TINJAUAN PUSTAKA
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
B. Analisis Statistik Secara Umum 1.Statistik Deskriptif 1.Statistik Deskriptif
2) Analisis Logistic Regression Enter Method
Analisis regresi logistik dengan metode enter ini berarti
ketiga proksi agency cost yaitu hutang, SGA dan FCF secara
serantak (secara simultan) dimasukkan ke dalam model regresi logistik dan dilakukan estimasi. Hasil pengujian regresi logistik dengan menggunakan metode enter dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.6
Hasil Pengujian Regresi Logistik Metode Enter
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1(a) DEBT .167 .280 .358 1 .550 1.182 SGA -.207 2.654 .006 1 .938 .813 FCF .494 1.674 .087 1 .768 1.639 Consta nt -.641 .905 .501 1 .479 .527 Sumber: Output SPSS 15
Hasil pengujian regresi logistik dengan metode enter pada tabel di atas dapat dilihat bahwa hutang (DEBT) = 0,050, SGA =
0,938 dan FCF = 0,768. Dari masing-masing proksi agency cost
tersebut memperoleh nilai p-value lebih besar dari 0,05 (p-value > 0,05) yang berarti terjadi penolakan terhadap H4. Hal ini
menunjukkan bahwa hutang, SGA dan FCF sebagai proksi dari
agency cost tidak berpengaruh secara signifikan tehadap praktik perataan laba.
Tabel 4.7 Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 50.655(a) .065 .090
Koefisien determinasi (R2) merupakan modifikasi dari Cox & Snell R Square yang menghasilkan nilai antara 0 dan 1. R2 milik Nagelkerke (1991) adalah nilai yang paling banyak digunakan sebagai dasar interpretsi (Gracenawati, 2004:33). Pada tabel 4.7, nilai Nagelkerke R2 variabel agency costyaitu proksi hutang, SGA dan FCF adalah 0,090. Hal ini berarti bahwa 9% variasi dari income smoothing dapat dijelaskan dari variabel agency cost (hutang, SGA dan FCF), sedangkan sisanya sebesar 91% (100%-9%) dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain.
Selanjutnya dilakukan pengujian regresi logistik backward stepwise tahap satu yakni dengan mengeluarkan proksi agency cost
(DEBT, SGA dan FCF) yang memiliki nilai P-value yang paling
besar. Pengujian secara terpisah selanjutnya dengan mengeluarkan
proksi agency cost yang memiliki nilai P-value yang telah
dikeluarkan sebelumnya hingga pada akhirnya pengujian hanya
dilakukan terhadap proksi yang memiliki nilai P-value terkecil. Hasil pengujian multivariate secara terpisah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.8
Hasil Regresi Logistik Secara Terpisah Tahap 1
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) DEBT .164 .271 .364 1 .546 1.178 FCF .529 1.613 .108 1 .743 1.697 Step 1(a) Consta nt -.656 .881 .553 1 .457 .519 Sumber: SPSS 15
Hasil dari tabel 4.8 mempertegas hasil pengujian multivariate secara serentak,di mana proksi hutang dan FCF tidak
berpengaruh terhadap income smoothing. Perubahan tingkat
P-value untuk masing-masing variabel pada pengujian 3 proksi dengan 2 proksi, juga tidak mencolok yaitu 1% dan 3%. Untuk lebih akurat, maka pengujian dilakukan sekali lagi dengan
mengeluarkan satu variabel yang memiliki nilai P-value yang
paling besar, yaitu FCF. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9
Hasil Regresi Logistik Secara Terpisah Tahap 2
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) DEBT .204 .272 .564 1 .453 1.227 Step 1(a) Consta nt -.919 .398 5.348 1 .021 .399 Sumber: SPSS 15 48
Dari hasil tabel 4.9 dapat dibuktikan sekali lagi bahwa proksi hutang tidak berpengaruh terhadap income smoothing. Hal ini didukung dengan nilai signifikansi dari 0,546 menjadi 0,453. Walaupun tingkat perubahan sebesar 17%, tetapi masih belum berpengaruh terhadap income smoothing.
Hasil pengujian di atas menunjukkan hasil yang konsisten baik yang dilakukan secara serentak maupun terpisah, dimana hasil yang didapat tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari ketiga proksi agency cost (hutang, SGA dan FCF) antara perusahaan yang melakukan praktik perataan laba dengan yang tidak melakukan praktik perataan laba.
