• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Metode Penelitian

3.11. Cara Analisis Data

Data yang telah terkumpul dideskripsikan untuk menjelaskan distribusi frekuensi umur, jenis kelamin dan tipe histopatologi pada KNF. Untuk menilai kebermaknaan antara variabel yang diteliti, maka dilakukan uji chi square. Keseluruhan data dipresentasikan dalam bentuk tabel dan grafik.

NEGATIF 0 -3

POSITIF/OVEREKSPRESI 4 - 9

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan sampel penelitian berasal dari jaringan nasofaring serta dilakukan pemeriksaan histopatologi dan immunohistokimia PPARγ pada Departemen Patologi Anatomi FK USU. Data penelitian ini merupakan seluruh kasus karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria populasi.

4.1. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur

UMUR (tahun) n % ≤ 20 1 3,3 21-40 5 16,7 41-60 19 63,3 > 60 5 16,7 TOTAL 30 100

Pada tabel di atas dapat dilihat proporsi tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun yaitu 19 orang (63,3%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun yaitu 1 orang (3.3%). Umur termuda adalah 16 tahun dan tertua berumur 71 tahun dengan rerata umur 48.3 tahun.

27

4.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan tabel di atas diketahui proporsi penderita karsinoma nasofaring terbanyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 21 orang (70,0%) sedang jenis kelamin perempuan 9 orang (30,0%).

4.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe Histopatologi

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi

KARAKTERISTIK HISTOPATOLOGI n %

Keratinizing squamous cell carcinoma Non keratinizing squamous cell carcinoma Undifferentiated carcinoma 1 16 13 3,3 53,3 43,4 TOTAL 30 100 %

Berdasarkan tabel di atas diketahui proporsi tipe histopatologi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan kelompok terendah adalah tipe keratinizing

JENIS KELAMIN n %

Laki – laki 21 70,0

Perempuan 9 30,0

TOTAL 30 100

squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (3,3%).

4.4. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan tipe histopatologi karsinoma nasofaring.

TIPE HISTOPATOLOGI

EKSPRESI PPARγ Negatif Overekspresi

n % n %

Keratinizing squamous cell carcinoma 0 0,0 1 5,9

Non keratinizing squamous cell carcinoma 6 46,2 10 58,8

Undifferentiated carcinoma 7 53,8 6 35,3

TOTAL 13 100,0 17 100,0

Proporsi overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%), diikuti tipe histopatologi

differentiated carcinoma sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara tipe histopatologi dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,456.

p=0,456

4.5. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.5. Distribusi ekspresi PPARγ berdasarkan frekuensi tumor primer (T) karsinoma nasofaring.

UKURAN TUMOR PRIMER (T)

EKSPRESI PPARγ Negatif Overekspresi n % n % 1 2 3 4 3 23,1 4 23,5 4 30,8 1 5,9 1 7,7 6 35,3 5 38,5 6 35,3 TOTAL 13 100,0 17 100,0 P=0,160

Proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3 dan T4 yaitu masing-masing sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%), dan terendah ditemukan pada ukuran tumor primer T2 yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (5,9%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara tumor primer dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,160.

4.6. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Metastasis Kelenjar Getah Bening (N) Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan metastasis kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring.

KELENJAR GETAH BENING (N)

EKSPRESI PPARγ Negatif Overekspresi n % n % 0 1 2 3 1 7,7 0 0,0 4 30,8 4 23,5 6 46,2 2 11,8 2 15,4 11 64,7 TOTAL 13 100,0 17 100,0 P=0,031

Penelitian ini menunjukkan proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%) dan terendah ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N0 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%), dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara kelenjar getah bening karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,031.

4.7. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring.

Tabel 4.7. Distribusi frekuensi ekspresi PPARγ berdasarkan stadium klinis karsinoma nasofaring.

STADIUM KLINIS EKSPRESI PPARγ Negatif Overekspresi n % n % I II III IV 0 0,0 0 0,0 3 23,1 0 0,0 4 30,8 2 11,8 6 46,2 15 88,2 TOTAL 13 100,0 17 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa proporsi overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%), dan terendah ditemukan pada stadium 1 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%). Dari uji dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara stadium klinis karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,028.

P=0,028

BAB 5

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian histopatologi dan imunohistokimia PPARγ terhadap penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 dengan sampel merupakan penderita yang berobat periode Januari 2011 sampai dengan April 2012 yaitu sebanyak 30 sampel dan akan dijabarkan seperti dibawah ini.

5.1. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur

Pada penelitian ini ditemukan distribusi frekuensi tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun (63,3%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun (3.3%). Umur termuda adalah 16 tahun dan tertua berumur 71 tahun dengan rerata umur 48.3 tahun.

