TESIS
Oleh
FABRY ISMAN 127011058/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FABRY ISMAN 127011058/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Nama Mahasiswa : FABRY ISMAN Nomor Pokok : 127011058 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Dr.Idha Aprilyana Sembiring,SH,MHum) (Dr.Utary Maharany Barus,SH,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 05 Nopember 2015
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : FABRY ISMAN
Nim : 127011058
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS BERCAMPURNYA HARTA
WARISAN DENGAN HARTA PRIBADI DALAM
HUKUM ISLAM : STUDI KASUS PUTUSAN
PENGADILAN MAHKAMAH SYARI’AH BIREUEN NO.
297/PDT.G/2012/MS-BIR
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : FABRY ISMAN Nim : 127011058
yang menyebabkan bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dari salah satu pihak ahli waris. Untuk itu , pertama harus diketahui bagaimana analisis hukum terhadap ketentuan penundaan pembagian harta warisan dalam kajian hukum adat dan hukum Islam, yang kedua akibat hukum dari bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi tersebut dalam pandangan hukum Islam, ketiga apa pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi salah satu ahli waris dalam putusan Mahkamah Syari’ah Bireuen No.
297/Pdt.G/2012/MS-Bireuen.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permaslahan dan membandingkannya dengan penerapan hukum dan peraturan dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa, pertama, masyarakat adat mengenal dan memperbolehkan penundaan pembagian warisan dengan alasan tertentu, namun dalam hukum Islam hal itu tidak dibenarkan, kedua, dengan adanya percampuran harta warisan dengan harta pribadi dapat mengakibatkan ketidakjelasan terhadap status dari harta tersebut, hak-hak ahli waris lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku, dan terjadinya kecacatan hukum terhadap perbuatan hukum dengan pihak lain (ketiga). Yang ketiga, dasar hukum pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini berdasarkan Al-Qur’an, Sunah Nabi, Kompilasi Hukum Islam dan peraturan lain yang berlaku di Mahkamah Syari’ah atau Pengadilan Agama. Oleh karena itu, masyarakat Islam diminta untuk tidak menunda pembagian harta warisan, atau segera melakukan inventarisasi harta warisan atau langsung membagikan harta warisan ketika ada pihak yang meninggal dunia, dan diharapkan juga kepada para pihak yang bersengketa untuk berdamai dan menerima putusan Mahkamah Syari’ah Bireuen dikarenakan putusan Majelis Hakim telah sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku baik itu dari Al-Qur’an dan Sunah Nabi atau dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Kata Kunci: Bercampurnya Harta Warisan, Harta Pribadi, Hukum Islam
the inheritance with personal property of one of the heirs. Therefore, the first thing to know how to analyze the regulation on the delay of distributing inheritance according to the adat law and to the Islamic law; secondly, legal consequence of the mixture of inheritance with personal property according to the Islamic law; and thirdly, how about judge’s legal consideration in handing down his verdict on the mixture of inheritance with personal property of one of the heirs in the Ruling of the Bireuen Sharia Court No. 297/Pdt.G/2012/MS-BIreuen.
The research used judicial normative approach. The problems were formulated by studying legal provisions concerning the problems and compared them with legal implementation and rules in society.
The result of the research showed that, first, adat law recognizes and allows toi delay the distribution of inheritance by certain reasons, but the Islamic law prohibits it; secondly, the mixture of inheritance with personal property will cause ambiguity in the inheritance, the rights of the other heirs are not in line with the Islamic law, and the legal act is legally defective in the third party; thirdly, the legal ground for the consideration of the panel of judges in handing down the verdict is based in the Qur’an, sunnah Nabi (the path or way of the Prophet), Compilation of the Islamic law), and other regulations stipulated in the Sharia Court or the Religious Court. It is recommended that Moslems not delay the distribution of inheritance by distributing it immediately after the testator passes away, or immediately make its inventory. It is recommended that the conflicting parties reconcile and accept the Ruling of the Bireuen Sharia Court because the decision of the panel of judges is in line with the regulations in the Qur’an and Sunnah Nabi and with the Indonesian national law.
Keywords: The Mixture of Inheritance, Personal Property, Islamic Law
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Selanjutnya shalawat beserta salam disanjung kepada Nabi Muhammad SAW.
Tesis ini berjudul “ANALISIS YURIDIS BERCAMPURNYA HARTA WARISAN DENGAN HARTA PRIBADI DALAM HUKUM ISLAM : STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH SYAR’IAH BIREUEN
NO.297/Pdt.G/2012/MS-BIR”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan Tesis ini dapat selesai dengan adanya bantuan dan dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, Teristimewa sekali ucapan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah banyak memberikan bantuan material dan spiritual dengan semangat juang yang tinggi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD., Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum., dan ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
7. Seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini.
8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan tahun 2012 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini, khususnya Fuji Pratama.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tidak luput dari kesalahan dan kesilapan, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.
Atas segala bantuan dan jasa baik yang telah Bapak, Ibu dan rekan-rekan berikan semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Aamiin Ya Rabbal
‘Aalamiin.
