BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan
evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
BAB II
ANALISIS HUKUM TERHADAP KETENTUAN PENUNDAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM KAJIAN
HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
A. Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di Indonesia dan cukup akrab hubungannya dalam kehidupan masyarakat. Kekerabatan itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: “hukom ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut”. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah: “adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai”. Makna pepatah ini adalah
hubungan adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.
Dalam hubungan ini dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat.37
Setelah Indonesia merdeka, khusus di Minangkabau telah berkembang suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat”.
37Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Cet.6, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 223
Karena itu, apabila terjadi perselisihan antara hukum adat dan hukum Islam yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam. Dalam masyarakat Aceh pun terjadi perkembangan yang sama yaitu: soal-soal perkawinan, harta benda termasuk harta warisan dikehendaki agar diatur menurut ketentuan hukum Islam.
Bahkan dalam masyarakat di daerah ini telah berkembang pula satu garis hukum yang mengatakan bahwa adat atau hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Menurut T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, “di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar ’urf atau adat karena para ahli hukum telah menjadikan
‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam”.38
Agar dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut yaitu:39
a. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum,
b. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan,
c. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan,
d. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak,
38Ibid, hal. 227
39Ibid, hal. 230
e. Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam) Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, atau dengan kata lain, tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Hukum adat mengandung unsur agama, terutama Hindu dan Islam. Kedua agama tersebut banyak mempengaruhi hukum adat karena terdapat dalam satu persamaan yang signifikan dan keduanya memiliki sifat yang sangat sakral. Oleh karena itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam Seminar Hukum Nasional mendefinisikan bahwa “hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang di sana-sini mengandung hukum agama”. Persentuhan unsur nilai keagamaan dengan hukum adat ini terlihat dalam tiga bidang yaitu, hukum keluarga, hukum perkawinan, serta hukum waris. Dari ketiga bidang hukum adat ini hukum waris merupakan bidang yang paling bermasalah karena saat ini terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku di masyarakat, yaitu hukum aris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat. Berbeda dengan hukum perkawinan dan hukum keluarga, walaupun memiliki persentuhan dengan nilai-nilai agama, bidang hukum ini mampu menerima unifikasi dalam hal-hal yang bersifat formal. Di sini unifikasi masih dimungkinkan penerimaannya sepanjang tidak meliputi unsur-unsur yang bersifat sensitif, hal-hal yang berhubungan dengan budaya dan keyakinan masyarakat.40
B. Penundaan Pembagian Waris Dalam Pandangan Hukum Adat
Dalam pergaulan antar manusia pada setiap maasyarakat, dimana pun dan kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap kalbu anggota masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada perlindungan
40Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Cet. I, (Bandung: P. T. Alumni, 2002), hal. 18
terhadap kepentingannya, ada jaminan masa depan terhadap harapannya untuk hidup.41 Hukum adat adalah salah satu hukum yang hidup dan berkembang bersama masyarakat di Indonesia. Hukum adat tersebut merupakan aktualisasi dari perilaku individu atau komunitas sosial suatu masyarakat yang selalu seiring dengan pandangan hidup dan falsafah hidup. Dalam konteks sosial hukum adat merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan dipedomani oleh anggota masyarakat adat.42
Memahami hukum adat perlu diperhatikan terlebih dahulu sejarah kebudayaan dari masyarakat hukum adat bersangkutan. Apabila hukum adat berasal dari hukum lokal, maka masyarakat yang menjadi wilayah bekerjanya hukum lokal tersebut adalah sebagai media atau habitatnya yang disebut masyarakat lokal. Hukum lokal lahir dari kearifan lokal ketika menghadapi kehidupan yang terus berubah, sehingga hukum lokal tersebut senantiasa mengikuti dinamika perkembangan jaman. Sebab hukum yang hidup selalu bergerak dan berubah.43
Ruang lingkup hukum adat dapat dilihat dari dua sisi yaitu ruang lingkup dalam arti tempat dan wilayah kerja hukum tersebut. Jika kita lihat dari ruang lingkupnya, maka hukum adat itu tidak hanya meliputi wilayah tertentu tetapi hampir semua wilayah yang didiami oleh masyarakat hukum adat bersangkutan. Jika ditarik ke wilayah yang lebih kecil lagi, maka di dalam wilayah bekerjanya hukum adat itu
41Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Cet.1( Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal. 1
42Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), ( Surabaya: Laksbang Yustitia, 2011), hal. ix
43Ibid. hal.x
juga terbagi ke dalam wilayah yang lebih kecil, yang berlaku berdasarkan ruang lingkup teritorial seperti desa atau ada juga yang berdasarkan garis keturunan darah.
