dan dianggap sebagai tahun lahirnya Bogor.

Pada tahun 1579, terjadi penyerangan antara penguasa Banten dan Pakuan yang menyebabkan masa ini dianggap sebagai masa berakhirnya Pakuan. Akibatnya, rantai sejarah keberadaan wilayah ini dapat dikatakan hilang sama sekali. Setelah tahun 1579, tidak ada keterangan tertulis lagi mengenai peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut (Missing Link) sampai adanya ekspedisi oleh Scipio dan rombongannya pada tahun 1687, Adolf Winkler pada tahun 1690 dan Abrahan Van Riebeck pada tahun 1703, 1704, dan 1709. Dari laporan- laporan ekspedisi tersebut diketahui beberapa batas kerajaan Pakuan Pajajaran, seperti bahwa wilayah alun-alun Empang ternyata merupakan alun-alun bekas luar jaman Pakuan, dan letak- letak gerbang masuk kerajaan (Sarilestari, 2009).

 Kondisi Fisik Masa Kerajaan Pakuan-Padjajaran :

Wilayah ini diapit oleh Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan. Sungai Cisadane, Cipakancilan, dan Ciliwung sudah ada sejak masa kerajaan, dimana Sungai Cipakancilan menjadi bagian utama dari kerajaan tersebut (Wibisono, 2012). Komponen fisik kota yang terdapat dalam Pakuan terletak di dalam dan di luar benteng Pakuan. Elemen kota yang terdapat di dalam benteng yaitu Keraton dan Alun-alun dalam Kotaraja. Keraton Kerajaan Pajajaran merupakan bangunan megah, indah, dan dihiasi oleh 330 tiang kayu dengan tinggi ± 9,14 m. Keraton ini terletak di sekitar Batutulis, yaitu dimulai dari Jalan Batutulis (sebelah barat), Gang Amil (sebelah selatan), bekas parit yang telah menjadi perumahan saat ini (sebelah timur), dan Benteng Batu yang ditemukan oleh Scipio (1687) sebelum tempat prasasti Batutulis (sebelah utara) bagian selatan Gang Balekambang (Sarilestari, 2009).

Sedangkan elemen kota yang terdapat di luar benteng diantaranya Bukit Badigul, Tajur Agung, dan Alun-alun luar Kotaraja. Pada masa tersebut, alun-alun luar memiliki fungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Seluruh kegiatan acara keramaian umum di luar protokol juga dilaksanakan di alun-alun ini. Lalu pada akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan (medan pertempuran) saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di Pajajaran ditahun 1579 (Danasasmita (1983) dalam Wibisono 2012).

Menurut Sarilestari (2009) batas-batas fisik kerajaan Pakuan-Padjajaran adalah sebagai berikut:

Sebelah Barat : berupa benteng alam, yaitu dan puncak tebing Cipaku yang curam sampai lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis, dan terus membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan (di Kampung Cincaw).

SebelahTimur : berupa benteng yang membentang sejajar dengan Jalan Suryakancana,yaitu dari setelah perpotongan dengan Jalan Suryakancana sampai ke Gardu Tinggi, selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak Lembah Ciliwung melintasi pertemuan antara Jalan Siliwangi dengan jalan Batutulis, dan berlanjut sepanjang puncak Lereng Ciliwung melewati Komplek Perkantoran PAM hingga memotong Jalan Pajajaran.

Sebelah Utara : berupa tebing terjal, yaitu dari ujung Iembah Cipakancilan (Kampung Cincau) tersambung dengan tebing gang beton sampai memotong Jalan Suryakancana.

Sebelah Selatan : berupa benteng yang membentang dari setelah perpotongan dengan Jalan Pajajaran menembus Jalan Siliwangi terus memanjang sampai di Kampung Lawang Gintung.

