• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS GENDER TERHADAP KELURAHAN SIAGA KALIBENING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V ANALISIS GENDER TERHADAP KELURAHAN SIAGA KALIBENING"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

ANALISIS

GENDER TERHADAP

KELURAHAN SIAGA KALIBENING

Kelurahan Siaga Kalibening sebagai Media Pemberdayaan

Masyarakat

Merujuk kepada Rahim (Schramm dan Lerner, 1976) dalam Mardikanto (2012:22), Kelurahan Siaga merupakan kelembagaan masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengorganisasi dan menggerakkan warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di bidang kesehatan. Dalam kasus Kelurahan Siaga ini, partisipasi dipandang sebagai tujuan sekaligus sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu swadaya dan berkelanjutan. Berdasarkan pernyataan Kruks (1983) dalam Mikkelsen (2011:59), partisipasi masyarakat dalam Kelurahan Siaga dapat digolongkan sebagai partisipasi transformasional.

Pada hakikatnya, pembentukan Kelurahan Siaga melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1529/Menkes/SK/X/2010 merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat pada umumnya. Keputusan ini merupakan upaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan sebagaimana diungkapkan Kartasasmita (1996:15). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1529/Menkes/SK/X/2010 tidak mengatur bahwa hanya perempuan yang dilibatkan dalam Kelurahan Siaga. Sebagai media pemberdayaan yang terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas (Mosse, 1996), pembentukan dan pengelolaan Kelurahan Siaga

(2)

diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Merujuk kepada Adi (2012:202), Kelurahan Siaga juga melibatkan kader.1

Lurah Kalibening menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Salatiga tidak melepas Kelurahan Siaga Kalibening begitu saja.

“Sejak dibentuk, DKK (Dinas Kesehatan Kota) secara rutin memberi pembinaan. Biasanya berupa pelatihan, rapat-rapat, sosialisasi. Satu tahun bisa ada 5-6 kali kegiatan. Tahun 2012 kemarin, DKK juga memberikan 1 set perlengkapan untuk keperluan sosialisasi Kelurahan Siaga. Ada LCD, layar, sound

system, laptop. Tahun ini malah ada bantuan peralatan

kesehatan untuk mengukur gula darah, kolesterol, asam urat. Juga ada 2 kader yang dilatih untuk menggunakan alat itu. Ya, sementara memang baru dua kader. Tapi, memang tidak mungkin dalam satu kali pelatihan semua kader ikut. Se-Salatiga ini ada berapa puluh, mungkin malah berapa ratus kader. Untuk pelaksanaan kegiatan, Puskesmas Sidul (Sidorejo Kidul) mengijinkan untuk menggunakan Pustu. Yang penting minta kunci ke Puskesmas. Karena kalau ndak dikunci bahaya. Di situ nyimpan obat-obatan.”2

Pernyataan Lurah Kalibening tersebut diperkuat oleh Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Dinas Kesehatan Kota Salatiga.

“Kelsi (Kelurahan Siaga) itu kan lebih bersifat fasilitasi. Artinya, terkadang masyarakat tidak tahu apa yang mereka butuhkan. Nah, kita (Pemerintah Kota Salatiga) memfasilitasi masyarakat untuk melakukan pencegahan-pencegahan penyakit melalui Kelsi ini. Kalau mereka tidak sakit, mereka bisa bekerja, memperoleh pendapatan, tidak perlu biaya berobat, jadi bisa sejahtera. Nah, untuk mendukung itu, kualitas kader kita tingkatkan. Dulu kan hanya nimbang berat bayi lalu ngisi KMS (Kartu Menuju Sehat). Sekarang lebih dari itu. Kader bisa nensi (mengukur tekanan darah), ngukur gula darah, ngukur kolesterol, asam urat. Alat-alatnya kita sediakan. Nanti Puskesmas Induk yang memantau supaya hasil pengukuran alat-alat itu tetep valid. Jadi tidak kita lepas begitu saja. Ya, kalau pelatihan untuk semua kader tentu tidak bisa dalam sekali pelatihan. Pasti bertahap. Sekarang masing-masing Kelsi 2 orang dulu. Tahun

1 Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat setempat yang dengan

sukarela ingin membantu proses perubahan terencana yang dilakukan oleh lembaga.

(3)

depan, mungkin bisa ditambah lagi. Begitu. Kalau mak breng (sekali pelatihan untuk semua kader) ya tidak mungkin. Pertama, dananya tidak cukup. Karena yang membutuhkan pendanaan itu kan tidak hanya pelatihan kader Kelsi. Jadi, penggunaannya harus merata. Kedua, efektivitasnya. Kalau peserta pelatihan cuma beberapa orang itu lebih efektif. Ilmunya bisa terserap. Tapi kalau banyak orang, biasanya tidak efektif karena ada yang ngobrol sendirilah, keluar masuk ruanganlah, macem-macem. Memang tahun kemarin kita membantu perlengkapan sosialisasi. Bedanya, kalau peralatan pemeriksaan kesehatan itu kita serahkan kepada kader, kalau perlengkapan sosialisasi ini kita serahkan ke Kelurahan. Kalau tidak begitu, nanti kalau rusak, hilang, tidak ada yang bertanggung jawab. Atau jangan-jangan jadi rebutan, terus lama-lama dihaki (menjadi milik perorangan). Jadi penggunaan fasilitas yang ini (perlengkapan sosial) biar diawasi aparat Kelurahan.”3

Dengan kata lain, sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat, Pemerintah Kota Salatiga melengkapi kebijakan pembentukan Kelurahan Siaga dengan hal-hal sebagai berikut.

1. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada kader Kelurahan Siaga secara rutin.

2. Memberikan peralatan pemeriksaan kesehatan yang selanjutnya disimpan oleh kader agar dapat digunakan sewaktu-waktu dibutuhkan.

3. Memberikan pendampingan dan pembinaan secara rutin melalui tenaga kesehatan di Puskesmas, baik dalam bentuk transfer pengetahuan, informasi, pemantauan kualitas alat pemeriksaan kesehatan, dan supervisi.

4. Memberikan kesempatan kepada para kader untuk merencanakan dan melaksanakan program kerja Kelurahan Siaga sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Keempat hal tersebut sekaligus merupakan usaha Pemerintah Kota Salatiga untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki

(4)

masyarakat menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) dan membuka akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya sebagaimana diungkapkan Kartasasmita (1996:15). Dengan adanya kader kesehatan dan peralatan pemeriksaan kesehatan di lingkungan setempat, masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan secara mudah dan murah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh beberapa kader berikut.

“Sinten mawon sing butuh, saged mriki. Nek mboten saged, nggih kula sing ten griyane. Soale sedaya alat enten mriki. Gratis. Jane mriki nggih enten dokter. Nggih warga mriki. Ning kirang srawung...tiang mriki badhe priksa mriku dadi pekewuh to mbak...nggih..sakniki pun enten Posbindu. Ning dereng saged rutin mbak. Lha nunggu sedaya pengurus sela. Niku kan penguruse gabungan saking sedaya RW.”

(Sholikhah, 44 tahun)4

(Siapa pun yang membutuhkan pemeriksaan kesehatan bisa datang ke sini. Kalau tidak bisa, saya yang ke rumahnya. Karena semua alat ada di sini. Gratis. Sebenarnya di sini ada dokter. Warga sini juga. Tetapi kurang bergaul dengan warga. Warga sini jadi segan. Ya, sekarang sudah ada Posbindu. Tetapi belum bisa rutin. Karena menunggu semua pengurus bisa hadir. Pengurus Posbindu merupakan gabungan dari semua RW.)

“Saupami tiang sadean, nek Kelsi5 niku nggih dodolan

priksan kalih penyuluhan, gratis. Nek bangsane obat boten gadhah. Vitamin A niku nggih saking Puskesmas. Namung pas posyandu. Nak boten posyandu nggih kader boten gadhah.”(Suciyem)6

(Ibarat berjualan, Kelurahan Siaga menjual pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan. Kelurahan Siaga tidak menyediakan obat-obatan. Vitamin A juga dari Puskesmas

4 Wawancara dilakukan pada tanggal 12 September 2013. Yang bersangkutan adalah

ibu rumah tangga murni. Suami yang bersangkutan adalah wiraswasta. Mereka memiliki enam orang anak.

5Pengurus Kelurahan Siaga Kalibening terbiasa menggunakan istilah Kelsi yang

merupakan akronim dari Kelurahan Siaga.

(5)

dan tersedia hanya pada saat posyandu. Kalau sedang tidak ada posyandu, tidak punya.)

“Priksan niku pas posyandu, posbindu. Nanging sehari-hari

nggih saged, nek enten sing butuh. Nek penyuluhan pas PKK RT, RW, pengaosan, sok dong nggih gethok tular. Ngoten niku mawon.”(Kustianah)7

(Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada saat posyandu dan posbindu. Tetapi, sewaktu-waktu diperlukan juga bisa, kalau ada yang membutuhkan. Penyuluhan kesehatan dilakukan pada saat pertemuan PKK RT, RW, pengajian, dan terkadang dari mulut ke mulut. Hanya seperti itu.)