Kelompok umur 41-60 tahun merupakan kelompok umur yang memiliki angka kejadian penderita karsinoma nasofaring yang cukup tinggi, hal ini terlihat pada beberapa penelitian lain di Indonesia seperti yang didapat oleh Puspitasari (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2006-2010 dengan kelompok umur terbanyak pada usia 51-60 tahun sebanyak 89 kasus (26,5%) dari 335 kasus. Penelitian lain yang dilakukan di luar negeri menjumpai hal yang sama, menurut National Cancer Registry (2003) mencatat kasus penderita kanker nasofaring tertinggi ditemukan pada kelompok dari usia 40-49 sebesar 347 (36,3%) kasus dari 1.125

Demikian juga dengan Pua et al. (2008) di Malaysia mendapatkan presentase tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun sebesar 12 penderita (28%) dari 225 kasus.

kasus.

Hal ini disebabkan karena sistem mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik dan penurunan daya tahan tubuh pada usia lebih dari 40 tahun. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al. 2007)

5.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin

Penelitian ini menemukan bahwa jenis kelamin penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah laki-laki sebanyak 21 orang (70,0%) dengan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2.7:1.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Puspitasari (2011) di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan 2.7:1. Penelitian lain juga mendapatkan hasil yang sama seperti Anusha et al. (2012) yaitu ditemukannya penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah pada laki-laki dengan rata-rata 70%. Menurut National Cancer Registry (2003), karsinoma nasofaring yang paling umum adalah pada

Hampir semua penelitian penderita KNF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan pada perempuan diduga ada hubungan dengan kebiasaan hidup dan pekerjaan dimana laki-laki lebih sering terpapar dengan karsinogen penyebab KNF seperti paparan uap, asap debu dan gas kimia, paparan formaldehid di tempat kerja dapat meningkatkan risiko KNF (Chang & Adami, 2006). Selain itu, mengkonsumsi minuman beralkohol dan

laki-laki sebesar 70,8% di Cina.

merokok juga dapat meningkatkan risiko terkena KNF (Yunardi, 2010 Ellen T. Chang et al 2006).

5.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe Histopatologi

Penelitian ini menemukan tipe histopatologi penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan tipe histopatologi terendah adalah tipe

keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring. (3,3%).

Hal ini senada dengan yang di laporkan oleh Cao et al (2006) yaitu 97,6% dari 1.142 kasus KNF di Guangdong merupakan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, 1,7% tipe undifferentiated carcinoma dan 0,5% merupakan tipe

keratinizing squamous cell carcinoma. (Wei et al. 2011).

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang mendapatkan jenis histopatologi terbanyak di Singapore oleh Charles Gullo et al (2008) yang menemukan tipe terbanyak adalah undifferentiated carcinoma dengan nilai rata-rata WHO tipe 3 (55%) diikuti dengan tipe keratinizing squamous cell carcinoma WHO tipe 1 (25%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma sebesar WHO tipe 2. (20%).

Karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Mediterania. (Abdullah et al 2011)

5.4. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Tipe Berdasarkan Histopatologi Karsinoma Nasofaring

Pada penelitian ini kami temukan nilai overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%) diikuti tipe histopatologi undifferentiated carcinoma sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%). Jika dilihat dari distribusi overekspresi PPARγ berdasarkan tipe histopatologi dapat kita temukan overekspresi PPARγ banyak dijumpai pada tipe histopatologi yang berkaitan dengan inflamasi, namun dengan uji Chi-Square menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring (p=0,456).

5.5. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Ukuran

Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring

PPARγ ini ditemukan dapat terekspresi dalam beberapa jenis tumor, sehingga menimbulkan dugaan bahwa PPARγ memiliki peranan didalam diferensiasi garis sel kanker dan dalam regulasi siklus sel. Pada karsinoma sel skuamous kepala dan leher terlihat adanya overekspresi pada PPARγ.

Overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T4 yaitu sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%) dan terendah ditemukan pada ukuran tumor primer T2 yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (5,9%) dengan nilai p=0,160.

Apabila kita melihat pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat tumor dengan PPARγ.

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukunyadzi et al (2003) pada penderita karsinoma duktus saliva

yang menemukan bahwa tingkat ekspresi PPARγ dijumpai pada semua tingkatan ukuran tumor primer namun tidak menemukan hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer. Ekspresi PPARγ pada karsinoma duktus saliva timbul dari reseptor androgen yang merupakan salah satu dari hormone nuclear reseptor.