Hukum yang berlaku pada wilayah-wilayah yang kecil inilah yang disebut dengan hukum lokal. Hukum lokal berbeda dengan hukum adat. Hukum lokal adalah hukum yang hidup dan berlaku dalam suatu komunitas tertentu atau terbatas yang secara nyata diwujudkan dalam mengatur dan menuntun perbuatan anggotanya, yang dapat didukung dengan hukum agama, hukum adat, hukum nasional, hukum yang dilokalkan atau campuran keempatnya.44
Salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah mengenai Hukum waris. Menurut para sarjana hukum, hukum waris adat adalah berkenaan dengan proses penerusan harta kekayaan berwujud benda materiil maupun immateril yang tidak berwujud benda dari satu generasi kepada ahli waris. Proses ini dilakukan sejak si pewaris masih hidup. Kematian pewaris bukanlah sesuatu penentu terhadap proses pewarisan itu. Dari pengertian ini setidaknya ada 4 unsur dalam hukum waris adat, yaitu:45
a. Ada norma yang mengatur tentang proses penerusan harta benda dari pewaris kepada ahli waris,
b. Ada subjek hukum waris yaitu manusia yang mewariskan sejumlah harta bendanya yang disebut si pewaris dan sekelompok manusia yang menerima harta warisan tersebut dari pewaris yang disebut ahli waris,
44Ibid. hal. 9-10
45Ibid. hal. 102
c. Ada objek pewarisan yaitu sejumlah harta benda baik berwujud maupun tidak berwujud benda,
d. Ada proses peralihan sejumlah harta benda baik sebelum atau sesudah si pewaris meninggal dunia.
Unsur ke 4 menyatakan peralihan harta benda yang menjadi harta warisan dapat dialihkan baik sebelum atau sesudah si pewaris meninggal dunia. Dalam proses ini kematian si pewaris bukanlah sebagai penentu pembagian waris seperti dalam hukum Eropa atau Barat.
Hukum adat waris menunjukkan coraknya yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendikan atas prinsip yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis religius, komunal, konkrit, dan kontan. Oleh karena itu, hukum adat waris memiliki sifat yang berbeda dengan hukum Islam dan hukum waris Barat. Dalam hukum adat waris harta warisan ada yang bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaannya untuk sementara tidak dibagi atau ditunda untuk waktu yang lama bahkan hanya sebagian saja yang dibagi. Dalam hukum adat waris, pembagian harta warisan merupakan tindakan bersama secara musyawarah dan kekeluargaan atas asas gotong royong, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah, tenteram dan damai, dengan memperhatikan keadaan khusus setiap ahli waris.