Pada proksi hutang (DEBT) diperoleh P-value sebesar 0,550 untuk multivariate yang dilakukan secara serantak dan pengujian secara terpisah sebesar 0,546 dan 0,453 dimana ketiga nilai tersebut jauh diatas 0,05 maka tidak ada pengaruh yang signifikan
terhadap income smoothing. Hal ini juga didukung oleh nilai
Nagelkerke’s R2 pengujian serentak dan pengujian terpisah tahap 1 yang memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0,090 (9%) dan tahap 2 sebesar 0,086 (8,6%) yang berarti variasi dari proksi hutang hanya sebesar 9% pada tahap 1 dan 8,6% pada tahap 2, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Angka koefisien
determinasi ini tidak berdampak signifikan terhadap income
smoothing. Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan
“proksi agency cost hutang berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (income smoothing)” tidak dapat diterima.
Hasil tersebut konsisten dengan penelitian Alwan Kustono
(2009) bahwa proksi agency cost hutang tidak berpengaruh
terhadap income smoothing. Hal ini karena manajemen dalam
melakukan tindakan income smoothing bisa dikatakan bukan atas
dasar besar kecilnya agency cost yang terjadi akan tetapi lebih karena terdapat faktor-faktor lain yang menentukan manajemen
melakukan income smoothing seperti leverage dan dividen
misalnya. Ini bisa dilihat dari tingkat signifikansi yang sangat besar dan tingkat variasi yang kecil, yang artinya terdapat faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor hutang sebagai proksi dari agency cost.
Hasil pengujian multivariate terhadap proksi SGA secara serentak diketahui memiliki nilai sebesar 0,938 yang nilainya lebih besar dari 0,05. Hal ini juga didukung nilai Nagelkerke R2 pada saat pengujian secara serentak sebesar 0,090 atau 9% (lihat Tabel 4.7). Hal ini berarti bahwa 9% variasi dari income smoothing dapat
dijelaskan dari variabel agency cost (hutang, SGA dan FCF),
sedangkan sisanya sebesar 91% (100%-9%) dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Dengan demikian hipotesis ketiga yang
menyatakan “proksi agency cost SGA tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap praktik perataan laba (income smoothing)” tidak dapat diterima.
Rasio beban operasi terhadap total penjualan atau SGA sebagai proksi dari agency cost tidak berpengaruh terhadap income
smoothing. SGA mencerminkan kebijakan manajemen dalam
membelanjakan sumber daya perusahaan. Semakin tinggi SGA maka semakin tinggi agency cost yang terjadi (Putra dan Ratnadi
dalam Arman S, 2009:47). Namun dalam penelitian ini, agency
cost tidak berpengaruh terhadap kecenderungan income smoothing.
Hal ini karena manajemen dalam melakukan tindakan income
smoothing bisa dikatakan bukan atas dasar besar kecilnya agency cost yang terjadi (yang hanya berpengaruh sebesar (9%) akan tetapi lebih karena terdapat faktor-faktor lain (91%). Ini bisa dilihat dari tingkat signifikansi yang sangat besar dan tingkat variasi yang kecil, yang artinya terdapat faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor SGA sebagai proksi dari
agency cost.
Untuk proksi FCF diketahui P-value sebesar 0,768 untuk
pengujian secara serentak dan pengujian secara terpisah tahap 1 diperoleh nilai sebesar 0,743, dimana kedua nilai tersebut di atas 0,05. Hal ini juga didukung oleh nilai Nagelkerke’s R2 pengujian serentak dan pengujian terpisah tahap 1 yang memiliki nilai yang
sama yaitu sebesar 0,090 (9%) yang berarti variasi dari proksi FCF hanya sebesar 9%, sedangkan sisanya (91%) dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Angka koefisien determinasi ini tidak
berdampak signifikan terhadap income smoothing. Dengan
demikian hipótesis kedua yang menyatakan “proksi agency cost
SGA berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (income smoothing)” tidak dapat diterima.
FCF sebagai proksi dari agency cost tidak berpengaruh
terhadap kecenderungan income smoothing. Hal ini karena
manajemen dalam melakukan tindakan income smoothing bisa
dikatakan bukan atas dasar besar kecilnya agency cost yang terjadi akan tetapi lebih karena terdapat faktor-faktor lain yang
menentukan manajemen melakukan income smoothing. Ini bisa
dilihat dari tingkat signifikansi yang sangat besar dan tingkat variasi yang kecil, yang artinya terdapat faktor-faktor lain yang lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor hutang sebagai proksi dari agency cost.
Untuk mengetahui ketepatan prediksi terhadap perusahaan yang melakukan praktik perataan laba dan yang tidak melakukan praktik perataan laba dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.10 Uji Ketepatan Prediksi
27 1 96.4 12 2 14.3 69.0 Observed .00 1.00 IS Overall Percentage Step 1 .00 1.00 IS Percentage Correct Predicted Sumber: SPSS 15
Pada tabel di atas merupakan dua nilai prediksi dari variabel dependen yang diberi kode 1 untuk perusahaan yang melakukan insome smoothing dan 0 untuk yang bukan. Dari hasil tabel di atas menunjukkan bahwa pada kolom, prediksi yang bukan perata sebanyak 27 perusahaan sedangkan observasi sebesar 28 atau memiliki ketepatan prediksi sebesar 96,4%. Sedangkan perusahaan yang melakukan praktik perataan laba sebanya 12 perusahaan dari observasi 14 perusahaan atau memiliki ketepatan prediksi sebesar 14,3%. Dengan demikian hasil ketepatan prediksi secara keseluruhan adalah sebesar 69,0%.
Tabel 4.11 Persamaan Variabel
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) DEBT .167 .280 .358 1 .550 1.182 SGA -.207 2.654 .006 1 .938 .813 FCF .494 1.674 .087 1 .768 1.639 Step 1(a) Consta nt -.641 .905 .501 1 .479 .527 Sumber: SPSS 15 53
Dari hasil output di atas maka dapat dibuat persamaan dari
variabel dependen dan variabel independen (yakni agency cost
yang diproksikan dengan hutang, SGA dan FCF) berdasarkan persamaan logistik sebagai berikut:
Status = -0,641+ 0,167 (DEBT) – 0,204 (SGA) + 0,494 (FCF) + e
Dari persamaan di atas terdapat konstanta sebesar -0,641 yang berarti memiliki pengaruh negatif terhadap status yaitu
income smoothing. Untuk setiap kenaikan 1 satuan maka nialai status akan turun sebesar 0,641. Dengan koefisien variabel (B)
DEBT = 0,167 dan FCF = 0,494, maka agency cost yang
diproksikan hutang dan FCF memiliki pengaruh positif terhadap
income smoothing. Sedangkan SGA = -0,204 memiliki pengaruh negatif terhadap income smoothing. Nilai P-value dari masing-masing proksi DEBT = 0,550, SGA = 0,938 dan FCF = 0,768 yang semuanya memiliki nilai lebih besar dari 0,05 maka semua proksi
dari agency cost tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
income smoothing.
Dari analisis di atas, hasil dari pengujian secara terpisah maupun secara serentak dari proksi agency cost hutang, SGA dan FCF diperoleh hasil yang konsisten di atas 0,05. Jadi hipotesis
yang keempat yang menyatakan “agency cost (hutang, SGA dan
FCF) secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (income smoothing)” tidak dapat diterima.
Dari beberapa pengujian yang telah dilakukan oleh peneliti
dapat diketahui bahwa agency cost dengan menggunakan
pengukuran hutang, SGA dan FCF tidak berpengaruh terhadap praktik income smoothing yang kerap terjadi di perusahaan, ini
dikarenakan bahwa manajemen melakukan praktik income
smoothing cenderung karena motif oportunis dimana manajemen memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya atau memaksimumkan keuntungannya bukan karena pengaruh besar kecilnya agency cost yang terjadi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Alwan Sri
Kustono (2009) bahwa agency cost tidak mempengaruhi
kecenderungan income smoothing. Ini berarti besar kemungkinan
terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi praktik income
smoothing sendiri diantaranya ukuran perusahaan, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, keberadaan komisaris independen, kualitas auditor, net profit margin, oprating profit margin, kelompok usaha dan berbagai faktor lainnya yang telah banyak diteliti oleh peneliti terdahulu seperti yang dilakukan oleh Widyaningdyah (2001), Juniarti (2005), Luciana Spica (2006), Primanita dan Setiono (2006), wijayanto (2006), Masodah (2007), Diefky Berryllian (2007), Nurhayatun Nufus (2010) dan lain-lain,
namun hasil penelitian tersebut tidak selalu konsisten dan ini menarik untuk terus diteliti dan mengembangkan faktor-faktor yang mungkin memberikan pengaruh terhadap tindakan praktik
income smoothing.
BAB V