Galusca et al (2004) pada karsinoma tiroid papilari dimana mereka menemukan peningkatan level PPARγ sejalan dengan peningkatan ukuran tumor primer tetapi tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara level PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Lacroix et al (2004) pada penelitian terhadap karsinoma tiroid folikular dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan ekspresi PPARγ dengan kelompok ukuran tumor primer.

5.6. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Ukuran

Kelenjar Getah Bening (N) Karsinoma Nasofaring

Pada penelitian ini kami lakukan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara kelenjar getah bening karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ didapatkan nilai p=0,031. Kami menemukan overekspresi PPARγ paling banyak dijumpai pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%) dan N2 sebanyak 2 (11,8%), sedangkan pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N1 sebanyak 4 (23,5%). dan N0 sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%).

Jika kita melihat tabel distribusi frekuensi ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ, dapat kita simpulkan bahwa ditemukan hubungan yang signifikan

antara ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Galusca et al (2004) pada penelitian terhadap karsinoma tiroid papilari dimana dijumpai hubungan yang signifikan antara ukuran kelenjar getah bening karsinoma tiroid papilari berdasarkan ekspresi PPARγ (p<0,05). Ukuran kelenjar getah bening karsinoma tiroid papilari terhadap ekspresi PPARγ berhubungan dengan siklus sel.

Tetapi berbeda dengan penelitian Lacroix et al (2004) terhadap karsinoma tyroid folikular menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan ekspresi PPARγ dengan penyebaran kelenjar getah bening.

5.7. Distribusi Frekuensi Ekspresi PPARγ Berdasarkan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring.

Penelitian ini menemukan peningkatan overekspresi PPARγ paling banyak ditemukan pada stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%), dan terendah ditemukan pada stadium 1 yaitu sebanyak 0 jaringan karsinoma nasofaring (0,0%).

Peningkatan overekspresi PPARγ pada penelitian ini semakin meningkat sejalan dengan peningkatan stadium klinis dan kemudian kami lakukan uji dengan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara stadium klinis karsinoma nasofaring dengan ekspresi PPARγ ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan kelompok stadium klinis karsinoma nasofaring dengan nilai p=0,028.

Hal ini serupa dengan penelitian Youssef J & Badr M (2011) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan karsinoma kandung kemih pada peningkatan kelompok stadium klinis. Peningkatan ekspresi PPARγ

berhubungan dengan aktifitas sel diferensiasi dan kanker lain pada traktus urinary.

Hal yang sama juga ditemukan oleh Ogino et al (2009) pada penelitian terhadap karsinoma kolorektal juga menemukan adanya hubungan yang signifikan pada kelompok stadium klinis dengan ekspresi PPARγ (p=0,0054).

Namun hal ini berbeda dengan penelitian Mukunyadzi et al (2003) pada penelitian terhadap karsinoma duktus salivary menemukan peningkatan kadar PPARγ sejalan dengan peningkatan stadium klinis namun tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kadar PPARγ dengan kelompok stadium klinis.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur terbanyak adalah 41-60 tahun sebanyak 19 orang (63,3%). 2. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis

kelamin terbanyak dijumpai pada laki-laki sebanyak 21 orang (70,0%).

3. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi terbanyak pada Non Keratininzing Squmous Cell Carcinoma sebanyak 16 jaringan (53.3%).

4. Distribusi frekuensi tipe histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak tipe histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 10 jaringan karsinoma nasofaring (58,8%).

5. Distribusi frekuensi tumor primer (T) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3 dan T4 yaitu masing-masing sebanyak 6 jaringan karsinoma nasofaring (35,3%).

6. Distribusi frekuensi kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring berdasarkan PPARγ terbanyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (64,7%).

7. Distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi PPARγ terbanyak ditemukan pada

stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma nasofaring (88,2%).

8. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara ekspresi PPARγ dengan ukuran kelenjar getah bening dan stadium klinis dari karsinoma nasofaring.

9. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi PPARγ dengan tipe histopatologi dan kelompok ukuran tumor primer.

6.2 Saran

1. Perlu diadakan penelitian yang lebih jauh lagi terhadap peranan PPARγ dalam pertumbuhan dan perkembangan tumor terutama pada karsinoma nasofaring sebagai salah satu jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada kepala dan leher.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan pembanding/kontrol untuk

mengetahui hubungan ekspresi PPARγ terhadap

klinikopatologis KNF dalam kaitannya mengetahui peranan PPARγ pada proses KNF.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek pemberian antiinflamasi sebagai terapi tambahan pada KNF dilihat dari ekspresi PPARγ.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan hubungan ekspresi PPARγ dengan karsinoma nasofaring sebelum dan sesudah terapi dengan merujuk kepada hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah E.N, Ameera A.M, Eman H. Khalifa, Lamyaa A.M. EL Hassan, M.E. Ibrahim, K.M. Hamad , A.M. El Hassan. (2011) Nasopharyngeal Cancer in Sudan: Epidemiology, Clinical and Histological Characteristics. Clinical Medicine Insights: Ear, Nose and Throat. 2011:4 5–11.