Berdasarkan konsep pemberdayaan Ife (1995:3), empat hal tersebut merupakan upaya Pemerintah Kota Salatiga untuk melengkapi masyarakat dengan sumber daya, peluang, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka guna menentukan masa depan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Selain itu, empat hal tersebut juga menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam Kelurahan Siaga Kalibening mengikuti kecenderungan pertama yang disampaikan Pranarka dkk (1996:56), yaitu menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuataan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya, yang merupakan makna kecenderungan primer.

Pemberdayaan Perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening

Pelaksanaan Program Desa/Kelurahan Siaga diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga, yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1529/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif pada hakikatnya juga bertujuan

(6)

memberdayakan segenap potensi yang ada dalam masyarakat (termasuk perempuan) dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pemberdayaan segenap potensi masyarakat menjadi penting karena merujuk kepada Rahim (Schramm dan Lerner, 1976) dalam Mardikanto dkk (2012:22) pelaksana utama kegiatan pembangunan justru terdiri dari kelompok masyarakat luas yang disebut sebagai subsistem masyarakat atau pengikut.

Perempuan sebagai bagian dari masyarakat sudah seharusnya memiliki partisipasi yang sama dengan laki-laki dalam proses pembangunan, baik dalam bentuk pemberian ide, pelaksanaan kegiatan, pemantauan, pengawasan, serta pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Keterlibatan perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening tidak bisa lepas dari upaya pemberdayaan perempuan yang dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat bentukan pemerintah yang pada jaman dahulu disebut Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Melalui Kelompok Kerja (Pokja) IV yang membidangi kesehatan. PKK memberikan edukasi dan pelatihan kepada perempuan tentang kesehatan ibu dan bayi serta kesehatan keluarga. Berawal dari Pokja IV itulah kader kesehatan terbentuk sehingga akhirnya, di Kelurahan Kalibening, kader-kader tersebut direkrut oleh Ketua Kelurahan Siaga Kalibening untuk menjadi kader Kelurahan Siaga, sebagaimana penjelasan Lurah Kalibening berikut.

“PKK itu kan ada Pokja (Kelompok Kerja) IV. Pokja ini khusus mengurusi kesehatan. Karena yang mengikuti PKK itu ibu-ibu semua, jadi yang dikirim untuk mendapat pelatihan kesehatan ya ibu-ibu. Akhirnya, hanya ibu-ibu yang berpengalaman ikut kegiatan kesehatan. Sejarahnya begitu.”8

Berdasarkan Ulfah (2010:16), edukasi dan pelatihan tersebut merupakan bentuk proses penumbuhan kesadaran kritis agar perempuan mampu berkembang secara optimal dan mampu membuat rencana, mengambil inisiatif, mengorganisasi diri, serta bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya. Selain itu, edukasi dan

(7)

pelatihan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membekali masyarakat dengan sumber daya, peluang, pengetahuan, dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menentukan masa depan serta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi diri sendiri sekaligus komunitas mereka sebagaimana yang dinyatakan oleh Ife (1995:3).

Di dalam Kelurahan Siaga, pengetahuan dan keterampilan para perempuan ini semakin terasah karena adanya pelatihan rutin dengan materi yang semakin berkembang. Jika dahulu kader kesehatan hanya mampu membaca alat pengukur berat badan dan mengisi Kartu Menuju Sehat (KMS), kini kader kesehatan dilatih untuk mengukur kadar gula darah, kadar kolesterol, kadar asam urat, lemak tubuh, dan mengukur lingkar pinggang-pinggul (lingpingping) dalam rangka deteksi dini penyakit tidak menular. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan para perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening tersebut semakin mengukuhkan pentingnya peran mereka dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan pada level preventif (pencegahan).

Kader Kelurahan Siaga Kalibening yang dilatih untuk mampu mengoperasikan peralatan pemeriksaan kesehatan adalah perempuan. Apabila para kader perempuan tidak terlibat lagi dalam Kelurahan Siaga, berbagai peralatan hibah dari Pemerintah Kota Salatiga tersebut akan tidak bermanfaat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Adi (2002:60), sarana kesehatan menjadi kurang artinya ketika masyarakat tidak berpartisipasi dalam wujud pemanfaatan dan pemeliharaannya secara optimal. Oleh karena itu, dari aspek pemanfaatan peralatan kesehatan, dapat dikatakan bahwa kader-kader perempuan tersebut telah memberdayakan peralatan kesehatan yang ada untuk memantau kesehatan masyarakat di sekitarnya.

Pengetahuan dan keterampilan dasar di bidang kesehatan tersebut menjadi bekal bagi kader perempuan untuk mengambil peran dalam setiap pengambilan keputusan Kelurahan Siaga Kalibening. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan Kelurahan Siaga Kalibening terjadi pemberdayaan perempuan yang, menurut Ardle (1989) dalam Hikmat (2010:3), ditandai dengan adanya proses pengambilan

(8)

keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Dalam kasus Kelurahan Kalibening, orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan mereka sendiri adalah kader perempuan.

Dalam sudut pandang Moser dalam Rusmidi (2006: 94-100), berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pembangunan, penerapan kebijakan pembentukan Kelurahan Siaga Kalibening ini menggunakan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memperbaiki posisi perempuan, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kekuasaan perempuan untuk melakukan negosiasi, tawar menawar, dan mengubah sendiri situasinya. Hal ini tampak dari proses pengambilan keputusan di Kelurahan Siaga Kalibening yang tidak terjadi begitu saja. Pengambilan keputusan terjadi melalui diskusi dan negosiasi di antara para kader perempuan dan antara kader perempuan dengan kader laki-laki.

Berdasarkan pengamatan, kader perempuan mampu melakukan negosiasi dengan baik selama rapat berlangsung sehingga keputusan akhir yang diambil oleh Kelurahan Siaga Kalibening hampir selalu berawal dari pemikiran kader perempuan. Mereka dapat melakukan negosiasi dengan baik karena mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan, menyaksikan sendiri kondisi masyarakat setempat melalui kegiatan posyandu, posbindu, maupun pemeriksaan jentik nyamuk dari rumah ke rumah. Selain itu, mereka juga mendengar sendiri keluhan masyarakat. Oleh karena itulah, mereka menjadi pelaku aktif dalam pembangunan kesehatan di Kelurahan Kalibening melalui Kelurahan Siaga Kalibening.

Pendekatan ini juga menekankan pentingnya bagi perempuan untuk meningkatkan keberdayaannya dan mengartikan pemberdayaan bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang diperoleh perempuan akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan atau kemampuan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self reliance) dan kekuatan dalam dirinya (internal strength). Di Kelurahan Siaga Kalibening, kader perempuan tidak berupaya untuk

(9)

mendominasi laki-laki, baik di lingkup Kelurahan Siaga, kelurahan, maupun rumah tangga. Berdasarkan pengamatan dalam rapat Kelurahan Siaga Kalibening, kader perempuan tidak memaksakan kehendaknya apabila kurang memahami permasalahan yang dibahas.

Dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, para kader perempuan juga tidak lantas menyerahkan semua urusan rumah tangga kepada suami. Para kader perempuan ini lebih memilih bergantian melaksanakan tanggung jawab sebagai kader dengan rekannya, ketika mereka memiliki urusan produktif atau reproduktif yang tidak dapat ditinggalkan. Sebaliknya, mereka (meskipun ada satu yang tidak) berbagi pekerjaan rumah tangga dengan suami ketika ada tugas kader yang tidak dapat ditinggalkan. Dengan kata lain, kader perempuan di Kelurahan Siaga Kalibening memiliki kebebasan untuk beraktivitas dalam pekerjaan sosial, pekerjaan produktif, maupun pekerjaan reproduktif. Mereka berusaha keluar dari subordinasi tanpa melakukan subordinasi kepada laki-laki, salah satunya adalah dengan tetap menyajikan minum untuk suami karena memiliki anggapan bahwa sebagai istri, mereka memang wajib melayani suami. Dalam sudut pandang Moser, aktivitas para kader perempuan tersebut menyiratkan adanya upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai hubungan gender laki-perempuan yang lebih selaras sehingga pembangunan mempunyai makna sebagai pemberdayaan.

Sebagaimana pernyataan Ardle dalam Hikmat dkk (2006:3) bahwa dalam konsep pemberdayaan, orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif melalui kemandiriannya, harus lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan, serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Demikian halnya para kader perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening. Mereka harus lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri. Dalam hal ini, analisis gender memegang peranan penting untuk menyusun kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) dalam rangka mencapai kesetaraan dan keadilan gender.

(10)

Analisis Harvard

Dalam pelaksanaan Kelurahan Siaga Kalibening, perlu diketahui apakah dalam lembaga tersebut sudah terjadi kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-hak mereka dalam pembangunan sekaligus menikmati hasilnya. Keterlibatan perempuan dalam suatu kegiatan tidak serta merta menunjukkan adanya kesetaraan gender. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan pertama, kader perempuan terlibat dan berpartisipasi sebatas sebagai pelaksana keputusan kader laki-laki. Kemungkinan kedua, keterlibatan kader perempuan ternyata mengabaikan keberadaan kader laki-laki. Kedua kemungkinan tersebut merupakan bentuk kesenjangan gender.