Medan, Nopember 2015 Penulis,
Fabry Isman
Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh, 14 Mei 1986
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Alamat : Komp PU Ajuen No.26, Desa Ajuen,
Kec Peukan Bada, Kab Aceh Besar, Prov Aceh, 23351
Nama Ayah : Ir. H. Machrouzar Manan, M.Si
Nama Ibu : Almh. Hj. Nani Izmah
Nama Saudara/i : Fittresdy Isman SE, M.Si
II. PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SD Negeri 50, Kec Meuraxa Kotamadya Banda Aceh
Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 7 Banda Raya, Banda Aceh Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Banda Aceh, Kota Banda
Aceh
Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2004-2011
Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2012-2015
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
DAFTAR ISTILAH ASING... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Konsepsi ... 21
G. Metode Penelitian ... 23
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan ... 23
2. Sumber Data ... 24
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 25
4. Analisis Data ... 25
BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP KETENTUAN PENUNDAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM KAJIAN HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM ... 27
A. Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam …... 27
B. Penundaan Pembagian Waris Dalam Pandangan Hukum Adat .. 29
A. Harta Warisan ... 43
B. Harta Pribadi ... 47
C. Percampuran Harta Pribadi dan Harta Warisan ... 57
D. Akibat Hukum Bercampurnya Harta Warisan Dengan Harta Pribadi Dalam Pandangan Hukum Islam ... 67
BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA BERCAMPURNYA HARTA WARISAN DENGAN HARTA PRIBADI SALAH SATU AHLI WARIS DALAM PUTUSAN PENGADILAN MAHKAMAH SYARI’AH BIREUEN NO. 297/Pdt.G/2012/MS 76 A. Duduk Perkara... 76
B. Amar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara Warisan di Mahkamah Syari’ah Bireuen No 297/Pdt.G/2012/MS-BIR .... 88
C. Analisis Putusan Perkara Waris di Mahkamah Syari’ah Bireuen No. 297/PDT.G/2012/MS-BIR ... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108
A. Kesimpulan ... 108
B. Saran-saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
2. KHI : Kompilasi Hukum Islam
3. BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional
4. NTT : Nusa Tenggara Timur
5. MAA : Majelis Adat Aceh
6. MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama.
7. Jo : Juncto.
8.
Rbg : Rechtsreglement Voor de Buitengewesten.
mungkin mengandung pengertian lain.
2. Faraid : Ilmu Tentang Warisan Dalam Hukum Islam.
3. Qadha : Lembaga
4. Raad : Peradilan Agama
5. Qadhi : Hakim
6. Al-Adlu : Adil
7. Maqashid Al-Syari’ah : Tujuan Hukum Islam
8. Ijtihad : Kesepakatan Ulama dalam usaha untuk
menemukan hukum yang baru dengan menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadist dengan syarat-syarat tertentu
9. Syara’ : Seperangkat peraturan yang berupa
ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diakui dan diyakini berlaku yang bersifat mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
10. ‘urf : Sesuatu yang telah terkenal jelas yang biasa dijadikan oleh orang banyak, baik
perkataan, maupun perbuatan atau meninggalkan (adat).
11. Mu’amalat : Segala Peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hal jual beli
12. Syar’i : menetapkan sesuatu atas yang lain
13. Tarikah/tirkah : Harta Peninggalan
14. Hak Khiyar : Hak Pilih
19. Hiyzat Al-mal : Pemegangan atau Membelanjakan Harta Benda
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam adalah salah satu hukum yang paling sempurna petunjuknya dari Nash.1 Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.2
Hukum Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat sistematis, teratur, dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Didalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum. Hukum Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang sesudah ia meninggal dunia yang harus diterima oleh seluruh kerabat dan nasabnya, dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal.3
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut
1M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan ; Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2012), hal. 1
2Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan Bw, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 1
3Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta ; Kencana, 2006), hal. 204
dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukm al- Waris. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan dalam arah yang dijadikan titik
utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah faraid. Kata ini digunakan oleh an-Nawawi dalam kitab fikih Minhaj al-Thalibin.4
Dalam literatur hukum Indonesia sering digunakan kata “waris” atau warisan.
Kata tersebut berasal dari bahasa Arab, akan tetapi dalam praktek lebih lazim disebut
“Pusaka”. Bentuk kata kerjanya Warastra Yasiru dan asal katanya Miras. Sedangkan kata waris adalah orang yang mendapat warisan atau pusaka.5 Adapun penggunaan kata “hukum” di awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat, dan penggunaan kata “Islam” di belakang mengandung arti dasar yang menjadi rujukan.
Dengan demikian, dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam dapat diartikan dengan : ” Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunah Nabi Muhammad SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.6
Hukum waris Islam menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam.
Berdasarkan Al-Qur’an dan sunah, waris-mewarisi antara sesama Muslim hukumnya
4Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 4, (Jakarta ; Kencana, 2012), hal. 5
5Maryati Bachtiar, Hukum Waris Islam Dipandang DariPerspektif Hukum Berkeadilan Gender, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1.
6Amir syarifuddin, Op.cit, hal. 6
wajib.7 Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana cara pemindahannya. Hal itu lah yang diatur dalam hukum waris Islam.8
Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai dalam beberapa surah dan ayat, yaitu sebagai berikut :9
1. Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam QS. Al- Baqarah (2) ayat 233,
2. Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 33, QS. Al-Anfal (8) ayat 75, dan QS. Al-Ahzab (33) ayat 6,
3. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui dalam QS. An-Nisa’ (4) ayat 7-14, 34, dan 176,
4. Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian pembantu).
7Abu Bakar Jabir El-Jazairi, alih bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah, (Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 239
8M. Hasballah Thaib, op.cit, hal. 2
9Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Edisi Kedua, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), hal. 20
Adapun dari hadis Nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur kewarisan adalah :
1. Hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari dalam al – Bukhari, shahih al-Bukhary IV “berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu
kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”.
2. Hadis Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad (dalam Abu dawud, Sunanu Abi Dawud II ) “ Dari Jabir bin Abdullah berkata : ”Janda Sa’ad datang kepada Rasul Allah SAW bersama dua orang anak perempuannya.” Lalu ia berkata: “ Ya Rasul Allah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu di Perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta.” Nabi berkata: “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini.”
Kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi memanggil si paman dan berkata: “berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambil untukmu”.
Realisasi dari ajaran tersebut dapat dikembangkan secara kenegaraan hingga dimungkinkan menjadi dasar kuat untuk dikeluarkannya undang-undang atau peraturan wajib pajak atas harta warisan,10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang menyangkut masalah warisan. Dalam hukum
10M. Hasballah Thaib, op.cit, hal. 4
kewarisan Islam terdapat berbagai macam asas hukum yang dalam hal tertentu membedakannya dengan hukum warisan yang lain. Asas hukum dalam kewarisan Islam ini digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Ada lima macam asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima , kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah:11
1. Asas ijbari : peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima.
2. Asas bilateral : dalam masalah kewarisan asas bilateral ini berbicara tentang pengalihan harta warisan melalui dua arah, setiap penerima waris mendapatkan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keterunan perempuan.
3. Asas individual : harta warisan dapat dibaagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
4. Asas keadilan berimbang : asas ini dapat diartikan bahwasannya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
11Amir syarifuddin, op. cit. hal 19
5. Asas semata akibat kematian : dalam asas ini menjelaskan bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
Dalam hukum kewarisan Islam, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi berkenaan dengan pewaris. Salah satunya adalah harus jelas kematian dari si pewaris tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip kewarisan akibat kematian, yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli warisnya setelah kematiannya. Apabila seseorang tidak jelas kematiannya dan tidak ada pula berita tentang hidup atau matinya, maka harta si pewaris masih tetap menjadi miliknya yang utuh sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya.12
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, di antara harta yang halal (boleh) diambil adalah harta pusaka. Di dalam Al-Qur’an dan hadis telah diatur cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya “dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil”.13
Hukum kewarisan merupakan bagian yang penting dalam mengatur hubungan hukum keluarga dalam hal bagaimana menyelesaikan sengketa yang terkait dengan pembagian warisan. Hal ini dapat dipahami bahwa kalau tidak diatur dengan baik
12Ibid, hal. 207-208
13Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cet.59, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), hal. 346
maka masalah warisan banyak terjadi pertengkaran bahkan saling membunuh antara para ahli waris. Untuk dapat memenuhi dan mewujudkan kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang serta di dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu adanya penyusunan hukum nasional, sangat diperlukan adanya konsepsi-konsepsi, asas-asas hukum sekaligus penerapan hukumnya.14 Untuk itu diperlukan sebuah lembaga yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan mengenai pembagian waris menurut hukum Islam. Lembaga ini dinamakan lembaga qadha atau peradilan.
Peradilan yang menjalankan ajaran agama dalam bentuknya yang resmi di Indonesia telah ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No. 152 tahun 1982, tentang pendirian Raad Agama, (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk pulau Jawa dan Madura. Dalam Stbl ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. Hal ini berarti bahwa sengketa urusan kewarisan bagi umat Islam diselesaikan dalam Raad Agama. Namun pada tahun 1937 Pemerintah Hindia Belanda mengubah kebijakannya tentang Raad Agama dengan mengeluarkan peraturan baru dalam Stbl. No. 116-610 tahun 1937. Dalam Stbl ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Raad Agama.
Kebijaksanaan seperti ini berlaku pula pada pembentukan Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur melalui Stbl. No. 638-639 tahun 1937 tentang pembentukan lembaga Kerapatan Qadhi dan Qadhi Besar di Kalimantan
14Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.1
Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam Stbl ini ditetapkan kewarisan bukan menjadi wewenang peradilan.15
Setelah Indonesia merdeka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957, tentang Pembentukan Mahkamah Syari’ah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syari’ah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan. Keragaman nama dan wewenang Peradilan Agama itu telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menetapkan bahwasannya Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan,
2. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, 3. Wakaf dan sedekah.
Dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam, di seluruh Indonesia, penyelesaiannya menjadi wewenang Peradilan Agama. Tentang hukum yang digunakan dalam menyelesaikan urusan kewarisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang disebut hukum kewarisan Islam atau faraidz. Hukum kewarisan
15Amir syarifuddin, Op. Cit, hal. 306
yang berlaku di Indonesia pada waktu itu bukanlah hukum kewarisan nasional karena hukum nasional tentang kewarisan sampai waktu itu belum ada. Oleh karena itu pemuka negara mengumpulkan kitab fikih yang dijadikan rujukan Peradilan Agama yang beragam dan merumuskannya dalam satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama Menteri Agama, dengan melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam atau yang disingkat dengan KHI di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur urusan perkawinan, kewarisan dan perwakafan ini disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991.
Instuksi Presiden ini diiringi pula oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 yang meminta untuk sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam itu di Peradilan Agama yang ada di seluruh Indonesia.16
Kendatipun Undang-undang No. 7 Tahun 1989 memberi kesempatan kepada umat Islam untuk menyelesaikan perkara waris dengan hukum selain Islam ke Pengadilan Negeri, namun kebanyakan umat Islam tetap ingin menyelesaikan perkara waris secara hukum Islam ke Pengadilan Agama. Walaupun terdapat pembaharuan di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum waris Islam namun hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam tetap menganut hukum waris Islam seperti yang terdapat dalam teks sunnah. Namun dengan adanya pembatasan wewenang Peradilan Agama, tetap saja tidak dapat menyelesaikannya sampai tuntas. Hal ini
16Ibid
terjadi karena kewenangan Peradilan Agama dalam masalah tersebut hanya terbatas dalam dua hal, yaitu: penentuan siapa-siapa yang berhak menerima harta warisan, dan menetukan berapa besarnya bahagian mereka masing-masing, sedangkan menentukan harta warisan tersebut dan melakukan pembagiannya tidak termasuk sama sekali, karena bila berkenaan dengan dua hal tersebut mesti dibawa ke Pengadilan Umum, apalagi yang bersifat eksekusi dan penyitaan, karena Pengadilan Agama tidak dapat memaksakan berlakunya vonis yang telah diputuskannya seperti kemampuan yang dimiliki oleh Pengadilan Umum.17
Pada tahun 2006 telah ditetapkan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 ini disebutkan memberi kewenangan kepada Peradilan Agama untuk memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek waris yang bersengketa dan adanya penghilangan opsi hukum yang menimbulkan permasalahan pada aspek keadilan. Sedangkan di propinsi Aceh dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Aceh dan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diatur tentang adanya pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama yang berlaku di Propinsi Aceh yang mempunyai wewenang yang lebih luas.