Brennan B. (2005). Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Encyclopedia, pp.1-5

Chang ET dan Adami HO. 2006. The enigmatic epidemiology of NPC.Cancer Epidemiol Biomarkers Prev (15): 1765-77.

Farhat. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Dalam: Majalah Kedokteran Nusantara, Volume 42, Maret 2009. pp.59-65.

Fachiroh J, Schoten T, Hariwiyanto B. (2004) Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses In: Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of Indonesian, Chinese and Europen Subject. The Journal of Infectious Diseases. Vol.190 (1), pp.53-62.

Galusca B, Dumollard JM, Chambonniere ML, Germain N, Prades JM, Peoch M, Estour B. 2004. Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma Immunohistochemical Expression In Human Papillary Thyroid Carcinoma Tissues. Possible Relationship To Lymp Node Metastasis. Anticancer Research, 24: 1993-1998. Horvai E A, Schaefer T J, Nakakura K E, and Odonnell R J. (2008).

Immunostaining for peroxisome proliferator gamma distinguishes dedidefferentiated liposarc.

H Philip Koeffler. (2003). Peroxisome Proliferator-Activated Reseptor Gamma And Cancers. aacrjournals, pp. 9:1-9.

Hsien Y C, Abdullah MS, Telesinghe P U, Ramasamy R. (2009). Nasopharyngeal In Brunei Darussalam: Low Incidence Among The Chinese and An Evaluation of Antibodies to Epstein-Barr Virus Antigens as Biomarkers. Singapore Med J , 50(4) pp.371.

Jiri Ehrmann Jr, Nicol Vavrusova, Yrjo Collan, Zdenek Kolar. (2002). Peroxisome Proliferator-Activated Receptors (PPARs) In Health And Disease. Biomed , 146(2) pp. 11-14.

Lim Chui Hun. (2007). Differential Regulation Of Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPARG) By Cytokines In Murine Macrophage J774.2 Cell Line: Elucidation Of Signal Transduction Pathways Of Tumour Necrosis Factor Alpha (TNFA) In Regulating Macrophage PPARG Gene Expression. Malaysia: Universiti Sains Malaysia.

Li Yi Ming, Deng Hua, Zhao Ming Jia, Dai Dong, Tan Xiao Yu. (2003). Peroxisome Proliferator -Activated Receptor Gamma Ligands Inhibit Cell Growth And Induce Apoptosis In Human Liver Cancer BEL-7402 Cells. Word J Gastroenterol , 9(8) pp. 1683-1688

Lacroix L, Mian C, Barrier T, Talbot M, Caillou B, Schlumberger M, Jean-Michel Bidart (2004). PAX8 and peroxisome proliferator-activated receptor gamma 1 gene expression status in benign and malignant thyroid tissues. European Journal of Endocrinology, pp. 151 367– 374.

Lutan R. 2003. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI. Bali pp.16

Mukunyadzi P, Ai L, Portilla D, Barnes EL, Fan CY. 2003. Expression Of Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma In Salivary Duct Carcinoma: Immunohistochemical Analysis Of 15 Cases. The United States and Canadian Academy of Pathology, 16 (12): 1218-1223.

NG Nikitakis, H Siavash, C Hebert, MA Reynolds, AW Hamburger and JJ Sauk. (2002). 15-PGJ2, but not Thiazolidinediones, Inhibits Cell Growth, Induces Apoptosis And Causes Downregulation Of Stat3 in Human Oral SCCa Cells. British Journal of Cancer , 87 pp. 1396-1403.

Ogino S, Shima K, Baba Y, Nosho K, Irahara N, Kure S, Chen L, Toyoda S, Gregory J, Wang L, Edward L, Giovannucci, Fuchs CS. (2009). Colorectal Cancer Expression of Peroxisome Proliferator-Activated Receptor γ (PPARG, PPARgamma) Is Associated With Good Prognosis. Clinical Alimentary Tract. pp. 136: 1242-1250. Puspitasari. 2011. Gambaran penderita karsinoma nasofaring di RSUP H.

Adam Malik Medan tahun 2006-2010. Tesis. Medan: FK USU. Qing HE, Jie CHEN, Han-Liang LIN, Pin-Jin HU, Min-Hu CHEN. (2009).

