• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening yang telah dijelaskan dalam Kerangka Analisis Harvard, perlu dianalisis dengan Kerangka Analisis Longwe. Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian pemberdayaan perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening.

 Dimensi Kesejahteraan

Kelurahan Siaga bertujuan untuk mewujudkan kelurahan dengan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) di kelurahannya. Berdasarkan hasil Analisis Harvard, keberadaan Kelurahan Siaga turut membangun kesejahteraan perempuan. Dengan menjadi kader dalam Kelurahan Siaga Kalibening, perempuan memperoleh pengetahuan dan pengalaman di bidang kesehatan. Selain itu, mereka dapat menjalin hubungan baik dengan tenaga kesehatan sehingga akses mereka terhadap pelayanan kesehatan menjadi mudah. Dalam Kelurahan Siaga Kalibening, kader perempuan dapat menjalankan peran sosial, peran reproduktif, maupun peran produktif secara beriringan. Peran sosial tidak mengganggu peran yang lain, tetapi justru memperkuat. Artinya, peran sosial kader perempuan memperkuat peran reproduktif dan produktif mereka.

Dimensi Kesejahteraan Longwe antara lain menyangkut status gizi, tingkat kematian, tingkat kecukupan pangan, pendapatan, dan pendidikan pada perempuan maupun laki-laki (Sara H. Longwe, 1988) yang hanya dihitung pada lingkup kota, bukan kelurahan. Meskipun demikian, gambaran kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Kalibening dapat dilihat antara lain dari tidak adanya kasus kematian ibu melahirkan maupun kasus kematian bayi selama periode 2010-2012. Selama bulan Januari hingga Agustus 2013, Kelurahan Kalibening adalah salah satu dari tiga kelurahan di Kota Salatiga yang bebas kematian ibu dan kematian bayi. Selain itu, 2 pasien tuberkulosis yang ditemukan di Kelurahan Kalibening pada tahun 2010 (1 pasien) dan 2011 (1 pasien) juga tertangani dengan baik. Pasien yang ditemukan

pada pertengahan tahun 2010 dinyatakan sembuh pada pertengahan tahun 2012. Pasien yang ditemukan pada awal tahun 2011 telah dinyatakan sembuh pada awal tahun 2013. Pada tahun 2012 juga ditemukan 1 kasus balita gizi buruk dengan komplikasi cacat fisik, yaitu tugas motorik tangan dan kaki tidak berfungsi. Kasus ini juga tertangani dengan baik sehingga balita tersebut pada saat ini sudah berada dalam keadaan mendekati normal sesuai tugas tumbuh kembang usianya.

Secara umum, angka kesakitan di Kelurahan Kalibening untuk penyakit yang tergolong berat memang relatif rendah. Penyakit berat yang masih ditemukan di Kelurahan Kalibening adalah stroke (2 orang), gangguan jiwa (5 orang), dan sakit karena usia. Hal ini berbeda dengan kondisi enam tahun lalu yang masih dijumpai adanya kasus gizi buruk atau kondisi tiga tahun lalu yang masih ditemukan kasus tuberkulosis. Bahkan, di tingkat kecamatan, dua perwakilan balita dari Kelurahan Kalibening mampu menjadi juara pertama dalam lomba balita sehat dalam tahun yang berbeda (2010 dan 2011).

 Dimensi Akses

Fasilitas Kelurahan Siaga yang berupa peralatan kesehatan disimpan oleh kader perempuan yang sudah terlatih di masing-masing RW. Fasilitas tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh kader kesehatan untuk memantau kesehatan masyarakat melalui posyandu balita dan lansia maupun posbindu. Di luar kegiatan tersebut, warga juga dapat meminta kader untuk memeriksa kesehatan mereka sewaktu-waktu apabila diperlukan. Baik perempuan maupun laki-laki dapat mengakses fasilitas tersebut dengan mudah. Akses terhadap dana sehat juga tidak mengistimewakan laki-laki atau perempuan. Dana sehat dari hasil usaha pengolahan sawah bengkok dan persewaan alat pesta dikeluarkan ketika ada kader atau warga pada umumnya menderita sakit sedang sampai berat. Dengan kata lain, penggunaan dana sehat melihat kebutuhan, bukan melihat jenis kelamin.