Analisis Harvard digunakan sebagai dasar untuk melihat apakah Kelurahan Siaga Kalibening telah memperhatikan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Analisis tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pembagian peran akan mempengaruhi keterlibatan perempuan di dalam mengikuti kegiatan Kelurahan Siaga Kalibening.

Menurut pengakuan para kader perempuan dalam Kelurahan Siaga Kalibening, dalam kehidupan sehari-hari, di anatara mereka ada yang terbiasa berbagi pekerjaan dengan suami, ada pula yang tidak. Dalam hal pekerjaan reproduktif, ada ibu-ibu yang mengerjakan pekerjaan reproduktif sendiri, ada yang berbagi dengan suami. Demikian halnya dalam hal pekerjaan produktif, ada ibu-ibu yang turut berperan dalam pekerjaan produktif, ada yang sama sekali tidak berperan sebagaimana petikan hasil wawancara berikut.

“Wah nek bojone kula niku, rumiyin pas tesih bujang, sregep. Napa-napa piyambak. Ning bareng gadah bojo ngantos saniki blas boten nate nggarap damelan nggriya. Pikire yak e wong dheweke wis nyambut gawe golek dhuwit terus kulo sing ning ngomah.”(Nuraini, 34 tahun)9

9 Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah ibu

rumah tangga murni. Suami yang bersangkutan adalah karyawan swasta dengan jam kerja shift. Mereka memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan.

(11)

(Suami saya dulu, sebelum menikah, rajin. Semua dia kerjakan sendiri. Tetapi, setelah punya istri, sama sekali tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mungkin, karena dia sudah bekerja mencari nafkah sedangkan saya di rumah.)

“Nggih pancen kula boten nate ngrencangi damelan nggriya. Nggih gentosan. Mosok pados arta kula, damelan nggriya nggih kula. Ibune lare kan enten nggriya. Nek pas kula prei, nggih kula sing momong. Nanging nek ibune lare ngaken kula ten pundi-pundi ngoten kula manut kok, bu. Pokoke boten blanja mawon. Lha nek blanja kleru mengke diseneni.(Tri Utomo, 34)10

(Memang saya tidak pernah membantu pekerjaan rumah tangga. Gantian. Masa mencari uang, saya, pekerjaan rumah tangga juga saya. Toh istri saya ada di rumah. Kalau saya libur, saya yang mengasuh anak. Tetapi, kalau istri menyuruh saya ke mana-mana, saya juga menurut. Asalkan bukan belanja. Karena, kalau belanjanya salah, nanti dimarahi.)

“Kula kalih bapake niku sinten sing saged mbak...ning nek damelan njero ngomah bangsane masak, resik-resik ngoten niku nggih kathah kula...lha nek isuk bapake nyambut damel.” (Sholikhah)

(Saya dan suami, siapa yang sempat saja. Tetapi, kalau pekerjaan rumah tangga, seperti bersih-bersih, lebih banyak saya, karena kalau pagi, suami bekerja.)

“Damelan griya nggih kula mbak. Bapake niku jam pitu pun bidhal glidhig kok...biasane wangsul nggih pun bakda

10 Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah

(12)

ashar...paling-paling nek enten griya namung momong anak.”(Ismiyati, 34 tahun)11

(Pekerjaan rumah tangga, saya. Suami jam tujuh pagi sudah berangkat bekerja. Biasanya, pulang setelah ashar. Kalau di rumah, hanya mengawasi anak.)

“Kula kalih ibuke niku sami mawon mbak. Kula piyambak mboten saged kendel. Dadose nek enten griya nggih enten damelan napa tak candhak. Ning nek sakniki nggih rada santai, wong lare-lare sampun ageng...pun sami saged ngrewangi nyapu, masak, siram-siram.” (Muhlazin, 53

tahun)12

(Saya dan istri, sama saja. Saya sendiri tidak bisa berdiam. Jadi, kalau sedang di rumah, ada pekerjaan apa, saya kerjakan. Tetapi kalau sekarang sudah lebih santai karena anak-anak sudah besar. Sudah bisa membantu menyapu, memasak, atau menyiram halaman.)

“Kula kalih bapake niku ten pundi-pundi sareng kok mbak. Dadose sedaya damelan nggih sareng-sareng. Paling nek bapake pas enten undangan saking kecamatan napa kota ngoten niku kula enten wande piyambakan.” (Purwanti, 39

tahun)13

(Saya dan suami pergi ke mana saja selalu bersama. Jadi, semua pekerjaan dilakukan bersama-sama. Kecuali kalau

11 Wawancara dilakukan pada tanggal 1 September 2013. Yang bersangkutan memiliki

usaha menjahit kecil-kecilan yang memang menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga. Suami yang bersangkutan bekerja sebagai buruh bangunan. Mereka memiliki satu anak perempuan dan satu anak laki-laki.

12 Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah

suami Nur Badiah dan bekerja sebagai PNS di Kabupaten Semarang.

13 Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah istri

(13)

suami ada undangan rapat di Kecamatan atau Kota, saya menunggui warung sendiri.)

“Sami-sami mbak. Sinten sing enten griya mawon. Pas kula enten griya nggih kula sing nandangi damelan griya. Nak pas bapake sing enten griya nggih bapake. Nak pas enten griya sedaya nggih sareng-sareng. Jaman lare-lare tesih alit, nek bapake pas enten griya piyambake momong. Nek sakniki pun sami dolan piyambak, mboten perlu momong. Ning nek pados arta, kula nggih pados arta. Kula kan ngedrop jajanan kangge lare sekolah niku, Damatex, kalih Sampoerna Ngawen niku. Nek bapake nyambut damel enten damatex.”

(Suciyem)

(Sama saja, tergantung siapa yang sedang berada di rumah. Kalau saya yang berada di rumah, saya yang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan sebaliknya. Kalau sedang di rumah semua, pekerjaan rumah tangga diselesaikan bersama. Ketika anak-anak masih kecil, kalau suami sedang di rumah, dia yang mengawasi anak-anak. Kalau sekarang, anak-anak sudah bisa bermain sendiri. Tetapi kalau mencari uang, saya juga mencari uang. Saya menitipkan kue-kue untuk anak sekolah, Damatex, dan Sampoerna Ngawen. Kalau suami, bekerja di Damatex.)

“Nggih kula mbak...bapake niku isane prentah...lha wong ya mbiyen ki critane cah cilik entuk wong tuwa dadi entene manut. Neng bapake niku nek kula pas kesel diprentah ra mangkat nggih boten napa-napa. Kula tilar kesah urusan posyandu napa rapat enten kota nggih manut mawon. Lha napa-napa nggih kula... nggarap bengkok nggih kula.”

(Rojabiyah, 47 tahun)14

14 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah ibu

rumah tangga dan memiliki pekerjaan sambilan menjahit. Selain itu, yang bersangkutan juga bercocok tanam dengan menyewa tanah bengkok Kelurahan

(14)

(Sayalah, suami hanya bisa menyuruh. Memang saya dulu menikah dengan orang yang jauh lebih tua, jadi hanya bisa menurut. Tetapi, suami itu kalau saya sedang kelelahan dan tidak mau mengikuti perintahnya, ya tidak apa-apa. Saya tinggal pergi ke Posyandu atau rapat di Kota, menurut saja. Karena segala sesuatu tergantung saya, menggarap tanah bengkok, juga saya.)

“Kula pun merdeka. Lare-lare pun ageng dados pun saged ngurusi awake piyambak-piyambak. Kula kantun ngurusi warung. Nek riyin nggih damelan kula piyambak. Bapake namung momong kalih ngurusi warung.” (Nurlidyawati, 40

tahun)15

(Saya sudah merdeka. Anak-anak sudah besar, bisa mengurusi diri mereka sendiri. Saya tinggal mengurus warung. Kalau dulu, pekerjaan rumah tangga saya kerjakan sendiri. Suami hanya mengawasi anak dan mengurus warung.)

“Kula paling ndherek pas posyandu kalih rapat Kelsi mawon mbak. Sanese niku kula boten tumut. Lha lare kula sing alit blas boten saged ditilar...sakniki kula lebetke PAUD kajenge ajar kendel...dhawahe nek ngertos kula tilar wangsul mesthi nangis. Dados kula saben dinten nenggani enten sekolahan....damelan griya paling napa ta...nggih pancen sing nggarap kula wong nek enjang nggih bapake nggih nyambut damel. Ning nek niku boten kudu jam sementen-jam sementen ngoten. Bapake ngrencangi damelan griya namung nek sonten kalih Minggu...kan prei...o bapake niku pokoke

Kalibening. Suami yang bersangkutan adalah guru mengaji yang hanya bekerja di sore hari. Mereka memiliki dua orang anak laki-laki.