17M. Hasballah Thaib, Op. Cit., hal. 1
Oleh karena itu dalam Peradilan Agama di Aceh atau yang disebut Mahkamah Syariah dapat diselesaikannya permasalahan mengenai objek-objek warisan yang masih bersengketa.
Pengetahuan tentang hukum waris Islam sebaiknya harus di pelajari oleh orang Islam yang menggunakan hukum waris tersebut di dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan persoalan waris merupakan persoalan yang krusial di dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Hal ini yang nantinya akan menimbulkan pertikaian dan keretakan hubungan keluarga, bahkan bisa sampai terjadi pertikaian dan tindakan kriminal seperti pembunuhan. Permasalahan yang sering terjadi dalam permasalahan waris Islam bukan hanya terletak pada pembagiannya, melainkan pada apa yang menjadi harta warisan tersebut. Permaslahan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain adanya ahli waris yang membagikan atau memperjualbelikan harta warisan kepada pihak lain tanpa adanya keputusan atau penetapan Pengadilan Agama terlebih dahulu sehingga terjadi perselisihan antara pihak-pihak ahli waris yang merasakan ketidakadilan atau ketidaksesuaian bagian seperti apa yang berlaku dalam hukum waris Islam atau mungkin tidak mendapatkan sama sekali hasil dari penjualan tersebut. Bisa jadi juga terjadi percampuran harta pribadi dengan harta warisan dari seorang ahli waris yang menguasai harta warisan sebelum dibagikan kepada ahli waris lainnya seperti yang terjadi di daerah bireuen.
Dalam perkara No. 297/Pdt.G/2012/MS-Bir yang terjadi di daerah Bireuen tersebut, salah seorang ahli waris yang bernama IL (laki-laki) sebagai TERGUGAT di dalam perkara ini meyakini bahwasannya sebidang tanah yang telah ia hibahkan
kepada anak nya (objek pekara) merupakan tanah pribadi yang ia beli dari pamannya pada tahun 1975 dengan harga 1 tiket berangkat ke haji pada tahun tersebut yaitu sekitar sebesar Rp 650.000,00. Adapun pada saat pembelian tersebut dilakukan ketika ibunda mereka masih hidup, namun setelah kematian ibunda mereka pada tahun 1990, timbul masalah terhadap tanah tersebut. Ahli waris lainnya yang dalam perkara ini bertindak sebagai PENGGUGAT yaitu adik laki-laki dari IL yang bernama MN merasa bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang dibeli oleh ibunda mereka.
Adapun uang untuk pembelian tanah tersebut berasal dari jasa tebat ikan yang dilakukan oleh ibunda mereka yang pada saat itu diwakilkan oleh IL sebagai anak tertua bukan tanah milik pribadi seperti yang diutarakan oleh IL, atas dasar itulah MN selaku penggugat melakukan gugatan ke Mahkamah Syari’ah Bireuen agar Majelis Hakim meminta IL mengembalikan tanah tersebut kepada para ahli waris yang sah untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris yang sah juga sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam yang merupakan acuan mereka dalam penentuan pembagian warisan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, bercampurnya harta pribadi dengan harta warisan merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi dalam kasus-kasus pewarisan khususnya dalam hukum waris Islam. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang merugikan salah satu ahli waris karena haknya tidak terpenuhi sebagaimana mestinya.
Untuk itu perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan tentang bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dari salah satu ahli waris yang akan dituangkan dalam judul tesis “Analisis Yuridis Bercampurnya Harta Warisan Dengan
Harta Pribadi Dalam Hukum Islam : Studi Kasus Putusan Pengadilan Mahkamah Syariah Bireuen No. 297/Pdt.G/2012/MS-Bir”.
B. Permasalahan
Permasalahan yang berkaitan dengan Analisis Yuridis Bercampurnya Harta Warisan dengan Harta Pribadi Dalam Hukum Islam : Studi Kasus Putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Bieuen No. 297/Pdt.G/2012/MS dibatasi dengan mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis hukum terhadap ketentuan penundaan pembagian harta warisan dalam kajian hukum adat dan hukum Islam?
2. Bagaimana akibat hukum dari bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dalam pandangan Hukum Islam ?
3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dari salah satu ahli warisnya dalam Putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Bireuen No.
297/Pdt.G/2012/MS?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap ketentuan penundaan pembagian harta warisan dalam kajian hukum adat dan hukum Islam.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dalam pandangan Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara bercampurnya harta warisan dengan harta pribadi dari salah satu ahli waris dalam Putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Bireuen No.