Selain kemudahan mengakses fasilitas kesehatan, kaum perempuan juga mudah mengakses kelembagaan Kelurahan Siaga. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki dalam kepengurusan Kelurahan Siaga. Banyaknya jumlah kader perempuan bukan semata-mata karena mereka perempuan sehingga dilibatkan dalam Kelurahan Siaga, melainkan karena mereka adalah perempuan yang berpengalaman dalam kegiatan pembangunan masyarakat di bidang kesehatan. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat yang tidak difokuskan hanya kepada perempuan, kaum perempuan dapat terlibat secara aktif karena keterampilannya. Keterlibatan aktif para kader perempuan dalam Kelurahan Siaga ini mengindikasikan adanya peningkatan kekuasaan (power) orang-orang yang kurang beruntung (disadvatage) terhadap sumber daya kesehatan yang menjadi tujuan pemberdayaan, sebagaimana pernyataan Hikmat (2010:2). Dalam kacamata Ife (1995:3), perempuan merupakan kelompok primary structural disadvatage menyangkut gender. Berdasarkan lima tingkatan pemerataan Longwe (1998), pemerataan penguasaan terhadap sumber daya kesehatan akan lebih meningkatkan pemerataan kesejahteraan di bidang kesehatan.

 Dimensi Kesadaran Kritis

Kaum perempuan yang terlibat dalam kepengurusan Kelurahan Siaga memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki peran penting bagi keluarga maupun masyarakat. Selain itu, para kader perempuan juga berpandangan bahwa kader kesehatan tidak harus perempuan sebagaimana pernyataan kader berikut.

“Sedaya pengurus niku asline nggih pados tiang enggal mbak...mbuh lanang mbuh wedok padha wae. Mengke nek enten sing purun tumut, diajari terus saged dilebetke pengurus. Ning lare sakniki sami angel. Alesane enten mawon...sing wedi salah...sing kesel...sing ra eneng duite....macem-macem pun... padahal niki penting lho.”(Siti

(Semua pengurus sebenarnya mencari kader baru. Laki-laki atau perempuan sama saja. Kalau ada yang mau, diajari lalu dilibatkan dalam kepengurusan. Tetapi, anak sekarang susah diajak ikut kegiatan kemasyarakatan. Alasannya bermacam-macam, takut salah, capek, tidak ada uangnya. Padahal, kegiatan ini penting.)

Apabila, pada kenyataannya, kader kesehatan dalam Kelurahan Siaga Kalibening didominasi oleh perempuan adalah karena mereka berpengalaman terlibat kegiatan di bidang kesehatan. Pandangan kader laki-laki juga tidak jauh berbeda. Mereka berpendapat bahwa kader perempuan lebih paham, terampil, dan berpengalaman dalam kegiatan kemasyarakatan di bidang kesehatan.

Di sisi lain, masih ada anggapan bahwa, sebagai istri, para kader perempuan merasa berkewajiban melayani suami, salah satunya diwujudkan dengan menyajikan minum untuk suami. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya pembedaan tugas berdasarkan gender yang dibentuk oleh budaya sehingga, meskipun sudah terjadi saling berbagi dalam peran produktif, sosial, dan reproduktif pada umumnya, para istri yang menjadi kader di Kelurahan Siaga tetap beranggapan bahwa mereka adalah istri yang wajib melayani suami, dan tidak sebaliknya. Meskipun demikian, anggapan tersebut ternyata tidak berarti bahwa dalam menjalankan peran sebagai kader Kelurahan Siaga, para istri ini juga dipengaruhi oleh suami mereka. Hal ini karena mereka sangat menyadari, bahwa merekalah yang lebih mengerti kegiatan apa yang harus dilaksanakan kader dan bagaimana penerapannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam peran sosial, perempuan sudah memiliki kesadaran kritis, meskipun kesadaran kritis itu belum sepenuhnya tumbuh dalam peran reproduktif.

Para pengurus Kelurahan Siaga menyadari bahwa masing-masing memiliki peran penting dalam keluarga maupun masyarakat.

“Nggih....diarani penting nggih penting mbak. Kados pas pendataan jamkesda ngoten nika, nak boten kula kalih rencang-rencang kader sing ndata, pak RT nggih boten mlampah-mlampah...ning pancen sok sami nyepeleke.