15 Wawancara dilakukan pada tanggal16 Agustus 2013. Yang bersangkutan bersama

suami mengelola warung kelontong sebagai sumber penghasilan keluarga. Suami yang bersangkutan juga memiliki pekerjaan sambilan sebagai makelar tanah. Mereka memiliki dua orang anak.

(15)

sing piyambake saged napa dicandhak...boten milih-milih damelan. (Ana Ghoziyah, 36 tahun)16

(Saya paling ikut ketika ada Posyandu dan rapat Kelurahan Siaga saja. Selain itu, saya tidak ikut. Karena anak saya yang kecil tidak bisa ditinggal. Sekarang sudah saya masukkan PAUD supaya belajar berani. Ternyata, setiap tahu saya tinggal pulang, menangis. Jadi, saya menunggui di sekolah setiap hari. Kalau pekerjaan rumah tangga, tidak banyak. Memang yang menyelesaikan saya karena, kalau pagi, suami bekerja. Tetapi, toh pekerjaan rumah tangga tidak terikat waktu. Suami membantu pekerjaan di rumah hanya sore hari dan Minggu. Suami saya tidak memilih-milih pekerjaan. Di rumah ada pekerjaan apa, dia mau mengerjakan. Suami membantu pekerjaan di rumah hanya sore hari dan Minggu. Suami saya tidak memilih-milih pekerjaan. Di rumah ada pekerjaan apa, dia mau mengerjakan.)

“Kula estunipun remen mbak saged ndherek kegiatan ngeten niki. Kula rumiyin kan aktif. Menawi ndherek kegiatan Kelsi kan pikantuk pelatihan caranipun ngangge alat kesehatan, dados tambah wawasan tambah pengalaman. Nanging kula sakniki nyambut damel. Lha ditawari mbake kula sing enten Solo. Kula badhe boten purun nggih eman-eman. Nanging nggih kula pikir-pikir rencang-rencang ingkang saged nggantos kula kathah kok. Dinten Minggu kula nggih taksih saged ngrencangi.... Saderenge kula nyambut damel riyin, sing nggarap damelan nggriya nggih kula. Bapake ngrencangi namung nek pas kantuk sif sore napa dalu. Menawi nembe kantuk sif enjang nggih boten saged ngrencangi. Sakniki, nek piyambake kantuk sif enjang, damelan nggriya didamel nek sonten wangsul nyambut damel. Lha kula dugi nggriya sampun dalu, padahal kula bidhal bibar shubuh. Nanging, menawi dinten Minggu, kula ingkang ngrampungi damelan

16 Wawancara dilakukan pada tanggal 6 September 2013. Yang bersangkutan adalah

ibu rumah tangga murni dan tidak memiliki usaha sambilan. Suami yang bersangkutan adalah karyawan swasta. Mereka memiliki dua orang anak.

(16)

nggriya. Kersane bapake nggih ngaso. Kan piyambake sampun saben dinten ngurusi nggriya..” (Sri Suparti,40

tahun)17

(Sebenarnya saya senang bisa terlibat kegiatan seperti ini. Saya dulu aktif. Kalau ikut kegiatan Kelurahan Siaga mendapat pelatihan cara menggunakan alat kesehatan, jadi tambah pengalaman dan wawasan. Tetapi sekarang saya bekerja. Karena ditawari kakak perempuan saya yang tinggal di Surakarta. Kalau saya tolak, sayang. Tetapi, saya pikir, teman-teman yang bisa menggantikan saya juga banyak. Hari Minggu saya masih bisa membantu. Dulu, sebelum saya bekerja, yang lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah saya. Suami hanya membantu ketika mendapat shift sore atau malam. Kalau sedang mendapat shift pagi, dia tidak bisa membantu. Sekarang, kalau sedang mendapat shift pagi, pekerjaan rumah tangga dia lakukan sepulang kerja. Karena saya sampai rumah sudah malam, padahal pagi-pagi setelah shubuh, saya sudah berangkat. Tetapi, setiap hari Minggu, saya yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Biar suami istirahat. Karena dia sudah setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah tangga.)

“Kula akoni mbak, sakniki pancen kula pun arang-arang tumut kumpulan...hahaha....lha nggih gentos sing nem-nem niku. Mengke nek kula melu terus malah sing nem-nem njagake terus. Terus nek sing pun lawas-lawas ngeten niki boten enten, pripun? Ning nek pas enten kegiatan sing rada penting kados lomba kelsi riyin nika, kula mesti tumut. Nek wedal nggih enten mawon...toko pun enten sing jaga, resik-resik nggriya nggih pun enten tiyang jane... nggih niku ben sing nom-nom yo melu obah....hehehe....kula kalih mbak nur niku lak pun kader kawak...mangke Kelurahan kalih

17 Wawancara dilakukan pada tanggal 6 September 2013. Yang bersangkutan semula

ibu rumah tangga. Tetapi kemudian bekerja di perusahaan garmen di daerah Surakarta. Suami yang bersangkutan adalah karyawan swasta. Mereka memiliki dua orang anak.

(17)

Puskesmas ndak malah bosen ngertose kula terus.” (Siti

Khotijah, 45 tahun)18

(Saya akui, sekarang memang jarang ikut pertemuan. Ganti yang muda saja. Kalau saya terlibat terus, yang muda-muda akan tergantung pada yang tua. Lalu, kalau yang tua-tua sudah tidak ada, bagaimana? Tetapi, kalau ada kegiatan yang penting, seperti lomba Kelurahan Siaga dulu, saya pasti ikut. Kalau waktu, sebenarnya ada. Toko sudah ada yang menjaga. Rumah juga sudah ada yang membersihkan. Tetapi, memang biar yang muda-muda ikut aktif. Saya dengan Mbak Nur memang kader lama. Nanti Kelurahan dan Puskesmas bisa bosan ketemu saya terus.)

“Pripun nggih mbak, kula riyin jane nggih aktif...ning sakniki anak kula sing tesih alit kalih...TK kalih balita. Terus sing ageng pun SMA kalih SMP lak butuh ragad kathah...dadose pripun nggih, kula kalih bapake nggih langkung kathah enten griya..nggih ngrampungi damelan griya nggih nggoreng kripik...lha angsale rejeki nggih seking mriku...pripun malih....mangke sing pados bahan, sing ngedrop nggih bapake. Nek nggoreng sareng-sareng...niku kan angsale nggoreng ping kalih...nek sing alit rewel ngoten boten mesthi kula sing mlayoni..sinten sing cedhak kamar...untunge bapake niku nggih luwes ngurusi lare.”(Nur

Magfiroh, 45 tahun)19

(Bagaimana ya, sebenarnya, saya dulu juga aktif. Tetapi, sekarang saya mempunyai dua anak yang masih kecil. TK dan balita. Kalau yang besar sudah SMA dan SMP, jadi membutuhkan biaya agak besar untuk keperluan sekolah.

18 Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah ibu

rumah tangga dan memiliki toko tekstil di sekitar tempat tinggalnya. Suami yang bersangkutan adalah pengusaha lokal. Mereka memiliki dua orang anak yang sudah dewasa. Salah satu anaknya sudah menikah.

19 Wawancara dilakukan pada tanggal 7 September 2013. Yang bersangkutan memiliki

usaha pembuatan makanan ringan dengan skala industri rumah tangga. Usaha tersebut dijalankan bersama suami sejak tahun 2009 melalui program Desa Vokasi. Mereka memiliki empat orang anak.

(18)

Jadi, saya dan suami lebih banyak di rumah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sekaligus menjalankan usaha makanan ringan. Karena sumber pendapatan kami memang itu. Suami yang mencari bahan baku dan mengirim dagangan. Kalau menggoreng kripik, bersama-sama karena perlu dua kali penggorengan. Kalau anak saya yang paling kecil menangis, tidak selalu saya yang menghampiri, siapa yang jaraknya paling dekat saja. Untunglah, suami saya cukup luwes mengurus anak.)

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para kader Kelurahan Siaga, dapat dibuat profil aktivitas pembagian kerja sebagaimana Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Profil Kegiatan berdasarkan Analisis Harvard

No. Kegiatan Pelaksana Kegiatan Waktu Lokasi

P L 1. Sosial a. Arisan B D b. Pengajian M D c. Posyandu B D d. Posbindu B D e. Penyuluhan kesehatan B D f. Menengok pasien T D/L g. Mengikuti Pembinaan T L h. Kerja bakti T D i. Kerukunan kematian T D

j. Pengelolaan air bersih H D

k. Pemasangan pipa dan meteran air

T D

l. Pengatur aliran air H D

2 Reproduktif

a. Mencuci H D

b. Memasak H D

c. Merawat anak H D

d. Membersihkan rumah H D

(19)

No. Kegiatan Pelaksana Kegiatan Waktu Lokasi

P L

f. Belanja ke pasar H D

g. Menyediakan air minum H D

3. Produktif:

a. Menjahit H D

b. Mengolah makanan H D

c. Berjualan makanan H D

d. Belanja bahan mentah H D

e. Mengelola warung H D

f. Buruh H L

g. Karyawan swasta H L

Sumber: Diolah dari Data Primer, 2013

Keterangan: P : Perempuan L : Luaran Komunitas

L : Laki-laki M : Mingguan

D : Dalam komunitas B : Bulanan

H : Setiap hari T : Temporer

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa terjadi keseimbangan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan sosial, reproduktif, dan produktif. Meskipun demikian, Tabel 5.1 tidak serta merta menggambarkan bahwa semua laki-laki dan perempuan beserta pasangan masing-masing telah benar-benar selalu terlibat dalam pekerjaan produktif maupun reproduktif.