Pintu gerbang Pakuan terletak pada bagian utara yang berlokasi di Jembatan Bondongan, dan selatan yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Bantar Peuteuy (depan Komplek Perumahan LIPI). (Gambar 10)

Gambar 10 Wilayah Masa Kerajaan Pakuan-Padjajaran (1482 -1579)

Menurut Drs. Saleh Danasasmita disebutkan hubungan antara Pakuan, Pajajaran, Gunung Batu dan Kampung Balai (sekitar Ciampea). Tempat tersebut erat kaitannya dengan ditemukannya pohon pakujajar. Pohon pakujajar ditengarai sebagai asal usul nama Pakuan sebagai Ibukota Kerajaan Pajajaran. Sumber sebagai asal usul nama Pakuan dari pohon pakujajar dapat diperiksa pada sebuah naskah Carita Waruga Guru yang ditulis sekitar tahun 1750 dan berhuruf serta berbahasa Sunda Kuno. Naskah tersebut menyebutkan pohon pakujajar yang tumbuh di sekitar lokasi sekitar lokasi kerajaan yaitu di sekitar lahan Makam Mbah Dalem, pintu gerbang kerajaan Pajajaran di Kampung Bantar Peuteuy dan di Gunung Batu sendiri.

4.2.2 Bogor Pada Masa Kolonial I (1600-1754)

Pada tahun 1619, Kerajaan Banten hengkang dari Sunda Kelapa yang kemudian dirubah namanya menjadi Batavia oleh Belanda. Hal ini berdampak pada Bogor yang semula berfungsi sebagai pusat orientasi Kota Batavia, pada masa ini berubah menjadi wilayah terbelakang (hinterland) pada tahun 1619. Tahun 1659 terjadilah perjanjian antara VOC dengan Kerajaan Banten, tentang sungai Cisadane sebagai batas-batas kekuasaan antara kedua belah pihak, sebelah sungai Citarum diserahkan Mataram kepada VOC dengan demikian Bogor termasuk yang dikuasai VOC.

 Kondisi Fisik Bogor pada Masa Kolonial I :

Setelah mengadakan tiga kali ekspedisi, pada tahun 1687, Letnan Tanujiwa mendirikan Kampoeng Baroe di Parung Angsana. Kampung inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya wilayah Buitenzorg. Kampung lain yang didirikan oleh Tanuwijaya antara lain Parakan Pandjang, Parung Koedjang, Panaragan, Bantar Djati, Sempoer, Baranang Siang, Paroeng Banteng, Cimahpar. Kampoeng Baroe yang merupakan tempat kedudukan Tanujiwa dijadikan sebagai pusat pemerintahan bagi kampung-kampung lainnya (Sarilestari,2009)

Pada tahun 1744, yaitu dari tanggal 20 Agustus sampai September, Gubemur Baron Van Imhoff mengadakan peninjauan. Beliau menaruh perhatian pada Kampoeng Baroe yang dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian dan tempat peristirahatan Gubemur Jenderal. Selanjutnya pada tahun 1745, Baron mengajukan petisi kepada Dewan Perwakilan Resmi Pemerintahan Hindia Belanda yang berisi:

1. Daerah Kampoeng Baroe diubah menjadi tempat peristirahatan Gubernur Jenderal dan Staf VOC.

2. Menjadikan daerah tersebut sebagai daerah pertanian dan perkebunan, serta sebagai contoh daerah lain.

3. Merencanakan perubahan perilaku masyarakat yang dianggap malas (pada waktu itu), menjadi masyarakat yang mempunyai kemampuan atau keahlian seperti ambtenar (pegawai negen), ahli pertanian, ahli perkebunan dan sebagainya.