Expression Of Peroxisome Proliferator-Activated Receptor g, E-Cadherin And Matrix Metalloproteinases-2 In Gastric Carcinoma

And Lymph Node Metastases . Chinese Medical Journal , 120(17) pp. 1498-1504.

Randall L. Plant, M. (2009). Neoplasm of the Nasopharynx. Philladelpia. pp.1081-1089.

Schweitzer A, Shirley K, & Roland H Stauber. (2009). Nuklear Reseptor In Head and Neck Cancer Current Knowledge and Perspective.

International Journal of Cancer, pp. 126: 801-809.

Shirley K K. (2009). Prognostik and Therapeutic Potential of Nuclear Receptors in Head and Neck Squamous Cell Carsinomas. Journal of Ancology, pp.1-1

Titcomb C P, MD. High Incidence Of Nasopharyngeal Carcinoma In Asia. (2001). Journal Of Insurance Medicine. pp. 33: 235-238.

Tracey L, Bonfield, Carol F, Farver, Barbara P Barna, Anagha Maluar, Susamma Abraham, Baisakhi Raychaudhuri, Mani S Kavuru and Mary Jane Thomassen. (2003). Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Gamma Is Deficient In Alveolar Macrophages From Patients With Alveolar Proteinosis. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology , 29 pp. 677-682.

Wei, W.I. (2006) ‘Nasopharyngeal Cancer’ In : Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. (eds) Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp. 1657-1671.

William W I. (2006). Nasopharyngeal Cancer (4th ed.). (B. J. Bailey, Jonas. J. T, & Shawn. N. D, Eds.) Newlands: Lippincott Williams & Wilkins. pp.1658-1671.

X Xu, G Yuan, W Liu, Y Zhang, W Chen. (2009). Expression Of Cathepsin L In Nasopharyngeal Carcinoma And Its Clinical Significance.

Experimental Oncology , 31 pp.102-105.

Y Noorizan, MBBCh, Y K Chew, MBBS, A Khir, MS, S Brito-Mutunayagam, MS. (2008). Nasopharyngeal Carcinoma: Recognizing it Early In Chidren With Otitis Media With Effusion.

Med J Malaysia , 63(3) pp. 261-262.

Youssef J and Bard M. 2011. Peroxisome Proliferator Activated Receptor And Cancer: Challenges And Opportunities. British Journal Of Pharmacology, 164: 68-82.

PERSONALIA PENELITIAN 1. Peneliti utama

a. Nama lengkap : dr. Flora Armanti b. Pangkat/Gol : Penata Muda/IIIb

c. NIP : 198306232010012008

d. Jabatan : PPDS THT-KL FK USU e. Jabatan Struktural : -

f. Fakultas : Kedokteran

g. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara h. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL i. Waktu yang disediakan : 11 jam / Minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing

a. Nama lengkap : dr. Farhat, M.ked (ORL-HNS), SpTHT-KL (K)

b. Pangkat/Gol : III d ( Lektor Kepala)

c. NIP : 19700316200212 1 002

d. Jabatan : Staf Divisi Onkologi THT-KL FK USU e. Jabatan Struktural : Staf Ahli Dekan FK USU

f. Fakultas : Kedokteran

g. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara h. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL i. Waktu yang disediakan : 5 jam / Minggu

3. Anggota Peneliti / Pembimbing

a. Nama lengkap : dr. Ida Sjailandrawati, SpTHT-KL b. Pangkat/Gol : Pembina Tk I/IVb

c. NIP : 195206031979122001

a. Jabatan : Staf Divisi Faringolaringologi THT-KL d. Jabatan Struktural : -

e. Fakultas : Kedokteran

f. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara g. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL h. Waktu yang disediakan : 5 jam / Minggu

4. Konsultan Metodologi Penelitian : dr. Putri Ch. Eyanoer, MSEpid. Ph.D

LAMPIRAN 1

LEMBARAN PENJELASAN

EKSPRESI PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATED RECEPTOR GAMMA PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

Bapak/Ibu yang terhormat, nama saya dr. Flora Armanti, Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk tesis saya yang berjudul Ekspresi Peroxisome Proliferative Activated Reseptor Gamma pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan, atau dengan istilah lain apakah ditemukan peningkatan enzim Peroxisome Proliferative Activated Reseptor Gamma (suatu zat kimia dari tubuh) dan apakah ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit pada penderita penyakit tumor ganas nasofaring (di bagian belakang hidung) seperti yang Bapak/Ibu derita

Dalam penelitian ini Bapak/Ibu akan menjalani pemeriksaan

Dokumen terkait