Dari hasil wawancara mendalam, dapat diketahui bahwa para suami membantu pekerjaan reproduktif hanya ketika sore hari atau hari libur. Selain itu, juga ada suami yang sama sekali tidak membantu pekerjaan rumah tangga kecuali mengasuh anak, seperti yang dilakukan oleh Tri Utomo, suami Nuraini. Sebaliknya, juga ada istri yang sama sekali tidak melakukan pekerjaan produktif seperti yang dilakukan Nuraini dan Ana Ghoziyah.

Berdasarkan paparan para narasumber, tidak banyaknya keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan reproduktif adalah karena pekerjaan reproduktif lebih banyak diselesaikan pada pagi hari ketika para suami sedang melakukan pekerjaan produktif di luar rumah. Selain itu, pekerjaan reproduktif lebih banyak diselesaikan oleh

(20)

perempuan karena para istri memiliki lebih banyak waktu di pagi hari untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Bagi istri yang juga melakukan pekerjaan produktif, pekerjaan tersebut cenderung bersifat wiraswasta di sekitar rumah sehingga tidak membuat mereka terikat waktu. Jadi, bagi para kader Kelurahan Siaga dan keluarga mereka, pekerjaan reproduktif tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan perempuan semata. Hal ini juga berarti bahwa mereka tidak beranggapan bahwa pekerjaan produktif lebih penting daripada pekerjaan reproduktif. Pembagian kerja yang dilakukan oleh para kader Kelurahan Siaga dengan pasangannya bukan berdasarkan perbedaan gender melainkan berdasarkan ketersediaan waktu dan saling berbagi beban.

Dalam hal pekerjaan sosial, para pengurus Kelurahan Siaga Kalibening sepakat bahwa memang lebih banyak ibu-ibu yang berperan.

“Mriki niki nek pengaosan onten ibu-ibu onten bapak-bapak. Nek arisan namung ibu-ibu. Nek kumpulan bapak-bapak, mboten sedaya RT onten. Ning nek bangsane tilikan niku ibu-ibu.” (Wiwiek Purwanti, 44 tahun)20

(Di sini ada pengajian ibu-ibu maupun bapak-bapak. Kalau arisan, hanya ibu-ibu. Kalau pertemuan bapak-bapak, tidak semua RT ada. Tetapi, kalau bezuk, pasti ibu-ibu.)

“Bapak-bapak mriki menawi kempalan paling pengaosan, kerja bakti, kalih rapat RT. Sanese ibu-ibu.” (Siti Kustianah)

(Bapak-bapak di sini kalau mengadakan pertemuan, hanya untuk pengajian, kerja bakti, dan rapat RT. Selain itu, ibu-ibu yang melakukan.)

“Kumpulan niku ibu-ibu pun cekap mbak. Kados kula ngeten niki nek ndilalah mlebet enjang, sonten nggih pun wegah medal seking nggriya. Pilih turu. Ning nak damelan griya

20 Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah ibu

rumah tangga dan memiliki warung pulsa kecil-kecilan untuk menambah pendapatan keluarga. Suami yang bersangkutan adalah karyawan swasta. Mereka memilliki dua orang anak.

(21)

kangge kula nggih dirampungi sareng-sareng. Kula dados tiang jaler nggih maturnuwun to mbak, pun direncangi pados arta kalih wong wedok. Dadose nak pas kula enten griya ngeten niki nggih napa sing perlu dicandhak, dicandhak.”

(M. Sodiq Prayono, 45 tahun)21

(Pertemuan itu, cukup ibu-ibu. Seperti saya, kalau kebetulan masuk pagi, sore sudah malas keluar rumah. Pilih tidur. Tetapi kalau pekerjaan rumah tangga, diselesaikan bersama-sama. Saya jadi laki-laki harus terima kasih sama istri, sudah dibantu mencari nafkah. Jadi, kalau sedang di rumah, pekerjaan apa yang perlu diselesaikan, saya selesaikan.)

“E....begini...kalau menurut saya, yang lebih cocok menjadi kader kesehatan itu memang ibu-ibu. Kalau ibu-ibu, khususnya yang ibu rumah tangga, mereka relatif memiliki lebih banyak waktu luang. Kalau pekerjaan rumah tangga...maksud saya pekerjaan di rumah...itu kan bisa diatur jamnya kapan mau dikerjakan. Jadi, ibu-ibu ini bisa membagi waktu mengerjakan pekerjaan di rumah dengan tugas-tugas kader. Kalau bapak-bapak, seperti saya, kan tergantung jam kerja di kantor mbak. Kebetulan saja saya PNS jadi hari Sabtu libur bisa ikut kegiatan. Kalau yang buruh-buruh itu kan kasihan. Mereka tidak masuk kerja itu dipotong lho pendapatannya. Selain itu, ibu-ibu itu lebih luwes.”(Asroi, 40 tahun)22

Dari petikan-petikan pernyataan tersebut, pembagian kerja sosial juga tidak berdasarkan kepada perbedaan gender, melainkan terdapat alasan yang lain, yaitu masalah waktu.

Kelurahan Siaga sebagai sarana pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan mencakup beberapa usaha kesehatan berbasis masyarakat, yaitu Posyandu Balita, Posyandu Lansia, Posbindu, dan Tirto Bening. Posyandu Balita yang memiliki tugas

21 Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah

suami Suciyem.

22 Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah PNS

yang bertugas di Kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir. Istri yang bersangkutan adalah ibu rumah tangga dan memiliki usaha konveksi dan katering kecil-kecilan yang hanya sebagai pekerjaan sambilan. Mereka memiliki dua orang anak perempuan.

(22)

untuk memantau kesehatan ibu dan anak dikelola oleh kader kesehatan yang semuanya perempuan sebagaimana petikan hasil wawancara berikut.

“Kalau kader posyandu bapak-bapak padahal yang datang mengantar balita ibu-ibu itu kan malah tidak enak. Kalau sama-sama perempuannya kan bisa saling curhat.”(Asroi)

Warga laki-laki di Kelurahan Kalibening yang bukan pengurus juga memberikan tanggapan yang sama.

“Sing dados kader niku nggih ibu-ibu mawon. Sing wektune

isa diatur. Kados kula ngeten niki damelan namung mburuh e. Nek dados kader ken ndherek kumpulan enjang nggih boten saged. Lha nek prei boten nyambut damel nggih bayaran kula dipotong. Terus sekolahe anak kula pripun.”(Muh Shodiq Prayono)

(Ibu-ibu saja yang menjadi kader. Waktu mereka bisa diatur. Seperti saya, pekerjaan saya hanya karyawan pabrik. Kalau menjadi kader, saya tidak bisa mengikuti pertemuan yang dilaksanakan pagi atau siang hari. Karena kalau tidak masuk kerja, gaji saya dipotong. Lalu, biaya sekolah anak saya bagaimana.)

“Ibu-ibu niku nggih luwes. Nek penyuluhan liwat arisan

PKK saged. Lha nek bapak-bapak kan boten sedaya RT enten pertemuan. Sing enten lak namung RT-ne kula kalih Pak Lasin.”(Rochmadi, 44 tahun)23

(Ibu-ibu juga luwes. Kalau penyuluhan, bisa melalui arisan PKK. Kalau bapak-bapak, tidak semua RT menyelenggarakan pertemuan. Hanya RT saya dan RT Pak Lazin yang ada pertemuan bapak-bapak.)

Berdasarkan penuturan kader dan warga, lebih banyaknya perempuan daripada laki-laki yang beraktivitas di bidang kesehatan disebabkan beberapa alasan berikut:

(23)

1. Posyandu Balita lebih tepat dilaksanakan pada pagi hari sehingga tidak terganggu ataupun mengganggu kegiatan kemasyarakatan lainnya yang dilaksanakan pada sore hari;

2. warga masyarakat yang tidak bekerja di luar komunitas pada pagi hari adalah para istri, sedangkan mayoritas suami bekerja di luar komunitas;

3. pekerjaan produktif yang dilakukan ibu-ibu bersifat wiraswasta yang tidak terikat waktu; dan

4. untuk menghindari fitnah karena obyek kegiatan kader kesehatan dalam Posyandu Balita adalah ibu dan anak.

Selain Posyandu Balita, Posyandu Lansia juga dikelola oleh perempuan. Hal ini terjadi karena pengelola Posyandu Balita dan Posyandu Lansia adalah orang yang sama sehingga untuk menghemat waktu, kedua Posyandu tersebut dilaksanakan bersamaan secara rutin pada tanggal tertentu setiap satu bulan sekali. Di RW I, kedua posyandu dilaksanakan pada tanggal 19 setiap bulan. Di RW II, kedua posyandu dilaksanakan pada tanggal 27 setiap bulan. Sedangkan di RW III, kedua posyandu dilaksanakan pada tanggal 9 setiap bulan. Oleh karena itulah, para kader kesehatan tidak merasa kegiatan tersebut mengganggu aktivitas pribadi mereka, baik dalam hal pekerjaan produktif maupun reproduktif.