Padahal..ngih boten kok kula ngundhat-undhat lho mbak...mangke nak butuh tanglet napa-napa nggih sami mlayu mriki....kados tanglet urusan jampersal, jamkesda...nak enten nggriya nggih sami-sami penting kalih bapake...tiang nak salah setunggil boten enten griya nggih sami sambate...ning nak bojo kula niku kalih kula ngregani og...boten sakpenake dhewe....sok dhong lak enten to mbak sing karo wong wedok ki wis ra nggagas...nek pas kumpulan ngoten nika, bapak-bapak niku nggih bingung damel program napa wong mudhenge namung Tirto Bening.”(Suciyem)

(Dikatakan penting, ya memang penting. Contohnya ketika pendataan Jamkesda. Kalau bukan saya dan teman-teman yang melakukan pendataan, Pak RT tidak segera mendata. Tetapi memang orang sering menyepelekan pekerjaan kader. Padahal, bukan saya mengungkit-ungkit, kalau mereka butuh bertanya banyak hal, larinya juga ke kader, seperti bertanya tentang Jampersal, Jamkesda. Kalau di rumah sama pentingnya dengan suami. Kalau salah satu sedang tidak ada di rumah, sama-sama mengeluh. Tetapi, suami menghargai saya, tidak seenak dia sendiri. Karena, terkadang ada suami yang meremehkan istri. Kalau sedang ada rapat Kelurahan Siaga, bapak-bapak itu juga binggung akan membuat program apa karena mereka hanya paham Tirto Bening.)

“Jelas penting to nggih....kados niku...enten balita gizi buruk...niku nak boten kader sinten sing nggagas...nak dibandingke bojone kula...nggih sami pentinge....nggih pancen bapake niku nak damelan njero ngomah wegah...ning nak momong anak, ngeterke, methuk, pokoke gawean-gawean metu seka ngomah ngoten gampang...lha boten penting piye ek....nak mbayar pembantu ya larang....nak Kelsi ra ana ibu-ibu ya gaweane ra mlaku...kan ibu-ibu sing mudheng...”(Nuraini)

(Jelas penting. Seperti balita gizi buruk itu, kalau bukan kader yang memikirkan, siapa lagi? Kalau dibandingkan dengan suami, sama pentingnya. Memang suami tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi kalau mengasuh anak, mengantar sekolah, menjemput, pekerjaan-pekerjaan yang keluar rumah, dia bersedia. Bagaimana tidak penting, kalau membayar pembantu juga mahal. Kalau Kelurahan Siaga tidak ada ibu-ibu, kegiatan tidak akan berjalan karena ibu-ibulah yang lebih paham.)

“....wah nak Kelsi ra nglibatke ibu-ibu mumet mbak...mulane biyen sing tak jupuk ibu-ibu soale wis pengalaman ngurusi kesehatan...dadine nak meh ngejoke proposal apa nyang Pemkot ki mudheng sing meh dijaluk apa.”(M. Arridho)

(Kalau Kelurahan Siaga tidak melibatkan ibu-ibu, pusing. Makanya, dulu yang saya pilih ibu-ibu karena sudah berpengalaman mengurusi masalah kesehatan. Jadi, kalau ingin mengajukan proposal ke Pemerintah Kota, kami paham yang kami butuhkan.)

“Lha pripun mbak, jane nggih kesel..tapi nek mboten enten sing purun obah nggih pripun...nggih kangge ibadah mawon...kula kalih bapake nggih santai kok...nek pas saged nggih dilampahi...neng nek pas warunge rame nggih salah setunggal mawon...ngoten niku bapake tesih dipaido lho mbak...kula niki ngantos sok dong pingin nangis...perkara Tirto Bening niku to...nek toyane macet pun....dados rame...Kula sok dong nek jengkel ngoten nika nganu bapake...wis pak awakedhewe ki wisa ra sah melu-melu urusan ngene iki...wis entuke kesel sih dipaido...ning bapake niku nek njawab nggih namung wis ben jenenge ibadah ki ya ngene iki...njenengan nggih pirsa to mbak bapake niku mendel...mboten purun rame.”(Purwanti)

