Pada dasarnya konsep dasar murabahah dalam fiqih tidak
selamanya bisa murni diterapkan dalam pelaksanaanya di Bank Syari’ah misalnya Bank Muamalat. Hal ini mengingat perkembangan jaman dan perkembangan teknologi yang menurut Bank Muamalat bekerja dengan efektif dan efisien guna meningkatkan pelayanan kepada nasabah atau masyarakat pengguna jasa perbankan.
Untuk itu dalam praktiknya, murabahah yang murni sesuai fiqih muamalah dimana penjual dan pembeli bertemu langsung, masing-masing membawa barang dan uang, hal ini berbeda dengan prakteknya di Bank Muamalat. Dimana Bank Muamalat tidak mempunyai persediaan semua
barang yang dibutuhkan oleh nasabah, melainkan bank akan membeli
dahulu dari supplier setelah ada permintaan dari nasabah. Sistem
pembayaran pada murabahah ini dilakukan secara angsuran dan bukan
dengan cara pembayaran sekaligus pada jatuh tempo (sesuai fiqih muamalah), hal ini dikarenakan untuk menghindari resiko adanya kredit macet (non performing loan), dan juga umumnya nasabah yang datang ke bank menginginkan kredit dengan pembayaran secara angsuran.
Asumsinya, kalau nasabah yang mampu dengan pembayaran tunai pasti mereka datang langsung ke supplier mengapa harus repot-repot datang ke bank. Dan kalau dilakukan dengan cara sekaligus pada jatuh tempo, ini akan memberatkan nasabah. Padahal pembiayaan di Bank Muamalat minimal Rp. 50.000.000 (cukup besar). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu karyawan Bank Muamalat,
murabahah dengan sistem angsuran atau cicilan (bai’ bitsaman ajil) ini
merupakan diverifikasi dari murabahah sendiri dan justru dengan
pembayaran secara angsuran inilah, produk ini degemari masyarakat.
Dalam pembelian barangnya, Bank Muamalah umumnya dilakukan dengan mewakalahkan kepada nasabahnya sendiri dan nasabah wajib menyerahkan bukti-bukti pembelian kebutuhan barang tersebut (seperti kwitansi, invoice, dsb). Perjanjian ini dibuat pada waktu akad sebelum realisasi pembiayaan dana, dan secara tertulis terdapat pada persyaratan perjanjian pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari
dilakukan karena keterbatasan tenaga yang ada dan juga agar lebih efektif dan efisien, hal ini sah-sah saja asalkan tidak melanggar aturan fiqih yang ada.
Langkah pemberian Wakalah kepada Nasabah inilah yang oleh
sebagian akademisi dianggap bahwa Bank Syariah terkadang kurang bijak
dan tidak hati-hati menerapkan media Wakalah pembelian Barang ini.
Karena Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 (26 Dzulhijah 1420 H) telah menetapkan bahwa jika Bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi
milik Bank. Dengan kata lain, pemberian kuasa (Wakalah) dari Bank
kepada Nasabah atau pihak ketiga manapun, harus dilakukan sebelum Akad Jual beli Murabahah terjadi. Dalam kenyataannya, Akad Murabahah
sering kali mendahului pemberian Wakalah dan dropping dana pembelian barang. Bagaimana mau dikatakan barang telah menjadi milik Bank, jika
dropping dana pembelian barang saja dilakukan setelah akad Murabahah
ditanda-tangani.
Bank Indonesia (BI) nampaknya cukup tegas dalam hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 Nopember 2005 tentang standarisasi akad, BI menegaskan kembali penggunaan media Wakalah dalam Murabahah pada pasal 9 ayat 1 butir d
yaitu dalam hal Bank mewakilkan kepada Nasabah (Wakalah) untuk
secara prinsip menjadi milik Bank. Bahkan dalam bagian penjelasan PBI
tersebut ditegaskan bahwa Akad Wakalah harus dibuat terpisah dengan
Akad Murabahah. Lalu ditegaskan, yang dimaksud secara prinsip Barang milik Bank dalam Wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kwitansi pembelian.