Hal yang sedikit berbeda adalah Posbindu. Selain perempuan, laki-laki juga diikutsertakan dalam pengelolaan Posbindu. Menurut para kader, hal ini karena Posbindu tidak hanya melayani anggota perempuan, tetapi juga laki-laki. Meskipun demikian, secara umum, aktivitas Posbindu lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan alasan mereka sudah lebih dahulu menjadi kader kesehatan dalam Posyandu Balita maupun Posyandu Lansia, sehingga lebih ahli.

“Mula nek Posbindu niku Pak Ridho diken tumut kalih ibu-ibu. Kajenge bapak-bapak sing tesih nem niku boten rikuh nek ajeng priksa ten Posbindu. Wong niku nggih namung sewulan sepindhah tur tingkate kelurahan. Nek Posyandu kan saben RW wonten piyambak-piyambak.”(Nurlidyawati)

(24)

(Makanya, ibu-ibu minta supaya Pak Ridho ikut Posbindu. Kegiatannya hanya sebulan sekali dan di tingkat kelurahan. Kalau Posyandu, setiap RW punya sendiri-sendiri.)

Niku enten bapak-bapake setunggal, nggih Pak Ridho niku. Lha bapak-bapak mriki sing gadah wedal nak enjang nggih namung setunggal niku. Kangge komplit-komplit...hahaha...ben bapak-bapak kalih remaja sing nem-nem niku boten isin priksa....kathah ibu-ibune soale sing pun pengalaman...dadose nek dilatih melih niku gampang..kantun neruske. Nek bapak-bapak lak padha wae ngajari seka ngarep maneh.(Sholikhah)

(Itu ada bapak-bapak satu, Pak Ridho. Karena bapak-bapak di sini yang punya waktu luang di pagi hari ya hanya Pak Ridho. Sebagai pelengkap, supaya bapak-bapak dan remaja yang masih muda tidak malu untuk periksa. Pengurus memang lebih banyak ibu-ibunya karena sudah berpengalaman. Kalau dilatih lagi, lebih mudah, tinggal melanjutkan. Kalau bapak-bapak, sama saja mengajari dari awal.)

Tirto Bening barangkali menjadi satu-satunya UKBM yang dikelola sepenuhnya oleh kaum laki-laki. Hanya ada satu perempuan, yang bertugas sebagai bendahara, dalam kepengurusan Tirto Bening. Menurut para narasumber, pekerjaan di Tirto Bening melibatkan pekerjaan fisik, baik dalam pemasangan instalasi maupun pemeliharaannya. Kurangnya peran kaum perempuan dalam UKBM ini bukan semata karena mereka perempuan sehingga tidak dilibatkan, melainkan karena kaum perempuan itu sendiri menolak untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan Tirto Bening. Mereka menolak terlibat karena aktivitas dalam UKBM Tirto Bening melibatkan aktivitas fisik yang dinilai berat, seperti menggali tanah, menanam pipa, memasang meteran air, membersihkan tangki air, dan sebagainya. Selain itu, kaum perempuan juga beralasan bahwa mereka sudah banyak terlibat dalam aktivitas UKBM lainnya, seperti posyandu dan posbindu. Oleh karena itu, mereka lebih suka jika kaum laki-laki saja yang terlibat di UKBM Tirto Bening.

“Lha nek bapak-bapak kan ngertose namung ngurusi Tirto Bening. Soale niku hubungane kalih peralatan abot-abot.

(25)

Nek ibu-ibu mesakke..mosok ibu-ibu kon ndhudhuk lemah.”

(Muhlazin)

(Kalau bapak-bapak, hanya mengurusi Tirto Bening karena berhubungan dengan alat-alat berat. Kalau ibu-ibu mengurusi Tirto Bening, kasihan. Masa ibu-ibu disuruh menggali tanah.)

“Nak kon ngurusi Tirto Bening, kula wegah..repot...ben bapak-bapak wae...dereng malih suarane wong-wong niku sok boten penak dirungokke. Nak posyandu napa penyuluhan kan gampil, paribasane mung nggawa awak. Nak Tirto Bening, nggawa pipa, muter keran...nggih ndhudhuk lemah napa...abot lho niku.” (Nuraeni)

(Kalau disuruh mengurus Tirto Bening, saya tidak mau. Repot. Biar bapak-bapak saja. Belum lagi mendengar komentar orang-orang yang sering tidak menyenangkan. Kalau Posyandu atau penyuluhan itu mudah. Ibarat, hanya perlu membawa badan. Kalau Tirto Bening, membawa pipa, memutar keran air, menggali tanah, itu berat.)

Kula nggih namung ngurusi arta mawon...nek sanese ngoten bapak-bapak. Ibu-ibu nggih wegah to mbak ken ndhudhuki lemah...ibu-ibu sing ngurusi penyuluhan karo ibu-ibu hamil wae....lha nek sing memantau ibu hamil niku bapak-bapak lak saged dados fitnah...hahahaha...lha sanes muhrime...wong sing lanang ra ning omah kok ana wong lanang liyane mlebu omah....hahahaha...nggih sing cocok tetep ibu-ibu...boten abot kok niku....nggih pancen nek namung berduaan sanes muhrime nggih pun diatur agama kan boten angsal. Ning nek nyambut damel rame-rame lanang wedok nggih boten napa-napa. (Nurbadiah)

(Saya hanya mengurusi uang. Selain uang, diurusi bapak-bapak. Ibu-ibu juga tidak mau menggali tanah. Ibu-ibu yang mengurusi penyuluhan dan ibu hamil saja. Kalau bapak-bapak yang memantau ibu hamil, bisa menjadi fitnah karena bukan muhrimnya. Karena pada saat suami tidak di rumah, kok ada laki-laki yang bukan muhrim masuk ke rumah, jadi yang cocok menjadi kader tetap ibu-ibu, itu tidak berat. Memang kalau hanya berduaan dan bukan muhrim sudah

(26)

diatur agama tidak boleh. Tetapi kalau bekerja ramai-ramai, laki-laki perempuan, ya tidak apa-apa.)

Bagi para istri yang menjadi kader Kelurahan Siaga, pekerjaan reproduktif juga tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan pada umumnya, baik yang berorientasi ekonomi maupun sosial. Menurut pernyataan para narasumber, hal ini karena dalam melakukan pekerjaan reproduktif, mereka tidak terikat waktu. Selain itu, jadwal mereka untuk terlibat dalam kegiatan Kelurahan Siaga merupakan jadwal rutin dan dapat dilakukan secara bergantian dengan sejawatnya. Jadwal yang rutin tersebut juga tidak mengganggu pekerjaan produktif mereka.

“Kula santai kok. Nek damelan nggriya dereng rampung nggih kula tinggal boten napa-napa. Bapake inggih mboten melu-melu. Terserah kula mawon. Pokoke, sing penting anakku wis mangan. Nek anak durung mangan ki rasane kepiye ngoten. Nek marake mboten saged nyambut gawe nggih mboten wong kula pancen mboten nyambut damel. Kula riyin pancen ngrencangi tanggi damel kateringan. Ning sareng anak kula kaleh kula pun wegah nyambut damel. Niku karep kula piyambak. Bojo kula ngoten manut mawon. Ben sing golek duit pakne wae, aku tak ngurusi anak..”(Nuraeni)

(Saya santai. Kalau pekerjaan rumah tangga belum selesai, saya tinggal tidak apa-apa. Suami juga tidak mengatur. Terserah saya saja. Yang penting, anak saya sudah makan. Kalau anak belum makan, rasanya bagaimana begitu. Kalau (kegiatan Kelurahan Siaga) membuat saya tidak bisa mencari nafkah, juga tidak. Karena saya memang tidak bekerja. Saya dulu memang membantu tetangga yang punya usaha katering. Tetapi, sejak anak saya dua, saya tidak mau bekerja. Itu kemauan saya sendiri. Suami menurut saja. Biar suami saja yang mencari uang, saya mengurus anak.)

“Dados kader kesehatan niku nek rumangsa kula nggih mboten ngganggu. Santai mawon. Napa melih damelan kader niku lak sing rutin-rutin enten jadwale. Kula piyambak damel jajanan nek dalu. Nak pas bapake mboten sip malam nggih ngrencangi. Mangke ngedrope injing. Terus jam sanganan mendhet tirahan kalih arta langsung blanja. Nak

(27)

mendhet arta mesthi kula. Lha bapake boten mudheng itung-itungan jajanan niku. Dadose mboten keganggu. Saupami enten rapat napa pembinaan enten Puskesmas napa Kota saged diayahi rencang-rencang. Gentosan sinten sing saged. Mboten masalah mbak.”(Suciyem)

(Menjadi kader kesehatan, menurut perasaan saya, tidak mengganggu. Santai saja. Apalagi, kegiatan kader terjadwal rutin. Saya sendiri membuat kue kalau malam. Kalau kebetulan suami tidak sedang bekerja shift malam, dia membantu saya. Saya mengirim kue-kue ke warung pagi hari. Sekitar jam sembilan mengambil sisa kue yang tidak terbeli sekalian uang hasil penjualan lalu langsung belanja. Kalau mengambil uang memang harus saya. Karena suami tidak paham hitung-hitungan penjualan kue itu. Jadi, (kegiatan Kelurahan Siaga) tidak mengganggu. Misalnya ada rapat atau pembinaan di Puskesmas atau Kota, bisa dilakukan teman-teman. Bergantian, siapa yang bisa. Tidak ada masalah.)

