• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisii kaedah-kaedah hukum yang mengatur masalah pengimplementasian rejim civil forfeiture dalam kerangka

59

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 24.

hukum Indonesia yang kemudian disistemasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.60

60

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 195 – 196.

B A B II

URGENSI IMPLEMENTASI CIVIL FORFEITURE DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Penerapan Civil Forfeiture terhadap Hukum Yang berlaku di Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Perbedaan terhadap sistem hukum Perdata dan hukum pidana berlaku juga terhadap kompetensi suatu peradilan, hukum acara, termasuk didalamnya mengenai hukum pembuktian. Pandangan tradisional melihat tindak pidana sebagai suatu kejahatan yang mengancam kepentingan masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana dibuat dengan maksud untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diancam oleh kejahatan tersebut, dengan menentukan kaidah-kaidah serta sanksi-sanksi yang dapat menindak para pelaku kejahatan maupun mencegah anggota masyarakat untuk dalam melakukan kejahatan61.

Sehubungan dengan hal tersebut, hukum acara pidana disusun untuk menentukan syarat-syarat dan tata cara agar dapat menentukan seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu kejahatan sehingga berakibat munculnya stigma sosial dari masyarakat terhadap terpidana sebagai seorang

61

http ://www. Legalitas .org / index.php /proses /?q=PERAMPASAN +HARTA+ KEKAYAAN + HASIL + TINDAK + PIDANA %3A + TELAAHAN + BARU + dalam + Sistem + Hukum + Indonesia

"penjahat", akan tetapi hal tersebut tidak ditemukan dalam hubungan keperdataan sekalipun terdapat pihak yang dirugikan62.

Dalam perkembangannya kini, pembedaan secara tegas antara perbuatan yang termasuk di dalam ruang lingkup hukum pidana dan hukum perdata tidak dapat dipertahankan lagi. Banyak perbuatan-perbuatan yang merupakan ruang lingkup hukum perdata telah diinterupsi dengan perbuatan pidana, ataupun sebaliknya perbuatan-perbuatan pidana seringkali juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hubungan keperdataan. Pandangan kaum pasca modernis melihat hal ini sebagai langkah pemajuan dalam proses supremasi hukum. Apalagi dengan semakin meningkatnya administrasi birokrasi dalam perkembangan masyarakat modern telah mengakibatkan hukum adminisrasi juga seringkali tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum perdata dengan hukum pidana.

Perkembangan masyarakat modern pun berpengaruh terhadap

perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu barang/aset hasil tindak pidana merupakan "darah segar" (blood of The Crime) bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan hasil suatu tindak pidana adalah darah bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa yang dilakukan dengan motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih

(white collar crime) belaka yang banyak melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir (well-organized crimes), memanfaatkan kecanggihan teknologi (advanced technology means), serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara (international crimes). Khusus kejahatan yang termasuk jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan63.

Dalam menghukum pelaku tindak pidana untuk jenis kejahatan seperti ini tentu saja tidak cukup dengan proses pidana konvensional. Sistem peradilan kedepan harus mampu untuk menarik seluruh keuntungan yang dihasilkan serta seluruh peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung kejahatan tersebut dengan maksud antara lain kejahatan tersebut tidak dilanjutkan oleh orang lain, atau dapat digunakan oleh orang lain untuk melakukan kejahatan lainnya; ataupun mencegah si pelaku tindak pidana beserta kerabatnya agar tidak dapat menikmati harta kekayaan dari hasil tindak pidananya64.

Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem hukum

Anglosaxon/Common Law, mereka tidak lagi memberikan pandangan terpisah antara

sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum mereka memungkinkan mengenal

63

Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering), Dokumen Kepolisian Republik Indonesia ,tanpa Tahun,hal 1.

adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture ini memungkinkan pula untuk menyita atau merampas hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan negara- negara penganut sistem Eropa Kontinental/Civil Law. Asset Forfeiture ini hanya dikenal dalam proses sistem hukum pidana, yang dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengertian yang demikian luas terhadap harta kekayaan yang dapat dirampas tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat terhadap adanya kemungkinan terjadi penyalahgunaan wewenang atau wewenang dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat dalam hal ini. Praktik internasional telah menunjukkan bahwa asset forfeiture dengan mengambil harta kekayaan para pelaku kejahatan, menjualnya, dan membagi-bagikan hasilnya kepada para penegak hukum untuk proses penegakan hukum yang lain, telah menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga kemudian timbul motivasi dari para penegak hukum untuk lebih intensif memberikan perhatian terhadap penyelesaian perkara-perkara dengan melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar, sekalipun perkara itu tergolong pada kejahatan ringan.

Berbeda dengan proses hukum konvensional yang jauh lebih merumitkan dalam upaya mengambil harta kekayaan tindak pidana. Dalam kondisi yang demikian, putusan-putusan pidana telah mengakibatkan banyak orang-orang menjadi kehilangan harta kekayaan, bahkan penghasilan. Pada akhirnya, sistem hukum tidak

dapat menurunkan tingkat kejahatan, apalagi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Harta yang diperoleh dengan jalan yang tidak sah yang telah dicuci seolah oleh diperoleh dengan jalan legal (money laundering) dijadikan sebagai objek dari

civil forfeiture65.