297/Pdt.G/2012/MS.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Secara akademis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/
literatur mengenai permasalah-permasalah dalam sengketa warisan yang harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadi dari salah satu ahli waris.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap para ahli waris yang harta warisannya tercampur dengan harta pribadi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Yuridis Bercampurnya Harta Warisan dengan Harta Pribadi Dalam Hukum Islam (studi kasus Putusan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Bireuen
No. 297/Pdt.G/2012/MS)”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut pewarisan dalam hukum Islam antara lain penelitian yang dilakukan oleh :
1. Saudara akhmad (Nim. 992105035), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Efektivitas Undang- umdang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dalam Pemberian Harta Warisan Di Kota Bengkulu.”
2. Saudari Getty Rumetha Sitio (Nim. 002111014), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pemisahan dan Pembahagian Harta Warisan Secara Damai Bagi Orang Pribumi Non Muslim Dihadapan Notaris Di Kota Medan (Kajian Khusus Terhadap Masyarakat Suku Batak”.
3. Saudari Rehbana (Nim.017011052), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Orangtuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”.
4. Saudari Siswaty Tarigan (Nim.037011078), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kedudukan Wanita Dalam Kewarisan Islam (Studi Tentang Pengaruh Peranan Wanitta Dalam Keluarga Terhadap Pembagian Harta Warisan Bagi Masyarakat Melayu Di Kota Batam)
5. Saudari Marsella (Nim.027011040), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pembagian Harta
Warisan pada Suku Melayu (Studi Di Kecamatan Medan Maimoon Kelurahan aur)
6. Saudari Rina Mulya Sari (Nim.067011125), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauaan Yuridis Mengenai Pergeseran System Kewarisan Harta Pencarian Dalam Masyarakat Adat Minang Kabau.
7. Saudari Ulfa Sundari (Nim.107011121), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan Antara Suku Batak dan Suku Minagkabau (Study di Kota Medan).
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.18 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122
yang relevan sehingga mampu menerangkan masalah tersebut. Teori ini juga harus bisa menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.19
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori tujuan hukum Islam. Adil dalam bahasa Arab disebut juga dengan al-Adlu, merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka
menegakkan kebenaran kepada siapapun tanpa terkecuali, walaupun akan merugikan dirinya sendiri. Secara etimologis, al-Adlu berarti “tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (al-musawah). Secara terminologis adil berarti “mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai, maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah, dan menjadi tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain.” Adil juga berarti “berpihak atau berpegang kepada kebenaran”. Keadilan lebih dititik beratkan kepada meletakkan sesuatu pada tempatnya. Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negative lainnya.20
19J. J. J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta:
Fakultas Ekonomi, 1996), hal. 203
20Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 95
Menunda hak orang lain juga dianggap tidak adil. Dari itu Nabi Muhammad SAW mengatakan : orang kaya yang melambat-lambatkan bayar hutang adalah dhalim. Adapun dhalim itu merupakan lawan dari adil. Orang yang adil adalah orang yang lahir dari dia perbuatan keadilan. Tidak kita ketahui seseorang itu adil kecuali dengan mengetahui keadilannya.21 M. Quraish Sihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.22
Dalam penulisan ini juga dipakai teori pendukung lain yaitu teori Maqashid Al-Syari’ah yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian
ini.
Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq Al-Syatibi, yaitu tujuan utama hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia, tidak satupun hukum Allah SWT yang tidak mempunyai tujuan hukum, yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan suatu yang tidak dapat dilaksanakan, hukum-hukum Allah dalam Al-qur’an mengandung kemaaslahatan. Hukum bergantung kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, dan kemaslahatan umum lebih utama dari kemaslahatan kelompok atau individu.23
Dalam ilmu hukum fiqih, bahasan maqashid al-syari’ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusannya dalam
21 Tafsir Tematik Al-Qur’an, (Medan: Pustaka Bangsa, 2007), hal. 240
22 Zamakhsyari, Op. Cit, hal. 97
23Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Jakarta: Cipta Sarana, 1994), hal 96.
mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menatap hukum islam yang itetapkan melalui ijtihad. Kajian maqashid syariah terdapat beberapa terma yang berkaitan erat dengan terminologi ini, antara lain, seperti ; hikmah, makna, illah, dan mashlahah. Terma hikmah merupakan tujuan dari hukum yang dikehendaki syara’, seperti untuk memelihara jiwa dan harta di qishash dan had potong tangan. Makna biasa digunakan para ahli fiqih dan ushul fiqih untuk menerangkan dampak kemashlahatan yang diperoleh dari penerapan suatu syariat, yakni alasan dibalik suatu hukum, makna illah merupakan suatu sifat yang berpengaruh terhadap ada atau tidaknya hukum, bukan karena zatnya, tetapi karena syari’ menjadikannya bertalian dengan hukum. Munasabah merupakan suatu sifat yang nyata dan memiliki batasan-batasan yang lahir dalam logika ketika diurutkan dengan rentetan suatu hukum, baik sifat itu betuknya mendatangkan kemaslahatan ataupun menolak kemafsadatan. Mashlahah pada dasarnya adalah mendatangkan manfaat atau menolak kerusakan, tetapi bukan makna ini yang dimaksudkan disini.
Sesungguhnya mendatangkan mashlahat dan menolak kemafsadatan merupakan tujuan dari penciptaan, segala ciptaan akan baik jika tujuan penciptaannya terwujud.