(Sebenarnya (saya dan suami) juga capek. Tapi kalau tidak ada yang mau bergerak, bagaimana. Ya sebagai ibadah saja. Saya dan suami juga santai. Kalau sedang longgar, ya dijalani, kalau warung sedang ramai, ya salah satu saja. Begitu saja, suami masih disalahkan masalah Tirto Bening. Kalau airnya macet, jadi masalah. Kadang, kalau saya jadi jengkel, saya katakan pada suami, sudahlah Pak, kita tidak usah terlibat lagi dengan kegiatan seperti ini, sudah dapatnya hanya capek, masih disalahkan. Tapi, suami hanya menjawab, biar sajalah, namanya juga ibadah.)

Pengakuan kader-kader tersebut menunjukkan sudah mulai tumbuhnya kesadaran bahwa mereka harus berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Mereka juga memiliki kesadaran bahwa partisipasi mereka adalah penting, sehingga walaupun merasakan lelah, mereka tetap bertahan menjadi kader. Nilai-nilai agama yang mereka

anut yang menyatakan bahwa bekerja adalah ibadah menjadi penyemangat bagi para kader untuk tetap melaksanakan tugas sebagai kader.

 Dimensi Partisipasi

Kelurahan Siaga merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, sudah seharusnya dan sewajarnya apabila perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat itu. Dalam Kelurahan Siaga Kalibening, para kader perempuan terlibat dalam setiap tahapan aktivitas. Mereka turut menentukan kebutuhan masyarakat (baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun dewasa), pelaksanaan kegiatan di lapangan, dan terlibat dalam pengambilan keputusan pada setiap tahap kegiatan. Bahkan, dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan yang mereka tidak ingin terlibat pun, kader perempuan turut terlibat, yaitu dalam hal UKBM Tirto Bening.

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa kader perempuan cenderung dominan hampir dalam semua pengambilan keputusan. Hal tersebut karena kader perempuan mempunyai pengalaman dalam kegiatan kemasyarakatan yang berhubungan dengan kesehatan. Meskipun demikian, keterlibatan mereka dalam Kelurahan Siaga ternyata juga tidak menghambat keterlibatan mereka dalam pekerjaan reproduktif, pekerjaan produktif, maupun kegiatan pembangunan pada umumnya. Berkaitan dengan pengambilan keputusan, berikut penuturan para kader.

“Lha pripun boten ngoten, nggih niku wau gandheng ibu-ibu sing mudheng perkembangane damelan kesehatan dados nggih ibu-ibu sing damel rencana, sing nglampahi, sing ngontrol...pokoke ibu-ibu sedaya. Kecuali nggih Tirto Bening...niku mawon nek ibu-ibu pun gadhah usul sami ngeder...dados bapak-bapake niku ngiyani ngoten mawon...timbang ribut ya e...hahahahaha....ben wae...kados nek Tirto Bening ajeng ngundhakke iuran...ibu-ibu mesthi pun mbengok sik...boten setuju. Jane nggih ngertos nak iuran sakniki boten cukup ngge pemeliharaan. Nanging sing ngiguhke dhuit ki yo ibu-ibu e..”(Nuraini)

(Bagaimana tidak? Karena ibu-ibu yang memahami perkembangan kegiatan di bidang kesehatan, jadi ibu-ibu juga yang membuat rencana, menjalankan, sekaligus mengontrol. Semua dilakukan ibu-ibu. Kecuali Tirto Bening. Itu pun kalau ibu-ibu sudah memiliki usul, ngotot. Jadi, bapak-bapak hanya mengiyakan, mungkin daripada ribut. Biar saja. Seperti ketika Tirto Bening akan menaikkan iuran, ibu-ibu pasti berteriak lebih dahulu. Tidak setuju. Sebenarnya juga tahu kalau iuran yang sekarang ini tidak cukup untuk pemeliharaan. Tetapi yang mengatur pengeluaran itu ibu-ibu.)

Dari analisis Harvard dapat diketahui bahwa perempuan terlibat dalam setiap tahapan kegiatan Kelurahan Siaga, mulai pengkajian kebutuhan, identifikasi permasalahan, perencanaan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi program. Menurut lima tingkatan pemerataan Longwe (1988), dalam Kelurahan Siaga Kalibening telah terjadi pemerataan partisipasi aktif perempuan sebagai bagian dari sasaran kegiatan dalam proses pengambilan keputusan.