Instrumen civil forfeiture sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UU PTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture

tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda66.

Gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara negara. Sebaliknya

civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup

65

http://gagasanhukum.worldpress.com/tags-eka-iskandar/p/2 diakses terakhir kali tanggal 28 Juli 2010.

membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.67

Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan aset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup “ampuh” untuk meredam atau mengurangi jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. , korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary crime” (kejahatan luar biasa), tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.68

Mempertajam pemahaman tentang civil forfeiture, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan

67

Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian negara Dalam korupsi, www. Komisi Hukum.go id. Dalam Detania, hal.34

68

Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1.

criminal forfeiture, antara lain : Pertama, civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu ada adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, civil forfeiture

menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi.Keempat, civil forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.69

Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena

69

Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum NAsinal, 2007, h.22-23.

obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.

Apabila dicermati dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang yang telah ditangani (termasuk didalamnya adalah korupsi), terlihat adanya kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan ini pada umumnya memiliki status sosial yang tinggi di dalam masyarakat. Mereka tidak mempergunakan harta benda kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan dalam bentuk uang tunai. Para pelaku kejahatan ini lebih memilih untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau mengalihkan nya berkali kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda beda, agar penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan menjerat pelaku kejahatan tersebut. Keseluruhan proses ini merupakan bagian yang terpisahkan dari perbuatan pencucian uang.

Lahirnya UUTPPU didasari oleh suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasa keuangan seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrument lain dalam lalu lintas keuangan, praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan,bahkan merusak stabilitas perekonomian yang telah ada.

Tindakan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, biasanya dilakukan oleh organisasi kriminal maupun individu yang melakukan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lain

dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal.

Adapun yang melatarbelakangi para pelaku melakukan pencucian uang adalah dengan maksud untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime70. Tindakan tersebut dimaksudkan dengan memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah.

Uang haram di dalam pencucian uang diperoleh dari berbagai kalangan kejahatan, maka terdapat beberapa pengaturan sebagai upaya pencegahan kejahatan pencucian uang. Yakni :

1. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika Undang-Undang Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan

70

Proceeds of crime diartikan sebagai pola kejahatan pencucian uang yang merupakan hasil dari tindak pidana dari kejahatan awal (predicate crimes) berupa uang atau harta kekayaan oleh pelaku baik orang maupun korporasi, yang biasanya selalu berusaha untuk melakukan penyamaran dan menempatkan harta hasil kejahatan di dalam suatu financial system dengan maksud harta kekayaan tersebut sebagai harta yang dianggap legal.

sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika.71

2. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1977 tentang Psikotropika

Undang-Undang Psikotropika bertujuan untuk memberantas dan mencegah terjadinya peredaran gelap Psikotropika. Dalam Undang-Undang ini diatur, antara lain, mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika ,agar hal tersebut tidak disalah gunakan sebagai sarana pencucian uang.

3. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa :

“Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana dibidang perbankan.”

Didalam penjelasan atas Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan transaksi tertentu adalah transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum dalam pengertian ini, tentunya termaksud pula kegiatan pencucian uang.

71

Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 menyebutkan “ Narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotik dan hasil hasilnya dapat disita untuk Negara.

Kemudian dalam rangka kerja sama internasional, Pasal 57 undang-undang ini menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan kerja samama dengan bank central lainnya, organisasi, dan lembaga internasional. Kerja sama ini dapat meliputi kerja sama tukar-menukar informasi yang terkait dengan bank sentral, termasuk dalam bidang pengawasan bank.

4. Dalam hubungannya dengan ekstradisi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi memungkinkan adanya kerja sama internasional. Beberapa perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani oleh Indonesia dengan Negara lain meliputi Filiphina, Malaysia, Thailand, Australia, dan Hongkong. Khusus untuk kerja sama dengan Australia dan Hong Kong, memang telah meliputi pencucian uang meskipun belum dinyatakan sebagai tindakan pidana.

5. Selain itu, sebagai wujud kepedulian pemerintah Indonesia dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang, pada Juni 2000 Indonesia telah diterima menjadi anggota Asia Pacific Group (APG) On Money Laundering di kawasan Asia Pasifik yang didrikan pada Februari 1997. Organisasi ini telah memiliki anggota 22 negara.

6. Undang Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Karena kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internasional, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 telah memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Dalam Pasal 3 ayat (2) disebut bahwa :

“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”

Keterangan dan data yang diminta, antara lain, meliputi nilai dan jenis transaksi dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.