Yang dimaksud mashlahah disini memelihara tujuan syara’. Adapun tujuan syara’
yaitu memelihara agama, keturunan, jiwa, aqal, dan harta mereka.24
Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitab fikih biasa disebut Faraidz adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. Di
24Zamakhsyari, Op. Cit,, hal 1-2.
beberapa negara perpenduduk mayoritas beragama Islam, faraidz telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga negara beragama Islam, tidak berlaku secara nasional. Namun di beberapa negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia. Hukum kewarisan Islam diikuti dan dijalankan oleh umat Islam diseluruh dunia terlepas dari perbedaan bangsa, negara maupun latar belakang budayanya. Pada masa sebelum faraidz atau hukum kewarisan Islam dilaksanakan, biasanya mereka telah memakai dan melaksanakan aturan tertentu mengenai dengan pembagian kewarisan berdasarkan adat istiadat yang menjadi hukum tidak tertulis di antara mereka. Hukum tidak tertulis ini dirancang dan disusun oleh nenek moyang mereka berdasarkan apa yang baik dan yang adil menurut mereka dan disampaikan kepada generasi berikutnya secara lisan dari mulut ke mulut. Beberapa umat dan lingkungan budaya tertentu begitu sulit menyesuaikan diri dan menerima faraidz sebagai hukum warisan yang mengurus penyelesaian warisan itu, dan hukum tersebut menjadi sulit dibaca dan dipahami oleh mayoritas umat. Meskipun dasar hukum kewarisan Islam adalah firman Allah dan sabda Nabi, namun interpretasi dan perumusannya menjadi hukum kewarisan sebagaimana ditemukan dalam kitab-kitab fikih dilaksanakan oleh para mujtahid dengan daya nalar yang tidak bebas dari pengaruh budaya lokal dan lingkungannya (diasumsikan budaya Arab) dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, umat yang hidup dalam lingkungan budaya non-Arab dan dalam kurun waktu yang berbeda mengalami kesulitan dalam menjalankannya. Sebagai jawaban terhadap berbagai kasus yang pernah terjadi, juga menyajikan jawaban terhadap kasus yang
mungkin muncul dikemudian hari ditandai dengan banyak ditemukannya bentuk kasuistik dalam pembahasan faraidz. Kasus yang muncul dikemudian hari memang ada yang terjawab langsung oleh jawaban yang telah disediakan, diterima dengan senang hati atau tidak, dan ada pula yang tidak terjawab. Hal ini menjadikan hukum kewarisan yang mulanya sederhana menjadi semakin rumit.25
2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.26 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. ”Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.27
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.28Untuk menghindari pengertian atau penafsiran yang berbeda dari suatu istilah yang dipakai.
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
25Amir Syarifuddin, Op.Cit.,hal. 37-39
26Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, (Bumi Aksara, 2000), hal. 122
27Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, (Jakarta, 1999), hal. 34
28Sumaardi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 3
keadaan, kelompok atau individu tertentu.29 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Hukum Islam merupakan hukum atau aturan yang berdasar pada nilai-nilai atau kaidah-kaidah agama Islam yang bersumber dari dalil-dalil dalam ajaran agama Islam.
b. Hukum kewarisan Islam atau yang dalam kitab-kitan fikih biasa disebut Faraidz adalah hukum yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta, kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.30
c. Pewaris dalam Kompilasi Hukum Islam adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.31
d. Ahli waris dalam hukum Islam atau disebut juga warits dalam istilah fikih adalah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meningal.32
e. Harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan kebendaan.33
f. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang, dan pemberian untuk kerabat.34
29Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 19
30Hasballah thaib, Op. Cit, hal. 1
31Kompilasi Hukum Islam, pasal 171 poin b
32Amir syarifuddin, Op. Cit , hal. 212
33Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit. hal. 50
g. Harta pribadi dalam Hukum Islam adalah harta masing-masing suami dan istri yang dimilikinya sebelum mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri.
h. Bercampurnya harta adalah menjadikan dua harta menjadi satu harta tanpa dapat dibedakan antara keduanya.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkungan permasalahan dan berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komporasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.35 Deskriptif artinya mampu memberi gambaran secara jelas dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya menganalisa secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta sehingga mampu menjawab permasalahan tersebut.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif. Artinya dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan didalam masyarakat.
34Kompilasa Hukum Islam Bab I poin e.
35Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan didalam hukum Islam mengenai harta warisan yang tercampur dengan harta pribadi, oleh karena itu penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan perundang-undangan, peraturan-peraturan hukum Islam maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas- asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalis permasalahan yang dibahas,36 serta menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai harta warisan yang tercampur dengan harta pribadi.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan- bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang, putusan pegadilan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau
36Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13
karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder dan ditambah dengan hasil wawancara dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh dan salah satu pihak yang berpekara.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya dilakukan wawancara yaitu dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), dan salah satu pihak yang bersengketa dan kemudian digunakan sebagai data yang mendukung data sekunder.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan
evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
BAB II
ANALISIS HUKUM TERHADAP KETENTUAN PENUNDAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM KAJIAN
HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
A. Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di Indonesia dan cukup akrab hubungannya dalam kehidupan masyarakat. Kekerabatan itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: “hukom ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut”. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah: “adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai”. Makna pepatah ini adalah
hubungan adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.
Dalam hubungan ini dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat.37
Setelah Indonesia merdeka, khusus di Minangkabau telah berkembang suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat”.
37Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Cet.6, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 223
Karena itu, apabila terjadi perselisihan antara hukum adat dan hukum Islam yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam. Dalam masyarakat Aceh pun terjadi perkembangan yang sama yaitu: soal-soal perkawinan, harta benda termasuk harta warisan dikehendaki agar diatur menurut ketentuan hukum Islam.