Proses realisasi penanaman dana murabahah dilakukan oleh
bagian OP dengan memperhatikan kelengkapan dokumen yang meliputi; SPRP, surat sanggup, jadwal angsur, STTU, surat kuasa debet, surat fasilitas pembiayaan, perjanjian pembiayaan, keterangan tentang agunan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian yang ada, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Prosedur Pembiayaan
a. Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan atau harga beli dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual (bank) dan pembeli (nasabah).
b. Pembiayaan murabahah, dalam penerapannya di perbankan
syari’ah masih belum bisa sepenuhnya murni menggunakan hukum-hukum syari’ah
c. Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat sistem pembayaranya
secara angsuran (murabahah muajjal), hal ini karena kebanyakan seseorang atau nasabah tidak akan datang ke bank kecuali untuk mendapat kredit dan membayar secara angsur.
2. Proses Realisasi
a. Proses realisasi pembiayaan merupakan penggunaan dana bank dari pihak ketiga yang disalurkan kepada nasabah.
b. Upaya untuk meningkatkan profesionalisme dan ketaatan asas
dalam pembiayaan sesuai dengan aturan yang baku, telah dilakukan
oleh setiap account manager dalam memproses pembiayaan
investigasi, analisa pembiayaan, rekomendasi, persetujuan pembiayaan, dan realisasi pembiayaan.
c. Dalam merealisasi pembiayaan, yang sudah mendapat persetujuan
dari komite pembiayaan telah dilakukan oleh bagian OP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Dokumen-dokumen yang harus ada dalam realisasi pembiayaan
adalah SRPP, surat sanggup, jadwal angsuran, STTU, dan STTB yang telah diisi lengkap dan ditandatangani nasabah.
e. Pembiayaan yang terealisasi adalah pembiayaan yang semua
dokumen-dokumenya telah memenuhi persyaratan.
f. Terdapat kontrak (covenants) positif dan negatif yang harus
diperhatikan dan dilakukan oleh calon nasabah pembiayaan untuk memperkecil kemungkinan resiko kerugian dalam pembiayaan.
B. Saran
1. Pembiayaan yang sudah terealisir harus mendapatkan porsi cukup
dalam pembinaan dan pemantauan kepada nasabah, sebab dengan pengontrolan kegiatan usaha dapat menjamin tercapainya tujuan penyaluran dana itu sendiri. Melalui pembinaan nasabah dapat mengoptimalkan kemampuanya untuk memenuhi kewajibanya kepada pihak bank.
2. Dalam melakukan dropping pembiayaan harus benar-benar diperhatikan kelengkapan datanya. Hal ini untuk menghindari resiko yang mungkin akan terjadi, misalnya :
a. Untuk spekulasi.
b. Pembiayaan tanpa didukung informasi keuangan yang memadai,
tidak terkecuali.
c. Debitur yang bermasalah pada lembaga keuangan yang lain.
d. Pembiayaan, atau penyaluran dana yang tidak sesuai dengan
syari’ah islam.
e. Penyalahgunaan dana (inside streaming).
3. Pembiayaan yang telah cair pada dasarnya dokumen-dokumenya telah
lengkap. Namun pada kenyataanya masih ada TBO (to be obstain)
yang harus dilengkapi oleh manager dan hal ini harus cepat ditangani.
Nampaknya aturan Bank Indonesia telah sejalan dengan
Fatwa MUI mengenai Murabahah, dimana BI dan MUI kembali
menempatkan posisi Bank dalam kedudukannya sebagai Penjual Barang. Bukan hanya sekedar lembaga keuangan saja. Hal inilah yang
sangat membedakan antara pembiayaan Murabahah di Bank Syariah
dengan kredit pembelian barang biasa di Bank Konvensional.
Semoga selanjutnya ke depan, praktek-praktek Murabahah
akan terus menuju murni Syariah. Kalau sekarang Bank-bank Konvensional sibuk untuk mendirikan perusahaan SPV untuk
mengurusi kredit-kredit macet milik bank tersebut, maka di tahun mendatang Bank-bank Syariah di Indonesia akan sibuk mendirikan
sebuah perusahaan joint venture bernama ”Murabahah Center” yang
akan menjadi showrom dari barang-barang yang akan dijual oleh Bank
Syariah. ”Murabahah Center” inilah yang akan menjadi penerima
Wakalah untuk mengurusi pembelian barang yang dibutuhkan