• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 42-180)

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.54 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif.

Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Adanya terdapat regulitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).55 Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti; kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.56

Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal.57 Analisis data merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan.58

54Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 225 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto 4)

55Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53.

56 Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, (Jakarta:Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hal. 78

57Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 77

58 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematiskan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memeperoleh jawaban yang baik pula.59

Kemudian dianalisis dengan menggunaka metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah perlindungan hukum bagi pembeli perumahan atas sengketa kepemilikan tanah setelah adanya pengikatan jual beli rumah dari pihak developer ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (studi kasus Putusan Nomor 566/Pdt.G/2010/PN.Jkt-Sel).Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 60 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

59 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 106

60 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 109

BAB II

KEKUATAN HUKUM ATAS AKTA PENGIKATAN JUAL BELI YANG DILAKUKAN ANTARA DEVELOPER DENGAN PEMBELI KETIKA

TERJADI SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH

A. Perjanjian Jual Beli Tanah dan Rumah

Sebelum berlakunya UUPA, di negara terdapat “dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa berlaku 2 (dua) macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat (tanah Eropa).61

Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun harus sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).62

Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa:

61A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 40.

62K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1973), hal.30.

31

“dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli, tukar-menukar, hibah) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli telah menjadi pemegang haknya yang baru.”63

Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem yang dianut KUH Perdata. Menurut sistem KUH Perdata jual beli hak atas tanah dilakukan dengan membuat akta perjanjian jual beli hak dihadapan notaris, dimana masing-masing pihak saling berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya.64

Perjanjian jual beli yang dianut KUH Perdata bersifat obligatoir, karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian, maka dalam sistem KUH Perdata “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).65

Perjanjian jual beli menurut KUH Perdata diatur dalam Pasal 1457-Pasal 1540 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli, yaitu:

63Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas Tanah, Makalah disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Bandung-Jakarta, 1983, hal 20.

64Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung: Alumni, 1993), hal.86.

65 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal 11 (selanjutnya disebut R.Subekti 2).

“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Selanjutnya, R.Subekti mendefinisikan perjanjian adalah “suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”66 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.67 Perjanjian jual beli merupakan perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.68

Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian

66Ibid., hal 2

67Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, cetakan III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal 126

68Ibid, hal 127

yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Pengikatan Jual Beli (PJB) lahir sebagai terobosan hukum akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah akibat berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang seperti untuk membuat akta jual beli yang merupakan salah satu persyaratan untuk melakukan balik nama, maka jual beli harus telah lunas, baru akta jual beli dapat dibuat di hadapan Notaris.69

Menurut R. Subekti sebagaimana dimuat dalam bukunya, bahwa “Pengikatan Jual Beli (PJB) adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.”70 Sedang menurut Herlien Budiono, “Pengikatan Jual Beli (PJB) adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.”71

Menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, disebutkan “pengikatan jual beli memuat adanya dua pihak dalam perjanjian, yaitu pihak perusahaan pembangunan perumahan dan pemukiman atau developer atau

69Herlien Budiono 1, Op.Cit, hal 57

70R. Subekti 2, Op.Cit, hal.75

71Herlien Budiono 1, Loc.Cit

pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual rumah dan pihak konsumen rumah selaku pembeli rumah.”

Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono yang menyatakan bahwa “Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.”72

Dengan demikian jelas bahwa Pengikatan Jual Beli (PJB) berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan untuk melakukan perjanjian utamanya, serta menyelesaikan suatu hubungan hukum apabila hal-hal yang telah disepakati dalam Pengikatan Jual Beli (PJB) telah dilaksanakan seutuhnya.

B. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual Beli

Pengikatan Jual Beli (PJB) selain dikenal pihak-pihak yang terkait langsung dengan perjanjian yaitu pihak developer dan pembeli dikenal juga pihak-pihak yang tidak langsung terkait dalam Pengikatan Jual Beli (PJB) yakni pihak pemborong/kontraktor dan pengawas.73 Pihak-pihak yang terkait langsung dengan Pengikatan Jual Beli (PJB) sangat berperan dalam pekerjaan bangunan perumahan.

72Ibid, hal 56-57

73 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 105.

Pihak-pihak inilah yang melaksanakan pekerjanan bangunan yang ditawarkan oleh developer. Di samping itu, ada juga pengawas pemborong yang melaksanakan

pekerjaan bangunan tersebut yaitu pihak developer sendiri untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan bangunan perumahan tersebut di lapangan sehingga pemborong pun dapat melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan antara developer dan pembeli.74

Hubungan hukum para pihak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Hubungan antara developer dan pembeli.