Bahkan dalam masyarakat di daerah ini telah berkembang pula satu garis hukum yang mengatakan bahwa adat atau hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Menurut T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, “di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar ’urf atau adat karena para ahli hukum telah menjadikan
‘urf atau adat sebagai salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam”.38
Agar dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Syarat- syarat tersebut yaitu:39
a. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum,
b. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan,
c. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan,
d. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak,
38Ibid, hal. 227
39Ibid, hal. 230
e. Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam) Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, atau dengan kata lain, tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Hukum adat mengandung unsur agama, terutama Hindu dan Islam. Kedua agama tersebut banyak mempengaruhi hukum adat karena terdapat dalam satu persamaan yang signifikan dan keduanya memiliki sifat yang sangat sakral. Oleh karena itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam Seminar Hukum Nasional mendefinisikan bahwa “hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang di sana-sini mengandung hukum agama”. Persentuhan unsur nilai keagamaan dengan hukum adat ini terlihat dalam tiga bidang yaitu, hukum keluarga, hukum perkawinan, serta hukum waris. Dari ketiga bidang hukum adat ini hukum waris merupakan bidang yang paling bermasalah karena saat ini terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku di masyarakat, yaitu hukum aris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat. Berbeda dengan hukum perkawinan dan hukum keluarga, walaupun memiliki persentuhan dengan nilai-nilai agama, bidang hukum ini mampu menerima unifikasi dalam hal-hal yang bersifat formal. Di sini unifikasi masih dimungkinkan penerimaannya sepanjang tidak meliputi unsur-unsur yang bersifat sensitif, hal-hal yang berhubungan dengan budaya dan keyakinan masyarakat.40
B. Penundaan Pembagian Waris Dalam Pandangan Hukum Adat
Dalam pergaulan antar manusia pada setiap maasyarakat, dimana pun dan kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap kalbu anggota masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada perlindungan
40Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Cet. I, (Bandung: P. T. Alumni, 2002), hal. 18
terhadap kepentingannya, ada jaminan masa depan terhadap harapannya untuk hidup.41 Hukum adat adalah salah satu hukum yang hidup dan berkembang bersama masyarakat di Indonesia. Hukum adat tersebut merupakan aktualisasi dari perilaku individu atau komunitas sosial suatu masyarakat yang selalu seiring dengan pandangan hidup dan falsafah hidup. Dalam konteks sosial hukum adat merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dan dipedomani oleh anggota masyarakat adat.42
Memahami hukum adat perlu diperhatikan terlebih dahulu sejarah kebudayaan dari masyarakat hukum adat bersangkutan. Apabila hukum adat berasal dari hukum lokal, maka masyarakat yang menjadi wilayah bekerjanya hukum lokal tersebut adalah sebagai media atau habitatnya yang disebut masyarakat lokal. Hukum lokal lahir dari kearifan lokal ketika menghadapi kehidupan yang terus berubah, sehingga hukum lokal tersebut senantiasa mengikuti dinamika perkembangan jaman. Sebab hukum yang hidup selalu bergerak dan berubah.43
Ruang lingkup hukum adat dapat dilihat dari dua sisi yaitu ruang lingkup dalam arti tempat dan wilayah kerja hukum tersebut. Jika kita lihat dari ruang lingkupnya, maka hukum adat itu tidak hanya meliputi wilayah tertentu tetapi hampir semua wilayah yang didiami oleh masyarakat hukum adat bersangkutan. Jika ditarik ke wilayah yang lebih kecil lagi, maka di dalam wilayah bekerjanya hukum adat itu
41Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Cet.1( Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal. 1
42Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), ( Surabaya: Laksbang Yustitia, 2011), hal. ix
43Ibid. hal.x
juga terbagi ke dalam wilayah yang lebih kecil, yang berlaku berdasarkan ruang lingkup teritorial seperti desa atau ada juga yang berdasarkan garis keturunan darah.
Hukum yang berlaku pada wilayah-wilayah yang kecil inilah yang disebut dengan hukum lokal. Hukum lokal berbeda dengan hukum adat. Hukum lokal adalah hukum yang hidup dan berlaku dalam suatu komunitas tertentu atau terbatas yang secara nyata diwujudkan dalam mengatur dan menuntun perbuatan anggotanya, yang dapat didukung dengan hukum agama, hukum adat, hukum nasional, hukum yang dilokalkan atau campuran keempatnya.44
Salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah mengenai Hukum waris. Menurut para sarjana hukum, hukum waris adat adalah berkenaan dengan proses penerusan harta kekayaan berwujud benda materiil maupun immateril yang tidak berwujud benda dari satu generasi kepada ahli waris. Proses ini dilakukan sejak si pewaris masih hidup. Kematian pewaris bukanlah sesuatu penentu terhadap proses pewarisan itu. Dari pengertian ini setidaknya ada 4 unsur dalam hukum waris adat, yaitu:45
a. Ada norma yang mengatur tentang proses penerusan harta benda dari pewaris kepada ahli waris,
b. Ada subjek hukum waris yaitu manusia yang mewariskan sejumlah harta bendanya yang disebut si pewaris dan sekelompok manusia yang menerima harta warisan tersebut dari pewaris yang disebut ahli waris,
44Ibid. hal. 9-10
45Ibid. hal. 102
c. Ada objek pewarisan yaitu sejumlah harta benda baik berwujud maupun tidak berwujud benda,
d. Ada proses peralihan sejumlah harta benda baik sebelum atau sesudah si pewaris meninggal dunia.
Unsur ke 4 menyatakan peralihan harta benda yang menjadi harta warisan dapat dialihkan baik sebelum atau sesudah si pewaris meninggal dunia. Dalam proses ini kematian si pewaris bukanlah sebagai penentu pembagian waris seperti dalam hukum Eropa atau Barat.