Dalam hukum adat waris tidak memperhatikan kekhasan pada masing-masing suku, harta warisan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan yang harus segera dibagi-bagikan, melainkan wajib diperhatikan sifat, macam, asal dan kedudukan hukum dari pada masing-masing barang yang terdapat dalam harta warisan itu. Harta warisan
dalam hukum adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi di antara ahli waris. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan dianggap tabu dan bertentangan dengan kebiasaan dan moral. Anak yang memaksakan kehendak untuk membagikan harta benda warisan dianggap “tidak tahu adat” suatu ungkapan sebagai sanksi moral, atau bahkan sebagai sanksi hukum adat. Anak yang demikian, dianggap tidak layak menjadi ahli waris. Akan tetapi saat ini dengan modernisasi dan hak azazi manusia persoalan gugat menggugat oleh anak terhadap orang tua dianggap sebagai hal yang wajar. Sifat hukum adat waris pada dasarnya selalu berkaitan dengan konteks sosial di mana hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekerabatan atau struktur sosial yaitu masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat serta pengaruhnya terhadap harta kekayaan atau harta perkawinan yang ditinggalkan yang berada dalam masyarakat itu.46
Harta benda itu tetap utuh disebabkan oleh beberapa hal:47
a) Karena sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, misalnya harta benda itu merupakan milik kerabat, suku, atau klan. Pada masyarakat Flores-NTT misalnya disebut
“ngora ngadhu-bhaga bhaga, ngora gae, ngora one woe” merupakan harta bersama oleh seluruh anggota kerabat,
b) Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat atau jabatan tertentu. Misalnya, harta benda keramat milik keraton di Kasepuhan
46Ibid. hal. 110-113
47Dominikus Rato, Op.Cit, hal. 184
Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi Sultan Sepuh, sehingga barang-barang tersebut tetap disimpan di Keraton Kasepuhan,
c) Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan, seperti tanah kesikepan di daerah Cirebon atau tanah gogolan,
d) Karena pembagiannya untuk sementara ditunda. Harta benda seperti ini banyak ditemukan di Jawa. Misalnya, karena masih ada anak-anak yang belum dewasa, maka demi kepentingan janda beserta anak-anaknya yang belum dewasa tersebut supaya tetap memperoleh nafkah untuk kehidupan mereka, maka harta warisan tidak dibagi-bagikan. Dan, setiap tuntutan untuk dibagi-bagikan oleh para ahli waris yang menurut hakim akan berakibat buruk yaitu terlantarnya anak-anak dan janda, maka gugatan itu akan ditolak oleh hakim. Harta yang tidak dibagikan ini biasanya dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan materil keluarga yang bersangkutan. Bila pemimpin keluarga meninggal maka dipandang wajar bahwa harta demi kepentingan keluarganya tetap utuh di bawah pimpinan orang lain (anak laki-laki tertua, jandanya) sampai pada waktunya nanti dibagi antara para warganya (keluarga), selaku dasar materil pula bagi keluarga yang mereka dirikan masing-masing. Disinipun harus diingat pula bahwa pembagian itu tidak harus dan sering kali juga tidak dilakukan pada suatu saat tertentu, melainkan merupakan suatu proses yang melanjutkan dari pemberian atau pembekalan berupa tanah pertanian, pekarangan, rumah kepada
anak-anak yang kawin, sedangkan bagian terakhir dari harta keluarga itu jatuh ketangan si bungsu yaitu anak yang terakhir tinggal di rumah keluarga sesudah orang tuanya meninggal dunia.48
e) Karena hanya diwariskan kepada satu ahli waris saja. Misalnya, anak tunggal atau pada pola pewarisan mayorat seperti di Bali, sehingga tidak perlu dibagi-bagikan.
Provinsi Aceh menerapkan sistem kewarisan individual yang memiliki ciri-ciri yaitu harta warisan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris.49Harta warisan dalam beberapa masyarakat ada yang langsung dibagikan ada juga yang tidak langsung dibagikan kepada ahli waris. Harta benda tersebut tetap utuh dikarenakan masih adanya anak-anak yang masih dibawah umur sehingga demi kepentingan janda dan anak-anaknya yang belum dewasa tersebut supaya tetap memperoleh nafkah untuk kehidupan mereka maka harta warisan tidak langsung dibagi-bagikan.
Penundaan pembagian tersebut dalam hukum adat diperbolehkan. Harta warisan pada beberapa masyarakat ada yang langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris, tetapi juga ada yang tidak langsung dibagi-bagikan.