“Nek ngganggu damelan nggih mboten. Wedal niku lak saged diatur. Kula piyambak nek buntel tempe nggih sonten. Dele...godhong...pun dikirim. Dagangan namung kula titipke warunge mbake kula mriku nggih cedhak. Mboten repot mbak...nek Tirto Bening, kula namung dados bendahara. Nampani duit iuran kangge pemeliharaan....walah sami mawon mbak...tiang nggih sami boten ngertos...dikirane duit iuran niku kangge honore pengurus. Padahal blas boten wonten. Niku kangge pemeliharaan mawon kirang...sakniki per meter kibik namung sewu..iuran langganan namung kalehewu gangsalatus. Tiang mbayar iuran niku ben wulane paling pitungewu nemewu...padahal nek enten sing bocor napa ngresiki tangki, nggih ngangge arta niku...boten cekap mbak.” (Nurbadiah)

(Kalau mengganggu, tidak. Waktu bisa diatur. Saya sendiri membuat tempe ketika sore. Kedelai dan daun pisang sudah dikirim. Tempe cukup saya titipkan di warung kakak depan, dekat. Tidak repot. Kalau Tirto Bening, saya hanya menjadi bendahara. Menerima uang iuran untuk pemeliharaan. Orang sering tidak tahu. Mereka mengira uang itu untuk honor pengurus. Padahal sama sekali tidak. Uang itu untuk pemeliharaan saja kurang. Sekarang, per meter kubik air itu hanya Rp 1.000,00. Iuran untuk berlangganan hanya Rp 2.500,00. Orang membayar iuran per bulannya ada yang Rp

(28)

7.000,00 ada juga yang Rp 6.000,00. Padahal, kalau ada yang bocor atau membersihkan tangki air, dibiayai dengan uang itu. Itu pun tidak cukup.)

“Sing kula pikir niku malah thole. Thole niku nek enten nggriya kalih mbake pun mboten masalah. Ning nek piyambake wangsul kok kula mboten enten, mbake nggih mboten enten, nesu. Nek jahitan ngoten saged kula garap sakwanci-wanci. Mulane kula niki nek ken ndherek acara pembinaan enten kota rada susah. Napa malih kula boten saged kendaraan piyambak, angkot mriki nggih danguuuu...Ning nek namung posyandu, penyuluhan, enten mriki-mriki mawon mboten napa-napa. Pokoke boten damelan Tirto Bening mawon.” (Ismiyati)

(Yang saya pikirkan justru anak laki-laki saya. Dia sudah tenang kalau ada kakaknya di rumah. Tetapi, kalau dia pulang tidak melihat saya atau kakaknya, marah. Kalau jahitan bisa saya kerjakan sewaktu-waktu. Makanya, saya kalau diminta ikut acara pembinaan di Kota agak susah. Apalagi, saya tidak bisa membawa kendaraan sendiri. Angkutan kota di sini juga harus menunggu lama. Tetapi, kalau hanya posyandu, penyuluhan, di sekitar sini saja, tidak apa-apa. Yang penting bukan pekerjaan Tirto Bening saja.)

Berdasarkan penuturan para kader Kelurahan Siaga, dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan akses dan kontrol kader perempuan maupun kader laki-laki terhadap sumber daya maupun manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya tersebut.

“..bengkok niku gampil...pokoke mbayar angsuran ten kelurahan tertib, tahun ngajeng diundang malih..boten kedah bapak-bapak, ibu-ibu nggih sami tumut...saben tahun kan diumumke enten lelang...bengkok sing kangge kelsi niku nggih ibu-ibu sing tumut lelang.”(Rojabiyah)

(Bengkok itu mudah. Asalkan membayar angsuran ke kelurahan tertib, tahun depan pasti diundang lagi. Tidak harus bapak-bapak, ibu-ibu juga banyak yang ikut. Setiap tahun diumumkan ada lelang. Bengkok yang digunakan Kelurahan Siaga itu juga ibu-ibu yang ikut lelang.)

(29)

“Bapake boten ngaken kula nyambut damel kok. Kula dibebasaken...badhe nyambut damel nggih sae, boten nggih sami mawon, sedaya enten untung ruginipun. Nanging kula piyambak menawi namung njagake arta saking bapake kok nggih mesakaken. Kula nggih pingin ngrencangi pados arta. Amargi kula nyambut damel enten Solo, bapake enten Damatex, nggih bapake sing langkung kathah nggarap damelan nggriya.”(Sri Suparti)

(Suami tidak menyuruh saya bekerja. Saya dibebaskan, mau bekerja bagus, kalau tidak bekerja juga sama saja, semua ada untung ruginya. Tetapi, saya sendiri kalau hanya tergantung kepada pemberian suami merasa kasihan. Saya juga ingin membantu mencari nafkah. Karena saya bekerja di Solo, sedangkan suami bekerja di Damatex, yang lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga adalah suami.)

“Nek fasilitase kelsi kan nggih terbatas. Nanging wong disimpen kader. Nggih gampang to mbak. Pokoke ndang marani omahe kader nek butuh tensi napa nimbang lak mesthi saged. Tes gula darah nggih saged. Namung nek obat nggih kader mboten gadhah...lanang wedok sami mawon...sing tesih nem sing lansia...nek butuh saged mriki....nek boten nggih pas posyandu saged priksa...nek pas posyandu malah enten petugas seking Puskesmas beta vitamin kalih obat gratis. Napa malih sakniki enten Posbindu. Niku sinten mawon saged dados anggota. Bapak-bapak saged, ibu-ibu saged, remaja nggih saged.”(Nurlidyawati)

(Fasilitas Kelurahan Siaga terbatas. Tetapi karena disimpan kader, jadi mudah. Asalkan mendatangi rumah kader, minta diperiksa tekanan darah atau berat badan, pasti bisa. Tes gula darah juga bisa. Tetapi, kalau obat, memang kader tidak punya. Laki-laki maupun perempuan sama saja, semua dilayani, baik yang masih muda maupun lansia. Kalau memerlukan pemeriksaan dasar bisa datang ke sini atau ke Posyandu. Di Posyandu malah ada tenaga kesehatan dari Puskesmas dan menyediakan vitamin serta obat gratis. Apalagi sekarang ada Posbindu. Siapa pun bisa menjadi anggota. Bapak-bapak bisa, ibu-ibu bisa, remaja juga bisa.)

(30)

Menanggapi aktivitas ibu di Kelurahan Siaga, suami ibu-ibu tersebut tidak mempermasalahkan.

“Halah mbak, aku ki terserah mbok wedok wae. Pokoke tak peseni ojo lali agama ben kowe ra mlencang-mlenceng. Lha nek wong wedok kon ning omah terus lak yo bosen...yo to mbak. Sing penting anake ojo nganti kapiran wong aku nek isuk nyambut gawe. Tur yo malah akeh untunge...nek urusan karo Puskesmas apa kelurahan ki wis kepenak lha wis kenal kabeh. Mulane mbak..aku ki yo gumun..wong dho dijak aktif kok angel men...ning nek arep golek duit pancen aku ra oleh....lha nek kabeh golek duit ngko anake malah ra enek sing ngawasi....bocah jaman saiki lho mbak, diawasi wae sok mletho apa maneh ra diawasi.”(Haryanto, 46 tahun) 24

(Saya terserah ibunya anak-anak. Yang penting, pesan saya, jangan lupa agama supaya kamu berjalan lurus. Kalau ibu-ibu di rumah terus, pasti juga bosan. Yang penting, anak-anak jangan terlantar karena, kalau pagi, saya bekerja. Toh, banyak untungnya. Kalau harus berurusan dengan Puskesmas atau Kelurahan jadi mudah karena sudah kenal semua. Makanya, saya heran, orang diajak aktif kok susah. Tetapi, kalau untuk mencari uang, saya memang tidak mengijinkan. Kalau semua mencari uang, anak-anak malah tidak ada yang mengawasi. Anak jaman sekarang, diawasi saja masih bisa bermasalah, apalagi tidak diawasi.)

“Mboten masalah mbak. Malah kula surung-surung ken srawung. Wong niku nggih mboten rugi..malah piyambake angsal ilmu to. Nek wong-wong wedok liyane rung ngerti, bojo kula pun ngerti. Timbang namung nangga ngrasani wong liya. Sing penting ojo nganti kekeselen.”(M. Sodiq

Paryono)

(Tidak masalah. Malah saya dorong supaya bergaul dengan banyak orang. Toh, itu tidak rugi, malah dia mendapat ilmu. Ketika ibu-ibu yang lain belum tahu, istri saya sudah tahu lebih dahulu. Daripada ngobrol dengan tetangga hanya membicarakan jeleknya orang lain. Yang penting jangan sampai kecapekan.)