Pada waktu itu salah satu faktor yang menjadi latar belakang lahirnya undang- undang ini, antara lain, munculnya suatu kasus Eddy Tansil karena pada waktu itu (meskipun Indonesia tidak termasuk dalam “Tax haven country”) Indonesia terkenal dengan tingkat kebebasan lalu lintas devisa, modal, dan dana yang tinggi sehingga memungkinkan setiap individu atau perusahaan melakukan transaksi secara leluasa dan hampir tanpa batas. Terlebih dengan tidak adanya keharusan menerangkan asal usul dari setiap devisa yang masuk atau keluar72.

Kesaksian yang disampaikan seseorang pejabat sebuah bank Swasta di Jakarta pada waktu berlangsung peradilan Eddy Tansil. Dinyatakan, antara lain, bahwa atas dasar permintaan Eddy Tansil, maka dengan mudah telah melakukan transfer uang sebesar Rp 178 miliar atau sekitar US$ 85 juta kesalah satu bank di Cayman Island. Hal ini dapat terlaksana dengan mudah mengingat negara tersebut menyediakan peraturan dan fasilitas yang memungkinkan perkembangannya The Financial Secrery Business73.

72

http://www.polotikindonesia.com/readhead.php?id=333.html.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa sistem devisa yang berlaku memungkinkan setiap orang/badan untuk memindahkan uang simpan rupiah mereka kemana saja dikehendaki, proses demikian dapat membawa implikasi terkurasnya dana valuta asing yang dihimpun susah payah.

7. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang direvisi dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tindak lanjut dari perintah undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Disamping itu dapat dicatat pula Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2004 tentang pembentukan Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Keppres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Untuk menunjang tekad pemerintah korupsi telah dikeluarkan pula Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang anti “money laundering” di samping pula Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, berbagai lembaga independent juga dibentuk, seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi keuangan) sebagai Financial Inteligent Unit, lembaga perlindungan saksi dan korban. Tidak kalah pentingnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta aktif

menunjang program pemerintah dalam pembertasan korupsi dengan memberikan kesempatan serta peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

9. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 5 tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya . Hanya saja UU ini belum dapat untuk menjamah para pelaku intelektual kejahatan dalam bidang kehutanan. Jika merujuk kepada UU No 41 Tahun 1999 lebih banyak menjerat para pelaku lapangan seperti buruh tebang dan buruh memindahkan hasil kayu hasil dari tebangan liar dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi karena merekalah yang terbukti menduduki kawasan hutan, memiliki, menebang, membawa, menguasai dan mengangkut hasil hutan dengan tanpa izin yang sah74.

Penyebab utama kasus illegal loging adalah aktor intellektualnya selama ini terlalu kuat untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku penebangan liar terhadap hukum dikarenakan keterkaitan dengan instutisi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membeking sehingga pelaku sangat sulit untuk dijangkau atau disentuh hukum. Penyelesaian kasus illegal loging dipengadilan selama ini hanya berakhir dengan penyitaan dan pelelangan kayu hasil tangkapan. Tidak sedikit yang bebas karena disebabkan tidak cukup bukti keterlibatan75.

Kegagalan penegakan hukum atas tindak pidana dibidang kehutanan ini memberikan pelajaran bagi kita untuk mencari sisi lain yang dapat dijadikan celah

74

Pasal 50 ayat 3 UU No 41 Tahun 1999

75

http://antikorupsi.org/indo/content/view/1254/6/html?, UU Pencucian Uang : Solusi Alternatif memberantas illegal logging , diakses tanggal 17 Agustus 2010.

untuk menjerat pelaku utamanya.Pendekatan lain adalah dengan pengusutan dari sisi keuangan atau mengejar hasil kejahatan (follow the money)76.

Dengan UU TPPU , maka untuk kejahatan di bidang kehutanan memiliki resiko terjadinya pencucian uang yang sama halnya dengan kejahatan korupsi, perdagangan senjata, narkoba dan terorisme. Aparat hukumpun dapat menjerat pelaku illegal loging dengan UU TPPU . Karena kayu yang berasal dari illegal logging maka uangnya adalah ”haram”.

Para pelaku dalam tindak pidana illegal logging ini juga melakukan kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan melakukan 3 (tiga) tahapan seperti :

Placement yang merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari aktifitas kejahatan dengan memecah sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan.

Layering merupakan proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya dengan serangakaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang ”haram” tersebut.

Integration disini uang haram, tersebut tidak nampak lagi berhubungan dengan aktifitas kejahatan sebelumnya karena telah ”dicuci” dengan kegiatan placement

76

Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana (Semarang:Badan penyedia Bahan Kuliah Universitas Diponegoro,1999) hal 49.

dan layering tersebut . Pelaku dapat saja menggunakan satu dari ketiga kegiatan tersebut, namun juga dapat melakukan gabungan dari tiga cara tersebut77.

Uang hasil kegiatan tersebut dapat dimasukkan ke bank (placement) dan kemudian disamarkan (layering) dengan melakukan transfer ke beberapa nama dan nomor rekening dan selanjutnya diinvestasikan (integration) kedalam bisnis legal seperti pendirian hotel, jasa transportasi bahkan sampai dengan mendirikan BPR78.

Perbankan adalah saluran yang sangat menarik adalah saluran yang sangat

Dokumen terkait