Pemilikan bersama atas suatu harta kekayaan tidak terbagi merupakan suatu sarana ril untuk mempertahankan pertalian kerabat itu sendiri. Karena itu pula, suatu harta kekayaan dengan sengaja dibiarkan tidak terbagi untuk waktu yang lama, kalau terpaksa dilakukan pembagian maka sejengkal tanah yang praktis tidak ada nilainya
48Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 156
49Ibid. hal. 117
tidak turut dibagi, selaku tanda konkrit dari tetap kuatnya pertalian kerabat (misalnya tanah “waakes un teranak” di Minahasa). Menurut hukum adat tidaklah mungkin membenarkan tuntutan seorang waris untuk membaggi tanah semacam itu, tidaklah mungkin pula akan mengurangi kekuatan berlakunya norma-norma hukum adat kalau ada waris yang menuntut diterapkannya aturan hukum Barat, bahwa tidak seorangpun dapat dipaksa tetap tinggal dalam harta tidak terbagi, ataupun diperlakukannya aturan hukum fiqih yang mengharuskan pembagian harta dengan seketika.50
Adanya sistem hukum waris yang harta warisan tetap tidak dibagi-bagi, adalah suatu pertanda khas dalam hukum adat, tetapi bertahan karena pengaruh cara berpikir yang komunalitas. yang menghendaki bahwa harta benda yang ditinggalkan itu merupkan harta turun-temurun, tidak mungkin dimiliki oleh seorang, karena memang merupakan milik bersama atau kolektif.51
Provinsi Aceh disebut kota “Serambi Mekkah” tentu tidak lepas dari pengaruh perkembangan Islam di kawasan tersebut. Warisan, wawasan budaya, dan pengaruh akulturasi yang berkembang lama kelamaan telah membentuk watak dan karakter tersendiri dan berkembang bersama struktural sosial di daerah Aceh. Dari interaksi yang terjadi antara beberapa unsur budaya tersebut, lahirlah adat istiadat. Dimana adat yang tumbuh di Aceh disandarkan pada ideologi utama dan satu-satunya di daerah tersebut yaitu Islam. Oleh karena itu, adat yang dijadikan landasan perilaku dan tuntunan hidup yang diberlakukan pada suatu daerah, harus sesuai dan tidak
50Dominikus Rato, Op.Cit. hal.157
51Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2006), hal. 41
boleh bertentangan dengan aturan agama. Apabila adat tersebut bertentangan dengan aturan agama maka hukum adat itu secara otomatis tidak berlaku, menjadikan adat dianggap warisan berharga bagi generasi berikutnya. Kenyataan ini berlaku khususnya di Aceh dan telah tersalur melalui lembaga adat. Namun berdasarkan sifatnya hal ini mungkin saja mengalami perubahan akibat dinamika sosial atau dimensi perubahan zaman dan waktu.52
Pada Provinsi Aceh juga sering terjadi penundaan pembagian warisan, hal ini disebabkan karena menurut salah seorang masyarakat harta warisan tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan janda, duda dan juga anak-anaknya. Apabila harta tersebut dalam bentuk rumah, maka diharapkan akan menjadi tempat berkumpul keluarga ketika hari raya.53
Salah satu perkaranya terjadi didaerah Bireuen sesuai dengan adanya laporan yang terdapat di pengadilan Mahkamah Syaria’ah Bireuen dengan nomor perkara 297/Pdt.G/2012/MS-BIR. Menurut ketua Majelis Adat Aceh, hal tersebut saat ini sudah sangat sering terjadi didaerah Aceh. Oleh karena itu, menurut beliau penundaan pembagian warisan yang terjadi di Aceh merupakan adat istiadat yang telah berkembang di Aceh dan telah menjadi hukum kewarisan adat yang berlaku di Provinsi Aceh saat ini.54
52Chairunnisa Ahsana, Pesona Azimat: Antara Tradisi dan Agama, Cet.1, (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014), hal.36
53Wawancara dengan T. Junaidi Gunawan, pada tanggal 19 September 2015, jam 11.30 WIB
54Wawancara dengan Tgk Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Provinsi Aceh (MAA), pada tanggal 5 Agustus 2015, jam 11.30 WIB
C. Penundaan Pembagian Waris Dalam Pandangan Hukum Islam
Berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia. Maka jalan pikiran tentu akan menuju kepada masalah warisan.55 Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil Ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka.56
Setiap makhluk pasti mati. Tiada orang yang mengetahui kapan dia mati karena waktu kematian merupakan salah satu yang dirahasiakan Allah. Kematian tidak dapat dikejar maupun dihindarkan. Oleh sebab itu setiap orang harus siap jika sewaktu-waktu ajal menjemput. Oleh sebab itu pula, bagi umat Islam setiap perbuatan harus didasari oleh niat beribadah agar memiliki nilai dan manfaat.57
Bagi umat Islam melaksanakan syari’at yang ditunjuk oleh nas-nas yang sahih adalah keharusan. Oleh sebab iu pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam bersifat wajib.58 Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya.59
55Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, cet.4, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hal. 1
56Ibid, hal. 11
57Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal. 1
58Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: PT. Palapa Alta Utama, 2013), hal. 3
59Ibid, hal. 31
Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta warisan keluarga yang meninggal dunia. Hukum kewarisan Islam diikuti dan dijalankan oleh umat Islam seluruh dunia terlepas dari perbedaan bangsa, negara maupun latar belakang budayanya. Pada masa sebelum Faraid atau hukum kewarisan Islam dilaksanakan, biasanya mereka telah memakai dan melaksanakan aturan tertentu berkenaan dengan pembagian warisan berdasarkan adat istiadat yang menjadi hukum tidak tertulis di antara mereka. Islam bukan hanya berisi ajaran tentang keimanan dan berbagai hal yang harus dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah, tetapi juga mengandung aturan tentang interaksi antara individu di dunia yang disebut mu’amalat dalam artinya yang umum termasuk aturan tentang pembagian warisan. Seorang muslim wajib mematuhi dan menjalankan berbagai aturan tersebut (termasuk dalam hukum kewarisan). Di antara aturan tersebut ada yang sejalan dengan apa yang selama ini mereka ikuti sehingga mudah bagi mereka untuk meninggalkan yang lama dan mengikuti yang baru. Ada juga yang berbeda sehingga pelaksanaannya pun menghadapi beberapa kendala dan penyesuaian.
Walaupun demikian, karena itu adalah aturan agama maka oleh karena itu wajib dipatuhi.60
Kewarisan diturunkan Allah sebagai rahmat bagi umat manusia. Dalam pelaksanaannya umat dituntut untuk melaksanakan aturan tersebut semampunya sebagaimana Allah terangkan dalam banyak ayat. Hukum kewarisan Islam atau faraid telah diatur Allah secara terperinci dan mendetail dalam Al-Qur’an. Namun ada beberapa hal dalam kewarisan yang belum diatur secara jelas dan pasti. Biasanya
60Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal.37-38
penjelasan selanjutnya dari berbagai hal yang belum jelas dan pasti ini dapat ditemukan dalam Sunnah Nabi. Namun hadis Nabi yang membicarakan faraid tidak begitu banyak dan belum menyelesaikan persoalan yang ada. Maka, penggunaan nalar melalui ijtihad tidak dapat dielakkan dalam menyelesaikan hal-hal seperti itu.
Penggunaan akal dalam berijitihad dalam menemukan dan merumuskan suatu hukum Allah tidak akan mampu menghasilkan kebenaran yang mutlak karena kebenaran yang mutlak itu hanya dapat ditemukan dari apa yang dikatakan secara langsung,
Penggunaan akal dalam berijitihad dalam menemukan dan merumuskan suatu hukum Allah tidak akan mampu menghasilkan kebenaran yang mutlak karena kebenaran yang mutlak itu hanya dapat ditemukan dari apa yang dikatakan secara langsung,