24 Wawancara dilakukan pada tanggal 12 September 2013. Yang bersangkutan adalah

(31)

“Terserah ibue mawon. Kula nggih malah untung wong alat-alat kesehatan niku disimpen enten mriki. Kan nek butuh tensi mboten sah ten Puskesmas, bojo kula saged. Kula nggih bangga nek warga mriki sami madosi bojo kula nyuwun ditensi....rasane kaya duwe bojo dokter...hahahahaha...Tur nek pas enten acara ten Kota kan nggih angsal sangu, malah piyambake tambah cekelan...warung sing nunggu kula...pun boten masalah.”(M. Abdul Muhaimin, 40 tahun)25

(Terserah istri saya saja. Saya juga malah beruntung karena alat-alat kesehatan itu disimpan di sini. Kalau butuh mengukur tensi tidak perlu ke Puskesmas, istri saya bisa. Saya juga bangga kalau warga di sini banyak yang mencari istri saya minta diperiksa tekanan darahnya. Rasanya seperti punya istri dokter. Selain itu, kalau sedang ada acara di Kota juga mendapat uang saku. Dia mendapat tambahan pemasukan. Warung bisa saya urusi. Tidak masalah.)

“Warga niku nek ngertos enten kader nembe repot nggih

purun ngrencangi kok. Lha warga mriki kan tesih sami sedherekan. Dados nek enten sing boten saged mlampah ngoten, sambat kalih sedhereke ngoten nggih direncangi.”(Muhlazin)26

(Warga di Kelurahan Kalibening, kalau mengetahui ada kader yang sedang tidak bisa melakukan tugasnya, bersedia membantu. Warga di sini, satu sama lain, masih memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Kalau ada kader yang tidak bisa bertugas, mereka minta tolong kepada saudaranya, selalu dibantu.)

Penuturan para kader dan suami kader tersebut juga memperlihatkan adanya jaringan sosial yang berperan dalam pemberdayaan perempuan, yaitu kader perempuan bekerja sama dengan suami mereka dalam melaksanakan pekerjaan rumah tangga, kader perempuan saling bergantian melaksanakan tugas kader, dan adanya hubungan kekerabatan antara kader dengan warga bukan kader. Ditinjau dari sudut pandang Carlzon dan Mc. Cauley dalam

25 Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013. Yang bersangkutan adalah

suami Nurlidyawati.

(32)

Roesmidi (2006), para suami kader dapat dikatakan telah membebaskan istri mereka dari kendali yang kaku (bahwa istri hanya memiliki peran reproduktif) dan membebaskan mereka untuk bertanggung jawab terhadap ide-ide dan keputusan mereka sendiri sehingga terjadi pemberdayaan perempuan. Hasil wawancara selebihnya adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan sumber daya adalah segala sarana yang bersifat fisik maupun nonfisik yang menjadi modal untuk melakukan pekerjaan produktif, reproduktif, maupun sosial.

Tabel 5.2 Profil Akses dan Kontrol

Akses Kontrol

Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki

Sumber daya Peralatan kerja Peralatan kesehatan Pelayanan kesehatan Pelatihan Bahan baku Pendidikan Modal finansial Rapat Modal sosial Manfaat Pendapatan Ilmu Pengetahuan Kepemilikan aset Pendidikan Anak Sandang Terpenuhi Pangan Terpenuhi Papan Terpenuhi Kesehatan terpantau Pencegahan penyakit

Sumber: Diolah dari Data Primer, 2013

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kader perempuan maupun laki-laki dalam Kelurahan Siaga memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap sumber daya dan manfaat yang diperoleh dari pengelolaan

(33)

sumber daya tersebut. Hal ini berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam Kelurahan Siaga sekaligus memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam pekerjaan produktif, pekerjaan reproduktif, maupun pekerjaan sosial. Dalam hal peralatan kesehatan, kader perempuan memiliki kontrol yang lebih besar karena mereka yang pada akhirnya membuat keputusan mengenai penggunaan peralatan kesehatan tersebut.

Menurut para kader, keadaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kegiatan, Akses, dan Kontrol Laki-laki dan Perempuan dalam Kelurahan Siaga

Faktor Penghambat Pendukung

1. Norma dalam

masyarakat dan

hirarkhi sosial

Masyarakat cenderung

tertutup terhadap penganut agama lain.

a. Nilai-nilai agama yang

dianut masyarakat

tentang muhrim. b. Hubungan kekerabatan

antar warga masih

sangat dekat.

c. Bekerja adalah ibadah

dan ibadah adalah

kewajiban.

2. Demografi Sebagian besar penduduk

laki-laki bekerja di luar komunitas.

a. Sebagian besar

perem-puan yang menjadi

kader Kelurahan Siaga adalah wiraswasta. b. Semua kader berusia

produktif.

3. Pendidikan Rata-rata tingkat

pendidikan kader sampai tingkat menengah (SLTA).

Salah satu kader

berpendidikan pasca

sarjana (S2). 4. Struktur

kelembagaan

a. Jumlah perempuan yang

lebih banyak dapat

menimbulkan persepsi

bahwa kegiatan

Kelurahan Siaga adalah

a. Struktur organisasi

sangat membutuhkan

kader kesehatan.

b. Dalam kepengurusan

(34)

Faktor Penghambat Pendukung kegiatan perempuan.

b. Kader tidak terbiasa

dengan pekerjaan

administrasi.

kader perempuan secara signifikan lebih banyak daripada laki-laki

se-hingga dapat

mengontrol

peng-ambilan keputusan.

5. Faktor ekonomi Ada kader yang tidak

memiliki aset

tanah-bangunan (6 kader

perempuan). Ada pula

kader yang tinggal di dalam bangunan di atas tanah

bengkok (1 kader

perempuan).

Sebagian besar kader

memiliki aset

tanah-bangunan (3 kader

laki-laki dan 8 kader

perempuan).

6. Faktor politik Kader perempuan

cenderung dominan dalam

pengambilan kebijakan

Kelurahan Siaga.

Perempuan yang menjadi

kader terlibat secara

langsung dalam

pengambilan kebijakan

Kelurahan Siaga.

7. Pelatihan Kader yang sudah

mengikuti pelatihan adalah perempuan semua.

Para kader perempuan rajin mengikuti pelatihan di bidang kesehatan yang

diselenggarakan oleh

Pemerintah Kota. 8.

Perundang-undangan

Belum ada Perda tentang

Pembangunan yang

Responsif Gender

a. Perda Nomor 6 Tahun 2013.

b. Perda Nomor 1 Tahun 2012.

9. Sikap masyarakat

terhadap pekerja

pembangunan

Masyarakat cenderung

tertutup terhadap orang baru dari luar komunitas.

Masyarakat terbuka

terhadap tokoh

panutannya. Sumber: Diolah dari Data Primer, 2013

Keberadaan faktor-faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 5.3 akan sangat berpengaruh terhadap kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan produktif, reproduktif, maupun sosial di masa selanjutnya. Apabila peluang yang ada dimanfaatkan dengan baik, kesetaraan peran tersebut akan terpelihara sehingga semakin mengurangi dominasi laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, baik dalam pekerjaan produktif, reproduktif, maupun sosial.

Gambar

Tabel  5.1  menunjukkan  bahwa  terjadi  keseimbangan  pembagian  peran  antara  perempuan  dan  laki-laki  dalam  pekerjaan  sosial, reproduktif, dan produktif
Tabel 5.2   Profil Akses dan Kontrol
Tabel  5.4  menunjukkan  bahwa  Kelurahan  Siaga  Kalibening  telah  melibatkan  perempuan  dalam  mengidentifikasi  kebutuhan  dan  peluang  mereka  untuk  terlibat  dalam  pembangunan  pada  umumnya

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan patogen yang menyerang tanaman tomat yaitu busuk daun, Penyakit busuk buah, batang dan layu Fusarium.Tujuan dalam penelitian ini

Beberapa hal yang menjadi faktor pendukung maraknya praktek perikanan destruktif di pulau-pulau kecil kawasan Taman Nasional Taka Bonerate ini yaitu, karena masih lengahnya

Abstrak : Air asam tambang merupakan air dengan pH rendah dan memiliki kelarutan logam yang tinggi, pada umumnya air tersebut akan dialirkan kelingkungan sehingga

Jika seseorang segera datang saat anda selesai menelpon pada telepon umum.. Ragam

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini berupa deskripsi proses pengolahan Kacang

CMIFed dapat merubah lingkungan penyajian multimedia yang berisi gabungan komponen multimedia ditambah dengan interaksi pengguna.Berdasarkan pemaparan tersebut, dibangunlah

Penentuan kadar asam urat dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 293 nm dengan adanya menggunakan enzim urikase yang dapat

selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan