• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makrostruktur

Dalam dokumen BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN (Halaman 36-41)

2. Satriaddin Maharinga Djongki ( Arie Kriting )

4.3 Analisis Makrostruktur

Pada tahap analisis ini, berfokus pada fenomena dimana suatu teks dibuat. Dalam hal ini, untuk memahami suatu wacana perlu menelusuri keadaan sosial – budaya yang pada keseluruhannya dapat mempengaruhi bagaimana teks itu dibuat. 4.3.1 Situasional

Dalam tahap situasional berkaitan dengan produksi dan konteks dari peristiwa saat suatu teks dibuat. Hal tersebut berarti bahwa terbentuknya suatu teks berasal dari suatu kondisi atau situasi tertentu yang khas. Seperti pada film NGENEST, yang menjadi ciri khas dari film tersebut adalah gambaran sebuah perjalanan hidup Ernest sebagai kaum minoritas yaitu etnis Tionghoa di Indonesia yang mengalami tindakan diskriminasi oleh lingkungan sekitarnya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.

Wacana diskriminasi yang dibangun dalam film ini yang paling sering ditunjukan adalah pada saat orang keturunan Tionghoa yang dipanggil sebagai “Cina”. Hal tersebut bagaikan suatu pembedaan antara Tionghoa dan Pribumi. Orang Tionghoa dipanggil dengan sebutan “Cina” karena adanya stigma2 yang berkembang sesudah peristiwa 1965. Pada saat itu etnis Tionghoa distigmatisasikan sebagai kelompok komunis yang

2 Menurut KBBI, stigma merupakan suatu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang akibat pengaruh lingkungannya

62 berkiblat ke China selama Orde Baru (Yau Hoon, 2012 : 176). Panggilan “Cina” yang biasanya dilontarkan oleh kelompok non-Tionghoa kepada etnis Tionghoa bukanlah hal yang jarang, melainkan kata tersebut masih banyak digunakan sampai saat ini.

Selain itu, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang ditunjukkan dalam film ini adalah mengenai ciri fisik dari etnis Tionghoa, seperti mata yang sipit.Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki ciri fisik yang berkulit terang dan mata yang sipit. Dalam film NGENEST, sebutan dengan ciri fisik seperti “sipit” dikemas sebagai bentuk diskriminasi dan juga dijadikan sebagai unsur komedi.

Berikutnya bentuk diskriminasi etnis Tionghoa dalam film ini adalah tindakan memalak. Sebagai seorang keturunan Tionghoa Ernest sering dipalak oleh orang non-Tionghoa. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa mereka menganggap bahwa sebagai orang Tionghoa Ernest adalah seorang anak yang kaya. Seperti pada stereotipe yang berkembang di tengah masyarakat pribumi adalah bahwa “Orang Tionghoa itu adalah kelompok

homogen yang tak berubah. Mereka adalah orang kaya, karena mereka telah mengeruk kekayaan ekonomi kita, mereka merasa lebih hebat dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia perlu dipertanyakan karena mereka enggan berasimilasi” (Coppel, dalam Yau Hoon, 2012). Dengan

adanya stereotipe tersebut, warga keturunan Tionghoa selalu dianggap kaya karena etos dan nilai kerja yang dimiliki oleh mereka, yaitu memiliki semangat kerja yang tinggi, memiliki tekad yang kuat, berpikiran jangka panjang, irit, rajin, pekerja keras, tekun, teliti, disiplin, rasional, gesit, uletm teratur, dan efisien. Etos kerja yang dimiliki oleh orang Tionghoa tersebutlah uang membuat mereka menjadi sukses dalam berbisnis.

Meskipun demikian, tak semua orang Tionghoa adalah orang kaya. Pada realitanya, masih banyak warga keturunan Tionghoa yang secara fisik tidak tampak seperti Tionghoa totok yang berkulit putih, melainkan kulit

63 mereka berwarna sawo matang dang tidak memiliki mata yang sipit. Selain itu status ekonomi mereka adalah kelas menengah hingga menengah kebawah. sebagai contoh yaitu pada etnis ‘Cina Benteng’.

4.3.2 Institusional

Saat ini media tak lagi hanya sebagai institusi sosial, tetapi juga sebagai institusi ekonomi dan juga politik. Meskipun demikian, konten dari media tidak boleh menyimpang dari fungsinya yaitu untuk tetap memberikan edukasi kepada masyarakat umum. Hal tersebut dapat menjadi suatu kemungkinan terhadap produksi suatu wacana.

Seperti pada film NGENEST yang diproduksi oleh Starvision Plus, dimana film tersebut mengangkat tentang masalah sosial yang masih sering terjadi di lingkungan masyarakat. Sebagai rumah produksi, Starvision Plus tentu memiliki tujuan ekonomi untuk mencari keuntungan. Meskipun demikian, film-film hasil produksi dari Starvision Plus tentu tidak menyimpang dari fungsi media yang ada. Dalam tujuannya mencari keuntungan, Starvision Plus justru memproduksi dan menampilkan film-film yang memiliki dampak positif serta mengedukasi khalayaknya. Starvision Plus mengemas cerita tentang keseharian yang terjadi pada penduduk lokal agar banyak disukai oleh masyarakat3. Seperti pada film NGENEST, cerita yang diangkat adalah masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Hal tersebut dibuat dari sudut pandang Ernest Prakasa sebagai sutradara film tersebut mengenai isu sosial yang masih sering terjadi di Indonesia.

PT. Kharisma Starvision Plus atau yang dikenal sebagai Starvision merupakan rumah produksi di Indonesia yang didirikan pada 10 Oktober 1995.

3 https://id.bookmyshow.com/blog-hiburan/chand-parwez-ungkap-kiat-starvision-plus-bertahan-di-industri-film-indonesia/ (dikutip pada 2 November 2019 pukul 00.54 WIB)

64 Starvision Plus didirikan oleh Chand Perwez Servia pada saat industri bioskop mulai merosot akibat adanya pembajakan. Starvision Plus memproduksi berbagai macam program televisi yang mencapai Top Rating Indonesia. Dengan genre yang beragam, karya Starvision Plus serng menjadi trendsetter yang sukses, seperti The Tarix Jabrix (2008), Get Married 3 (2011), Purple Love (2011), Perahu Kertas (2012), Cinta Brontosaurus (2013), Marmut Merah Jambu (2014), NGENEST (2015), Cek Toko Sebelah (2016), Sweet 20 (2017), Critical Eleven (2017). Selain banyak digemari, karya Starvision Plus juga memiliki nilai dan telah meraih berbagai macam penghargaan lokal dan juga internasional. Di hari ulang tahun yang ke 22 tahun, Starvision Plus telah berhasil meraih 22 nominasi di FFI (Festival Film Indonesia) pada tahun 2017.

4.3.3 Sosial

Berkaitan dengan proses produksi film NGENEST, dalam tahap ini penulis akan menjelaskan mengenai permasalahan sosial yang berkembang dan masih sering terjadi di lingkungan masyarakat secara keseluruhan dan mendalam. Beragamnya suku, ras dan agama di Indonesia tidak selamanya berjalan mulus, tetapi sering terjadi perbedaan antarkelompok tertentu. Salah satu permasalahan sosial yang masih sering terjadi di Indonesia adalah seperti pada film NGENEST, yaitu tindakan diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa. Tindakan diskriminasi yang dilakukan seperti tindakan perundungan dan juga memperlakukan pembedaan terhadap kelompok etnis Tionghoa. Meskipun cerita yang diangkat merupakan suatu hal yang sensitif, tetapi Ernest berani menampilkan beberapa adegan yang menunjukan tindakan diskriminasi yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa. Film ini diangkat dari kisah hidup yang dialami oleh Ernest (sutradara sekaligus penulis naskah film NGENEST) sebagai kaum minoritas keturunan Tionghoa.

65 Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh Ernest, kebencian terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagai kelompok minoritas masih saja ada. Dilansir dari tirto.id (2016) dalam artikel yang berjudul “Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa”, menurut penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat mengatakan bahwa adanya kebencian terhadap masyarakat etnis Tionghoa adalah hasil dari politik pecah belah Soeharto. Pada masa Soeharto sebagian kecil kelompok etnis Tionghoa di Indonesia menikmati berbagai fasilitas investasi hingga menjadi sangat kaya. Dengan demikian etnis Tionghoa direpresentasikan sebagai kelompok yang berkuasa dan memiliki kekayaan dengan cara yang curang. Jatuhnya Soeharto pada 1998 membuat pembedaan ini semakin rumit. Kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di Indonesia menjadikan kelompok masyarakat Tionghoa sebagai sasaran kebencian.

Dalam tirto.id menyatakan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa sudah ada sejak tahun 1740. Pada saat bulan Oktober 1740, ketika para kuli Cina sedang berbaris menuju kota sambil membawa senjata buatan sendiri, beredar isu bahwa mereka adalah kelompok yang akan membantu para pemberontak. Kecurigaan bagi orang-orang Eropa dan pribumi sendiri memperburuk kondisi. Saat itu mereka secara langsung menyerang kelompok Tionghoa tersebut dengan membunuh. Tak hanya membunuh, mereka juga menjarah dan membakar sekitar 7.000 rumah milik orang Tionghoa. Gubernur Jendral VOC Adriaan Volckanier pada saat itu tidak menangani peristiwa pembantaian yang dilakukan terhadap orang Tionghoa, melainkan ia mendukung kejadian tersebut. Ia memerintahkan untuk membunuh dengan keji semua orang Tionghoa hingga ke dalam penjara dan pasien-pasien di rumah sakit. Kejadian tersebut terlah memakan banyak korban yang mencapai 10.000 orang. Peristiwa di Batavia ini dikenal dengan nama “Geger Pecinan”.

66 Kebencian terhadap kelompok etnis Tionghoa dapat dikatakan sebagai konstruksi sosial yang dibuat oleh para penguasa (Belanda dan Pribumi). Munculnya stereotip dalam persepsi kelompok “pribumi” terhadap etnis Tionghoa bahwa mereka (etnis Tionghoa) merupakan kelompok yang homogen dan kaya karena menguras perekonomian kaum pribumi, etnis Tionghoa dianggap merasa lebih hebat dan eksklusif. Kebencian terhadap etnis Tionghoa dikarenakan efektifnya mereka menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Hal tersebut membuat kaum pribumi menjadi benci para penarik pajak serta memandang orang-orang Tionghoa sebagai musuh yang memeras, menghisap darah, serta menghalangi perkembangan ekonomi mereka (Yau Hoon, 2012: 25-26).

Dalam dokumen BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN (Halaman 36-41)

Dokumen terkait