Hubungan antara developer dengan pembeli dimulai pada saat ditandatanganinya Pengikatan Jual Beli (PJB) antara developer dengan pembeli yang kemudian dilanjutkan dengan Akta Jual Beli, merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum antara developer dan pembeli, di mana developer mengikatkan dirinya untuk menjual rumah dan tanah kepada pembeli,

sedangkan pembeli membeli rumah dari developer dengan kewajiban membayar harga sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Seperti pada perjanjian, Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan hubungan timbal balik yaitu hubungan memberi prestasi dan menerima prestasi.

Kedudukan Pengikatan Jual Beli (PJB) antara developer dengan pembeli seharusnya seimbang. Hal ini karena semua hak dan kewajiban pembeli telah ditetapkan oleh developer dan pembeli secara bersama-sama sesuai dengan

74 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Daya Widya, 2000), hal 23

kesepakatan di dalam dokumen kontrak dan hal ini sesuai dengan asas kesepakatan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan kesepakatan dimaksud bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu harus melakukan kesepakatan mengenai hal-hal pokok yang mereka perjanjikan.75

Kaitannya dengan kedudukan antara developer dengan pembeli terdapat kedudukan yang tidak seimbang, developer berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pembeli. Hal ini disebabkan dalam Pengikatan Jual Beli (PJB) terdapat klausula yang hanya berlaku terhadap pembeli saja, sedangkan terhadap developer tidak ada pasal yang mengaturnya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal

mengenai sanksi yang dikenakan kepada pembeli apabila terlambat membayar angsuran dari waktu yang diperjanjikan akan dikenakan denda, sedangkan keterlambatan developer menyerahkan bangunan tidak ada diatur dalam perjanjian.

Ini menunjukkan ketidakseimbangan.76

2. Hubungan antara developer dengan pemborong.

Dalam hubungan antara developer dengan pemborong, kewajiban developer adalah memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan pemborong, menerima hasil pekerjaan pemborong dan melakukan pembayaran terhadap pemborong, sedangkan kewajiban pemborong adalah melaksanakan pekerjaan sesuai dengan rancangan dan menyerahkan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan.

75 Mariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar),” dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Binacipta, 1986), hal. 57 (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 2).

76Ibid.

Apabila pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan perjanjiannya dengan developer, maka pemborong menyerahkan pekerjaannya dan pemborong menerima pembayaran. Namun, bagi pihak pemborong masih ada kewajiban-kewajiban untuk memelihara hasil pekerjaannya selama jangka waktu tertentu, yang dinamakan masa pemeliharaan.77

3. Hubungan antara developer dengan Real Estate Indonesia (REI)

Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia yang disingkat dengan REI adalah organisasi asosiasi perusahaan-perusahaan atas dasar kesamaan usaha, kegiatan dan profesi, di bidang pembangunan dan pengelolaan perumahan dan permukiman, seperti perkotaan, perkantoran, pertokoan, resor, serta jasa-jasa real estate lainnya, berbentuk kesatuan dengan ruang lingkup nasional.78

Setiap developer tidak diwajibkan untuk masuk dalam himpunan REI namun apabila developer masuk dalam himpunan REI maka developer mendapatkan pelayanan antara lain pusat informasi REI, REI direktori, publikasi/penerbitan REI, pelayanan dan bimbingan, rapat dan musyawarah, seminar, diskusi dan penataran serta ikut dalam pameran Real Estate, karena REI adalah organisasi profesi yang memberikan pelayanan kepada para anggotanya disamping masyarakat pada umumnya.

Apabila ada developer yang nakal, maka pihak REI akan memberikan teguran, peringatan, bahkan dikeluarkan dari keanggotaan REI karena tujuan REI

77F.X DJumialdi, Perjanjian Pemborongan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal 54

78Keputusan Musyawarah Nasional Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Nomor VI tahun 1995 tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (REI) Pasal 2.

adalah meningkatkan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui pengembangan pembangunan dan pengelolaan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Kekuatan Hukum Atas Akta Pengikatan Jual Beli

Pada praktiknya pemakaian akta Pengikatan Jual Beli (PJB) sebagai perjanjian pendahuluan sudah sering digunakan untuk membantu dalam melakukan perjanjian jual-beli hak atas tanah, namun terhadap pengikatan jual beli sendiri dalam penerapannya hanya memakai asas umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata atau dengan kata lain belum ada diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak atas tanah.

Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah terobosan hukum yang banyak dipakai oleh para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah. Pengikatan Jual Beli (PJB) dipakai untuk memudahkan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah, karena jika mengikuti semua aturan yang diterapkan dalam melakukan jual beli hak atas tanah, maka tidak semua dapat memenuhinya dalam sekali waktu, maksudnya tidak semua pihak mampu untuk langsung membayar semua persyaratan tentang jual beli hak atas tanah dalam sekali waktu seperti membayar harga jual beli hak atas tanah yang dalam sekali waktu, seperti membayar harga jual beli hak atas tanah yang disepakati yang diikuti dengan pembayaran terhadap Pajak Penjual (SSP) dan Pajak Pembeli yaitu Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) serta kewajiban

lain terkait dengan pembuatan dan pengurusan Akta Jual Beli (AJB) serta perpindahan hak lainnya yaitu pendaftaran tanah (balik nama).79

Peraturan tentang hak atas tanah, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan lain-lain, diatur secara tegas terhadap setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah, maksudnya setiap orang yang akan melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah wajib tunduk kepada semua peraturan yang berkaitan dengan hak atas tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PPAT), diatur bahwa dalam melakukan jual-beli hak atas tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat Pembuat AktaTanah (PPAT), yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah yang diperjualbelikan itu berada.

Terhadap akta pemindahan haknya (akta jual belinya) juga dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan akta jual beli tersebut merupakan akta otentik, dimana bentuk dan isinya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

79Ibid., hal 60

Kewenangan melaksanaan jual beli hak atas tanah dibuat di hadapan pejabat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan dibuatkan akta jual beli. Para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual beli hak atas tanah. Misalnya persyaratan tentang objek jual belinya, seperti hak atas tanah yang akan diperjualbelikan nmerupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain dan sebagainya.80

Setelah semua persyaratan jual beli hak atas tanah tersebut dilengkapi atau di penuhi oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah, barulah para pihak yang akan melakukan jual beli tanah dapat melakukan jual beli hak atas tanah dan pembuatan akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta selanjutnya melakukan pendaftaran tanah untuk pemindahan haknya. Apabila salah satu persyaratan tersebut belum dipenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas tanah yang dilakukan oleh para pihak sebagaimana dimaksud belum bisa dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan juga akan menolak untuk membuat akta jual belinya sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang pembuatan Akta Jual Beli (AJB), yang dengan sendirinya jual beli hak atas tanah belum bisa dilakukan.

80Harijanto Ramdan, Kewajiban-Kewajiban Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Bersertifikat, (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2010), hal 38.

Pada umumnya hambatan dari pembeli untuk terlaksanakannya Akta Jual Beli adalah kemampuan beli dari pembeli tidak mencukupi untuk membeli secara tunai tanah tersebut. Oleh karena kemampuan/daya beli dari si pembeli tidak mencukupi untuk melakukan pembelian secara tunai maka dilaksanakanlah Pengikatan Jual Beli dihadapan notaris.81

Untuk mengatasi hal sebagaimana diterangkan di atas tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi dalam bidang pertanahan maka dibuatlah sebuah terobosan dalam bentuk sebuah perjanjian pendahuluan yaitu akta Pengikatan Jual Beli (PJB), dimana isinya sebenarnya sudah mengatur tentang pelaksanaan jual beli atas tanah namun secara formal baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan atau dapat dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli hak atas tanah yang sebenarnya diatur dalam perundang-undangan yang dinamakan Akta Jual Beli.82

Menurut Herlien Budiono, “pengikatan jual beli merupakan sebuah penemuan hukum yang dilakukan oleh kalangan Notaris untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan jual-beli hak atas tanah.”83

Menurut Sudikno Mertokusomo, “disamping hakim yang menemukan hukum termasuk juga Notaris melakukan penemuan hukum. Notaris memang bukan hakim yang harus memeriksa dan mengadili perkara, namun Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh yang bersangkutan.

Notaris menghadapi masalah hukum konkrit yang diajukan oleh klien yang minta

81 Djoko Reksomulyatno, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian Innominaat, (Jakarta:Bina Ilmu,2010), hal.14.

82Ibid

83Herlien Budiono 1, Op.Cit, hal. 5

dibuatkan akta. Masalah hukum konkrit atau peristiwa yang diajukan oleh hakim merupakan peristiwa konkrit yang masih harus dipecahkan atau dirumuskan menjadi peristiwa hukum yang merupakan tugas Notaris dan disinilah Notaris melakukan penemuan hukum.”84

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Sudikno Mertokusomo tersebut terlihat bahwa penemuan hukum yang dilakukan dan diterapkan oleh Notaris yang dalam hal ini yaitu tentang pemakaian akta Pengikatan Jual Beli (PJB) dalam membantu pelaksanaan jual beli atas tanah atau sebagai perikatan bersyarat atau perjanjian pendahuluan sebelum pembuatan Akta Jual Beli bukanlah sesuatu hal yang melanggar ketentuan dan norma hukum yang ada, sehingga Pengikatan Jual Beli (PJB) sah-sah saja untuk diterapkan dan dipakai. Karena menurut Sudikno Mertokusomo, penemuan hukum bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum konkrit.

Penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris yaitu Pengikatan Jual Beli (PJB) dimana penemuan tersebut adalah untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para

Penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris yaitu Pengikatan Jual Beli (PJB) dimana penemuan tersebut adalah untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 42-180)

Dokumen terkait