Berdasarkan penjelasan Mikkelsen (2011:57-58), keadaan tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening telah menghasilkan pemberdayaan. Dengan kata lain, kader perempuan dalam Kelurahan Siaga mampu menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan.

 Dimensi Kontrol

Dalam setiap aktivitas Kelurahan Siaga, kader perempuan memiliki kontrol terhadap setiap pengambilan keputusan. Mereka mengamati dan menentukan kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa; menyusun dan memutuskan rencana kegiatan; serta mengimplementasikannya di lapangan. Meskipun tidak dilakukan secara sadar dan terstruktur, kaum perempuan ini juga menganalisis dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukan Kelurahan Siaga dengan melihat hasil-hasilnya. Mereka mendengarkan keluhan masyarakat dan

membicarakannya dalam rapat Kelurahan Siaga maupun di luar rapat untuk memperoleh solusi. Mereka juga membuat rekomendasi-rekomendasi untuk lembaga kemasyarakatan lain, seperti BKM. Salah satu contoh rekomendasi mereka adalah rumah yang layak untuk mendapat bantuan bedah rumah atau pembangunan MCK dari BKM.

Berdasarkan analisis terhadap lima dimensi Longwe, dapat diketahui bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan Kelurahan Siaga Kalibening meningkat dari Dimensi Kesejahteraan, Dimensi Akses, Dimensi Kesadaran Kritis, Dimensi Partisipasi, hingga Dimensi Kontrol, karena kesetaraan ada pada setiap dimensi. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang ada pada setiap dimensi menunjukkan adanya peningkatan pemberdayaan perempuan. Analisis terhadap berbagai dimensi tersebut dapat disajikan seperti pada Gambar 5.1 berikut.

Gambar 5.1

Piramida Lima Dimensi Longwe dalam Kelurahan Siaga Kalibening

Bagi Longwe dalam March et all (2005:94), melakukan penilaian terhadap pemberdayaan perempuan saja tidak cukup. Hal lain yang juga penting adalah mengidentifikasi sejauh mana, tujuan

Peningkatan Kesetaraan

Peningkatan Pemberdayaan

suatu proyek peduli kepada pembangunan perempuan, untuk meyakinkan apakah isu-isu perempuan diakui (dianggap penting) atau diabaikan. Longwe mengidentifikasi tiga level yang berbeda dalam pencapaian pemberdayaan perempuan, yaitu negatif, netral, dan positif.

Berdasarkan kepada analisis terhadap lima dimensi Longwe, dapat diketahui bahwa isu perempuan telah menjadi perhatian pada setiap dimensi. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya pengakuan kader laki-laki bahwa perempuan dilibatkan dalam Kelurahan Siaga Kalibening bukan karena mereka perempuan, melainkan karena mereka memiliki keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman dalam kegiatan kemasyarakatan di bidang kesehatan. Selain itu, berdasarkan pada Analisis Harvard, para kader perempuan mengambil keputusan sendiri atas apa yang harus mereka laksanakan sebagai kader Kelurahan Siaga Kalibening. Oleh karena itu, para kader berusaha untuk saling menggantikan apabila ada salah satu kader yang tidak dapat menjalankan tugasnya. Bahkan, ada kalanya tugas kader dilaksanakan oleh kerabat perempuannya yang bukan kader. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa terjadi upaya untuk memperbaiki posisi perempuan secara relatif terhadap laki-laki, yaitu perempuan tidak lagi hanya menjadi obyek (penerima keputusan) atas hal-hal yang diputuskan oleh laki-laki. Hal tersebut mengandung beberapa makna.

Makna pertama, perbaikan posisi perempuan secara relatif terhadap laki-laki berarti bahwa walaupun perbaikan tersebut terjadi di Kelurahan Siaga Kalibening yang merupakan media pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, tidak serta merta terjadi hal yang sama di semua aspek kehidupan dan bidang pembangunan. Kedua, berdasarkan sudut pandang Longwe, pemberdayaan perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening telah mencapai level positif, yang ditandai dengan keterlibatan perempuan secara aktif di lembaga tersebut dan terjadinya perbaikan posisi perempuan secara relatif terhadap laki-laki. Ketiga, modal sosial yang mengikat yang ditunjukkan dengan kemauan kaum perempuan, walaupun bukan kader, untuk saling menggantikan menjalankan tugas kader menunjukkan bahwa telah tercapai level

yang lebih tinggi daripada level positif Longwe, yakni tercapainya level kelembagaan Kelurahan Siaga Kalibening.

Strategi

Dari pemaparan pada Subbab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa meskipun pemberdayaan perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening telah mencapai level pemberdayaan yang positif menurut kerangka analisis Longwe, tetapi masih terdapat permasalahan dan hambatan yang memerlukan pemecahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Selain beberapa permasalahan yang mungkin muncul yang telah disebutkan pada Subbab sebelumnya, masih ada permasalahan lain sebagaimana dituturkan para kader dan warga berikut.

“Mriki sing angel banget niku pados kader enggal. Lanang

wedok sami mawon. Angel kabeh. Padahal nggih pun sami disanjangi nek manfaate luwih akeh timbang mudarate.”(Kustianah)46

(Mencari kader baru sulit. Laki-laki dan perempuan, sama sulitnya. Padahal, sudah diberitahu bahwa lebih banyak manfaatnya daripada ruginya.)

“Nek ibu-ibu alesane repot, bapak-bapak alesane ya repot.

Padahal nak dipikir repote, awake dhewe ya repot ya. Sami-sami gadhah anak bojo. Enten sing alesane ajrih, sing boten saged. Nek belajar kan suwe-suwe ya isa.”(Wiwik

Purwantini)47

(Ibu-ibu dan bapak-bapak beralasan repot. Padahal, kalau dipikir, kita juga repot. Kita juga sama dengan mereka, mempunya anak dan suami. Ada yang beralasan takut atau tidak bisa. Kalau mau belajar, semakin lama akan bisa.)

46 FGD pada tanggal 22 September 2012.

“Sing kula pikir niku, terus mbesok nek sing ngeten-ngeten

niki pun sami sepuh, pripun. Lha wong remajane wae ya ra mlaku. Karang taruna mriki kan blas boten mlampah. Paling pemuda Anshor niku tesih enten pengaosan.”(Sri Suparti)48

(Saya berpikir, kelak, kalau kami ini sudah tua, bagaimana? Karena remajanya juga tidak aktif. Karang Taruna di sini sama sekali tidak ada aktivitas. Hanya Pemuda Anshor yang masih mengadakan pengajian.)

“Mungkin kudune cah-cah SMP-SMA kuwi dijak.”(Nuraeni)49

(Barangkali, seharusnya remaja yang masih duduk di bangku SMP dan SMA diajak ikut kegiatan Kelurahan Siaga.) “Berarti kudune posyandu, posbindu kuwi sore.”(Ismiyati)50

(Berarti, posyandu dan posbindu seharusnya dilaksanakan sore hari.)

“Ya ra papa, nek wis mlaku lak bocah-bocah kuwi isa gantian

karo awake dhewe. Bocah-bocah kuwi kan isa ngrewangi nyathet-nyathet. Ya cah lanang ya cah wedok. Suwe-suwe lak pinter isa dadi kader.”(Sholikhah)51

(Tidak masalah, kalau sudah berjalan, remaja-remaja itu bisa bertugas bergantian dengan kita. Mereka bisa membantu mencatat. Baik remaja perempuan maupun laki-laki. Kalau sudah terbiasa, mereka bisa menjadi kader.)

“Sing wis lulus sih nganggur kuwi ya dijak. Malah

pinter-pinter kuwi wong dho lulusan SMA. Wong aku sing lulus SMP wae isa kok.”(Nuraeni)52

48 FGD pada tanggal 22 September 2012.

49 FGD pada tanggal 22 September 2012.

50 FGD pada tanggal 22 September 2012.

51 FGD pada tanggal 22 September 2012.

(Yang sudah lulus tetapi masih menganggur itu sebaiknya diajak. Mereka malah lebih pinter karena lulusan SMA. Saya yang lulusan SMP saja bisa.)

Bahwa mencari kader laki-laki sangat sulit, hal tersebut diakui oleh bapak-bapak yang bukan kader Kelurahan Siaga.

Dokumen terkait