Baron Van Imhoff cenderung pada liberalisme Perancis. Beliau penganut setia paham romantisme ajaran Rosseau, yang menganjurkan manusia kembali kepada alam. Pada waktu itu, mode para pencari kewajaran alami adalah dengan membangun villa sederhana, mungil, dan serasi dengan alam sekitar. Villa ini disebut Sans Souci (istilah Perancis) atau istilah Belanda nya Buitenzorg yang berarti tanpa rasa gundah (Gambar 11)

Gambar 11 Bogor pada Masa Kolonial I (1600-1754) (awal)

Sumber : Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2013

Tahun 1745 sembilan buah kampung digabung menjadi satu pemerintahan yang dikepalai seorang demang (bupati). Kampung tersebut antara lain Tjisaroea, Pondok Gede, Tjiawi, Tjiomas, Tjitdjeroek, Sindang Barang, Balaoboer, Darmaga dan Kampoeng Baroe. Gabungan kampung ini disebut sebagai Regentschap Kampoeng Baroe, dan kemudian dikenal sebagai Regentschap Buitenzorg (Danasasmita, 1983 dalam Sarilestari, 2009). Regentschap Buitenzorg menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Bogor terhitung sejak tahun 1754-1872. Sedangkan Kota Bogor itu sendiri mulai terbentuk dari wilayah Kelurahan Babakan, Empang, dan Paledang (Wibisono, 2012).

Pada tahun 1745 dibangun bangunan militer di Jalan Sudirman, jalan yang pada masa tersebut merupakan akses utama menuju wilayah Buitenzorg. Bangunan militer tersebut berfungsi sebagai pos penjagaan di pintu masuk utama (Gambar 12).

Gambar 12 Bogor pada Masa Kolonial I (1600-1754) (akhir)

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang

4.2.3 Bogor Pada Masa Kolonial II (1754 - 1845)

Pada tahun 1754, Bupati Wiranata memindahkan pusat pemerintahan yang semula berlokasi di Kampoeng Baroe (di dalam Kebun Raya Bogor saat ini), dipindahkan ke Sukahati, yaitu sebuah tempat yang berada di sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan. Lokasi tersebut merupakan daerah yang berada di dalam kawasan Buitenzorg, serta memiliki kolam besar atau empang dan lembah di depannya. Pemindahan ini disertai surat keputusan Gubernur Jendral Jacob Mossel pada tahun 1755. Kemudian pada tahun 1759–1761 Gubernur Jenderal Jacob Mossel membangun Istana Buitenzorg.

 Kondisi Fisik Bogor pada Masa Kolonial II:

Pada tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan Buitenzorg dengan menyatukan kesembilan kampoeng tersebut. Sekitar tahun 1770, Sukahati mulai dikenal dengan sebutan Empang, dan diresmikan pada tahun 1815 (Haan (1912) dalam Sarilestari 2009). Soekahati saat itu digambarkan sebagai tempat orang-orang Eropa yang sering memancing di sungai kecil Cipakancilan. Soekahati juga memiliki kolam besar atau empang dan lembah di depannya.Wilayah Kampoeng Baroe ini terus berkembang dengan mendatangkan orang dari Jawa Tengah, termasuk orang-orang Cina (Dirjen PU, 2013). Pemindahan pusat pemerintahan membuat kawasan tersebut menjadi ramai, sehingga muncul pasar di Kampoeng Baroe yang dinamakan Pasar Bogor sampai saat ini. Pertumbuhan pasar ini kemudian mempopulerkan nama Bogor sehingga akhirnya dipakai pada masa-masa selanjutnya.

Pada tahun 1808-1811, Gubernur Jenderal Daendels membuka babak baru perkembangan Buitenzorg dengan membangun jalan yang menghubungkan antara Anyer dan Panarukan yang membelah wilayah Bogor dari Utara ke Selatan. Jalan tersebut dinamakan Jalan Raya Daendels (Jalan Raya Pos atau Groote Postweg). Jalan yang digunakan oleh Daendels adalah jalan kuda yang memang sudah digunakan penduduk pribumi sebelumnya. Karena Istana Buitenzog dibangun dengan posisi tegak lurus terhadap jalan kuda tersebut, Groote Postweg yang melalui wilayah Bogor dibuat melingkari Istana Buitenzorg. Groote Postweg menjadi jalur utama transportasi, terutama untuk mengangkut hasil perkebunan.

Dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), tempat peristirahatan (Buitenzorg) menjadi istana resmi Gubernur Jenderal. Walaupun pusat pemerintahan tetap berada di Batavia, sebagian besar waktu Gubernur Jenderal dihabiskan di Buitenzorg, termasuk pada saat melakukan perundingan perundingan dengan Dewan Hindia Belanda (De Stichting van Buitenzorg, 1920 dalam Sarilestari 2009).

Ketika VOC bangkrut, wilayah nusantara dikuasai oleh Inggris di bawah kepemimpinan Gubernur Jendral Thomas Rafless. Gubernur Jendral Thomas Rafless merenovasi Istana Bogor dan dengan bantuan para ahli botani, W. Kent dibuat halaman istana menjadi taman bergaya Inggris (English Landscape Garden). Komponen taman Inggris ini mencakup kolam, hamparan rumput yang luas, latar belakang pepohonan, serta arsitektur picturesque sebagai titik fokal yang pencapaiannya dirancang menurut sekuens tertentu. Pada masa pemerintahan Gubemur Jenderal Inggris, Buitenzorg ditetapkan sebagai pusat administrasi keresidenan yang membawahi Kabupaten Buitenzorg, Cianjur, dan Sukabumi.

Masa kependudukan Inggris terhadap Bogor berlangsung pada tahun 1811-1813 (Wibisono, 2012). Lalu pada akhirnya wilayah nusantara dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, untuk memperingati peristiwa tersebut di Buitenzorg didirikan pilar Pabaton atau Witte Paal di Jalan Sudirman, berhadap-hadapan dengan Istana Buitenzorg.

Pada tahun 1817, pembangunan Kebun Raya Bogor dicanangkan oleh seorang ahli biologi asal Jerman bernama Prof. Dr. C. G. K. Reinwardt yang berada di Indonesia pada awal abad ke-19. Reindwardt menganggap eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian juga merupakan tugasnya di Hindia Belanda. Kemudian ia menulis surat kepada Komisaris Jenderal G.S.G.P. van der Capellen yang mengemukakan keinginannya untuk meminta sebidang tanah yang akan dijadikan kebun tumbuhan yang berguna, sebagai tempat pendidikan dan koleksi tumbuhan. Dan pada tanggal 18 Mei 1817, Prof. Dr. C. G. K. Reinwardt membangun sebuah kebun tanaman tropis yang dilengkapi dengan sebuah gedung herbarium sebagai pusat penelitian tumbuhan tropis dengan nama ’s Lands Plantentuin te Buitenzorg (Mamiri, 2007). Berikut Bogor pada masa kolonial II dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Bogor pada Masa kolonial II (1754-1845)

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2013

4.2.4 Bogor Pada Masa Kolonial III (1845-1904)

Pada tanggal 8 Juli 1845 dikeluarkan Surat Keputusan tentang zoning kota berdasarkan Etnis (Wijk). Peraturan tersebut dikenal dengan istilah Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Wijkenstelsel merupakan peraturan yang menginstruksikan bahwa orang-orang timur asing harus bertempat tinggal pada wilayah tertentu sesuai dengan ras dan komunitasnya. Orang-orang Cina atau Arab tidak boleh tinggal dekat dengan warga pribumi. Sedangkan Passenstelsel merupakan peraturan surat jalan, maksudnya adalah jika orang-orang timur asing mau keluar dari kampung tempat tinggalnya maka harus izin dahulu untuk mendapat surat jalan.