Hukum adat waris menunjukkan coraknya yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendikan atas prinsip yang timbul dari paham atau aliran-aliran pikiran magis religius, komunal, konkrit, dan kontan. Oleh karena itu, hukum adat waris memiliki sifat yang berbeda dengan hukum Islam dan hukum waris Barat. Dalam hukum adat waris harta warisan ada yang bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaannya untuk sementara tidak dibagi atau ditunda untuk waktu yang lama bahkan hanya sebagian saja yang dibagi. Dalam hukum adat waris, pembagian harta warisan merupakan tindakan bersama secara musyawarah dan kekeluargaan atas asas gotong royong, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah, tenteram dan damai, dengan memperhatikan keadaan khusus setiap ahli waris.
Dalam hukum adat waris tidak memperhatikan kekhasan pada masing-masing suku, harta warisan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan yang harus segera dibagi- bagikan, melainkan wajib diperhatikan sifat, macam, asal dan kedudukan hukum dari pada masing-masing barang yang terdapat dalam harta warisan itu. Harta warisan
dalam hukum adat tidak boleh dipaksakan untuk dibagi di antara ahli waris. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan dianggap tabu dan bertentangan dengan kebiasaan dan moral. Anak yang memaksakan kehendak untuk membagikan harta benda warisan dianggap “tidak tahu adat” suatu ungkapan sebagai sanksi moral, atau bahkan sebagai sanksi hukum adat. Anak yang demikian, dianggap tidak layak menjadi ahli waris. Akan tetapi saat ini dengan modernisasi dan hak azazi manusia persoalan gugat menggugat oleh anak terhadap orang tua dianggap sebagai hal yang wajar. Sifat hukum adat waris pada dasarnya selalu berkaitan dengan konteks sosial di mana hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekerabatan atau struktur sosial yaitu masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat serta pengaruhnya terhadap harta kekayaan atau harta perkawinan yang ditinggalkan yang berada dalam masyarakat itu.46
Harta benda itu tetap utuh disebabkan oleh beberapa hal:47
a) Karena sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, misalnya harta benda itu merupakan milik kerabat, suku, atau klan. Pada masyarakat Flores-NTT misalnya disebut
“ngora ngadhu-bhaga bhaga, ngora gae, ngora one woe” merupakan harta bersama oleh seluruh anggota kerabat,
b) Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat atau jabatan tertentu. Misalnya, harta benda keramat milik keraton di Kasepuhan
46Ibid. hal. 110-113
47Dominikus Rato, Op.Cit, hal. 184
Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi Sultan Sepuh, sehingga barang-barang tersebut tetap disimpan di Keraton Kasepuhan,
c) Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan, seperti tanah kesikepan di daerah Cirebon atau tanah gogolan,
d) Karena pembagiannya untuk sementara ditunda. Harta benda seperti ini banyak ditemukan di Jawa. Misalnya, karena masih ada anak-anak yang belum dewasa, maka demi kepentingan janda beserta anak-anaknya yang belum dewasa tersebut supaya tetap memperoleh nafkah untuk kehidupan mereka, maka harta warisan tidak dibagi-bagikan. Dan, setiap tuntutan untuk dibagi-bagikan oleh para ahli waris yang menurut hakim akan berakibat buruk yaitu terlantarnya anak-anak dan janda, maka gugatan itu akan ditolak oleh hakim. Harta yang tidak dibagikan ini biasanya dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan materil keluarga yang bersangkutan. Bila pemimpin keluarga meninggal maka dipandang wajar bahwa harta demi kepentingan keluarganya tetap utuh di bawah pimpinan orang lain (anak laki-laki tertua, jandanya) sampai pada waktunya nanti dibagi antara para warganya (keluarga), selaku dasar materil pula bagi keluarga yang mereka dirikan masing-masing. Disinipun harus diingat pula bahwa pembagian itu tidak harus dan sering kali juga tidak dilakukan pada suatu saat tertentu, melainkan merupakan suatu proses yang melanjutkan dari pemberian atau pembekalan berupa tanah pertanian, pekarangan, rumah kepada anak-
anak yang kawin, sedangkan bagian terakhir dari harta keluarga itu jatuh ketangan si bungsu yaitu anak yang terakhir tinggal di rumah keluarga sesudah orang tuanya meninggal dunia.48
e) Karena hanya diwariskan kepada satu ahli waris saja. Misalnya, anak tunggal atau pada pola pewarisan mayorat seperti di Bali, sehingga tidak perlu dibagi- bagikan.
Provinsi Aceh menerapkan sistem kewarisan individual yang memiliki ciri- ciri yaitu harta warisan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli waris.49Harta warisan dalam beberapa masyarakat ada yang langsung dibagikan ada juga yang tidak langsung dibagikan kepada ahli waris. Harta benda tersebut tetap utuh dikarenakan masih adanya anak-anak yang masih dibawah umur sehingga demi kepentingan janda dan anak-anaknya yang belum dewasa tersebut supaya tetap memperoleh nafkah untuk kehidupan mereka maka harta warisan tidak langsung dibagi-bagikan.
Penundaan pembagian tersebut dalam hukum adat diperbolehkan. Harta warisan pada beberapa masyarakat ada yang langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris, tetapi juga ada yang tidak langsung dibagi-bagikan.
Pemilikan bersama atas suatu harta kekayaan tidak terbagi merupakan suatu sarana ril untuk mempertahankan pertalian kerabat itu sendiri. Karena itu pula, suatu harta kekayaan dengan sengaja dibiarkan tidak terbagi untuk waktu yang lama, kalau terpaksa dilakukan pembagian maka sejengkal tanah yang praktis tidak ada nilainya
48Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 156
49Ibid. hal. 117