Aturan-aturan ini yang akhirnya membuat perkampungan etnis atau ethnic quarter di kota-kota di nusantara. Karena adanya peraturan ini, maka daerah- daerah kota yang berkembang hanya daerah orang Eropa yaitu daerah sebelah barat jalan raya mulai dari Pilar Pabaton sampai dengan Istana Bogor dan daerah Paledang, dan daerah Orang Cina yaitu daerah sepanjang Jl. Surya Kencana sampai tanjakan Empang. (Gambar 14)

Gambar 14 Pembagian Kawasan Pemukiman Berdasarkan Etnis pada Masa Kolonial III

Sumber : diolah dari Direkorat Jenderal Penataan Ruang 2013

 Kondisi Fisik Bogor Pada Masa Kolonial III :

Pada tahun 1870 munculnya Undang-Undang Agraria yang berdampak pada perkembangan ekonomi di Buitenzorg. Batas Buitenzorg berdasarkan Dokumen Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 1 Mei 1871 adalah (Sarilestari, 2009) :

Sebelah Utara :Jalan dari Pilar Pabaton sampai Jembatan Cipakancilan Sebelah Barat :Jembatan Cipakancilan sampai Jembatan di Jalan Kecil

Batutulis.

Sebelah Selatan :Jalan kecil Batutulis sampai Jalan Besar (jalan dan batas- batas persilangan Sukasari sampai Sungai Ciliwung) Sebelah Timur : Sungai Ciliwung sampai persilangan Pilar

Pada tahun 1872, mulai ditetapkan sistem perdagangan pasar, kawasannya dipusatkan di kompleks pecinan dan sekitar kawasan asrama kavaleri (pasar Bogor sekarang), pada masa itu juga dibuka jalan kereta api 'Preanger Lijn' melewati kota Bogor, dan pada tanggal 31 Januari 1873, dibuka jalur KA Jakarta- Bogor yang mempengaruhi kegiatan arus lalu lintas penumpang dan barang di Bogor. Adanya stasiun kereta api di Bogor juga memicu pertumbuhan kota ke arah barat.

Pada tahun 1888 dibangun Gedung Algemeene Secretarie sebagai kantor pusat pemerintahan umum di Buitenzorg sehingga mempunyai fungsi sebagai kota

Kawasan EropaRumah Peristirahatan Kawasan Kampong Baroe Kawasan Pecinan

Pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang dipindahkan dari Batavia (Ruiter, 1918 dalam Sarilestari, 2009). Dari Morfologi dapat dilihat bahwa pada masa itu, setelah adanya jalur kereta api, pertumbuhan kota ke arah barat mulai dibuka, misalnya dengan adanya perkebunan di sekitar Stasiun. Kemudian dengan ditetapkan adanya kawasan pasar, kawasan pecinan yang sudah ada sejak tahun 1800-an mulai berkembang dengan pola kawasan pertokoan yang memanjang di Jalan Surya Kencana. Pada masa itu, bangunan-bangunan penting terpusat di jalan-jalan utama, Jalan Sudirman, Jalan Kapten Muslihat dan Jalan Paledang (Gambar 15)

Gambar 15 Bogor pada Masa Kolonial III (1845-1904)

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2013

4.2.5 Bogor Pada Masa Kolonial IV (1905-1942)

Pada tahun 1905 Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan pada tahun 1941 diberikan otonomi sendiri berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.208.

 Kondisi Fisik Bogor Masa Kolonial IV :

Geemente Bogor tercatat memiliki luas wilayah 22 km persegi yang terdiri atas dua distrik dan tujuh desa dan diproyeksikan dapat menampung penduduk sebanyak 30.000 jiwa. Gemeente ini sendiri dipimpin oleh seorang Burgemeenter dan corak pemerintahan ini berlangsung sampai dengan masa Pendudukan Jepang.

Setelah menjadi Gemeente, terjadi banyak perubahan dibidang administratif pemerintahan dan perkembangan fisik. Perkembangan selanjutnya adalah direncanakannya daerah perumahan di sebelah utara dan timur oleh

Ir.Thomas Karsten pada tahun 1917. Perkembangan kota yang direncanakan luasnya hampir setengah dari luas kota eksisting pada masa itu. Perkembangan ke arah timur dilakukan untuk mencegah perkembangan kota yang linear yang terpusat di Groote Postweg (Gambar 16). Thomas Karsten merencanakan Buitenzorg memiliki bentuk desain kota yang simetris dan rapi dengan Istana dan Kebun Raya sebagai pusat atau point dari Buitenzorg pada masa itu (Wibisono, 2012). Permasalahan utama dalam perancangan perluasan kota yang dilakukan Karsten adalah untuk merancang untuk tiga ras penghuni kota yang berbeda secara karakter, kebutuhan, dan pola hidup. Ketiga ras tersebut juga memiliki level yang berbeda dalam tingkatan sosial (P3KP, 2013).

Gambar 16 Bogor pada Masa Kolonial IV (1905-1942)

Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2013

Dari data peta lama pada tahun 1920 (Gambar 17), diketahui bahwa area perluasan belum direalisasikan, dan area Kebun Raya masih belum diperluas dan belum memiliki batas jalan sebelah timur. Sedangkan pada peta tahun 1946 (Gambar 18) terlihat bahwa perluasan Kebun Raya Bogor dan perumahan sudah selesai. Dari bukti peta dapat disimpulkan, meskipun rencana perluasan dibuat pada tahun 1917, tetapi pembangunan dilakukan antara tahun 1920-1946.

Gambar 17 Peta Buitenzorg tahun 1920

Gambar 18 Peta kawasan Kebun Raya Bogor dan Sempur tahun 1946

Sumber: Disbudpar Kota Bogor (2015)

4.2.6 Bogor Pada Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah periode masa kolonial, tepatnya setelah Indonesia merdeka, perkembangan Kota Bogor semakin menuju arah perkotaan. Periode ini terbagi menjadi tiga periode berdasarkan iklim politik pemerintahan yang berlaku pada masanya yang akan menentukan corak perkembangan Kota Bogor (Wibisono, 2012). Periode pertama yang diacu dalam Wibisono (2012) dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hingga 1965. Lalu periode kedua dimulai tahun 1965 hingga 1995 dan periode ketiga dimulai sejak 1995 hingga sekarang.

1. Periode pertama (1945-1965)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950, Pemerintahan di Kota Bogor (Gemeente Buitenzorg) diubah namanya menjadi Kota Besar Bogor. Lalu pada tahun 1957 berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, nama pemerintahan berubah menjadi Kota Praja Bogor.

 Kondisi Fisik Periode Pertama Masa Kemerdekaan :

Pada tahun ini, Bogor sedang merealisasikan pembangunan perumahan di daerah bagian selatan seperti daerah Sempur, Kedunghalang, Perumahan Riau dan Kompleks Kehutanan di Bondongan, serta sebelah barat yaitu daerah Pasir Kuda dan Ciomas.

Perkembangan ini membentuk Kota Bogor memiliki pola penggunaan (Gambar 19) :

a. Di tengah kota terdapat KRB dan Istana Bogor yang keduanya merupakan lanskap tertua dan landmark Kota Bogor pada masa tersebut.

b. Pada tepi jalan yang mengelilingi KRB terdapat bangunan-bangunan pemerintahan umum.

c. Kawasan perdagangan terdapat di tiga lokasi yaitu, di bagian selatan sepanjang jalan ke luar kota (Jl. Suryakencana), di bagian barat (sekarang Jembatan Merah), dan di bagian barat laut (sekarang Jl. Merdeka).

d. Kawasan pemukiman terdapat hampir di seluruh wilayah Kota Bogor, namun di sebelah barat terdiri atas bangunan yang lebih tua.

e. Terdapat pula bangunan-bangunan seperti Pabrik Pembuatan Ban Good Year, Institut Pertanian Bogor (IPB), Rumah Sakit PMI, Rumah Sakit Jiwa dan Masjid Empang.

Berdasarkan karakteristik fisiknya, bentuk Kota Bogor pada periode pertama menjadi semi kosentrik dengan titik pusat di sekitar Kebun Raya Bogor.

Gambar 19 Kota Bogor Pada Periode I Masa Kemerdekaan (1945-1965)

Sumber: Diolah dari Bappeda dan Sarilestari (2009)

2. Periode kedua (1965-1995)

Periode kedua Masa Kemerdekaan dimulai sejak pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor (1965) sampai menjelang perluasan wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor (1995) (Sarilestari, 2009).

 Kondisi Fisik Periode Kedua Masa Kemerdekaan:

Pembentukan Kotamadya daerah Tingkat II dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Luas Kotamadya Bogor adalah 2.156 Ha dengan 5 Kecamatan kota. Kecamatan tersebut yaitu, Kecamatan Bogor Utara (Lingkungan Bantarjati, Babakan, Tanah Sareal); Kecamatan Bogor Selatan (Batutulis, Bondongan, dan Empang); Kecamatan Bogor Timur (Lingkungan Sukasari, Babakan Pasar, dan Baranang Siang); Kecamatan Bogor Barat (Lingkungan Ciwaringin, Panaragan, Menteng, dan Kebon Kelapa; dan Kecamatan Bogor Tengah ( Lingkungan Pabaton, Paledang dan Gudang).

Adapun terdapat 16 lingkungan dengan batas-batas administrasi sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Sungai Cipakancilan dan Gang Masjid; b. Sebelah Timur : Sungai Ciater;

c. Sebelah Selatan : Sungai Cipaku dan Cisadane; d. Sebelah Barat : Sungai Cisadane.

Komponen pembentuk Kota Bogor pada periode ini meliputi perumahan, fasilitas perkantoran, perdagangan dan jasa, industri dan jaringan jalan. (Gambar 20). Berdasarkan karakter fisiknya, Kota Bogor pada periode ini menunjukkan pola kosentrik dengan titik pusat di sekitar lokasi Balaikota Bogor.

Gambar 20 Kota Bogor Pada Periode II Masa Kemerdekaan (1965-1995)

Sumber: Diolah dari Bappeda dan Sarilestari (2009)

3. Periode ketiga (1995-sekarang)

Pada periode ini, sejak tahun 1995 Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor mengalami perluasan wilayah dari 2.159 Ha menjadi 11.850 Ha. Namanya pun diubah menjadi Kota Bogor berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kota Bogor bertambah menjadi 6 kecamatan dan 68 kelurahan (Gambar 21).

Gambar 21 Kota Bogor Pada Periode III Masa Kemerdekaan (1995-sekarang) Sumber: Bappeda (2015)

Adapun batas administrasinya sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor;

b. Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor;

c. Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor;

d. Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.

Pola penggunaan lahan Kota Bogor didominasi oleh pemukiman sekitar 70,01% dari luas keseluruhan kota. Pemukiman tersebut berkembang secara linear mengikuti jaringan jalan yang ada sehingga berpotensi meningkatkan laju perkembangan wilayah Kota Bogor. Saat ini, struktur Kota Bogor berbentuk kosentrik dengan titik pusat di sekitar lokasi Balaikota.

Dilihat dari periode pembentukanya, Kota Bogor mengalami perkembangan struktur, elemen dan fungsinya sejak Masa Pajajaran hingga saat ini (Tabel 9). Perkembangan Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 22.

Perkembangan pembangunan di Kota Bogor semakin pesat terutama di daerah sekitar Kebun Raya Bogor. Oleh karena itu, penetapan kawasan penyangga seperti yang diusulkan oleh Wibisono (2012) dibutuhkan guna melindungi kawasan tersebut. Selain itu, saat ini pemerintah telah menetapkan RTBL untuk daerah sekitar Kebun Raya Bogor (Gambar 23).

Dari Gambar 23 dapat dilihat kawasan RTBL mencakup hampir sebagian besar kawasan penyangga yang diusulkan oleh Wibisono (2012). Wibisono (2012) menetapkan konsep pelestarian pada kawasan penyangga Kebun Raya Bogor yang juga mencakup kawasan RTBL. Konsep pelestarian ini disesuaikan dengan

Dokumen terkait